Masukan nama pengguna
Kenapa saya berada di sini. Itulah hal yang saya pikirkan terus menerus seakan-akan saya baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidup saya. Sistem pendidikan dan pekerjaan di dunia sekarang sudah tidak masuk akal. Orang perlu memiliki pendidikan minimal sarjana untuk bisa bekerja di supermarket. Supermarket! Bayangkan betapa konyolnya era masa kini hingga-hingga saya harus mengantre di sini gara-gara tidak dapat pekerjaan.
Sejujurnya saya sudah kuliah sampai S3. Saya hanya mendapat keberuntungan yang jelek hingga-hingga saya harus berhenti dari pekerjaan saya sebagai guru SD karena sekolah saya kebakaran. Sungguh mengenaskan anak-anak yang bersekolah di sana. Sekolah itu adalah satu-satunya sekolah murah (bukan murahan) yang mau menampung anak-anak berkebutuhan khusus di kota ini. Meskipun sekolah itu bukan sekolah termasyhur, tetapi saya masih ingat saat-saat saya berbahagia di sana. Di mana saya tidak terlalu memperhatikan kebutuhan hidup dan fokus terhadap anak-anak yang membutuhkan saya. Sungguh hidup dikelilingi anak-anak tersebut membuat saya terharu. Saya bisa melihat berbagai warna yang menghiasi jiwa mereka. Mereka bukanlah aib atau binatang yang seharusnya diperlakukan seperti kotoran. Tapi dari cerita-cerita yang saya dengar, tidak jarang orang tua mereka sendirilah yang memperlakukan mereka seperti itu. Kalau saya boleh lanjut ngomong, saya berteori bahwa gejala-gejala ini berasal dari sebab yang lebih besar, yaitu jumlah populasi yang berlebih dan budaya kompetitif yang berlebih juga.
Tetapi kejadian kebakaran itu sudah lewat dua bulan yang lalu. Saya tidak bisa berkabung terus menerus terhadap kondisi anak-anak tadi. Saya juga perlu makan dan inilah salah satu dari sedikit sekali kesempatan yang ada di luar sana yang mau menerima tenaga saya, ditambah gajinya besar lagi. Sekarang saya perlu menunggu wawancara kandidat lain selesai, kemudian saya bisa masuk ke dalam ruangan. Sepertinya mereka sebentar lagi mau selesai.
Aha! Wawancara sepertinya sudah selesai. Suara derik pintu muncul dari kanan saya tepat dari pintu ruangan yang akan saya masuki. Setelah kandidat lain keluar dari ruangan tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih, saya langsung di suruh untuk masuk ke dalam oleh seseorang. Saya tentu saja segera bangkit dan berjalan ke arah sana. Ternyata kandidat yang baru saja keluar dari ruangan itu berwajah seram dan sangar. Mukanya penuh bekas luka, dan dari sisi mana pun tidak ada bagian wajah yang bisa dikatakan “manis”. Saya tetap bergegas ke arah pintu.
Di ambang pintu saya bersalaman dengan seorang pria berjas dengan tampang biasa-biasa. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Uriel dan saya juga memperkenalkan diri saya sendiri. Dari cara bicaranya saat memperkenalkan diri, ia menimbulkan kesan bahwa ia adalah pria yang ramah, sopan, dan baik. Dari cara senyumnya saja sudah membuat pertahanan mental saya jatuh. Benar-benar tidak ada hal-hal yang bisa membuat saya terancam dengannya. Tidak dengan perawakan dan sikapnya. Ia justru mengingatkan saya dengan profesor paruh baya yang pernah mengajar kuliah saya dulu. Ia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang bekerja di tempat seperti ini.
Setelah basa-basi kecil, saya dipersilahkan masuk dan dipersilahkan juga untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Ruangan tersebut lebih mirip kantornya dari pada ruangan khusus atau ruangan serba guna. Ia pasti memiliki jabatan yang tinggi.
“Boleh perkenalkan diri secara singkat terlebih dahulu?”
“Baik. Umm nama saya Ignatius. Saya kelahiran tahun 2999 sekarang berusia 30 tahun. Saya lulus dari Universitas Indonesia di tahun 3022 dengan gelar sarjana psikologi. Ditahun 3023 saya melanjutkan pendidikan magister dan doktoral saya di universitas yang sama. Saya meraih gelar doktor saya ditahu 3028. Semasa saya kuliah, saya mengikuti berbagai kegiatan organisasi dalam kampus yaitu menjadi sekretaris UKM Paduan Suara dan anggota sementara Resimen Mahasiswa. Saya juga mengikuti berbagai kepanitiaan lepas yang berada di dalam kampus. Saya memiliki pengalaman menjadi guru SD di sekolah anak berkebutuhan khusus selama 2 tahun.”
“Oke, Pak Ignatius,” katanya sambil membuka lembaran-lembaran yang tidak bisa saya lihat. Kemungkinan itu daftar diri yang saya isi di website lembaga ini.
“Anda melamar di sini dengan jabatan yang sudah tertera dengan sadar apa benar?”
“Iya, benar.”
“Baik, saya tidak akan banyak bacot lagi, dari 16 milyar orang yang ada di bumi dan bulan, kenapa saya harus merekrut anda?”
Saya tahu taktik ini, sang pewawancara sengaja bersikap kasar untuk mengetes mental kandidatnya. Saya tidak tahu etika dari taktik wawancara ini, tetapi yang saya tahu saya harus tetap tenang dan tidak menggunakan kata-kata kasar. Dari tampangnya yang culun serasa saya sedang digonggongi oleh anjing chihuahua.
“Saya memiliki pengalaman sebagai anggota sementara Resimen Mahasiswa sehingga saya memiliki mental yang tahan banting.”
Sebenarnya saya berbohong ketika mengatakan bahwa saya ikut organisasi tersebut. Saya hanya mendengar bahwa kesempatan saya diterima kerja akan meningkat bila saya mencantumkan pernah ikut organisasi itu. Trik ini bekerja ketika saya diwawancarai kepala sekolah tempat saya bekerja dulu.
“Cih! Cuman gitu doang?”
“Setelah masa jabatan saya sebagai anggota sementara selesai, saya tetap terus mengikuti kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh Resimen Mahasiswa sehingga saya memiliki pengalaman lebih.”
“Kamu pernah jadi guru SD kan? Cupu kamu.”
“Saya menjadi guru SD karena saya peduli dengan anak-anak. Saya bisa saja mendapat pekerjaan yang lebih mewah, tetapi untuk mendidik anak-anak negeri ini dan mencerdaskan kehidupan bangsa, saya rela bekerja sebagai guru SD.”
“Halah, bohong!”
Saya tidak berani menjawab apa-apa.
“Hobi kamu apa?”
“Fitness dan bela diri.”
“Bohong lagi kamu, orang fitness mana yang badannya kayak gitu.”
“Saya baru fitness selama dua bulan.”
“Jadi ngarang kamu!?”
“Tidak pak, saya ada buktinya,” saya mengeluarkan kartu fitness saya dari dompet, Uriel hanya mengangguk. Ia menyuruh saya memasukkan kartunya kembali ke dompet saya.
Meskipun beberapa aspek dari data diri yang saya masukan palsu, tetapi hobi saya bukan salah satunya. Saya memang baru mulai fitness 2 bulan lalu, tetapi saya sudah ikut bela diri sejak saya kuliah.
“Kelemahan kamu apa?”
Sentimental, atau begitulah yang ingin saya jawab. Entah mengapa sepersekian detik sebelum menjawab, saya tidak jadi mengatakan kelemahan saya yang sesungguhnya.
“Saya adalah orang yang terlalu semangat bekerja sehingga saya sering mengkhawatirkan hal-hal kecil yang seharusnya tidak perlu. Pekerjaan saya menjadi lamban.”
“Halah! Itu namanya sok! Pengen cari perhatian itu namanya!”
Saya tidak berani menjawab apa-apa.
“Apa lagi?”
Saya kali ini berpikir hebat. Entah mengapa suasana yang awalnya tenang dan penuh dengan semangat menjadi seperti ini. Lama-lam kalau di gonggongi chihuahua saya juga jadi ingin menampar anjingnya. Tapi kali ini saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya katakan. Tangan saya merinding
“Saya… orangnya…”
“Ngomong yang jelas!”
“Saya orangnya suka mengetahui urusan orang lain. Saya suka bersosialisasi dengan rekan kerja hingga-hingga saya sering bergosip dengan mereka.”
“Kalau gitu kenapa kamu daftar di tempat seperti ini!? Sudah tahu pekerjaan ini seperti apa, kamu mau cari mati ya!?”
“Saya… sudah membenahi diri dari pengalaman-pengalaman saya sebelumnya sehingga saya bukanlah diri saya yang dulu.”
“Kalau kau melakukan kesalahan gara-gara mulutmu comberan, bagaimana?”
Ini adalah senjata terakhir yang bisa saya keluarkan di saat-saat seperti ini. Saya mendapatkan saran ini dari teman dalam.
“Saya akan memundurkan diri dari pekerjaan ini.”
“Yakin kamu?”
“Saya yakin.”
“Yakin kamu!?”
“Saya yakin!”
Uriel mengeluarkan smartphone-nya. Ia membuka aplikasi rekaman dan mulai merekam. Saya tidak menyangka sandiwaranya sampai sejauh ini. Ini ilegal.
“Kamu yang bilang sendiri kalau kamu akan memberhentikan diri jika mulutmu comberan. Kalau kamu mau kerja di sini, semua kata-katamu, dan semua kata-kata orang yang bekerja di sini, harus di pertanggungjawabkan! Kami yang bekerja di sini berbeda dengan mereka yang bekerja di luar. Kami di sini menahan struktur moralitas yang hampir hilang dari masyarakat. Manusia telah membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, maka dari itu jumlah orang yang berbuat seenaknya meningkat. Kamilah yang menjaga tempat ini agar tetap berfungsi demi menunjukkan bahwa hanya gara-gara Tuhan tidak ada, bukan berarti neraka tidak ada! Kami mendengar teriakan jiwa-jiwa jahat dari sel-sel mereka; melihat mereka di siksa karena dosa-dosa mereka selamanya. Satu pun, dan saya ulangi lagi, satu pun dari orang-orang tersebut pantas menderita sengsara di sini—saya sendiri yang melihat berkas-berkas mereka, tetapi lagi dan lagi banyak sekali pengawas yang memundurkan diri, bahkan ada yang menolong tahanan! Kami harus menurunkan standar rekrutmen sampai-sampai semua orang—semua orang! Bahkan yang hanya lulus SMA sekalipun bisa bergabung dalam lembaga kami, dan lagi-lagi mereka semua mengatakan hal yang sama seperti kamu, ‘saya akan memundurkan diri dari pekerjaan ini’. Gombal kamu! Jika kamu sungguh-sungguh ingin bekerja di sini, Langkah awal yang harus kamu lakukan adalah bersumpahlah dengan saya dan bukan Tuhan! Bersumpahlah bahwa kamu akan undur diri jika mulut comberanmu menyebabkan masalah!”
Astaga, saya tidak pernah melihat orang marah-marah seperti itu. Kali ini saya tidak hanya melihat kemarahan yang memancar dari matanya, tetapi kegilaan yang meskipun tampak sekilas, menimbulkan efek yang membekas dalam hati saya. Saya harus tetap tegar bila ingin mendapatkan pekerjaan. Tabungan saya sudah menipis. Pacar saya sudah resah mau menikah. Lagi pula, saya tidak pernah mendengar kasus tempat kerja yang buruk mengenai lembaga ini dari media massa. Saya harus tetap tegar, saya harus tetap mempertahankan jati diri saya.
“Saya, Ignatius Maharaja berjanji bahwa jika mulut comberan saya menyebabkan masalah, maka saya akan undur diri!”
Uriel diam. Ia mematikan rekaman di smartphone-nya. Ekspresinya menunjukkan seakan-akan ia tidak terkesan dengan kata-kata saya.
“Rekaman ini saya pegang, tapi bukan berarti kamu otomatis diterima, mengerti!?”
“Mengerti!”
Entah mengapa saya kesannya sedikit menyahut. Saya rasa saya sudah pasti tidak diterima.
“Baik kalau begitu wawancara kita selesai. Apakah ada pertanyaan?”
Senyum Uriel kembali lagi ke wajahnya. Seketika suasana ruangan menjadi lebih terang seakan lampu baru saja dinyalakan. Apa-apaan ini. Bagaimana orang bisa melakukan seperti itu? Ia seakan-akan bisa mengganti kepribadiannya begitu saja. Tentu saja saya tidak mengatakan keluh kesal ini di hadapannya.
“Tidak pak.”
“Baik, kalau begitu saya tutup wawancara ini. Kabar apakah anda diterima atau tidak akan disampaikan dalam kurun satu hari hingga dua hari.”
Kami berdua berdiri, seakan-akan lega bahwa wawancara telah berakhir. Kami berjabat tangan, kemudian Uriel mengantar saya ke ambang pintu dan membukakan pintu kantornya untuk saya. Saya juga berkata banyak terima kasih padanya. Kalau dipikir-pikir caranya mengantar saya keluar ruangan mirip dengan ketika ia mengantar kandidat lain berwajah seram dan sangar keluar ruangan. Saya keluar dari gedung dan ketika di luar gedung, saya melihat kembali ke arah tempat saya diwawancarai.
“KEMENTERIAN MORALITAS.” Begitulah tulisan yang terpampang di sana. Saya melanjutkan kegiatan seperti biasanya.
Di malam hari ketika saya mau tidur, saya terus berpikir mengenai wawancara itu. Apakah wawancara itu hanya sandiwara? Apakah saya salah kata? Atau apakah saya ditipu? Saya tidak pernah mengalami hal yang seperti itu dalam hidup saya dan saya masih penasaran apakah saya harus melaporkan hal tersebut pada polisi. Jika saya melaporkannya, kemungkinan saya tidak akan dianggap serius karena Kementerian Moralitas terkenal sebagai kementerian yang paling dilindungi dan disayangi negara. Lagi pula, saya bisa setenang sebelumnya karena mendapat saran dari teman saya yang bekerja di tempat itu, mungkin orang-orang sudah tahu bahwa wawancara untuk posisi itu memang kasar. Meskipun begitu, mengapa saya tidak pernah melihat artikel yang membahas gaya wawancara Kementerian Moralitas. Gaya wawancara seperti itu pasti sudah menjadi sorotan publik jika orang-orang tahu, tetapi saya bahkan tidak pernah mendengar orang-orang berbicara mengenai gaya wawancara tadi dan teman saya di sana tidak mengatakan apa pun mengenai ini. Saya memang menggunakan fakta ini sebagai pengukuh hati ketika tegang diancam seperti tadi, tetapi fakta itu saya putar justru untuk menghilangkan ketegangan saya.
Karena hati saya sudah tenang dan lagi pula saya sudah pasti tidak diterima, saya jadinya bisa berpikir macam-macam. Mengapa, tidak ada satu pun artikel di internet atau pun media massa, dalam bentuk apa pun, yang membahas wawancara “unik” ini? Mengapa, saya di ceritakan mengenai pengawas-pengawas yang memundurkan diri, tetapi malah dipaksa untuk membuat pengakuan mengenai mulut “comberan” saya? Akan lebih masuk akal bila saya “ditawarkan” untuk membuat pengakuan bahwa saya tidak akan memundurkan diri dari pekerjaan selama berapa tahun, dan jika memang itu terjadi, maka seharusnya mereka menggunakan sistem kontrak saja daripada harus “menyuruh” kandidat untuk bertahan minimal sekian tahun.
Ah sudahlah, hal ini tidak ada hubungannya dengan saya. Besok saya harus job hunting lagi. Mungkin saya akan mencoba melamar di sekitar bulan. Memang mencari pekerjaan di sana lebih sulit dari di sini, tetapi saya memiliki seorang teman yang bekerja di salah satu distriknya. Mungkin saya bisa memanfaatkan koneksi tersebut, tetapi kalau jujur-jujur saja saya tidak terlalu dekat dengannya. Aduh, mungkin saya lebih baik diterima di kementerian meskipun suasana kerjanya pasti mengikis jiwa, tetapi di saat yang bersamaan saya merasa lega karena tidak diterima. Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup saya hingga-hingga saya selalu memperhatikan kondisi mental saya. Mungkin saya bisa terapi sambil kerja.
Bzzzzzzzttttttttt.
Saya yakin sekali bahwa saya sudah mematikan segala bentuk suara dan vibrasi dari smartphone saya. Saya bangun dari ranjang dan berjalan ke arah sumber vibrasi. Saya mengecek layar dan mendapati bahwa ada surel masuk. Surel tersebut berasal dari Kementerian Moralitas. Saya membaca surelnya; saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa.