Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,015
Joni
Horor

Joni adalah penulis, tapi bukan pengarang. Penulis adalah orang yang menulis sedangkan pengarang adalah orang yang mengarang. Penulis tetap penulis dan siapa saja bisa menjadi dirinya, tetapi tidak semua penulis bisa menjadi pengarang. Joni memang mungkin tahu ini dalam hatinya, tetapi banyak khalayak setempat yang menganggapnya pengarang. Joni adalah perkara yang sering di bayangkan pengarang liyan ketika membuat kreasi; bahwa terdapat gerak-gerik terselubung nan gaib yang membuat pengarang mencipratkan imajinasinya ke dalam kertas. Imajinasi dalam kertas-kertas kreasi Joni bukanlah miliknya.

Sebenarnya Joni bukan orang yang pintar juga bukan orang bodoh, tetapi ia adalah orang yang tidak berpendidikan. Joni hanyalah office boy di mana ia hanya berleha-leha menunggu pesanan dari pegawai kantor. Ia, bahkan tidak lulus SMA. Tentu saja perkara Joni bukanlah perkara yang main-main. Terutama hidup di zaman sekarang yang memerlukan gelar untuk bekerja yang benar-benar bekerja. Ia hanyalah sebutir debu di antara butiran pasir yang adalah kaum berpendidikan. Tetapi jangan khawatir, karena Joni punya rencana.

“Bagaimana kalau berbisnis lain?” tanya Ayah.

“Kita tidak punya uang sebanyak itu. Lagi pula, usaha nasi goreng kita jarang laku. Boro-boro bikin usaha lagi” kata Ibu.

“Nanti aku pikirkan lagi,” kata Joni.

Dengan betullah Joni memikirkan rujukan ini matang-matang dan mendapati ide ini adalah ide yang buruk. Tidak hanya Joni kekurangan uang, tetapi juga mustahil utang dengan karena bank memang bukan teman rakyat rendahan. Tapi jangan khawatir, karena Joni beserta keluarganya tidak pernah main-main kalau soal uang dan masa depan, maka dari itu mereka cepat atau lamban pasti mendapat ide.

Berhari-hari berlalu setelah memikirkan ide bisnis lain, Joni telah mendapatkan banyak sekali ide dari kedua orang tuanya dan dirinya sendiri. Sekarang tinggal memisahkan ide-ide yang ada. Ia berpikir untuk menjadi pelukis, tapi kurang bakat. Ia berpikir untuk menjadi guru, tapi kurang pendidikan. Ia berpikir untuk melanjutkan sekolah, tapi malu karena kalah umur. Maka dari itu Joni pun menghabiskan beberapa lagi waktu hidupnya melanjutkan menjadi office boy. Memang bukan pilihan karier yang bijak, tapi masih lebih baik daripada jadi pengangguran.

***

Kriiiiinnnnggggggg.

Suara telepon berdengung di depan Joni.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

Joni melihat ke sekelilingnya. Ia mendapati dirinya berada di ruangan serba gelap dengan satu meja kayu yang sebuah telepon jadul berwarna merah, satu kursi tempat ia duduk sekarang, dan satu pintu di belakang meja yang menampung telepon tadi. Pintu tersebut memiliki banyak gembok dan rantai yang membelenggunya.

Kriiiiiiinnnnnnnnngggggg.

Joni secara refleks mengangkat teleponnya.

“Joni Panjaitan betul?”

Joni termenung sedikit. Ia baru sadar betapa ia bisa merasakan mulusnya gagang telepon plastik.

“Joni Panjaitan betul?”

“Iya, siapa di sini?”

“Namaku Donatus. Aku di sini untuk mengabarimu bahwa Sang Pionir telah memilihmu sebagai salah satu dudanya.”

“Halo, siapa ini?”

“Juru bicaranya”

Kriiiiiiiiiiinnnnggggggg.

Joni bangun dengan keringat yang bercucuran dan mata membengkak. Ia melewatkan sarapan dan telat datang ke kantor.

“Nak. Kamu gak kenapa-napa kan?” tanya sang ayah.

Joni melihat sekelilingnya, dan mendapati ayah dan ibunya di samping ranjang kamarnya.

“Kami khawatir kamu kenapa-napa loh Jon,” komentar sang ibu.

Joni mengamati ayah dan ibunya yang khawatir terhadap dirinya. Ia memastikan kepada mereka bahwa ia baik-baik saja, meskipun sebenarnya tidak. Dengan begitu keadaan kembali normal seakan tidak terjadi apa. Sekarang Joni harus cepat-cepat menghubungi bosnya dengan harapan bahwa ia tidak di pecat. Lagi pula, ia masih memerlukan pekerjaan tersebut. Untungnya Joni masih bisa mempertahankan posisinya sebagai office boy. Ia berjanji pada atasannya bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi.

Dengan waktu luang yang tidak sengaja tercipta pada waktu itu, Joni mulai memutar otak. Seperti orang yang disambar petir tepat di kepalanya, Joni tiba-tiba merasa girang untuk sementara. Joni memiliki ide untuk mengeluarkan dirinya sendiri dari kemelaratan, dan ide itu sahih. Ia ingat kamera tua yang di simpan Ayah ketika dirinya masih kecil. Ia mengutak-atik rumah sehingga mendapat kamera yang sudah ditinggalkan dan berdebu. Aneh, tapi sempurna. Kamera tersebut meski sudah ketinggalan zaman, masih bisa digunakan dengan rapi. Software zaman sekarang yang harusnya di pasangkan dengan kamera yang lebih canggih tampaknya masih muat dengan kameranya. Maka dari itu Joni langsung mempersiapkan diri untuk bergegas ke pusat kota.

Semangat Joni untuk menjadi fotografer sekarang sudah seperti tahi ayam yang baru keluar dan masih hangat. Ia tidak memikirkan akan masa kininya yang sudah sulit, tetapi akan masa depannya yang menantikan banyak peluang. Ia sekarang memiliki harapan untuk keluar dari jurang kesengsaraan tanpa uang. Ia tinggal mengambil beberapa kursus fotografi yang murah dan daring, kemudian membuka praktik di sana-sini. Ia tidak perlu membeli kamera baru dan softwere pengeditan tinggal unduh yang bajakan. Mungkin menjadi fotografer tidak akan langsung membuatnya kaya, terapi setidaknya dapat membuat penghasilan menjadi bertambah sedikit. Setidaknya orang tuanya akan menjadi lebih makmur.

Sesampainya di pusat kota, ia mulai melatih kemampuan potret-memotretnya. Joni bergaya layaknya fotografer andal. Ia tidak tahu objek mana yang ingin ia foto, tetapi semangat fotografinya sudah melebihi kadar yang bisa ditanggung hati dan otaknya. Maka dari itu ia memotret asal-asalan. Dari segala penjuru pusat kota dan dari segala perspektif, ia mulai mengambil gambar sesukanya, yang penting ada latihan. Foto yang diambil sudah jelas tidak memiliki visi artistik. Tapi itu tidak masalah bagi Joni, karena yang penting ia ada berbuat sesuatu. Setelah selesai memotret banyak objek, Joni kembali ke rumahnya sebelum orang tuanya pulang kerja.

Di kamarnya, ia melihat potret-potret yang visi artistiknya amburadul, dan meskipun sebenarnya foto-foto tersebut tidak ada apa-apanya dengan foto-foto oleh maestro fotografer, Joni tetap bangga. Maka dari itu ia terus menelusuri isi kameranya untuk melihat foto-foto keren meskipun kacau. Salah satunya adalah foto mengenai seorang anak yang berdagang koran di siang hari. Ia mendapati bahwa anak pedagang koran tersebut unik karena ia berdagang koran di jam yang salah. Mungkin karena kepepet atau apa anak tersebut berdagang koran di waktu itu, tapi Joni tetap membantunya dengan memotret sang anak beserta koran-korannya yang gagal laku. Mungkin karena simpati atau apa, tapi Joni melihat foto tersebut untuk sementara waktu. Lebih lama dari foto-foto lain.

Aneh, Joni melihat headline koran tersebut. Sastrawan besar Indonesia berpulang ke tempat-Nya. sastrawan tersebut Donatus Wijaya. Entah ia harus terkesan karena kebetulan yang presisi atau karena kameranya yang bisa di zoom hingga tulisan koran yang kecil tampak. Mungkin ia harusnya kagum dengan keahlian fotografinya karena bisa menangkap gambar sejernih itu. Tentu saja, nama Donatus yang muncul dimimpi dengan yang dikoran itu kebetulan. Tapi karena penasaran, Joni mulai berselancar di internet untuk mencari muka dan suara sang sastrawan besar Indonesia tersebut. Ia menemukannya, mengamati muka dan mendengarkan suaranya dengan seksama, lalu merinding. Joni kemudian memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya di malam hari seperti biasa.

 Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

Suara itu datang lagi. Joni benar-benar mengamati lingkungan sekitarnya. Ia berada di ruangan yang sama dengan objek-objek yang sama dengan mimpi sebelumnya. Ia benar-benar sadar bahwa ia sedang berada di dalam mimpi yang sama. Kali ini Joni tidak menganggap situasi ini enteng sama sekali. Dengan tangan gemetaran dan betis hampir rontok, Joni mulai melakukan pelbagai eksperimen yang ia kira bisa membunuh mimpi.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

Menggigit tangan, menggigit jari, menggigit lidah, mengentak-entakkan kaki seperti ingin merobohkan lantai, meninju tembok hingga tangan berdarah, meninju lantai hingga tangan kaku, mencengkeram biji penis dengan tenaga yang ada, dan seterunya. Tidak ada satu pun yang bisa membuat Joni sadar dari mimpi. Ia mulai membayangkan bagaimana ia selalu bangun dari mimpi buruk yang lain. Ia mengingat-ingat dan membayangkan mimpi-mimpi buruk sebelumnya di mana ia seakan jatuh keluar dari realitas di sekitarnya. Ia berhasil. Joni berhasil jatuh keluar dari kenyataan sekaan ia di sedot oleh karpet yang pas-pasan menutupi lubang besar. Seluruh hal yang dilihatnya sekejap berubah gelap. Ia merasakan sensasi terjatuh yang lazim ia rasakan ketika keluar dari mimpi dan bangun dengan jantung yang mendebar. Ia kira ia selamat.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

Ia terjatuh ke lantai berkeramik putih. Posisi tubuhnya mengada ke langit-langit berwarna hitam dengan lampu yang menyoroti mukanya. Ia mengangkat kepala secara perlahan, berharap bahwa ia tidak lagi berada di ruangan dengan telepon jadul merah. Jantungnya berdebar dan kepalanya menggigil. Ia berada di ruangan yang sama. Ia membangkitkan diri dengan perlahan dan tremor yang makin membuat jantungnya resah.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

“Ini Donatus. Lakukan persiapan yang saya katakan,” suara itu, ya tidak salah lagi. Joni telah mendengar suara seperti itu di internet. Terakhir ia mendengar suara itu bulu keduk di belakang lehernya mengigil. Telinganya terasa seperti di sumbat bulu-bulu halus. Debar jantung Joni ikut menyusup ke kupingnya, tapi tidak salah lagi.

“Katakan, apa yang menghalangi pintu itu?”

Joni melihat ke arah pintu, “banyak gembok dan rantai.”

“Kalau begitu bayangkan sebuah pemotong besi di pojok ruangan kanan di mana engkau menghadap.”

Joni membayangkan sebuah pemotong besi di pojok ruangan kanan. pemotong besi muncul dari udara.

“Ambil pemotong besi tersebut dan potonglah banyak rantai dan gembok dari pintu ini. Jangan tutup telepon.”

Joni tidak tahu mengapa ia melakukan ini. Tidak ada pikiran panjang dalam benak Joni. Tangan tremor dan kaki beku; bergetar. Joni hampir tidak bisa berjalan ke arah pintu, meski ia berhasil berjalan ke arah sana. Ia mulai memotong-motong rantai di pintu. Rantai begitu banyak, ia memerlukan waktu setengah menit. Sekarang sisa gembok. Kaki tremor dan badan meriang; Joni berjalan tertatih-tatih ke arah telepon.

“Apa yang ada di sana?”

“Alam semesta.”

Joni tidak mengatakan apa pun.

“Kau telah di pilih oleh Sang Pionir sebagai dudanya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Itu memang biasa terjadi.”

Joni tidak bicara.

“Aku adalah juru bicaranya. Aku boleh minta tolong buka kan pintunya dengan pemotong besimu?”

Tok-tok-tok.

Tiga ketukan terdengar di balik pintu.

“Kau harus lakukan ini, jika tidak ia akan membiarkanmu di sini sampai gila. Bicaralah padaku.”

Joni tidak mengerti mengapa ia bisa di sini; ia tidak mengerti satu pun hal yang sedang terjadi. Tapi suara orang tersebut terasa halus dan lemah lembut. Ia penasaran berapa lama ia bisa berada di sini. Maka dari itu, Joni menutup telepon, berjalan ke arah pojok sudut ruangan yang jauh dari pintu bergembok banyak, dan duduk.

Lama… dan lama… dan lama… dan lama… dan lama ia menunggu. Tidak ada perubahan. Dengungan telepon bercipratan di dalam ruangan. Sudah berapa lama aku berada di dalam? tanyanya. Sudah berapa banyak percobaan yang menggagalkan aku keluar dari sini? tanyanya.

Ia sudah mengaduk-aduk tempat ini seperti angin topan yang menggampar daratan. Setiap kali ia menghancurkan kursi dan meja yang awalnya utuh menjadi terbelah dan awalnya terbelah menjadi berkeping-keping, maka setiap kali itu juga ia menghancurkan telepon tersebut yang awalnya utuh menjadi terbelah dan awalnya terbelah menjadi berkeping-keping. Meskipun telepon itu sudah hancur seperti potongan-potongan sayur dan daging dari muntahan, suara dengungannya masih merajalela di kuping Joni. Kepala Joni penuh dan ketat di saat yang bersamaan. Ia mulai membayangkan ruangan ini menjadi sedia kala; jadilah sedia kala ruangan ini. Joni memandang telepon tersebut. Matanya memancarkan sinar garang.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggg.

“Apa yang kau mau dariku?”

“Membuatmu keluar dari mimpi buruk ini. Potong semua gembok yang ada di pintu.”

Pikiran Joni hening. Tangan Joni lemas. Kaki Joni lemas. Tapi Joni tetap berjalan ke arah depan, mencoba untuk membuka gembok-gemboknya.

Krak.

Gembok terakhir dibuka. Pintu mulai dibuka oleh Joni, perlahan… perlahan… dan perlahan. Benar kata orang itu. Segugus bintang mulai terlihat seiring pintu Joni di buka. Ia membuka… dan membuka… dan membuka… dan melihat bahwa terdapat seorang pak tua kurus di depan gugus bintang yang sangat indah, seakan ada lingkaran cahaya yang berada di belakang kepala sang pak tua. Orang itu, yang di duga sebagai lawan bicara Joni di telepon, mulai mendekat ke arah pintu. Pak Tua berjalan dengan perlahan dan anggunnya di atas samudra semesta yang menjanjikan keadaan Joni. Lingkaran cahaya yang tampak menerangi Pak Tua dari belakang kini mulai memudar; mulai menampakkan wajah sang Pak Tua. Bentuk wajah, bentuk rambut, warna rambut, bentuk tubuh, tinggi tubuh dan bahkan cara berjalan sama persis dengan pria yang tak lama dicari Joni di internet. Joni mempersilahkan Pak Tua masuk ke dalam ruangan, dan Pak Tua masuk ke dalam ruangan. Pintu di tutup.

Pak Tua meminta Joni menciptakan kursi satu lagi. Joni membayangkan kursi yang serupa dengan yang sudah ada di ruangan. Pak Tua menyarankan untuk menciptakan teh hangat. Joni membayangkan dua buah cangkir, satu mangkok kecil gula, dan sebuah teko berisi teh lemon hangat bercampur gula. Joni memandang Pak Tua dengan tenang, sementara Pak Tua mengaduk-aduk tehnya.

“Sekarang kau hanya perlu memanggil makhluk itu.”

Joni tidak bicara.

“Berilah aku izin untuk memanggil makhluk tersebut ke dalam ruangan ini. Lalu semua akan berakhir.”

Joni tidak bicara.

Pak Tua menghirup napas.

“Kalau saya harus menjelaskan semuanya, saya juga tidak tahu harus mulai dari mana. Intinya adalah tidak ada yang tahu apa sebenarnya Sang Pionir. Dari mana asalnya, asal-usulnya, tidak ada yang tahu. Yang kita tahu, dan maksudku kita sebagai manusia, adalah bahwa makhluk ini pertama kali ditemukan di sebuah gua di Prancis dalam bentuk lukisan dinding berumur 13.000 tahun.”

Joni tidak bicara.

Pak Tua itu meneguk tehnya.

“Makhluk itu bukan makhluk nyata. Makhluk itu adalah sebuah ide.”

Joni menundukkan kepala sedikit. Air mukanya menunjukkan sedikit hampir menangis.

“Makhluk itu tidak memiliki tujuan selain tujuannya sendiri.”

“Bagaimana aku tahu kau tidak berbohong?”

“Izinkan aku memanggil makhluk itu dan kau akan tahu.”

Joni melabrak dan melempar meja ke arah samping, mencengkeram kerah Pak Tua.

“Ngomong asal keparat! Apa yang kau mau dariku!?”

“Kau tidak mendengar omonganku.”

Cengkeraman Joni makin kuat, sekarang kerah Pak Tua makin mendekat ke kepalanya.

“Aku tahu kau latihan fotografer hari ini. Aku tahu kau ingin keluar dari pekerjaanmu. Aku tahu kau tidak lulus SMA. Aku tahu kau anak pungut.”

Joni termangu. Matanya yang awalnya memancarkan kerlap merah sekarang abu-abu. Ia melonggarkan cengkeramannya.

“Apa aku benar? Bagaimana kalau begini, kau dulu pernah jatuh cinta dengan gadis berwarna Mawar Soetowo Putri.” Bagi mata yang tak terlatih, nama itu terdengar asal. Tetapi hati nurani Joni tahu nama itu nyata. Nama itu pernah melekat pada seorang gadis yang tidak sempat di rangkul Joni. Detailnya panjang, tapi nama itu lengkap. Ini bukan sulap.

“Sang Pionir adalah makhluk yang bukan fisik. Maka dari itu, kebutuhannya bukan fisik. Ia harus memiliki semacam jangkar di dunia fisik untuk setidaknya bertahan hidup. Bagi makhluk seperti ini, terlupakan sama saja mati. Kau, Joni Panjaitan, telah dipilih olehnya sebagai salah satu jangkar agar Sang Pionir bertahan hidup. Sebagai jangkar kau memiliki tugas lain.”

Joni akhirnya melepaskan cengkeraman Pak Tua sepenuhnya. Matanya lelah, tetapi fokus.

“Kenapa harus aku?”

“Karena kau berbeda dari yang lainnya. Kau memiliki pilihan untuk melawan takdir. Untuk melawan arus hidupmu sendiri. Ketika aku mati, aku di ambil begitu saja oleh makhluk itu. Aku di jadikannya juru bicara. Kau tahu kenapa aku dijadikan juru bicara olehnya? Karena aku menjadi penulis sukses.”

Joni tidak mengatakan apa-apa.

“Tidak hanya penulis sukses biasa, tetapi penulis sukses yang menembus dunia. Dari ribuan tahun silam sampai sekarang, aku adalah salah satu dudanya yang berhasil mewujudkan kehendaknya dalam tingkatan ini.”

Joni tidak mengatakan apa-apa. Matanya fokus.

“Percayalah padaku, sebenarnya kau hanya akan hidup seperti biasa. Kau akan hidup normal, tapi kau akan melakukan beberapa hal untuknya. Itu saja.”

Mata Joni hampir kehilangan fokus, ia berpikir. Seingatnya, dari hasil berselancar di internet mengenai Pak Tua, ia tidak mendapatkan hal-hal yang ganjal. Tidak ada pola hidup aneh, tidak ada sakit apa pun, tidak ada adapun yang mengindikasikan Pak Tua hidup dalam kesengsaraan.

“Apa maunya? Apa mau Sang Pionir?”

Pak Tua berpikir sebentar.

“Entah. Aku juga tidak tahu. Setiap orang berbeda-beda. Ada yang seakan di takdirkan menjadi guru setelah menjadi duda Sang Pionir menjadi pemadam kebakaran. Ada yang seakan ditakdirkan menjadi sales setelah menjadi duda Sang Pionir menjadi pelukis. Setiap orang berbeda-beda.”

Setiap orang berbeda-beda; kalimat itu bergema di kepala Joni dan sampai ke hatinya. Entah mengapa kalimat itu membuat hati Joni mekar sesaat. Matanya memunculkan sedikit sinar keemasan hanya untuk sekejap. Ia membayangkan sedang melanggar takdir. Adu pedang dengan para malaikat yang menaruhnya di jalan lurus nan mulus tanpa belokan, tanpa persimpangan. Ia berangan-angan, apakah sebaiknya hidupnya memiliki sedikit simpang tiga atau empat di sana sini? Ia mulai membayangkan potret anak yang sedang berjualan koran siang hari dan potret-potret lainnya yang telah ia ambil. Semangat tahi ayam itu belum habis, tetapi belum matang. Ia tahu, dalam lubuk hatinya —meski tidak sadar— bahwa potret-potret itu tidak akan menjadi abadi. Tentu saja karena potret-potret itu jelek, tapi potret-potret itu tidak hanya jelek. Setiap kali Joni membayangkan kameranya, yang ada hanyalah buram.

“Apa orang-orang tersebut makmur?”

“Tidak juga, mereka biasa-biasa saja.”

“Kalau mereka biasa-biasa saja, apa lagi aku.”

Pak Tua berpikir.

“Kalau kau mau memandang ini sebagai pintu kelu…”

Pak Tua tertegun. Mukanya seperti mau sendawa.

“Kalau kau mau…”

Pak Tua tertawa. Joni memelototi Pak Tua. Joni merasa memelototi sesuatu yang menyamar menjadi manusia.

“Aku pernah... melihat semuanya; sesaat. Semua yang pernah terjadi di… tata surya ini— aku pernah melihatnya ketika… ditarik menjadi juru bicara. Aku butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Kepalaku rasanya mau hancur setiap detik aku berada dalam… kehampaan alam semesta. Lambat laun sakitnya hilang. Aku bisa mengingat semua… yang pernah terjadi di tata surya kita. Aku tertawa terbahak-bahak melihat situasi itu.”

Dengan tawa Pak Tua yang beriring kewarasan Joni yang hampir punah, seisi ruang mulai remuk. Gempa terjadi kecil-kecilan. Retak di dinding dan lantai mulai bermunculan, tapi tidak sanggup melawan kekukuhan ruangan.

“Kau… harus mengizinkan aku… mengizinkan makhluk itu masuk.” Pak Tua berusaha keras menahan tawa. Air matanya bercucuran.

“Apa yang terjadi?!”

“Kalau ruangan ini hancur… kita akan mati.”

Ruangan semakin retak, semakin hancur. Retak-retak di dinding beranak cucu dan menciptakan retakan lain, membuat jaring-jaring kematian yang menghitung mundur. Joni berlutut, bersujud, menutupi kepala, dan memejam mata.

“Baik! Kau bisa menyuruh makhluk itu masuk!”

Hening. Joni membuka mata perlahan dan melihat sekeliling. Pak Tua berhenti tertawa dan ruangan tidak jadi retak. Pintu terbuka. Gelap melabrak apa saja yang terdapat di balik pintu.

“Donatus.”

“Iya?”

“Apa ada makhluk yang seperti ini lagi?”

Pak Tua berpikir.

“Ada.”

Langkah kaki terdengar dari balik gelapnya semesta. Joni tidak tahu dengan pasti apa suara itu, tapi kedengarannya seperti tapak kaki kuda.

“Kau bilang aku salah satu calon dudanya. Apa maksudnya?”

“Itu adalah sebutan bagi manusia yang dibelenggunya. Kau tidak akan kenapa-napa.”

Gema tapak kuda semakin dekat.

Joni memandang apa saja yang ada balik pintu, hitam. Giginya menggigil, kakinya tremor, dan ia berusaha keras untuk berdiri; dan gagal.

Tap.

Tap.

Tap.

Tap.

Pak Tua berusaha menahan tawa layaknya menahan muntah. Pak Tua dengan segenap kekuatannya, menunjuk ke arah kegelapan di belakang pintu. Sebuah tangan manusia perlahan muncul. Joni tidak bisa melihat lintas kegelapan untuk mengetahui apa di balik tangan tersebut. Tangan itu mengenakan cincin emas dengan simbol aneh di jari telunjuknya.

Tangan mendekat ke dalam cahaya ruangan seiring mengerasnya tawa Pak Tua. Joni memperhatikan dengan tubuh yang sudah tidak tremor, tapi membeku. Joni terus melihat, melihat, dan memperhatikan. Sebuah kaki kuda dengan ladam emas meletakan dirinya sejajar dengan lengan yang sudah menampakkan diri. Muka makhluk tersebut muncul.

Demi Dewa-dewi, Joni tidak bisa mengingat muka Sang Pionir. Bentuknya berubah-ubah setiap kali Joni membandingkan mukanya dengan hal-hal liyan. Bentuknya seperti singa, seperti jerapah, seperti burung kolibri. Ia menatap terus muka Sang Pionir, tapi makin banyak hewan yang muncul. Lumba-lumba, paus pembunuh, harimau, kijang, dan ratusan muka hewan yang terus bermunculan. Sang Pionir masuk ruangan seakan waktu adalah miliknya.

Tanduk. Joni membayangkan semua hewan yang dibayangkan sebelumnya memiliki tanduk rusa. Singa dengan tanduk rusa, paus pembunuh dengan tanduk rusa, kijang dengan tanduk rusa, dan sebagainya. Tanduk rusa tersebut hanyalah satu-satunya bentuk yang bisa di konseptualisasikan Joni saat ini. Sang Pionir berjalan seakan takdir adalah miliknya. Tubuhnya makin tampak. Semua hewan yang tidak berkaki empat langsung lenyap dari pikiran Joni. Sekarang ia hanya bisa membayangkan hewan berkaki empat, tetapi ia bisa membayangkan semua hewan berkaki empat, termasuk hewan-hewan yang tidak pernah ia lihat. Okapi, mamut, antelop saiga, naga, dan semua hewan berkaki empat yang pernah ada di bumi.

“Bukankah ia indah?”

Joni ternganga melihat kehadiran Sang Pionir. Ia tidak tahu betapa besarnya makhluk ini. Semesta memberkahinya dengan semua pengetahuan mengenai makhluk berkaki empat yang pernah ada di bumi. Ia melihat sepucuk ketidakterbatasan yang hanya bisa di saksikan mereka yang telah hidup ribuan tahun. Pengetahuan seperti itu tidak bisa ditampung pikiran manusia yang lunak. Air liur menetes sedikit ke baju Joni. Matanya membelalak seperti melihat keajaiban.

“Engkau sekarang akan mendengarnya bernyanyi.”

***

Sepuluh tahun kemudian semenjak Joni bangun dari mimpi tersebut. Ia melihat sekilas ke dalam sebuah ruangan besar yang merupakan salah satu studio di salah satu stasiun televisi Indonesia. Sebentar lagi ia akan di wawancarai oleh Jurnalis Wanita yang sudah ada di dalam ruangan besar tersebut. Jurnalis Wanita memulai dengan basa basi untuk membuat Joni lebih santai.

“Awal bermula Pak Joni pengarang itu seperti apa?”

“Ya… sebenarnya agak dadakan sih. Awalnya saya pas itu lagi cari-cari peluang agar saya bisa jadi kaya,” Joni tertawa kecil sedikit. “Sebenarnya siapa sih yang gak mau jadi kaya gitu kan? Tapi waktu itu selain jadi kaya saya… pengen keluar dari kondisi saya pada saat itu. Saya dulu hanya seorang office boy gara-gara gak lulus SMA.”

“Katanya bapak saat itu pernah koma?”

“Iya saat itu saya pernah koma sembilan hari di rawat inap di rumah sakit gara-gara…,” Joni berpikir sejenak. “Saya kurang tahu… saya kurang tahu. Yang jelas pada saat itu saya mendadak gak sadar-sadar dari tidur saya. Waktu itu setelah saya tidur di malam hari saya esoknya kata orang tua saya gak bangun-bangun. Jadi pas hari kedua saya tidur terus gak bangun-bangun, saya langsung di bawa ke rumah sakit untuk di diperiksa. Ternyata kata si dokter itu gak ada apa-apa yang terjadi sama tubuh saya, jadi saya sebenarnya baik-baik saja.”

“Lalu setelah itu bapak dibawa ke rumah?”

“Iya. Waktu itu orang tua saya tidak punya duit.”

“Apakah benar kejadian itu yang memicu bapak menjadi penulis?”

Joni berpikir sedikit. “Iya, pada saat itu setelah saya bangun dari koma dan kehilangan pekerjaan saya, saya merasa bahwa saya bisa menulis novel dalam sebulan.”

“Langsung berpikir seperti itu pak?” Jurnalis Wanita tertawa kecil, tetapi Joni tidak. Joni hanya tersenyum kecil.

“Iya, memang rasanya aneh, tapi pada saat itu saya sungguh-sungguh berpikir bahwa saya bisa menjadi pengarang.”

“Bapak sering baca novel sebelumnya?”

“Tidak, saya tidak pernah baca novel sebelumnya.”

“Cerpen atau buku cerita?”

“Tidak, saya tidak pernah membaca naskah apa pun. Tapi anehnya pikiran itu terlontar ke saya seperti batu katapel.”

“Wow ternyata bisa gitu ya, seperti dapat pencerahan.”

Meskipun Jurnalis Wanita hanya bercanda, tetapi Joni menganggap serius komen tersebut. “Sebenarnya saya tidak pernah berniat menjadi penulis. Seumur hidup saya, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi penulis. Saya hanya berpikir bagaimana caranya saya keluar dari hidup saya waktu itu. Bagaimana saya bisa membanggakan orang tua saya dan berbuat baik pada sesama. Menulis, seperti halnya seni, adalah suatu berkah yang tidak bisa di miliki semua orang, maka dari itu orang yang memilikinya harus menggunakan bakat tersebut. Jika orang yang sudah terpilih tidak bisa atau tidak mau menggunakan bakat tersebut, maka ia akan dipaksa untuk menciptakan karya seni, termasuk menulis.”

Meskipun komen Jurnalis Wanita sebelumnya adalah candaan, entah mengapa Joni tiba-tiba berkata demikian. Seakan-akan bukan ia yang mengendalikan tubuhnya untuk berbicara. Untungnya sebagai pewawancara yang baik, Jurnalis Wanita tidak menganggap kejadian ini serius.

“Di paksa? Gimana itu pak?”

“Oleh takdir.”

“Bapak percaya takdir?”

“Iya. Saya adalah orang yang percaya dengan takdir. Jika saya melihat seseorang melangkah melewati takdirnya, maka saya akan tahu bahwa seseorang tersebut akan menerima ganjarannya. Ia tidak akan hidup tenang seumur hidupnya, kecuali ia menjalankan takdirnya.”

“Ngomong-ngomong soal takdir, saya jadi teringat penulis tersohor Indonesia juga yang dulunya koma, dan tiba-tiba menjadi penulis.” Jurnalis Wanita itu tetap terserap ke dalam perbincangannya dengan Joni. Jurnalis Wanita berusaha untuk membuat pembicaraan mereka tetap menarik.

“Siapa namanya?”

“Kalau tidak salah itu… namanya Donatus Wijaya.” Irama jantung Joni melompat sesaat.

“Iya, saya tahu beliau. Dalam artian saya membaca karya-karyanya dan esai-esainya. Beliau adalah pahlawan saya.”

“Iya, beliau adalah penulis yang luar biasa. Bisa ceritakan sedikit mengenai proses kreatif bapak?”

“Saya hanya menulis. Itu saja.”

“Hanya menulis. Bapak tidak merancang outline, atau karakter seperti membuat sketsa terlebih dahulu?”

“Tidak. Saya hanya langsung menulis, itu saja. Setiap saya menulis, rasanya ada tangan-tangan tidak terlihat yang mengarahkan saya untuk menulis kata-kata dan kalimatnya. Setelah saya selesai menulis, barulah saya periksa ulang.”

“Tapi bapak memenangkan berbagai penghargaan sebagai penulis, apakah memang bisa memenangkan berbagai piagam dan penghargaan dengan asal menulis?”

Pertanyaan itu sedikit menusuk, tetapi pertanyaan itu ada bobotnya. Joni berpikir agak lama soal ini.

“Seperti yang saya katakan. Menjadi penulis adalah soal takdir. Jika memang orang tersebut menuruti takdirnya, maka ia akan di beri berkah oleh takdir itu juga karena telah memanfaatkan kekuatannya sepenuhnya. Berkah ini bisa bersifat macam-macam. Ada yang tiba-tiba mendapat ide saat tengah berjalan. Ada yang mendapat berbagai kesempatan untuk menulis secara kebetulan, dan berbagai macam hal lainnya. Tapi meskipun dipilih Tuhan adalah hal yang mewah dan eksklusif, ternyata banyak juga yang dipilih oleh Tuhan. Asal ada bakat meskipun ukuran bahkan sebutir pasir, maka menjadi seniman, termasuk penulis, adalah hal yang bisa terjadi. Asalkan mau disiplin dan tangguh menghadapi cobaan, maka semua orang bisa menjadi seniman. Semua orang bisa menjadi penulis. Semua orang bisa menggapai mimpi mereka.”

Sekali lagi, Joni tidak tahu mengapa ia mengatakan hal seperti ini. Ada hal-hal gaib yang mengontrol mulut dan lidahnya. Dalam saat itu, hal gaib tersebut ingin mengatakan sesuatu. Mungkin hal gaib itu sungguh ingin menginspirasi khalayak banyak. Mungkin hal gaib itu memiliki agenda lain. Ceramah Joni tidak mengundang keanehan. Ia, seperti kebanyakan rakyat Indonesia, adalah seorang mistis sejati. Mereka tidak perlu bertanya-tanya apakah Tuhan dan semesta gaib ada. Mereka tidak percaya bahwa Tuhan dan semesta gaib di luar manusia ada; mereka tahu.

Untung acara berjalan dengan lancar di mana Joni tidak melanturkan terlalu ceramah-ceramah di luar konteks seperti tadi. Acara tersebut diadakan untuk meramaikan perayaan hari buku sedunia yang sekaligus untuk meningkatkan minat baca penduduk Indonesia. Wawancara selesai tanpa hambatan.

Setelah siaran berakhir, Joni bergegas keluar dari studio dan pergi menuju sebuah kampus. Joni bukan hanya menjadi penulis berkedok pengarang; ia juga merangkap menjadi dosen. Entah bagaimana laba-laba takdir menguntai jahitannya sehingga Joni, yang dulu tidak lulus SMA, menjadi bisa bersekolah sekali lagi setelah mendapat penghasilan sebagai pengarang dan menurunkan egonya. Ia bahkan kuliah di luar kota dan kuliah magister di luar negeri. Semua itu berkat “bakat” kepengarangannya yang memungkinkan ia memenangkan berbagai lomba kepengarangan yang kompleks dan tersohor.

Setelah ia selesai dengan urusan kampusnya, Joni langsung pulang ke rumahnya tanpa bertele-tele. Ia tidak menyangka bahwa sukses berarti lelah di kehidupan sehari-hari, sangat berbeda dengan waktunya sehari-hari sebagai office boy. Tapi Lelah di kehidupan sehari-hari masih lebih mending daripada menjadi budak uang; banting tulang bekerja setengah mati demi sepeser duit.

Sesampainya di rumah, Joni langsung mengunci pintu depan. Ia tinggal sendirian meskipun ia tinggal di rumah besar. Ibunya sudah meninggal dan ayahnya sedang liburan ke luar negeri, tidak perlu bekerja lagi. Ia masuk ke dalam kamar tidurnya dan menggeser lukisan berukuran sedang yang ada di dinding kamarnya seperti ia menggeser pintu. Terdapat lubang di dalamnya, cukup untuk dilewati satu orang. Di dalamnya terdapat ruangan yang secara teori, seharunya terhubung dengan ruangan liyan. Joni yang sudah bertambah pintar dan licik, membongkar pintu yang menghubungkan ruangan liyan dengan ruangan tersembunyi, dan menambal dindingnya dengan semen. Joni sudah memastikan agar lubang bekas pintu tersebut seakan tidak pernah ada dalam rumah.

Tidak ada apa-apa di dalam ruangan, kecuali semacam meja mirip altar. Di atas meja terdapat banyak manuskrip-manuskrip dengan berbagai macam bentuk. Ada yang harusnya diberikan ke penerbit besok. Ada juga yang ceritanya belum selesai. Di samping kanan kumpulan manuskrip terdapat pen tinta kuno yang sering digunakan orang sebelum nenek moyangnya. Di samping kanan pen dan tinta kuno terdapat semacam gumpalan barang-barang aneh. Terdapat gading babi liar, kalung biru bercorak bulu merak, kalung dari kepala bayi monyet, dan hal-hal aneh lainnya.

Di atas di dinding yang menghadap meja altar, terdapat lukisan yang sepertinya di gambar baru-baru ini. Tidak ada yang tahu siapa yang menggambar lukisan ini selain Joni dan satu orang lagi. Joni tahu pelukis ini dari sebuah iklan dikoran yang menyatakan:

 

Dukun Joko Lumran. Dukun pengusir setan dengan lukisan. Tidak mengandalkan Jin atau makhluk mistis lainnya. Di jamin bila merasa tertipu uang kembali. Harga mulai dari 1 juta tergantung kekuatan setan. Hubungi 08XXXXXXXX,

 

Awalnya ragu-ragu, tetapi karena hasratnya, Joni nekat menelepon. Mereka setuju ketemu di rumahnya Joni karena ia ingin pengusiran dilakukan segera. Dukun Joko dan asistennya masuk perlahan sambil memperhatikan aura sekitar dan dalam rumah. Ternyata tidak ada apa-apa. Dukun mendeduksi bahwa setan tersebut berada di dalam Joni karena sang sukun merasakan aura aneh darinya. Dukun Joko meminta Joni menjadi objek lukisannya. Joni setuju. Sebelum Dukun Joko melukis, ia sudah keringatan. Dukun hanya menatap mata Joni.

Prak!

Palet yang di pegang dukun jatuh. Tangan kanan dukun bergerak seakan punya akalnya sendiri. Dukun Joko bahkan tidak sempat memalingkan wajah dari Joni. Asisten mengambil palet dan memasangkannya di tangan kiri dukun. Joni tidak berani berbicara apa lagi bergerak. Ia tetap menatap mata sang dukun tanpa memalingkan wajah. Mata Joni seperti di lem ke mata dukun. Sementara kontak mata berlangsung, tangan kanan dukun sedang menggambar sebuah bentuk. Sementara ini terjadi, Dukun Joko membuka mulut tetapi tidak teriak. Asisten yang melihat ini segera mengelap keringat dukun yang bercucuran.

Tiga puluh menit sudah berlalu dan kontak mata masih berjalan. Tangan dukun bergerak secepat mesin tik hingga-hingga lukisan hampir selesai. Kedua pasang mata tidak lemas dari tadi. Dukun masih membuka mulut hampir berteriak, tapi pita suaranya hampir putus meski dukun tidak berteriak. Asisten terus mengisi warna di palet seiring waktu berlalu dan mengelap keringat dukun yang makin bertambah. “Bentuknya sudah ada,” kata asisten.

Lima belas menit kemudian, lukisannya sudah selesai dan Joni tiba-tiba kehilangan tenaga. Joni ambruk dan sang dukun bergetar seperti kena serangan epilepsi. Tidak lama setelah Joni berhasil mengumpulkan tenaga, sang asisten terpekik. Sang dukun mencoba untuk mencungkil matanya sendiri. Tentu saja Joni membantu menahan dukun dari dirinya sendiri. Sambil menahan sang dukun yang tidak henti-hentinya meriang, Joni dan asisten akhirnya memutuskan untuk memanggil polisi dengan alasan sakit mental. Polisi datang tidak lama dan menahan sang dukun.

“Apa selalu seperti ini?”

“Tidak, tidak pernah,” sang asisten meminta biaya tambahan dari Joni.

Joni, yang tidak suka membuat ribut dengan tidak setuju pada orang lain, memberi asisten uang tambahan sebagai ganti rugi. Lukisan itulah satu-satunya yang menetap di rumah Joni selain pengalaman buruk dengan sang dukun.

Lukisan tersebut merupakan lukisan seekor rusa, tapi bukan seekor rusa. Lukisan itu, lebih adalah peleburan segala macam hewan yang pernah diketahui dan tidak pernah diketahui Joni. Rusa itu berwajah setengah wanita setengah rusa, bertelinga kambing, bermata singa, berkaki depan kiri tangan manusia bercincin emas, berkaki depan kanan kuda dengan ladam emas, memiliki sirip hiu di punggungnya, bersisik naga di badan bagian depan, berbulu zig-zag zebra di tubuh bagian belakang, berkaki belakang elang, berpayudara kambing, berekor kuda, dan berpenis kerbau.

 Lukisan itu, tidak lain adalah makhluk yang pernah ia temui dalam mimpinya. Tetapi karena sifat wujud makhluk tersebut yang berubah-rubah, maka Dukun Joko hanya menangkap sekilas dari wujud Sang Pionir yang tidak terbatas. Rusa tersebut mengingatkan Joni pada suatu lukisan prasejarah di gua Prancis 13.000 tahun yang lalu, hanya saja lebih modern. Joni merenung, merenung, dan terus merenungkan mengenai hakikat penciptaan lukisan ini. Mengapa ia menyuruh orang membuat lukisan tersebut? Mengapa ia ingin mengenang makhluk dalam mimpinya? Apakah atas dasar terima kasih karena telah memberinya kehidupan senyaman ini? Apa atas dasar mengumpulkan semua akalnya yang telah rusak karena melihat makhluk tersebut? Membuat yang tidak masuk akal menjadi masuk akal? Apakah sebagai dasar pemberontakannya terhadap makhluk tersebut? Sebagai pertanda bahwa Joni adalah makhluk yang memiliki kepribadian dan pemikiran sehingga ia layak bebas menjalani hidupnya? Tidak ada yang tahu selain Sang Pionir, Joni, dan dinding rahasia yang sering mendengarnya bernyanyi.

Aha! Ha! Ha…

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)