Masukan nama pengguna
Lentera Jiwa
Lentera akan selalu jadi penerang di mana pun dia berada. Bahkan di ruang tergelap sekalipun setitik cahaya dari lentera mampu menyibak kegelapan yang ada.
Jiwa manusia juga begitu. Bak dua sisi yaitu terang dan gelap. Dahulu aku merasa begitu bahagia seolah dunia bukan apa-apa. Berlari dengan riang ke sana kemari tanpa khawatir dengan masa depan. Namun seiring berjalannya waktu duka itu hadir segera menampar dengan kenyataan yang mengiringi. Jiwa kegelapan itu mulai hadir. Mengikis sisi cahaya perlahan-lahan. Kenyataan semakin menampar saat kaki tak lagi mampu berpijak, semakin mengikis harapan yang terbesit. Masa kanak-kanak penuh tawa itu sirna. Memasuki masa remaja semuanya kelam, tak ada cahaya yang tampak bahkan saat mata dan raga berusaha mencari pembenaran. Pencarian jati diri yang kacau di tengah lingkungan yang tidak peduli dan acuh.
Tertatih-tatih, merangkak, jatuh dan bangun seorang diri. Sebuah senyuman tak lagi ada makna, semua terasa hampa dan kelabu bak awan mendung yang menunggu hujan turun. Masa yang terasa amat lama namun dengan luka yang semakin membekas. Tak jarang pikiran untuk mengakhiri semuanya terlintas. Kebebasan fana dari cara yang amat tabu. Cara-cara sederhana yang akan berujung pada kebebasan sempat terbesit namun semua sirna saat tangan hangat itu tetap memeluk erat. Senyum yang tak sama itu tetap hadir mengiringi hari. Maka hati berdesir untuk melanjutkan kembali. Sepi dan hening tetap mewarnai jiwa yang kosong. Insan yang datang dan pergi, hanya memandang tanpa berniat singgah. Sisi gelap semakin besar bahkan sisi cahaya itu tak lagi tampak, mengurung seutuhnya cahaya yang baru sempat bertunas.
Lunglai kaki melangkah, berhenti pada sebuah tempat yang bagi banyak orang tak menarik, tempat yang penuh dengan deretan "jendela dunia". Harum sampul dan lembar halaman yang menguar di penjuru ruangan. Tempat yang tenang untuk melepas lelah. Hati mengajak untuk singgah sejenak dan logika mengajak untuk memandang warna-warni seni. Maka tangan bergerak mencari dan menjelajah, manik mata mulai membaca rangkaian sajak yang tertulis hingga akhirnya hati berdesir dengan sebuah karya. Rasa antusias sejenak muncul, mulai membaca dan memahami. Lembar per lembar dibalik dengan cepat dan tak terasa waktu berlalu. Untuk pertama kalinya rasa bahagia itu hadir memenuhi sanubari. Antusias yang terasa aneh namun mulai familiar.
Satu kutipan yang cukup menampar adalah "jika kita ibaratkan peradaban, manusia persis seperti roda. Naik turun mengikuti siklusnya".
Saat itu aku sadar bahwa bisa jadi roda kehidupanku sedang berada di bawah. Kehilangan memang selalu menyakitkan tapi bukan menjadi penghalang untuk maju. Rasa ingin tahu terus menyeruak dan aku putuskan untuk terus singgah di tempat itu, perpustakaan sekolah yang penuh dengan novel menarik. Satu buku menyadarkanku bahwa roda itu berputar.
Maka buku lainnya menyandarkan aku dengan rasa ikhlas yang sirna dari diriku. Rasa ikhlas yang aku kubur sedalam mungkin di dalam jiwa. Novel itu cukup tebal dengan cover yang menurut kebanyakan orang tak menarik, sepasang sepatu lusuh dengan warna coklat dan dua kalimat sebagai judul. Namun jiwaku kembali tertantang ingin menyelami kisah di dalamnya. Lembar demi lembar kembali aku dalami, kurasakan setiap sajak yang hadir dan kalimat hidayah itu kembali hadir.
"Ada cara terbaik untuk menerima takdir kejam itu, dengan memeluknya.”
Maka aku mulai berpikir. Bagaimana cara memeluk sebuah takdir yang menyakitkan? Saat mata tak lagi mampu menangis dan saat suara tak lagi mampu berteriak. Kehilangan itu tetap terjadi. Bahkan aku membenci diriku yang tak bisa apa pun, kacau dalam ekspetasi yang hadir tanpa henti. Kemudian kalimat lainnya hadir.
"Ibarat bola yang dilempar tinggi, setelah sekian lama menikmati posisi di atas, tiba waktunya meluncur ke bawah. Nasib, semakin tinggi bola itu terbang, saat jatuh, akan semakin sakit rasanya.”
Itu benar, semakin tinggi bola terbang maka saat jatuh semakin kuat dan sakit rasanya. Maka logikaku mulai berpikir apakah aku juga seperti ini? Apakah kebencianku pada diriku terlalu berlebihan?
"Semoga besok beban di hati terangkat sedikit. Tidak usah banyak, sedikit saja tidak apa. Besok, besoknya lagi, biarkan waktu menyiram semua kesedihan hingga hilang tak berbekas.”
Aku terdiam saat membaca penggalan kalimat itu. Menampar dengan telak rasa di dalam jiwaku. Apakah dengan memeluk rasa sakit dan beban di hati aku akan bebas?
"Aku tidak akan menangis karena semua berakhir, aku akan tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi.”
Ah... Kisah kelamku tidak apa-apanya dibandingkan tokoh utama dalam novel ini. Wanita yang kuat yang bahkan dari kecil sudah merasakan kehilangan, sudah merasakan pengkhianatan dan bahkan sudah berkali-kali melihat kematian di depan mata. Berbanding terbalik denganku yang masih sempat merasakan masa kecil yang indah dan penuh warna. Kubalik lembar berikutnya dengan perasaan lebih tenang.
"Masa lalu, rasa sakit, masa depan, mimpi-mimpi, semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan."
Lembar terakhir buku itu kututup pelan. Sejenak rasa kagum menghampiri jiwa membuatku sadar bahwa tak ada gunanya bergelung dalam rasa sakit. Tak ada gunanya membenci diriku dan tak ada gunanya menyakiti diri dengan terus menangis. Maka hari itu aku mulai bangkit. Perlahan berjalan menyusuri jalan di depan mata, berhati-hati dengan batu kerikil yang bisa menjatuhkan.
Rasa cinta itu perlahan datang, aku mulai mengenali diriku sendiri. Mulai tau apa yang aku sukai dan apa yang tidak aku sukai. Mulai berani berkata tidak pada sesuatu yang kurang berkenan di hatiku. Sisi terang dalam jiwaku mulai bersinar dan perlahan mulai mendesak sisi kegelapan. Perasaan bahagia yang sesungguhnya mulai kurasakan. Terus menggali dengan membaca dari berbagai sumber.
Jiwaku perlahan berkembang, dan terbesit keinginan untuk mencoba berbagi. Merangkai sajak dari hasil menjelajahku selama ini. Meski masih kurang aku putuskan untuk terus mendalaminya. Maka di sinilah aku. Hadir dengan versi terbaru dan semoga menjadi lebih baik. Aku yang mencintai diriku dan menyayangi diriku yang apa adanya. Tak peduli bagaimanapun orang bersikap padaku selama aku masih berada pada prinsip yang aku buat, maka aku akan tetap berjalan dengan bangga tanpa rasa takut. Tidak peduli lagi dengan orang yang datang dan pergi karena sekarang aku sudah bisa mengandalkan diriku sendiri.
Maka rasa syukur itu hadir seluas lautan. Apa jadinya aku jika tidak pernah menyentuh buku-buku tebal dengan cover penuh warna itu? Dan apa jadinya aku jika aku tidak membaca sajak penuh makna itu?
Maka aku putuskan untuk melakukan hal yang sama. Berbagi kisah dan semangat lewat rangkaian sajak yang semoga sampai ke jiwa yang tepat dan semoga menyadarkan seseorang bahwa hidup itu adil. Hidup itu berputar dan jalanilah semuanya dengan rasa ikhlas dan penuh syukur. Aku bukan orang yang sok tau tapi inilah kisahku yang sadar dan paham bahwa membaca itu juga bisa membuka jiwa. Bahwa hidayah itu tak selalu dari manusia tapi juga bisa dari kisah nyata yang hadir di sekitar kita.
Kisah yang bisa menerangi jiwa dan membuat paham dan seperti kata pepatah "Buku itu jendela dunia”. Jendela yang menerangi jiwa kegelapan di dalam diriku dan orang-orang yang membacanya. Dan terima kasih untuk sang penulis yang telah membuatku sadar, kisah-kisah inspiratif yang disusun dengan kata penuh makna. Sajak yang membuatku paham dan sampai pada titik ini.
“Kalau bukan kita sendiri yang menyayangi diri kita siapa lagi?” atau kalimat lainnya seperti “Kenali dirimu, sayangi dirimu dan buat dirimu sendiri bahagia.”