Masukan nama pengguna
Banyak orang bilang anak sulung itu harus kuat. Perkataan yang benar adanya, karena dalam kondisi apa pun anak sulung dididik untuk menjadi contoh dan panutan.
Keberhasilan anak sulung akan menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Anak sulung juga harus tahan banting, karena hidup sejatinya sangat keras. Lantas, saat dunianya sedang kacau, ke mana anak sulung bisa mengadu?
"Apa lagi yang kamu baca, Ive?"
Aku menoleh saat mendengar suara dengan nada kesal bercampur rasa ingin tahu itu. Pemuda dengan rambut ikal itu mendekat. Lesung pipi di wajah yang putih samar-samar hadir menambah indah penampilannya.
"Tidak ada. Hanya bacaan biasa, Vrezof. Tidak biasanya kamu ada di tempat ini. Apa yang kamu lakukan?"
Rooftop adalah tempat yang selalu aku kunjungi saat membutuhkan ketenangan. Menikmati angin sepoi-sepoi yang datang aku selalu berhasil menemukan ketenangan dari masalah yang datang. Menahan, terluka, menangis dan berakhir menemukan semua solusi sendiri.
Vrezof hanya diam dan ikut duduk di sampingku seraya menatap lurus ke depan. Bangunan tempat kami berada cukup dekat dengan pantai dan saat berada di rooftop kami dengan mudah bisa melihat lautan biru yang membentang sejauh mata memandang.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Vrezof membuat aku yang tersentak kaget karena ketahuan terus memandangnya.
Menggelengkan kepala aku kembali menatap ke depan dan menikmati birunya air laut yang menenangkan. Suara debur ombak yang dibawa angin sudah cukup menjadi melodi penghiburan yang mampu menarik rasa gundah.
"Ternyata benar tempat ini bisa membuat tenang. Pantas saja kamu betah di sini."
Vrezof kembali bersuara setelah hening cukup lama. Kalimat yang sangat jarang terucap dari mulutnya itu membuatku sadar kalau pemuda ini juga sedang tidak baik-baik saja. Vrezof sangat jarang mengutarakan isi hatinya dan biasanya dia sering menghabiskan waktu seorang diri jika sudah terlampau lelah bersosialisasi.
"Untuk menemukan sebuah solusi kita perlu ketenangan, Vrezof.
Vrezof melirikku sekilas seolah ingin menjawab, tetapi memilih bungkam.
"Ceritakan saja. Aku akan mendengarnya."
Vrezof bergeming, aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya dan tak lama helaan napas keluar dari mulutnya.
"Aku lebih heran denganmu, Ive. Bagaimana kamu bisa menahan semuanya sendiri? Maksudku situasi kita sama-sama menjadi yang pertama di dalam keluarga. Panutan untuk adik dan kita membawa nama keluarga. Jadi bagaimana kamu—"
Kalimat Vrezof terhenti begitu saja. Dirinya menghela napas dan kembali bungkam. Tatapan mata yang mencari jawaban itu membuatku nostalgia.
Ternyata laki-laki juga butuh teman bercerita, batinku kembali memandang ke depan.
"Aku ... hanya tidak tahu ke mana harus bercerita."
Vrezof tampak melirikku dan pada akhirnya aku putuskan untuk mengeluarkan sedikit isi hati yang sudah lama aku kunci rapat.
"Saat kita siap menjadi sandaran dan tempat orang lain untuk pulang. Terkadang kita berharap juga mendapatkan hal yang sama dari orang lain, bukan?"
Aku tersenyum tipis dan memandang langit senja yang perlahan hadir.
"Sayangnya semua tidak sesuai harapan. Berharap kepada manusia hanya mendatangkan luka. Jadi, aku putuskan untuk menahan semuanya sendiri."
Aku menoleh ke arah Vrezof dengan senyum tipis dan bisa aku lihat gejolak yang hadir dari matanya.
Menahan semuanya sendiri memang tidak mudah. Menjahit luka sendiri tanpa bantuan siapa pun nyatanya menguras banyak tenaga.
Namun, itu lebih baik dari pada berdiam diri dan hanya pasrah. Diam bukan berarti pasrah!
"Vrezof, jika kita tidak memiliki sandaran bukan berarti kita harus mengeluh dan merutuk. Hidup memang tidak mudah, tetapi jika kamu membutuhkan teman bercerita aku siap mendengarkan. Jadi jangan ra—"
"Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ive."
Aku terdiam dan memandang Vrezof yang masih sibuk menatap langit.
"Aku datang ke sini bukan hanya untuk bercerita, tetapi juga mendengarkan."
Senyum yang terbit di wajah Vrezof membuatku terdiam. Rasanya aneh saat mendengar tawaran tersebut dari orang lain.
"Bolehkah?" Aku bertanya dengan suara pelan.
Vrezof tersenyum dan mengangguk. Tangannya bergerak cepat mengusap puncak kepalaku, rasanya begitu menenangkan.
"Kamu hebat bisa bertahan sejauh ini sendirian, Ive. Kamu kuat, tapi tidak ada salahnya untuk berbagi cerita. Kamu bisa bersandar kepadaku dan mengeluarkan keluh kesahmu."
Aku melirik Vrezof yang tersenyum lebih lebar. Tatapan matanya hangat, salah satu hal yang aku sukai dari Vrezof.
"Dengan begitu kita bisa saling memahami dan mencapai solusi terbaik."