Masukan nama pengguna
“Dari mana kamu?” tanya ibu memblokir jalanku menuju kamar.
Aku hanya diam dan menunduk, enggan untuk menatap wajah ibu yang penuh dengan urat-urat hijau kemarahan. Manik mataku menangkap butiran tanah merah yang jatuh dari tubuh ibu. Suara langkah kaki lainnya datang dari belakang ibu di ikuti dengan bau anyir darah yang menyengat. Langkahku sedikit mundur namun sosok yang baru datang itu mencengkram pundakku erat. Tubuhku kaku namun aku berusaha menengadah menatap sosok ayah yang baru datang.
Wajahnya datar dan bau anyir dari tubuhnya langsung menyambut penciumanku membuatku merasa mual. Ibu yang berdiri di samping ayah hanya tersenyum miring dan mengelus punca kepalaku pelan. “Ingat ya sayang... Kamu jangan nakal! Jangan pernah keluar rumah lagi dan jangan pernah bicara dengan siapa pun!”
Elusan ibu semakin kuat dan aku merasakan sesuatu yang tajam dari ujung jemarinya sedikit menggores kulit kepalaku. Aku hanya mengangguk dan berusaha tersenyum menanggapi peringatan dari ibu. Ayah melepaskan cengkramannya di pundakku dan segera pergi menuju kamarnya diikuti oleh ibu yang berjalan terseok-seok. Keringat dingin mengalir dari pelipis membuatku segera berlari menuju kamarku namun terhenti saat aku melihat siluet seseorang yang segera menyuruhku masuk ke dalam kamar.
“Sekarang apa lagi?” tanya siluet itu dengan suara beratnya dan duduk di kursi meja belajarku.
“Mereka bilang kita tidak boleh berbicara lagi bang,” ucapku pelan menatap abang yang duduk di depanku. Helaan nafas keluar darinya dan dengan wajah gusar dirinya menatapku tajam.
"Kamu percaya abang kan? Jangan dengarkan mereka! Cukup dengarkan abang saja!" seru abang seraya memegang kedua pundakku erat. Wajahnya yang tampak kusut dan kacau itu menatapku dengan raut khawatir. Samar-samar aku mencium sedikit bau anyir darah di sekitarnya.
Mataku melirik butiran tanah yang tampak jatuh dari celana hitam panjang yang digunakannya. Sedangkan baju kaus abu-abunya tampak kusut seolah tidak pernah di setrika. Hal-hal aneh yang semakin sering ku lihat saat abang tiba-tiba hilang dari rumah dan kemudian kembali muncul di depan kamarku atau di depan meja belajar saat aku masuk ke dalam kamar. Atau saat aku kembali menemukan tanah merah yang berserakan dari pintu masuk rumah dan bau melati yang selalu muncul selepas isya.
Saat aku bertanya kepada ayah dan ibu keduanya hanya diam dan enggan untuk menjawab. Mereka bersikap seolah aku tak ada di sana, hanya angin yang kehadirannya tak nyata. Saat aku bertanya kepada abang, justru dia menyuruhku untuk tetap diam dan menganggap hal-hal yang kulihat tak pernah ada. Bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi kalut dan selalu memastikanku untuk tidak bertanya tentang hal itu lagi.
"Mia... Mia..." Panggilan lirih yang kudengar menjelang tengah malam kembali membuatku terbangun dari tidur lelapku. Melirik ke arah pintu yang gagang pintunya tampak bergerak pelan aku tetap diam dan enggan turun dari tempat tidur.
Suasana yang sunyi dan bunyi gemerisik pepohonan di sekitar rumah membuat bulu kudukku merinding, terlebih suara itu terus memanggil namaku. Intonasi suara yang terdengar asing namun di saat yang bersamaan juga sedikit familiar membuatku bingung dengan perasaan yang hadir. Kemudian suara itu hilang dan berganti menjadi bau melati yang mulai menyengat seolah ada yang menyemprotkan pengharum melati di sekitar ruangan. Aku menutup hidung rapat dan menahan nafas saking kuatnya bau yang kurasakan.
Telingaku samar-samar kembali menangkap suara dari arah luar kamar, kali ini suara langkah kaki yang terdengar amat berat. Seperti dari tubuhnya ada sesuatu yang terus berjatuhan seiring kakinya melangkah. Lambat laun suara itu terasa semakin dekat seolah menuju ke arah kamarku, bahkan kali ini aku juga mendengar suara geraman tak jelas yang membuatku semakin panik dan ingin keluar dari kamar. Suara ketukan pintu mulai terdengar dan bau anyir darah memasuki penciumanku.
"Mia... Mia... kamu sudah bangun kan?" Suara dari balik pintu bertanya membuatku tersentak dan menatap pintu kalut. Gagang pintu mulai bergerak cepat seolah-olah sosok di balik pintu ingin masuk dengan cara paksa.
Aku tetap diam dan menutup mata, mulai menimbun diri dalam selimut. Menutup telinga dan terus berdoa berharap ini semua cuman mimpi. Suara itu terus memanggil namaku dengan nada yang semakin lama semakin menakutkan. Bahkan aku mendengar goresan tajam pada pintuku, bunyi kayu yang beradu dengan benda tajam dan bahkan kilatan benda itu tampak silau saat menembus pintu kayu kamarku. Saat rasa takut semakin menguasai jiwaku suara di luar kamar mendadak hilang. Mataku beralih menatap keheningan yang janggal, suasana di sekitar yang terasa aneh bahkan gemerisik pepohonan di sekitar rumah sirna. Kakiku melangkah turun dari tempat tidur hendak mengecek keadaan di luar ruangan. Gagang pintu yang hening hendak kubuka pelan namun terhenti saat sebuah tangan mencengkeram kuat bahuku.
"Jangan dibuka!" ucap suara berat itu pelan dan tegas.
Tanpa menoleh aku tahu siapa pemilik suara itu. Bau mint menguar dari tubuhnya membuatku sedikit tenang dan menarik tanganku dari gagang pintu. Aku segera berbalik dan menatap sosok yang berdiri dua langkah di belakangku. Raut wajahnya datar namun satu hal yang tetap sama, bajunya yang kusut dan celana yang penuh debu.
"Abang... Muncul dari mana?" tanyaku pelan saat menatap jendela kamarku yang tertutup rapat.
Abang yang berdiri di depanku hanya menggeleng. Senyum tipis terukir di wajah tampannya membuatku seketika buncah dengan rasa rindu dan segera memeluk tubuh tegapnya erat. Abang hanya mengelus puncak kepalaku pelan dan terus bergumam kata yang sama, "Jangan pernah percaya dengan mereka! Cukup dengarkan abang saja ya dek."
Dan setelah itu dunia seolah gelap. Hal terakhir yang kuingat adalah elusan lembut abang dan aku kembali terbangun di atas tempat tidur dengan tubuh penuh keringat dan nafas yang cukup berat. Memoriku kembali mengingat teror semalam dan aku segera menuju pintu kamar membukanya dengan cepat dan aku menemukannya. Bekas goresan dan tusukan benda tajam pada pintuku.
"Itu bukan mimpi," lirihku pelan dan segera melirik ruang tamu yang tampak sepi.
Rasa takut segera memenuhi ragaku, kembali masuk ke dalam kamar aku segera menutup pintu kamar sebelum sebuah tangan yang amat pucat muncul dari celah pintu dan mencegah pintu tertutup. Cairan hitam kemerahan menetes dari sela-sela kulitnya yang tiba-tiba robek dengan bau anyir yang membuat mual. Menahan rasa mual dan panik di saat bersamaan aku berusaha menutup pintu, namun tangan itu semakin banyak dan bahkan semakin panjang dengan kuku hitam yang amat tajam. Nafasku segera memburu dengan adrenali yang memuncak hebat. Tak peduli dengan apa yang ada di balik pintu aku hanya harus menutup pintu kamarku rapat. Tidak peduli siapa pun pemilik tangan pucat dan tajam ini. Suara geraman kembali hadir dan itu persis seperti yang aku dengar tadi malam.
"Mia? Sudah bangun kan?"
Karena kaget dengan suara yang muncul tiba-tiba pintu yang hampir tertutup rapat kembali terbuka dan aku merasakan tubuhku terlempar dan menghantam dinding penuh pulau air di samping tempat tidur. Mengerang menahan rasa sakit manik mataku kembali fokus pada sosok di depan pintu. Sorot mata yang tajam, kulit yang tampak pucat, rambut hitam keriting yang panjangnya hampir menyentuh lantai dan tangan yang menggenggam benda yang kuyakini itu adala celurit yang sangat tajam.
"Kenapa bangunnya lama? Kenapa diam? Kenapa tidak menjawab? Ayo jawab!" teriaknya histeris membuatku kembali sadar dengan rasa takut dan kalut.
Mulutku terkunci meski rasanya suara yang aku keluarkan sudah besar namun tak satu pun sampai pada telingaku. Tubuhku gemetar dan air mata yang hendak aku tahan mulai berjatuhan. Kakiku terasa lemas saat perlahan suara langkah kaki sosok di depan pintu mendekatiku. Hingga sosok itu benar-benar menutupi pintu yang berada jauh di belakangnya membuatku menunduk dan enggan menatap matanya. Bau anyir benar-benar menutupi indra penciumanku dan yang bisa kulakukan hanyalah menutup mata rapat saat ujung mataku melihat celurit itu siap mengarah menuju leherku.
"Tunggu!" Suara lantang dari arah pintu membuatku membuka mata dan menatap sosok yang selalu melindungiku.
"Abang!"
"Biarkan dia pergi! Tempatnya bukan di sini!"
"Tidak! Dia harus di sini! Bersama kami sebagai anak kami!"
Aku yang terdiam merasakan seseorang menarik tanganku yang tak lain adalah abang. Pemandangan di depanku langsung berganti menjadi hutan belantara padahal sebelumnya aku yakin di depan rumah ini adalah jalan.
"Ayo cepat dek! Sedikit lagi kamu bisa pulang!" seru abang menarik tanganku sembari berlari cepat.
Suara teriakan terdengar beberapa meter di belakang kami. Namun aku enggan untuk menoleh menatap objek yang berteriak kencang karena aku yakin aku akan kehilangan kesadaran saat menatap rupanya. Kakiku mulai lelah berlari namun abang terus membawaku berlari sampai di ujung jalan aku melihat cahaya putih.
"Ayo dek! Sedikit lagi!" seru abang dan menarikku lebih cepat. Langkahku tertahan saat aku merasakan sesuatu melingkari perutku dengan erat membuat nafasku tertahan dan tubuhku limbung ke kiri.
Suara jatuh yang keras membuat abang menatapku kalut dan pandangannya beralih pada sosok yang berlari lima belas meter dari kami. Nafasku semakin tertahan dan tubuhku seolah ditarik mundur menuju sosok besar yang berlari mendekati kami.
"Sialan! Tahan dek!" seru abang yang terdengar samar oleh telingaku. Tanganku mencengkeram erat pohon tumbang di sampingku mencegah tubuhku di tarik lebih jauh menuju sosok besar yang kini mengeluarkan golok panjang.
Auman keras menyambut pendengaranku, melemaskan sedikit cengkeramanku pada batang pohon. Abang meraih tanganku dan berusaha memutus kumpulan rambut yang melingkari perutku. Lelehan air mata mengalir membasahi tanah di bawahku, kepanikan menguasai saat langkah kaki dan gema auman di belakangku semakin kuat dan dekat.
"Pikirkan kata pulang Mia! Pikirkan rumahmu! Ayo cepat!" desak abang mulai panik.
Seketika aku ingat. Memori itu kembali mengingatkanku tentang rumahku yang sebenarnya. Tempat yang sepi, tanpa kehadiran siapa pun kecuali diriku sendiri. Mereka sudah pergi meninggalkanku seorang diri melawan kejamnya dunia. Tangisku pecah, aku tidak ingin merasakan kesepian itu lagi namun aku juga tidak ingin berakhir dengan makhluk di belakangku. Abang mulai tersenyum dan mengusap air mataku seraya berkata menenangkan, "Hadapi semuanya adik! Kami... Akan selalu bersamamu."
Manik mataku melebar menatap wajah tersenyum abang seraya bergumam kata maaf. Golok panjang itu mengarah tepat menuju leherku dan kemudian semua gelap. Samar-samar telingaku menangkap suara merdu, suara penenang dan suara yang memanggil namaku. Perlahan manik mataku terbuka dan menatap beberapa wajah khawatir yang memandangku tersenyum dengan lelehan air mata.
"Selamat datang kembali ...."