Masukan nama pengguna
Bukankah Dewi Kilisuci itu hanya legenda, Nek? Tapi, mengapa kau membencinya begitu rupa?
***
APAKAH manusia harus menjadi tua?
Namun, nenekku tidak hanya tua. Dia juga tuli dan pikun. Tubuhnya ringkih, kulitnya keras dan berkerut-kerut seperti kulit batang akasia yang kering terbakar panas. Tulang-tulangnya telah kehilangan kalsium hingga duduk pun tidak lagi tegak.
Nek, kenapa manusia harus menjadi tua? Tidakkah kau rindu pada masa mudamu dulu? Saat parasmu masih yang tercantik di desa ini. Nek, bahkan rambutmu pun kini memutih. Waktukah yang telah mengubahnya atau kerinduanmu pada Kawah Keludkah yang telah membakarnya?
Barangkali neneklah yang membuat Ibu selalu ikut dalam acara Selamatan Larung Sesaji ini, sebab Ibu adalah anak yang berbakti kepada orangtua dan tradisi. Dia menganggap bahwa apa pun yang diwariskan oleh nenek moyang adalah sebuah penanda bagi jati diri kita. Sebuah identitas. Maka, walaupun kami tinggal di Jakarta, tetapi tradisi jawa melingkupi seluruh aktivitas kami dalam keluarga. Dan setiap tanggal 23 di bulan Sura (aku tidak pernah hafal kapan itu tepatnya) Ibu akan mengajakku ke sini untuk mengikuti Selamatan Larung Sesaji. Seperti sekarang. Maka aku, Ibu, Nenek, serta Lik Nem (adik bungsu Ibu yang tinggal bersama Nenek) harus menuntun Nenek yang sudah semakin tua dengan hati-hati hingga sampai di tepi Kawah Kelud yang pendiam itu.
Lokasi Larung Sesaji ini tidak terlalu jauh, hanya 500 meter dari rumah Nenek. Namun, karena medannya yang naik turun, membuat kakiku yang kurus harus berkerja ekstra keras, tetapi aku akan selalu merasa nyaman ketika melewati ratusan hektar kebun tebu dan kopi di kanan kiri jalan. Hawa yang sejuk di pagi hari, dan kicauan burung yang terbang ke sana kemari. Sungguh Desa Sugih Waras, tempat Ibu dan nenekku ini dilahirkan, adalah desa yang sempurna untuk menghilangkan keresahan yang kita bawa dari kota.
Belasan tahun yang lalu, pada saat pohon akasia yang tumbuh di depan halaman rumah Nenek masih begitu pendek, dan Nenek masih dapat berkata-kata, walaupun terpatah-patah (aku yakin dia sudah tua dari sejak dulu), aku pernah bertanya kepadanya,
“Kenapa kita harus mengikuti Upacara Selamatan Larung Sesaji, Nek?”
“Sebab kita orang Kediri.”
“Tapi, ayahku orang Riau dan aku lahir di Jakarta.”
“Tapi, ibumu orang Kediri dan dalam tubuhmu mengalir darah Kediri.” Nenek terdiam sesaat, dia memandang ke arahku, tetapi aku yakin dia tidak begitu jelas melihatku. Rupanya dia telah rabun dari sejak dulu. “Wajahmu pun mirip ibumu, cantik seperti aku.”
“Tapi, aku tidak mau mengikuti upacara Larung Sesaji, Nek.”
Kemudian, Nenek hanya terdiam. Wajahnya menengadah memandang langit malam itu. Namun, aku tahu dia tidak sedang menatap bintang yang berpendaran. Dia hanya menatap gelap. Sebab dia selalu rindu pada sunyi. “Besok kita akan pergi ke Kawah Kelud,” katanya kepadaku.
Maka keesokan harinya aku mendengar cerita dari Ibu, kisah tentang penghianatan cinta seorang puteri Jenggolo Manik yang cantik jelita. Namanya Dewi Kilisuci. Karena kecantikannya, banyak pria yang jatuh cinta kepadanya termasuk dua orang raja sakti, Mahesa Sura dan Lembu Sura. Dewi Kilisuci tidak dapat menerima lamaran dari kedua laki-laki itu (mungkin wajah mereka tak setampan para raja di kalangan manusia). Oleh karenanya, walaupun kedua raja tersebut dapat dengan mudah memenangkan sayembara yang dibuat Dewi Kilisuci, tetapi tetap saja perempuan cantik itu tak menepati janjinya untuk dipinang. Malah pada akhirnya, Dewi Kilisuci menyuruh para prajuritnya untuk membunuh kedua raja sakti tersebut dengan menjebak mereka dan mengubur mereka dalam dua buah sumur yang berbeda di atas puncak Kelud.
Rupanya perempuan itulah yang menyebabkan masyarakat lereng Kelud yang hidup setelahnya harus mengadakan upacara semacam ini, sebab sebelum mati Lembu Sura telah bersumpah dengan mengatakan,
“Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.” Ibu pernah mengartikannya seperti ini, “Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi danau.”
Namun, kata Ibu Upacara Larung Sesaji bukan sekadar tolak bala terhadap sumpah tersebut, tetapi lebih untuk mensyukuri segala rahmat yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Akan tetapi, tetap saja aku tidak yakin, sebab Nenek sangat membenci Dewi Kilisuci. Dia bukan contoh perempuan Jawa yang patut ditiru katanya dan karena alasan itu pula sepertinya dia memberi nama aku Satyawati. Agar aku menjadi perempuan yang setia. Seperti Dewi Satyawati yang rela mati untuk mengantar suaminya ke Nirwana. Namun, aku lebih suka Dewi Kilisuci yang mau memilih jalan hidupnya sendiri. Haruskah perempuan senantiasa mengikuti ke mana laki-laki yang dicintainya pergi?
“Oleh karena itu, nenekmu menjadi perempuan yang setia pada suaminya. Kakekmu,” kata Ibu di suatu senja. “Dia adalah perempuan yang sangat cantik. Banyak laki-laki yang ingin menjadikannya isteri. Dan, para perempuan menyebut dia sebagai titisan Kilisuci. Perempuan cantik tak pernah memiliki kesetiaan. Maka perempuan-perempuan itu tak pernah menyapa Nenek. Kemudian, Nenek menjadi orang yang sangat pendiam. Dia hanya suka pada kesunyian.”
“Karena itukah Nenek membenci Dewi Kilisuci, Bu?”
“Bukan. Bukan karena itu dia membencinya. Bukan pula karena Dewi Kilisuci yang telah menyebabkan orang-orang harus melakukan ritual Larung Sesaji yang melelahkan setiap tahun. Tapi, karena perempuan itulah yang telah merenggut kedua laki-laki yang paling disayangnya. Kakekmu meninggal pada saat Gunung Kelud meletus pada tahun 1966 dan Mas Renggo, Pademu meninggal pada saat Gunung Kelud meletus pada tahun 1990. Nenekmu menganggap bahwa meletusnya Gunung Kelud adalah bagian dari sumpah Lembu Sura.”
“Karena itu pulakah Nenek selalu menangis di tepi Kawah Kelud, Bu?”
“Entahlah.”
“Tapi, kenapa Ibu juga ikut menangis?”
“Kau tidak akan pernah tahu bagaimana dahsyatnya letusan Gunung Kelud itu, Nak.”
“Aku tidak mau membayangkannya, Bu. Aku takut sekali.”
“Oleh karena itulah, kau ibu lahirkan di Jakarta.”
Bagi Nenek, Larung Sesaji adalah sejarah yang begitu panjang. Di sana bukan cuma menyimpan upacara, tetapi kenangan yang tidak pernah hilang.
Nek, janganlah membenci Dewi Kilisuci, sebab dia lahir dan besar di tempat ini. Tempat yang sangat kau cintai dan dia perempuan sepertimu yang romantis dan tradisionis.
Para iring-iringan telah keluar dari terowongan. Aku dan Lik Nem masih menuntun Nenek yang berjalan tertatih-tatih. Nanti setelah aku dan Nenek keluar dari terowongan ini aku akan melihat pemandangan indah Kawah Kelud yang berwarna kehijau-hijauan itu. Air kawah seluas 12 hektar posisinya diapit tiga gunung yang tak kalah perkasanya dengan Merapi yaitu Gajah Mungkur, Kelud, dan Sumbing.
Ibu membawa Nenek lebih mendekat ke kawah.
Nek, bukankah kau selalu merindui Kawah Kelud ini? Lihatlah kita telah berada di sini sekarang. Akankah kau temui Mahesa Sura dan Lembu Sura yang terkubur itu di sini?
“Aku rasa perempuan mana pun tidak akan pernah mau jatuh cinta kepada kerbau dan lembu, Nek?” kataku sambil menyenderkan diri pada pokok akasia. Pohon itu masih pendek. Dan, Nenek masih lebih tinggi dariku.
“Tapi, masalahnya bukan pada jatuh cinta atau tidaknya, Nduk.”
“Jadi, apa, Nek?” Aku memanjat akasia dan duduk di salah satu cabangnya yang terdekat.
“Kilisuci tak pernah menepati janjinya pada Mahesa Sura dan Lembu Sura. Itu sudah sebuah kesalahan yang besar.” Kemudian, tiba-tiba Nenek menjadi diam. Dan, ketika berbicara Nenek sudah membicarakan hal lain dan aku tak bertanya lagi tentang Dewi Kilisuci. “Pohon akasia ini kakekmu yang menanam. Ia adalah tanda rumah kita. Seperti Larung Sesaji yang menjadi tanda bagi rakyat Kediri.”
Kita tidak pernah tahu, apa yang benar-benar kita miliki selain kenangan. Seperti Nenek yang kesepian karena kehilangan keluarganya. Kini yang tersisa di sisinya hanyalah Lik Nem yang setia menjaganya. Seperti Nenek setia pada tradisi yang telah membesarkannya.
“Apakah tidak ada pakaian yang lebih cocok untuk kamu?”
“Nek, di Jakarta semua anak perempuan memakai baju seperti ini.”
“Tapi, kau jadi mirip orang asing.”
“Aku lebih suka seperti ini, Nek.”
“Apa bagusnya menjadi orang lain? Apa kau tidak suka menjadi orang Jawa?”
Nek, lihatlah sekarang aku telah memakai kebaya dan kain batik. Di tepi Kawah Kelud ini, aku telah menjelma menjadi Kilisuci yang kau benci itu, yang menyebabkan kau kehilangan kedua laki-laki yang paling kau sayangi dan membuat orang-orang melakukan Larung Sesaji setiap tahun untuk menolak bala sumpah Lembu Sura yang telah kutolak cintanya.
Upacara inti Larung Sesaji tengah berlangsung ketika hujan tiba-tiba turun ke kawah ini. Aku terkejut, aku takut hujan akan semakin melebat, maka aku cepat-cepat berlari mendekati Ibu dan Lik Nem. Namun, di sini orang-orang tidak menatap hujan. Padahal pohon-pohon kuyup di tepi jalan. Dan, kulihat mata Ibu dan Lik Nem menjadi basah. Namun, aku tahu itu bukan karena air hujan. Kemudian, kutanya di mana Nenek? Mereka hanya terdiam.[]