Cerpen
Disukai
5
Dilihat
3,454
GERIMIS DI TEPI SENJA
Drama

Kabut

Rinai

Sunyi

Redam

Hilang

 

RAGIB itu menyebar. Aku dapat merasakannya membanjiri dinding, ke setiap sudut. Menyeberangi lemari-lemari kayu, dan ke arah lain. Meruncing menjadi pasang yang akan menjalari seluruh kamar. Senyap. Pekat. Tertutup benak yang melulu putih. Aku mencoba tersenyum. Namun, tidak ada kerling yang membalas sapaanku padanya. Pendar kejujuran dari cermin yang terpacak di dinding itu betul-betul menyadarkanku. Ini bukan ilusi. Ini kenyataan yang hidup.

Setelah merapikan diri, lantas kuturun ke lantai bawah rumahku. Berjalan ke dapur mengikuti aroma harum yang berasal dari sana. Istriku, Silvy, sedang menyiapkan sarapan; Ah, perempuan impian itu kini ada di depan mata. Mendekapnya bukan lagi khayal. Mengecupnya bukan lagi dosa melainkan ibadah.

Kutergores, menatap bidadari itu. Aku bisa memandangnya dengan sejuta perasaan cinta yang terus melekat dalam jiwa. Demi Allah! Aku ingin mencintai Silvy seumur hidupku. Kendati pun pernikahan kami baru berumur satu tahun, belum dikaruniai anak pula. Dan tentunya aku harus rela menerima keadaan ini. Terlebih lagi sekarang.

Dalam kebisuan. Aku mengagumi Silvy dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebagaimana yang biasa kulakukan setiap pagi, sebelum berangkat kerja; Sungguh! Pagi ini aku jatuh cinta lagi padanya. Begitulah kubilang setiap hari. Perempuan bermata pelangi itu selalu membuatku jatuh cinta setiap hari. Bagiku dia bukan hanya perempuan, tetapi juga bidadari. Dan karena bidadari maka kekurangannya pun adalah kelebihannya. Nanti lihatlah! Wajahnya yang langsat itu menyimpan bias purnama yang rekah.

Sekarang memang aku belum bisa menatap raut rembulannya itu, karena dia sedang membelakangiku, menghadap meja dapur, memotong-motong sesuatu dengan pisau. Namun, aku bisa mengamati punggungnya yang tegak dan berstruktur nyaris sempurna. Aku selalu terkesan bahkan sedari pertama kali mengenalnya. Saat Silvy masih bekerja di perpustakaan umum, mengatur penyimpanan buku setiap minggu sambil memeriksa sirkulasi peminjaman tanpa bantuan komputer.

Ah, ya, aku selalu ingat bagaimana dulu kami bertemu. Aku harus menemani seorang teman mengembalikan beberapa buku ke perpustakaan itu. Sebelumnya aku jarang sekali ke perpustakaan, bahkan bisa dibilang tidak pernah. Aku terlalu sibuk di kantor. Hanya dalam waktu singkat, ketika sedang menunggu temanku itu aku melihat seorang pustakawan yang sedang berjalan menyusuri rak buku di ujung salah satu ruangan sambil mendorong troli kecil berisi tumpukan buku.

Kuperhatikan begitu lama, terpesona dengan keanggunan yang dimilikinya. Aku menemukan kekhasan pada diri perempuan itu. Silvy berjalan dengan punggung yang tegak sempurna, mirip seorang pragawati di atas catwalk. Rambutnya panjang diwarnai pirang. Aku terus mengawasinya. Seperti seorang pemburu di hutan yang mendadak menemukan seekor kijang yang teramat cantik.

Kunjunganku ke perpustakaan umum menjadi sering, kalau tidak boleh disebut setiap hari, kecuali pada hari-hari libur. Bukan buku yang ingin aku pinjam, melainkan Silvy yang hendak kutemui. Aku selalu punya waktu di antara jadwal ketatku di kantor untuk mengendarai mobil sejauh tiga mil, menemui Silvy, walaupun terkadang yang aku dapatkan hanyalah penolakan. Dia selalu menolak untuk kuajak makan siang, minum kopi, bahkan kencan. Namun, entah kenapa, justru cinta datang bersama itu. Ya, dia berjalan bersama penolakan.

Bulan Desember tahun lalu itu baru dia mau menikah denganku. Kami bahagia, dan aku jalani kehidupan baruku dengan penuh sukacita.

“Selamat pagi!” kataku.

Silvy berpaling dari pekerjaannya, menoleh kearahku, tersenyum. Ah, lihatlah senyumannya! Sungguh lebih indah dari sinar mentari yang berhasil menembus kaca jendela. Hilang semua duka dalam gelombang manis bibirnya.

Senyum itu juga yang membawa gairah nyata tentang kehidupan ini. Senyuman seorang perempuan yang aku boleh memeluknya dan menciumnya dengan berjuta perasaan sayang.

“Selamat pagi, Cinta. Kau tampak gagah dengan setelan kerjamu.”

Aku tersenyum. Dia tersenyum. Kukecup keningnya. Lama. “Kelihatannya lezat.” Sarapanku sudah siap; omelet dan roti bakar plus segelas jeruk. “Kalau itu untuk kapan?”

“Nanti malam. Kau ingat Bibi Mila akan datang bersama Rian dan Juni?”

“Oh, ya, ya! Aku hampir lupa. Aku akan pulang sebelum pukul enam.”

“Jangan terlalu awal. Mereka baru tiba sekitar jam delapan. Perjalanan dari Surabaya memakan waktu yang lama. Apa lagi kalau ditambah telat.”

“Aku tahu,” kataku, “tapi apa salahnya jika aku ingin menemui istrriku lebih awal sebelum nanti mereka membuatku bosan, terutama si Rian.” Kukecup pipi Silvy, lalu duduk di meja makan, meneguk jeruk dan mengambil surat kabar di atas meja. Kubaca sebuah berita tentang sekelompok turis di Air Terjun Niagara. Langsung kuteringat liburan Juli lalu bersama Silvy ke tempat itu. Sungguh menyenangkan, seakan itu adalah bulan madu kedua kami setelah Paris.

Di Paris kami tinggal selama hampir tiga minggu lamanya. Aku selalu mengajak Silvy ke tempat-tempat yang menurutku paling bersejarah sekaligus paling romantis. Kami pernah berdiri berlama-lama di Arc de Triomphe, mengunjungi Louvre, naik ke puncak Menara Eiffel, belanja di Open-Air Market, dan pergi ke Palais de Chaillot. Silvy membeli banyak barang antik dan keramik yang sekarang sebagian besar bertumpuk di ruang bawah tanah, tak pernah terawat. Hanya sekali atau dua kali kami mengangkat beberapa yang masih bagus ke atas, saat ada kunjungan dari keluarga jauh, sekadar pamer.

Setiap Sabtu malam aku membawa Silvy ke teater-teater yang berbeda untuk menonton film-film yang sama, yang semuanya dibintangi Clint; Dirty Harry, The Enforcer, Sudden Impact, Pink Candillac, dan Heartbreak Ridge. Di tempat-tempat itu kami bisa memesan film yang ingin diputar dengan harga karcis yang lumayan murah. Orang-orang teater menyebutnya harga “pasangan bulan madu” dan kami bisa menonton berdua saja, tanpa ada penonton lain. Kami sungguh bahagia.

“Bagaimana bila Juni dan Rian berhasil membujuk Bibi Mila untuk menginap lebih lama?” tanya Silvy. Ia sudah duduk di seberang meja makan. “Kau tahu, Bibi Mila sudah berumur lima puluh, dan perjalanan jauh akan membuatnya amat kelelahan.”

“Mengapa mereka tidak pernah mau memakai pesawat terbang? Padahal aku bisa membelikan tiketnya.”

“Bibi Mila tak suka ketinggian. Lagi pula ia sering termakan cerita tentang bencana pesawat jatuh ke hutan atau ke laut.”

“Ya, terkadang ia memang paranoid.”

“Tapi, ia sudah banyak membantu, bukan? Itukah sebabnya kau menghubunginya dua malam lalu supaya mau datang kemari?”

Aku merenung. Wajahku mungkin tampak gelap, meredam duka yang sepertinya terus mengiris ari-ariku. “Ya, ia adalah yang terbaik, seperti ibuku sendiri. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan padanya.”

Perlahan Silvy meremas tanganku. Ia menatap dengan penuh iba, aku bisa merasakannya, begitu kental, seakan jiwaku tengah ditusuk ribuan duri tajam. Aku tarik tangan lembut itu dan kuciumi beberapa kali. “Bagaimana orang bisa berkata tabah bila untuk memikirkannya saja terasa sungguh sulit?”

“Karena tak ada yang mudah dalam hidup ini. Kau tahu itu, Cinta. Kau pernah mengalami perjuangan yang sama, atau setidaknya kau pernah merasakannya. Ini tak lebih dari bagian yang harus kau jalani. Sebuah jalan lain untukmu.”

“Dan juga untukmu ….”

Kecupan bibir Silvy terasa dingin, sungguh aku benar-benar bisa merasakannya. Serupa salju yang menetes saat kita menengadahkan wajah ke arah langit. “Ya, hanya saja aku berada di sisi yang lain.”

Ah, aku hanya seorang pengusaha muda yang beruntung. Pendapatanku lebih dari cukup, dan aku selalu mensyukuri itu semua. Kehidupan yang layak, istri yang cantik, dan kehangatan yang megah, sampai datang hari itu.

Aku kerap memandang dunia sebagai peran yang perlu dijalani. Terdapat ribuan bagian dengan ribuan macam variasi yang akan dimainkan, entah mulai dari mana atau akan berakhir ke mana. Aku selalu punya solusinya, jalan keluar sekecil apa pun. Informasi yang kuterima berasal dari banyak sumber, dari teman-teman sekantor, dari orang-orang yang kutemui. Aku mendengarkan mereka semua, sering tanpa disadari, tetapi pada akhirnya selalu menjadi bagian dari solusi tersebut. Dan di antara semua itu, saran dan informasi yang paling kudengar adalah yang berasal dari ucapan Bibi Mila. Namun, entah kenapa, kini aku pesimis tidak akan pernah ada solusi untuk hal ini. Tidak pernah ada. Kedukaan ini tidak akan pernah sirna.

Saat kuliah dulu, ketika liburan panjang datang, aku suka sekali mengunjungi Bibi Mila di Surabaya. Aku selalu mengungkapkan keluhan maupun perasaanku, mulai dari masalah cinta, akademis, sampai persoalan pertengkaran dengan ayah; selalu memaksakan satu prinsip yang jelas tidak pernah bisa aku terima. Setelah mulai bekerja dan menikah dengan Silvy, giliran Bibi Mila yang secara teratur mengunjungi aku, dengan atau tanpa permintaan dariku.

Dua malam lalu, aku meneleponnya dalam suara yang mengandung kepiluan mendalam, memohon supaya dia bersedia datang.

Setelah sarapan aku bersiap untuk berangkat. Dan seperti biasa, aku akan membiarkan istriku membetulkan dasi di leherku, merapikan dan menepuk-nepuk kemejaku serta mengecup pipiku penuh mesra. Kali ini, di luar kebiasaan, dengan memeluk di ambang pintu, agak lama, lalu menciumku sekali lagi, sebelum akhirnya sapaan lembut Bibi Mila mengembalikan aku ke dunia duka. Perih dan tangis.

“Sudah saatnya kita pulang.”

Pelangi pasti akan muncul di tepi senja ini, bersama gerimis atau setelah gerimis ini. Di atas ratusan batu nisan yang berjejer rapi. Di antara guguran kelopak kamboja. Aku telah berdiri lama di depan kuburan istriku, bagai patung kuningan, merasakan butiran-butiran air yang mulai bergulir ke pipi.

“Sayang, aku akan terus mencintaimu dalam tiada.”[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)