Masukan nama pengguna
Arman duduk di tepi jendela apartemennya, menatap langit malam yang gelap, dihiasi oleh sinar redup lampu-lampu kota. Di bawah kegelapan itu, dua sosok yang tak kasat mata terus berperang. Pikirannya seperti malam dan siang, terbelah antara rasa percaya diri yang berlebihan dan keputusasaan yang melumpuhkan. Suaranya gemetar setiap kali dia berbicara dengan diri sendiri—yang satu berbisik, dan yang lainnya berteriak.
Arman membuka matanya perlahan, seolah enggan meninggalkan kegelapan yang sangat akrab. Dinding kamarnya yang putih kini terasa seperti penjara; sunyi, tetapi memantulkan bisikan-bisikan halus tanpa henti di telinganya. Dia tahu bisikan itu tak nyata, tetapi tak ada cara untuk membungkamnya.
Sudah seminggu Arman tidak keluar dari apartemennya. Dunia luar terasa seperti bahaya yang tak terlihat, sebuah jebakan yang menunggu untuk menyeretnya lebih jauh ke dalam kehampaan. Ia mengamati bayangannya di cermin, mencoba mencari kepastian dalam sorot matanya yang lelah. Namun, yang dilihatnya bukan dirinya—itu orang lain. Sosok yang tersenyum aneh, sedikit menyeringai, seolah mengetahui rahasia yang belum terungkap.
Hari itu, Arman tidak bisa membedakan apakah dia dalam fase manik atau depresi. Dia baru saja menerima kabar bahwa klien penting perusahaannya batal menandatangani kontrak besar. Hal itu seharusnya membuatnya marah, tetapi dia hanya merasa hampa. Matanya kembali terpaku pada bayangan di cermin, melihat pantulan yang seakan hidup, lebih hidup daripada dirinya.
“Kenapa kamu biarkan semuanya lepas begitu saja?” tanya suara dalam pikirannya, penuh cemoohan.
Arman bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang sempit. “Bukan salahku,” jawabnya, mencoba menyangkal. “Semuanya di luar kendali.”
Bayangan dalam cermin tertawa. “Di luar kendali? Atau mungkin kamu yang sengaja menghancurkan semuanya? Seperti biasa ….”
***
Dua hari sebelumnya, Arman berada dalam fase manik. Dia merasa tak terkalahkan, bagai dewa yang bisa mengendalikan segala sesuatu di sekitarnya. Setiap keputusan tampak benar, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sempurna. Pada pertemuan bisnis, dia bahkan membuat janji-janji yang tidak mungkin ditepati. Rekan-rekannya memperingatkan, tetapi Arman hanya tersenyum penuh percaya diri.
“Mereka tidak tahu apa yang bisa aku lakukan,” pikirnya saat itu, meskipun dalam benaknya, suara lain mulai menciptakan keraguan yang samar. Namun, dia menepisnya dengan kegigihan yang semakin membakar.
Saat malam tiba, dia tidak bisa tidur. Dia terjaga sepanjang malam, menggulirkan ide-ide besar yang terus bermunculan di kepalanya. Tangannya bergerak cepat di atas laptop, menuliskan rencana bisnis yang ambisius, tetapi kacau. Namun, dalam pikirannya yang penuh euforia, semuanya tampak mungkin.
***
Sekarang, setelah kegagalan besar itu terjadi, Arman terpuruk. Depresi menyusul fase maniknya dengan brutal, seperti badai yang datang setelah cuaca yang terlalu cerah. Dia merasakan kesepian yang menyesakkan, dan suara-suara dalam pikirannya berubah lebih kejam.
“Semua ini salahmu. Kamu tidak akan pernah bisa sukses. Kamu hanya penipu.”
Arman menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran itu, tetapi semakin dia melawan, semakin kuat cengkeraman depresi itu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tetapi tidak ada yang terasa cukup. Perasaan hampa, rasa bersalah, dan keputusasaan melingkupinya seperti kabut.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dina, rekan kerja sekaligus sahabatnya. “Arman, apa kamu baik-baik saja? Sudah tiga hari tidak masuk kantor.”
Arman menatap pesan itu tanpa menanggapi. Dina selalu perhatian, tapi Arman merasa tak layak mendapatkan itu. “Aku hanya membawa masalah pada semua orang,” pikirnya. Ia menghapus pesan itu dan melempar ponselnya ke sofa. Denting pesan selanjutnya tidak lagi diindahkannya.
***
Beberapa jam berlalu, dan rasa hampa berubah menjadi sesuatu yang lebih menakutkan. Arman merasakan gelombang kemarahan yang tiba-tiba, seakan-akan ada kekuatan asing yang menguasai tubuhnya. Kepalanya mulai terasa berputar, seolah dunia di sekitarnya kehilangan keseimbangan. Matanya memandang cermin di sudut ruangan, dan ia kembali melihat bayangan dirinya.
Namun kali ini, bayangan itu berbeda. Lebih hidup. Lebih nyata. Mata bayangan itu berkilat-kilat dengan kebencian.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” bisik bayangan itu dengan suara yang menyeramkan. “Hancurkan mereka. Tunjukkan bahwa kamu masih punya kuasa.”
Arman mencoba memalingkan wajah, tetapi bayangan itu semakin mendekat, seakan merayap keluar dari cermin. Ia merasakan jantungnya berdetak cepat, darah di nadinya mendidih. Napasnya menjadi lebih berat, lebih terengah-engah.
“Ya, mereka semua harus membayar. Dina yang selalu mengasihani kamu, bos yang tak pernah percaya, bahkan rekan kerja yang mencemooh di belakangmu.”
Pikiran itu berputar dalam kepalanya seperti badai yang tak bisa dihentikan. Arman merasa kehilangan kendali, dirinya seakan-akan terjebak dalam pusaran emosi yang tak terhingga. Saat itu, ia tahu bahwa ia berada di titik terendah dalam fase depresif, namun ada dorongan manik yang membisikinya untuk bertindak gila.
Dalam sekejap, Arman meraih jaketnya dan keluar dari apartemen. Kakinya melangkah cepat menuju kantor, meski malam telah larut. Suasana di luar begitu tenang, kontras dengan kekacauan yang ada di dalam dirinya. Ia terus berjalan, semakin cepat, hingga akhirnya sampai di gedung kantor yang gelap.
Tanpa pikir panjang, ia memasuki gedung itu menggunakan kartu akses yang selalu ia bawa. Ia berjalan melewati lorong-lorong yang sunyi, menuju ruangannya di lantai atas. Setibanya di sana, ia menyalakan komputer, mengakses file perusahaan yang sangat rahasia, dan mulai menghancurkan semuanya. Data, kontrak, proyek—semua ia hapus dengan gemuruh emosi yang menguasai tubuhnya.
"Biarkan mereka merasakan kehancuran yang sama!" pikirnya dengan dendam membara.
Namun, di tengah tindakan destruktifnya, pintu ruangan terbuka. Dina berdiri di sana, dengan tatapan penuh kaget dan ketakutan.
"Arman, apa yang kamu lakukan?!"
Arman berhenti sejenak, napasnya tersengal-sengal, matanya menatap Dina dengan tajam. Suara di kepalanya terus berteriak, memerintahnya untuk bertindak lebih jauh. Tetapi di sudut lain hatinya, ada bagian dari dirinya yang masih tersisa, yang mencoba melawan.
“Arman, kamu tidak harus melakukan ini,” bisik Dina, suaranya lembut namun penuh harap. "Aku di sini untukmu. Kamu bisa melalui ini."
Untuk sesaat, dunia Arman berhenti berputar. Dua suara di dalam dirinya bertarung, salah satunya mendesaknya untuk menghancurkan, yang lainnya memohon untuk menghentikan kegilaan ini.
Air mata mulai mengalir dari mata Arman, tanpa ia sadari. Tangan yang gemetar perlahan-lahan meninggalkan keyboard. Dina menghela napas lega, tetapi sebelum ia bisa mendekat, tiba-tiba, Arman bangkit.
Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju pintu. Matanya kosong, wajahnya datar, seolah semua emosi telah terserap ke dalam dirinya.
“Arman?” Dina memanggil, suaranya goyah.
Arman berhenti di depan pintu, berbalik menatapnya. Sesaat, ada sesuatu yang tak terdefinisikan di matanya—campuran antara rasa sakit, ketakutan, dan kebingungan. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia keluar dari ruangan, meninggalkan Dina yang terpaku.
Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan. Dina menatapnya dengan tatapan tak percaya, merasa ada sesuatu yang lebih gelap sedang menunggu di luar sana.
Di luar, langkah kaki Arman terdengar menghilang ke dalam malam, menyisakan pertanyaan yang menggantung di udara: Apa yang akan ia lakukan?