Masukan nama pengguna
Aku percaya kalau perempuan yang setia itu benar-benar ada, justru saat kembali aku mengingat dirimu. Dan untuk pertama kalinya aku ingin kembali ke masa lalu dan mendekap lagi tubuhmu!
***
Tarno menarik napas panjang, kemudian memejamkan mata. Setiap ia tidur dengan Tami, setiap kali mendengar perkataan istrinya itu, senantiasa hatinya bertanya-tanya, adakah waktu yang benar-benar tepat untuk mengatakan semuanya?
Tiga puluh menit. Waktu begitu lambat menanjak, warna langit juga belum berubah. Hitam arang, seakan-akan malam begitu sangat mencintai kelam. Hotel berbintang satu, kamar vip, air panas, televisi berwarna, ranjang empuk, bibir mungil, rambut panjang menghitam, kulit mulus, tubuh meringkuk di samping kanan, tarikan napas, pintu kaca, semuanya disaksikan Tarno dengan kerjapan mata. Tidak bisa tidur.
Pelan Tarno menurunkan kaki-kakinya yang kurus dari ranjang, berjalan menuju pintu kaca. Di teras kamar itu Tarno memandang buram gedung-gedung tinggi Jakarta yang gemerlap, malam ternyata tidak benar-benar gelap. Kulitnya yang pucat bersemu merah dan matanya yang rabun jauh tampak suram menyerah. Kembali menggumamkan permohonan maaf dengan suara murung. Air matanya jatuh, jauh ke bawah sana, melewati teras-teras lantai di bawahnya, menuju tanah yang berrumput.
“Maafkan aku. Maafkan, Masmu ini.”
Jantungnya berdetak cepat. Tak mengerti di mana ia berada, hanya merasa tempat ini memberi perlindungan, keheningan. Di dalam kamar hotel ini dia mendapatkan kesunyian yang paling diinginkannya sekaligus yang paling dibencinya. Dia mengisap rokoknya dengan kerinduan seorang ayah, sambil agak terbatuk, melayangkan pandangannya ke arah langit. Kosong. Angin membawa kabut turun mendekati Hotel Dwina dari arah barat, pun membawa dingin yang menusuk. Di balik balutan baju tidur birunya yang tertiup angin Tarno menerbangkan pikirannya menembus kabut;
Mungkin seperti cerita romantis, kisah Tarno dan Tami berakhir bahagia. Dunia begitu indah, penuh warna merah jambu, gelak tawa, embusan cinta, senang, dan semringah. Apa yang mereka rencanakan, cita-cita sakral berdua ketika pacaran. Kini tuntas sudah. Permainan pornonya yang dulu dikerjakan sembunyi-sembunyi sekarang tidak usah lagi. Main kuda-kudaan, berciuman mesra, dan menginap di kamar yang sama: semuanya boleh. Jelas karena ijab kabul itu telah menghalalkan mereka.
“Selamat ya, No. Semoga kalian berdua hidup langgeng selamanya.”
“Kasihan deh kamu!”
“Kenapa?”
“Ga bisa lagi ikutan pesta bujang sama kita-kita.”
“Gemblung.”
Memang sebuah keputusan yang teramat berani bagi dua insan untuk membentuk suatu komunitas yang bernama keluarga. Namun, kedua orangtua mereka yang kelewat kecewa akhirnya tak punya pilihan selain mengusap dada dan mengikat mereka dengan perkawinan, daripada perut Tami yang bulat itu semakin membesar. Tanpa lelaki di sampingnya.
“Demi Tuhan. Sudahlah ….”
“Apa mau dikata. Bubur sudah tidak bisa lagi menjadi nasi.”
Cemberut. Menangis. Dan akhirnya tersenyum. Galak juga percuma, sudah selayaknya mereka diberi restu “toh anak kita juga”. Satu hal yang Ayah Tarno sesalkan tentunya dia tidak akan bisa lagi melihat sorot lugu anak satu-satunya. Terakhir kali saat Tarno sungkem sang Ayah melihat sorot mata itu telah dewasa atau barangkali terpaksa menjadi dewasa. Karbitan.
Tiga bulan Tarno menjadi suami, tetapi kandungan istrinya malam ini telah menginjak tujuh bulan. Dan seharusnya mereka sedang merayakan nujubulanan, tentu saja kalau mereka mau mendengar saran orangtua mereka.
Kehidupan mewah yang mereka rasakan teramat sempurna. Pun membawa berkas-berkas bergelimang. Namun, apa yang dirasakan Tarno tidak lain hanyalah kegundahan. Rasa bahagia yang diharapkannya tak kunjung datang. Begitupun ketika perut Tami yang bulat itu semakin membesar, tidak tahu apakah cuma perasaannya yang begitu kosong sehingga tak mampu menangkap gembira ataukah memang kehidupannya itulah yang menjadi bumerang.
“Oalah, trembelane. Cah gendeng!”
Lama. Sudah cukup untuk menjiplak lagi kehidupan baru sehingga tak perlu terus terperangkap dalam keraguan. Namun, toh apa yang bisa dilakukan dengan tangan kecilnya itu selain berbuat kecil pula.
“No! Kowe orang miskin. Dapat isteri cantik dan sugih ko bukannya seneng.”
“Dulu memang seneng, Mbok ….”
“Lah ko dulu. Sekarang memangnya kenapa?”
“Ndak tahulah, Mbok. Bingung.”
Mungkin juga benar apa yang dirasakan Tarno. Bingung. Bagaimana ini bisa terjadi? “Bukankah cinta itu bisa datang kapan saja dan pada siapa saja?” tak perlu basa-basi. Dan ketika Tarno dirayu di atas dipan berbalut sutera. Dia hanya tersenyum dan membiarkan bajunya dilepas dari tubuh kekarnya.
“Di mana peci kamu saat itu No? Di mana sarung dan baju kokomu itu?” Seharusnya Ayah menangis dan memukul Tarno tiga kali. Seperti ketika dulu Tarno berusaha bolos dari sekolah. Namun, kali ini Ayah hanya menggeleng dan berkata, “Besok kamu harus kawini perempuan itu.”
Angin dari arah tenggara terus berlari bersama kabut. Tipis, tetapi begitu dingin. Tarno memicingkan matanya sekali lagi. Melepas rokok dari mulutnya. Astaga. Deg! Lagi perasaan itu datang tepat ketika dia menatap tubuh perempuan yang menggeliat di atas ranjang. Haruskah dia mencintainya terus?
“Terkadang aku ingin larut bersama kabut, Do!”
“Apa yang bisa kamu lakukan bersama kabut?”
“Setidaknya aku tidak akan menderita seperti ini.”
Menderita.
Menjadi kabut. Bahkan di Jakarta sudah tidak ada lagi kabut.
Bendo salah seorang sahabat dekat Tarno sebenarnya telah banyak memberikan saran dan nasihat kepada Tarno. Sial. “Kenapa kamu selalu saja kalah oleh kelemahan hatimu. Persetan dengan cinta. Ketika dia tak bisa lagi menjadi makna dan lebur bersama derita, apa yang bisa didapat dari semua duka?”
Kenapa kabut itu begitu indah.
Kerjapan mata Tarno kali ini meneteskan air mata. Lagi. Merenung tanpa rokok yang menghangatkan tubuh. Puntung itu telah pergi ke bawah sana. Menggigil. Haruskah aku larut bersama kabut? Terbang melayang, turun, naik, bebas, mengikuti angin. Tanpa arah. Arah? “Angin berhembus pun punya arah toh, No! Air juga mengalir karena dia punya tujuan. Begitu juga kehidupan manusia, seharusnya berarah?”
Goblok! Penghianat!
Napas Tarno menjadi pendek-pendek. Kabut itu semakin dekat. Menggulung Tarno seperti selimut. Akankah dia larut bersama, melayang seperti yang dia inginkan, terbang ke mana dia suka? “Sudah jelas hatimu yang lemah, malah nyalahin Tuhan! Otakmu ini memang sudah tidak waras!”
Tarno menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang gemetar. Ambruk. “Aku ingin kembali. Maafkan, Masmu ini.”
Goblok!
Penghianat!
Tak tahu diri!
Bakar saja!
Hening. Bahwa kehidupan ini begitu misteri. Udara sangat dingin, tetapi barisan keringat di jidatnya berebut turun. Segumpal daging berbalut piyama biru itu semakin culun.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! ….” Kumandang Azan Subuh menghancurkan keheningan. Merambati kabut tebal. Tembus. Masuk telinga Tarno dengan paksa.
“Mas, ko malah di luar?” Siska membuka pintu kaca. Angin mengibarkan baju tidurnya yang transparan. Sudah bangun.
“Aku hanya rindu pada kabut.”
Siska tersenyum manis. Begini pagi dia terlihat cantik. “Masih terlalu pagi Mas, kita tidur lagi saja.”
Deg![]