Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,287
Ke Mana Perginya Sulastri?
Thriller

Tahun 1990

Ke mana perginya Sulastri? Sudah tiga hari ini Sulastri, gadis berusia 19 tahun penjual telur asin keliling tidak tampak batang hidungnya. Sulastri yang kesehariannya mengenakan kebaya dan kain jarik di saat teman-teman sebayanya sudah mengenakan pakaian modern berupa rok terusan dengan panjang selutut, membuatnya menjadi gadis yang mudah dikenali.

Sulastri hanya tinggal berdua dengan neneknya saja. Ibunya Sulastri meninggal ketika mengalami keguguran saat usia kandungannya memasuki bulan keempat. Saat itu Sulastri berusia 5 tahun. Sementara bapaknya juga sudah meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya ketika Sulastri berusia 10 tahun. Semenjak itu, Sulastri tinggal dan dirawat oleh neneknya saja.

Sulastri sudah berjualan telur asin keliling sejak 5 tahun yang lalu. Setelah lulus SD, Sulastri memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak mau membebani neneknya. Dia memilih untuk bekerja apa saja demi bisa menghidupi dia dan neneknya. Mulai dari buruh cuci pakaian, menjaga warung makan hingga akhirnya menjadi penjual telur asin keliling Sulastri lakukan dengan tekun. Tidak pernah sekalipun neneknya mendengar Sulastri mengeluh tentang pekerjaan yang dilakukannya.

Sudah banyak pelanggan tetap Sulastri yang menjualkan telur asin miliknya. Namun, semenjak tiga hari yang lalu, Sulastri tidak muncul jua. Biasanya sehabis Subuh, Sulastri akan mulai berkeliling dari satu warung ke warung berikutnya yang sudah menjadi pelanggannya. Kemudian, dia baru melanjutkan menitipjualkan telur asinnya itu ke pasar dengan berjalan kaki. Di pasar pun juga banyak pelanggan tetapnya. Salah satunya adalah Bu Sri. Dia tampak frustrasi karena banyak pelanggannya yang ingin membeli telur asin darinya, tetapi sudah tiga hari ini tidak ada pasokan telur asin yang bisa dijual. Dia kehabisan stok.

Bu Sri mencoba bertanya kepada Ramdan, tukang ojek sekaligus tetangga Sulastri yang sering mengantar Sulastri pulang dari pasar di sore hari setelah dagangannya habis. Kebetulan di depan warung Bu Sri memang tempat pangkalan ojek.

“Ramdan,” panggil Bu Sri.

“Ramdan, coba ke sini sebentar. Ada yang mau kutanyakan,” kata Bu Sri lagi.

Ramdan yang sedang duduk-duduk di atas motornya segera menghampiri Bu Sri.

“Ya Bu, ada yang bisa Ramdan bantu?” tanyanya.

“Aku mau tanya. Kamu kan sering mengantar Sulastri pulang dari sini. Kira-kira kamu tau ndak di mana keberadaan Sulastri? Kok tumben sekali sudah tiga hari ini tidak ada kabar sama sekali. Barangkali kamu tahu,” tanya Bu Sri.

“Ramdan juga ndak tahu, Bu. Mungkin Sulastri sedang sakit. Ramdan juga belum sempat tengok ke rumahnya Sulastri,” jawab Ramdan.

“Tidak biasanya dia sakit sampai tiga hari tidak datang. Biasanya satu atau dua hari saja dia libur. Cobalah nanti sore kalau sempat, kau tengok ke rumahnya Sulastri. Bagaimana keadaan dia di sana. Sudah habis betul stok telur asinku ini, Dan,” keluh Bu Sri.

“Nanti coba Ramdan tengok kalau pulang dari pasar,” kata Ramdan kepada Bu Sri.

Ramdan pun kembali ke pangkalan ojeknya dan duduk-duduk bersama teman-temannya sesama tukang ojek.

***

Hari demi hari berganti hingga genap satu minggu berlalu. Namun, masih belum ada yang tahu seorangpun tentang keberadaan Sulastri ada di mana. Ramdan yang sejak beberapa hari yang lalu disuruh Bu Sri untuk menengok rumah Sulastri pun sejak hari berikutnya tidak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Kini Ramdan juga tidak ada di pasar. Bu Sri yang sudah satu minggu tidak mendapat pasokan telur asin dari Sulastri makin frutrasi.

Beberapa pelanggan Sulastri juga mulai menanyakan di mana keberadaan Sulastri sebenarnya. Beberapa dari mereka bahkan juga datang ke warung Bu Sri untuk menanyakan perihal Sulastri. Namun, semua orang tidak ada yang tahu di mana dia berada.

Satu hari kemudian, tepat di hari kedelapan setelah menghilangnya Sulastri, warga dihebohkan dengan berita penemuan sesosok jenazah di perkebunan pisang milik tetangga Sulastri. Lokasinya berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumah Sulastri. Sesosok jenazah itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sulastri. Kondisinya tampak sangat mengenaskan.

Tubuhnya nyaris tanpa busana. Pada bagian atas tubuhnya, tidak ada helai kain yang menutupinya. Dia bertelanjang dada. Sementara di bagian bawah, masih ada kain jarik yang dikenakannya itu tersingkap hingga ke bagian atas lututnya. Kain jarik itu sudah nampak lusuh dan terkoyak. Di bagian kepalanya, ada bekas darah yang sebagian sudah mengering seperti habis dipukul oleh sesuatu.

Tubuh kaku Sulastri itu pertama kali ditemukan oleh tetangganya yang kebetulan sedang mencari rumput untuk pakan ternaknya. Sebelum memasuki perkebunan pisang, memang di situ ada semak-semak ilalang yang tinggi dan rimbun. Sehingga jarang ada orang yang masuk ke area tersebut, kecuali tukang kebun yang dipekerjakan oleh pemiliknya serta para pencari rumput. 

Sontak, penemuan jenazah itu membuat warga berbondong-bondong mendatangi lokasi TKP. Sebagian warga ada yang bergegas untuk melaporkan penemuan ini ke kantor polisi. Beberapa saat kemudian, polisi tiba di lokasi kejadian dan segera mengamankan TKP. Para warga diharapkan untuk tidak berkerumun terlalu dekat guna memperlancar penyelidikan polisi. Jenazah Sulastri langsung dibawa ke rumah sakit guna dilakukan autopsi.

Dari penemuan itu, polisi menyimpulkan bahwa jelas ini adalah kasus pembunuhan. Namun, polisi masih perlu menyelidiki lebih dalam lagi. Polisi langsung menanyai siapa saja orang-orang yang dekat dengan Sulastri atau sering berhubungan langsung dengan Sulastri. Orang pertama yang ditanyai polisi adalah neneknya Sulastri.

Sepanjang hari itu, nenek Sulastri hanya bisa menangisi kepergian Sulastri yang amat tragis. Tega-teganya ada orang yang menghabisi nyawa cucunya sendiri dengan cara yang keji seperti itu. Neneknya Sulastri juga menjelaskan bahwa setahu beliau, tidak ada seorang pun yang menaruh benci atau dendam terhadap keluarganya. Sulastri sudah dikenal warga sebagai orang yang ramah dan sederhana. Tidak banyak neko-neko. Neneknya Sulastri juga mengatakan bahwa Sulastri, bahkan sudah kenal dekat dengan para pelanggannya karena sifat ramahnya itu.

Polisi juga menanyai beberapa tetangga Sulastri dan juga para pelanggannya Sulastri, termasuk juga Bu Sri. Bu Sri yang mendengar berita itu sontak menangis sejadi-jadinya. Dia tidak percaya bahwa Sulastri yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri, harus pergi meninggalkan dunia ini dengan cara yang sangat mengenaskan.

***

Selang beberapa waktu kemudian, hasil autopsi pun keluar. Dari hasil autopsi itu, polisi bersama dengan dokter forensik menyatakan bahwa Sulastri meninggal akibat pukulan benda tumpul di kepala hingga menyebabkan pendarahan hebat dan akhirnya meninggal dunia. Selain itu, Sulastri juga sebelumnya telah mengalami pelecehan seksual. Dan yang lebih mencengangkan lagi, ditemukan alat bukti baru, yaitu sebuah kancing baju yang Sulastri genggam di tangan kirinya. Menandakan bahwa Sulastri tengah mengalami perlawanan yang sengit dengan tersangka hingga membuat kancing baju tersangka secara tidak sengaja terlepas dan berada di genggaman tangan Sulastri sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya. Kancing baju tersebut berwarna putih.

Berbekal barang bukti tersebut, polisi dengan sigap mulai memburu sang pelaku. Polisi teringat dengan kesaksian Bu Sri bahwa ketika di hari ketiga Sulastri tidak kunjung datang membawakan dagangannya, Bu Sri meminta Ramdan untuk menengok ke rumahnya Sulastri. Namun sejak hari itu Ramdan juga tidak pernah muncul lagi.

Polisi pun segera menghampiri kediaman Ramdan. Ramdan mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Polisi pun mulai menanyai Ramdan tentang kasus yang menimpa Sulastri. Sejauh ini, Ramdan lancar menjawab pertanyaan dari polisi. Ketika sampai pada kancing baju yang ditunjukkan oleh polisi kepada Ramdan, seketika Ramdan langsung tersentak kaget. Raut mukanya yang tadinya datar berubah menjadi pucat pasi.

Polisi yang mengetahui gelagat aneh dari Ramdan pun mulai menanyai Ramdan lebih jauh lagi. Dan dari situ, pada akhirnya terbongkarlah perbuatan busuk yang dilakukan oleh Ramdan. Ramdan akhirnya mengakui semua yang telah dia perbuat kepada Sulastri pada hari nahas itu. Ramdan pun segera digiring ke kantor polisi. Beberapa warga yang menyaksikan ada banyak polisi berkumpul di rumah Ramdan, segera berkerumun di depan rumah Ramdan. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi di sana.

Ketika Ramdan keluar rumah dengan kedua tangan yang sudah diborgol, para warga langsung menyoraki dan mencaci makinya. Ternyata dalang dibalik kasus ini tidak lain dan tidak bukan adalah Ramdan, tetangga yang juga sekaligus tukang ojeknya Sulastri. Sumpah serapah dari warga pun tidak terbendung lagi. Polisi dengan sigap menenangkan warga dan mengamankan Ramdan dari amukan warga yang marah dan kesal.

Setibanya di kantor polisi, Ramdan mulai menceritakan kronologi yang sebenarnya di depan para polisi.

***

Kronologi kejadian.

Pada pagi hari itu, seperti biasa sehabis Subuh Sulastri keluar rumah dan mulai berjalan kaki berkeliling ke setiap pelanggannya. Setelah itu, Sulastri melanjutkan perjalanannya menuju ke pasar untuk menitipkan telur asinnya itu. Rutinitas Sulastri berjalan seperti biasa. Di sore harinya ketika dagangan Sulastri sudah habis, seperti biasa Sulastri akan memanggil Ramdan di pangkalan ojek untuk mengantarnya pulang.

Ramdan pun menyiapkan motornya dan membonceng Sulastri di belakangnya. Kendaraan mulai berjalan. Di sepanjang perjalanan, Ramdan mengajak ngobrol Sulastri.

“Dik, bagaimana? Apa sudah Adik pertimbangkan pernyataan Abang kemarin?” tanya Ramdan.

“Pernyataan yang mana, Bang?” tanya Sulastri.

“Haruskah Abang ulang, Dik kalau Abang betul-betul mencintai Adik dan mau menikahi Adik Lastri?” tanya Ramdan lagi.

“Maaf, Bang. Bukannya Lastri mau menolak tawaran baik Abang, tetapi Lastri masih ingin mengurus dan merawat Nenek. Lastri tidak mau meninggalkan Nenek sendirian,” jawab Lastri.

“Nanti nenekmu bisa tinggal bersama kita kalau kita menikah nanti, Dik,” tawar Ramdan.

“Maaf, Bang, tetapi Lastri belum mau menikah. Nanti Lastri pertimbangkan terlebih dahulu,” tolak Lastri dengan sopan.

Mendengar penolakan dari Lastri, Ramdan naik pitam. Berkali-kali Ramdan menyatakan perasaannya kepada Sulastri, namun berkali-kali juga Sulastri selalu menolaknya. Kali ini, Ramdan seperti kerasukan setan. Rute jalan yang seharusnya tetap lurus ke depan, oleh Ramdan dibelokkan ke sebelah kiri.

“Kita mau ke mana, Bang?” tanya Sulastri.

“Sudah kamu diam saja. Ikuti saja permintaanku,” jawab Ramdan.

Sulastri yang tidak tahu apa-apa hanya diam mengikuti permintaan Ramdan. Hingga sampailah mereka di semak-semak ilalang yang mengarah menuju ke perkebunan pisang. Di situ Ramdan menghentikan motornya. Sulastri makin bingung. Apa yang akan dilakukan Ramdan di tempat seperti itu. Sulastri mengira bahwa mungkin Ramdan ingin merokok sejenak sambil menikmati angin segar di sore hari.

Ternyata, apa yang Sulastri pikirkan salah besar. Sulastri dipaksa turun dari motor dan diseret paksa oleh Ramdan untuk berjalan mengikutinya menuju ke dekat area perkebunan pisang. Di sana, Ramdan melakukan aksi bejatnya. Ramdan mulai menggerayangi tubuh Sulastri dan mencoba untuk melecehkannya. Sulastri yang tidak terima diperlakukan seperti itu berusaha memberontak sekuat tenaga.

Namun, makin Sulastri memberontak, makin menjadi-jadi jiwa kesetanan Ramdan. Dia tetap berusaha untuk melecehkannya. Terjadi tarik menarik baju yang menyebabkan kebaya Sulastri sobek dan terlepas, sementara kancing baju Ramdan juga terlepas. Namun, Ramdan tidak menyadarinya.

Sulastri berusaha berteriak minta tolong. Karena takut teriakan Sulastri didengar oleh orang lain yang kebetulan lewat, Ramdan segera mengambil batu yang ada di sampingnya dan memukul kepala Sulastri agar dia bungkam. Ramdan berniat untuk membuat Sulastri taksadarkan diri sehingga dia bisa dengan leluasa melakukan aksi bejatnya itu.

Setelah puas melakukan aksinya, Ramdan merasa panik karena ternyata darah terus mengalir keluar dari kepala Sulastri. Ramdan mencoba mengecek napas dan urat nadi Sulastri, namun sayangnya Sulastri telah meninggal dunia. Karena panik, Ramdan segera membuang batu yang dia pakai untuk memukul Sulastri beserta keranjang telur asin milik Sulastri yang Sulastri bawa ke sungai yang ada di belakang perkebunan pisang itu. Setelah itu, Ramdan meninggalkan tubuh Sulastri yang sudah terbujur kaku tersebut begitu saja.

Ramdan mengakui bahwa selama satu minggu ini dia tidak bisa tidur dengan tenang karena dihantui oleh rasa bersalahnya kepada Sulastri. Dia mengaku menyesal telah dengan tidak sengaja membunuhnya. Sulastri, gadis yang Ramdan cintai itu kini telah tiada karena ulah perbuatannya sendiri. Kini Ramdan harus meringkuk di balik jeruji besi dalam waktu yang lama untuk menebus perbuatan kejinya itu.

Ramdan terus menyesali perbuatannya. Sesal itu kini sudah tidak ada gunanya lagi. Sulastri tidak akan pernah kembali ke dunia, apalagi datang ke pelukannya. Yang ada hanyalah perasaan bersalah dan bayang-bayang wajah Sulastri yang berteriak meminta tolong dan memohon kepada Ramdan untuk jangan melakukan tindakan keji itu. Ke mana perginya Sulastri kini terjawab sudah. Sulastri telah pergi untuk selama-lamanya.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)