Masukan nama pengguna
Masa kecil pada umumnya menjadi masa yang paling menyenangkan untuk dikenang. Pada masa itu, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, bernyanyi, tertawa, berlarian dan hal-hal menyenangkan lainnya. Namun hal itu tidak berlaku untukku. Kondisi ekonomi keluargaku sangat sulit waktu itu. Kami tinggal di lingkungan yang warganya “cukup berada”, sementara rumahku terletak di ujung gang buntu yang berbatasan langsung dengan kuburan. Satu-satunya rumah tua yang biaya sewanya masih bisa kami jangkau.
Aku tidak memiliki banyak waktu bermain seperti teman-temanku yang lain. Sepulang sekolah, aku membantu Bapak mengupas bawang, memotong daun bawang, atau menyiapkan bahan-bahan lain yang akan digunakan untuk berjualan mi ayam keliling. Di lain waktu, aku membantu Ibu berjualan di warung. Karena rutinitasku tersebut, aku jarang memiliki teman.
Aku ingat, sesekali ketika ada waktu senggang, aku berdiri seorang diri di depan pintu rumahku. Mengamati teman-teman seusiaku yang sedang bermain di depan gang. Rasanya ingin sekali bergabung, tetapi aku malu. Malu karena kondisi ekonomiku berbeda jauh dengan mereka (lebih ke minder sih, hehe). Aku senyum-senyum sendiri menyaksikan mereka bermain. Sesekali aku juga ikut tertawa jika ada tingkah laku mereka yang konyol.
Satu-satunya hiburan yang aku miliki di rumah adalah televisi. Namun lagi-lagi, karena kondisi ekonomi keluargaku yang sulit, Bapak terpaksa menjual televisi kami demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk melepas kejenuhanku ketika aku memiliki waktu luang, aku memilih untuk membaca buku. Tentu saja aku tidak mempunyai koleksi buku seperti novel, komik, majalah ataupun sejenisnya. Satu-satunya buku yang kumiliki hanyalah buku pelajaran. Aku mengulang apa yang diajarkan guruku di sekolah dan terus melanjutkan membaca sampai 2 atau 3 bab berikutnya. Alhasil aku lebih mudah menyerap materi yang diajarkan oleh guruku di kelas karena aku sudah membacanya terlebih dahulu. Curang, ya.
Semenjak itu, setiap kali aku merasa bosan atau butuh hiburan, aku menghabiskan waktu dengan membaca. Membaca apa saja yang bisa kubaca. Mulai dari komposisi yang tertera di kemasan produk hingga berita di koran bekas pembungkus bakmie goreng yang dijual di warung ibuku.
Jika aku tidak memiliki uang saku saat pergi ke sekolah, aku menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan untuk membaca buku yang menarik minatku supaya tidak jajan. Makin aku banyak membaca, makin timbul hasrat bahwa suatu hari nanti aku harus menjadi penulis. Mencurahkan isi hati, membagikan isi kepala, memberikan hikmah dan manfaat yang dapat dipetik bagi pembacanya. Buku seolah menjadi satu-satunya temanku yang bisa memahamiku saat itu. Seperti memasuki dunia baru di mana hanya ada aku dan duniaku. Aku tak lagi merasa sendirian.
Kini hampir 20 tahun berlalu. Setelah kurenungkan kembali, mungkin melalui pengalaman itulah aku akhirnya terpilih untuk mengikuti beberapa perlombaan dan memperoleh beasiswa di sekolah. Mungkin melalui pengalaman itulah, aku dapat diterima di sekolah lanjutan yang aku impikan. Mungkin melalui pengalaman itulah, aku bisa menjadi aku seperti hari ini.
Aku bersyukur pernah menjadi seorang gadis kecil penyendiri karena keterbatasan ekonomi. Jika pada waktu itu aku telah hidup berkecukupan, mungkin aku akan terlena oleh fasilitas yang ada. Mungkin aku akan lebih memilih bermain bersama teman-temanku tanpa mau menyentuh buku-buku itu. Segala kemungkinan hanya Tuhan yang tahu.
Keterbatasan dan kesendirian bukan alasan untuk menjadikan seseorang berhenti meraih impian. Dibalik keterbatasan selalu ada peluang. Dibalik kesendirian selalu ada Tuhan yang membersamai kita.