Masukan nama pengguna
P.S Cerpen ini merupakan series dari Sleeping Under The Rain. Satu sama lain akan saling menjawab pertanyaan yang muncul dari karakter di dalamnya.
======================================================================
Suara lonceng yang terpasang di pintu coffee shop dengan warna dominasi putih itu berbunyi saat aku menariknya. "Ohayo Gozaimasu," sapaku ketika melihat pria yang berdiri di depan kasir dengan gaya rambut mirip Suguru Geto itu. Tindik di telinga kanan dan kirinya serta bagian helix membuat pria ini semakin menawan.
Aku melangkah masuk dan tanpa melihat menu aku memesan segelas es americano. "One ice americano, 2 shot please," ucapku tanpa menggunakan bahasa Jepang. Pria itu tersenyum, kemudian menjawabku dengan pertanyaan "Indonesian?" Aku menatapnya dan mengangguk.
"Such a nice country, I've been there for almost 7 years," ucapnya.
"Ooooh, so I can speak bahasa with you," ujarku sambil menunggu dia membuat americano. "Sure," jawabnya.
"Ini kopimu," ucapnya sambil menarik satu sedotan untukku.
"Panggil aku Rain. Kita bakal sering ketemu nanti," lanjutnya.
Saat itu aku masih tak paham alasan dia bisa begitu percaya diri. Sampai akhirnya aku sadar karena setelah mencoba beberapa kopi di coffee shop dekat apartemenku, hanya americano buatan Rain yang cocok dengan lidahku.
Momen seperti itu terus berulang hampir setiap pagi, terlebih kini aku memiliki motif, ya, ada seorang pria yang diam-diam mencuri perhatianku. Aroma tubuhnya setiap kali melewatiku yang sedang duduk menikmati segelas es kopi itu selalu membuatku merasa seakan waktu berhenti disekelilingku. Aku sudah mengamatinya selama dua bulan ini, dandanannya seperti orang pekerja kantoran pada umumnya, kemeja, jas, tapi dipadukan dengan kets. Terkadang dia juga tampak lebih santai dengan hanya memakai kemeja polos dan celana kain dan kets.
"Rain," ucapku suatu ketika. "Pria barusan memesan apa?" tanyaku seperti seorang penguntit.
Rain menatapku dengan pandangan heran. "Heh, naksir kamu?" tanyanya sambil mengetuk dahiku.
"Cuma tanya loh aku," jawabku sambil menyilangkan tanganku di depan Rain.
"Es americano, sama seperti kamu biasa pesan," jawab Rain. Rain menatapku lagi seolah ingin berbicara tapi kemudian memilih membalikkan tubuhnya untuk membelakangiku.
"Eh nanti kalau udah selesai kerjanya, bantu aku cicipin menu baru seperti biasa ya," kata Rain sambil mencuci gelas.
"Okay, nanti malam ya," ujarku sambil keluar dari kafe.
Hidupku di Minato, Tokyo ini sebenarnya cukup membosankan sebelum akhirnya kafe milik Rain dibangun. Aku melihat bagaimana Rain menghias kafe itu, meresmikan pembukaannya, dan aku menjadi customer pertamanya.
Rain, pria berusia akhir 20 tahunan itu memiliki penampilan mirip karakter Suguru Geto, bagi penggemar Jujutsu Kaisen tentu tahu semenarik apa penampilan fisiknya. Tubuhnya termasuk kurus tinggi, tak terlihat berotot, kecuali bagian lengan dan punggung tangannya, yang menonjol saat dia sedang menaik atau turunkan bangku kafe. Bonus terbaik darinya adalah lesung pipi yang terlihat saat dia sedang mengecap bibir. Aku tak heran kafenya banyak dikunjungi pelanggan wanita, jika pemiliknya setampan itu, kopinya juga seenak itu.
Bagiku yang termasuk pemilih soal kopi, kopi buatan Rain memang lebih cocok denganku, memiliki after taste buah-buahan.
"Rain...," ucapku sambil membuka pintu kafe yang sudah tutup malam ini. Aku memasuki kafe perlahan untuk menepati janji mencoba menu baru di kafe Rain sebelum resmi dijual. Karena melihat lampu dapur menyala, aku akhirnya perlahan menuju ke bagian dapur tapi tak kulihat sosok Rain.
Lampu tiba-tiba mati, aku hanya berdiri tegak di dekat pintu. "Happy birthday to you, happy birthday to you...,' terdengar suara Rain, yang kemudian masuk sambil membawa cup cake dengan lampu diatasnya.
"Happy Bornday Han," ucap Rain padaku. Aku meniup lilin itu dan membuat dapur gelap. Hanya terlihat bayang wajah Rain karena cahaya dari lampu jalanan yang menembus masuk melalui jendela kecil dalam dapur itu. Aku mengagumi wajah tampan Rain, aku baru menyadari ternyata ada tahi lalat di bawah mata Rain yang membuatnya terlihat semakin manis.
Rain mengulurkan tangan seolah akan memelukku, aku sempat membeku di posisiku berdiri, sebelum sebuah suara 'klik' menyadarkan lamunanku. Lagi-lagi Rain memukul dahiku seolah tahu yang ada dalam otakku saat ini. "Ngelamun lagi," kata Rain.
"Huh. Cuma cupcake, kecil lagi, ini apa kenapa ada kucing hitam di atasnya?" tanyaku sambil memperhatikan cupcake berwarna serba hitam dan putih.
"Kayak kamu, susah dicari kalau gelap, misterius," jawab Rain.
"Dih, emang aku gosong?" ucapku kesal. "Enggak sih," jawab Rain sambil mengambil menu dari kulkas di dapur.
"Jadi ini menu barunya?" tanyaku sambil melihat puding berbentuk kucing sedang tidur. "Gemes banget, pantatnya goyang-goyang," kataku antusias.
"Icip," ujar Rain sambil mengulurkan sendok kecil.
"Enak Rain, aku suka," jawabku antusias. Aku tak memperhatikan bahwa Rain diam-diam selalu memperhatikan gerak-gerikku sambil tersenyum. Saat aku melihat ke arahnya, Rain langsung membalikkan badannya.
"Rain, ini pasti banyak yang suka deh, mending cepet dijual besok, biar kamu jadi pionernya," kataku. "Hemm...," jawab Rain singkat.
Setelah membereskan dapur, Rain menemaniku pulang ke apartemen. Di depan gedung apartemenku Rain berdiri, "thank you ya, udah bantu aku lagi, Da" kata Rain. Aku mengangguk. Rain berpamitan.
Aku menghentikan langkahku, memutar tubuhku dan aku melihat Rain masih berdiri di sana. Aku memberi isyarat seolah bertanya kenapa dia belum pergi, Rain hanya mengangkat kedua tangannya ke atas seolah menjawab "entah" kami tertawa dari kejauhan, aku lantas melambaikan tangan memintanya pergi, Rain hanya mengangguk dan membalas lagi dengan lambaian tangan agar aku naik ke atas. Aku tersenyum pada Rain, membungkukkan badan dan berbalik meninggalkannya. Entah berapa banyak Rain melihat punggungku setiap kali kami pergi atau sedang bersama. Rain selalu memilih jadi orang yang mendahulukanku dalam hal apa pun.
Pernah suatu ketika, aku tertidur di kafe Rain karena terlalu lelah semalaman mengejar deadline, Rain saat itu bahkan menutup kafenya hanya agar tidurku tak terganggu. Rain juga yang berlari ke apartemenku hanya karena aku tiba-tiba mematikan telepon setelah berteriak. Padahal saat itu dia sedang bersama teman-temannya. Padahal aku berteriak saat itu hanya karena jariku terkena pisau saat memotong kentang untuk makan malam. Rain tak pernah benar-benar memarahiku, walaupun selalu menggerutu di depanku.
"Heeesh, selalu aja ceroboh," ucapnya saat itu sambil memotong kentang-kentang itu dan merebusnya untukku. Rain seperti udara bagiku, terlalu mudah kudapatkan dan kuandalkan karena selalu ada. Aku tak pernah menyadari, menghargai sedikit pun keberadaannya. Suatu hal yang kelak akan sangat kusesali karena aku terlalu fokus melihat yang jauh.
Americano, again?
"Pagi Rain," sapaku pada Rain yang pagi ini terlihat semakin menawan hanya dengan memakai kaos tanpa lengan berwarna putih dan dipadukan dengan celana jeans.
"Wiiiiii, dalam rangka apa nih, tumben pakai kaos begini," candaku sambil menekan lengan Rain yang tak berotot itu.
"Hari ini aku mau sambil keliling bagi-bagi vocer kafe ini biar tambah ramai, cuaca juga sedang panas," ujarnya. "Keliling bagi-bagi vocer? Aku bantu ya," ucapku.
"Kamu enggak kerja?" tanya Rain.
"Tenang aja, aku udah lewat deadline," jawabku kemudian mengambil es americano ku. Aku duduk di tempat biasa di depan kafe pagi ini, berharap pria dengan aroma tubuh yang khas itu kembali lewat di depan kafe ini atau setidaknya lagi-lagi memesan americano. Dan benar saja, pria itu muncul lagi, aromanya tak asing. Menyadari hal itu, aku bersiap membawa gelasku untuk masuk ke dalam kafe. Rain melihatku sedang mengikuti langkah pria itu masuk ke dalam kafe. Tatapan mata Rain seolah mengancam dan berkata 'awas ya centil.' Aku membalas tatapan mata Rain dengan menjulurkan lidah.
"Rain," ucapku berdiri di belakang pria itu, pria itu melihat ke arahku, lalu kembali mengulurkan kartu untuk membayar. Sementara Rain kembali memberikan kode untuk aku diam. Aku tak peduli, aroma wangi pria itu benar-benar memikatku. Terlebih berada tepat di belakangnya seperti ini, entah kenapa jantungku berdebar.
"Apa aku pagi ini terlalu banyak minum kafein?" pikirku.
Entah kenapa, mata nakalku ini tiba-tiba saja memindai tubuh pria itu dari belakang. Berawal dari rambut, kemudian turun ke bagian leher, punggung dan bokong. Aku mencubit pipiku agar tersadar dari lamunan nakalku itu. Sementara pria itu sudah bergeser untuk mengambil pesanannya, Rain di depanku ikut mencubit pipiku.
"Lain kali aku ikat kamu di dapur ya kalau kayak gini," ucap Rain. Aku tak peduli dan masih memindai tubuh pria itu. Pria itu melihat ke arahku. Rain menarik tanganku menuju dapur.
"Hannie," kata Rain menarik tanganku dan mendorong tubuhku ke dinding. "Kalian keluar," ucap Rain tegas meminta karyawannya keluar dari dapur. Wajah Rain mendekati wajahku, tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku dan semakin erat, jantungku sempat berdebar, tapi kemudian aku memukul kepala Rain.
"Sakit tahu," kataku meminta Rain melepas genggamannya. Rain terdiam sebelum akhirnya melepas tangannya dari pergelangan tanganku. Mematung dalam posisinya, sementara aku bergeser ke sisi kanan Rain.
"Rain, aku suka aroma parfum pria tadi, kamu juga tahu kan, aku sudah diam-diam menyukainya sejak lama karena aroma parfumnya," kataku, aku sama sekali tak peduli seperti apa ekspresi Rain yang sedang menunduk saat itu. Aku tak tahu bahwa Rain sebenarnya memendam rasa cemburu saat aku bercerita tentang pria itu. Rain tersenyum kecut mendengar ceritaku.
"Aroma parfum? Kamu gila ya, kamu enggak kenal dia siapa, kamu cuma mengaguminya karena parfum, terus sekarang kamu bilang suka? Aku tahu kamu gila, tapi jangan segila ini Han," ucap Rain sambil menatapku.
"Aku enggak akan mau lihat kamu sakit hati lagi, aku tahu kisahmu, aku tahu seberat apa kamu berjuang untuk bisa hidup lagi setelah semua yang kamu lalui," kata Rain.
Aku menunduk mendengar ucapan Rain, "Tapi aku sepertinya jatuh hati padanya Rain, aku hanya tak berani bilang, aku takut dia akan berpikir aku stalker," kataku.
Rain masih menatapku selama aku bercerita. "Kenapa? Kamu pasti semakin yakin aku gila kan? Enggak cukup aku punya anxiety dan BPD, sekarang aku akan benar-benar jadi orang gila," ujarku dengan nada sinis.
Rain tak menjawab rentetan perkataanku, dia hanya menghela napasnya. "Ya udah lah, ayok kita sebar vocer dulu," kata Rain.
Aku hanya mengikuti langkah kaki Rain, kami berjalan berjauhan, aku jalan perlahan sambil menghitung langkah, seperti anak kecil yang baru saja ditegur gurunya.
"Heh, mau sampai kapan selesai nih kalau kamu jalan kayak keong gitu," kata Rain.
Aku kemudian berjalan cepat melewati Rain untuk segera membagi-bagikan vocer pada orang-orang. Rain hanya tersenyum melihat tingkahku.
"Hannie, andai kamu tahu, aku sejak lama menyukaimu, aku hanya takut kehilangan kamu kalau kamu tahu aku suka kamu," ujar Rain dalam hati sambil tersenyum memperhatikan tingkah Hannie yang kembali ceria.
Rain mengacak lembut rambutku saat kami selesai membagikan vocer, kami mampir ke kafe orang lain untuk mengamati.
"Makasih Hannie," ucap Rain sambil memotong cheese cake didepannya. "Dih tumben sweet ngomongnya," balasku.
Rain kemudian berniat memukul kepalaku dengan sendok bekas cheese cake. "Joroooook," ucapku kesal sambil menahan tangan Rain.
"Enggak kena," ujarku sambil menjulurkan lidah.
"Tapi Rain, kamu ngerasa aneh enggak sih lihat aku suka pria di kafe tempo hari?" tanyaku saat berjalan pulang menuju apartemen. Rain menghentikan langkah kakinya, saat itu aku tak menyadari bahwa Rain sebenarnya menyimpan perasaannya untukku dan sedang cemburu karena aku membicarakan pria yang bahkan kami belum tahu namanya.
Dalam kegelapan, Rain hanya tersenyum tipis yang terlihat karena lampu jalanan menyinari sebagian wajahnya.
"Emang kamu aneh kan?" ujar Rain sambil menatapku. Jantungku tiba-tiba saja berdegup lebih kencang mendapat tatapan seperti itu dari Rain. Dia seperti karakter Joker kali ini.
"Aku enggak aneh ya," ujarku menghindar tatapan Rain dan mempercepat langkahku, belum ada satu kaki melangkah, Rain menarik tanganku, aku hilang keseimbangan dan jatuh ke pelukan Rain.
"Kamu aneh, tapi itu yang aku suka," kata Rain. Tanganku berada tepat di dada Rain, aku bisa merasakan jantungnya berdegup kencang saat ini, jam di tangan kami sama-sama menyala karena itu, seakan memperjelas bahwa detak jantung kami diluar angka normal.
Kami terbangun dari lamunan saat sebuah mobil membunyikan klakson, kami tak tahu siapa orang di dalam mobil itu karena nyala lampu yang begitu terang hingga hanya terlihat siluet pria tersebut, mobil itu hampir menyerempetku jika bukan karena Rain yang gesit menarikku lebih erat hingga ke dalam pelukannya. Aku segera mendorong tubuh Rain, "ayok cepat pulang, udah makin gelap," ujarku mengusir kecanggungan antara aku dan Rain.
Rain mengikuti di arah belakangku saat aku masuk ke dalam apartemen. Aku berbalik dan bertanya, "Rain, kamu enggak kembali ke kafe?" tanyaku.
"Udah tutup kan kafenya, lagian sekarang aku tinggal di apartemen ini juga tauk," jawabnya sambil memukul ringan kepalaku, "kamu enggak perhatian, sibuk sama pria americano itu," ujarnya lagi dan berjalan melewatiku.
"Hah, serius, di lantai berapa?" tanyaku antusias, yang ada di pikiranku hanya bisa minta dibuatkan kopi saat malam.
Berganti aku yang mengikuti langkah kaki Rain, sebelum akhirnya Rain berbalik dan mengarahkan jari telunjuk ke arah dahiku,"kamu mau kemana? Apartemen kamu udah kelewat ya," ujar Rain.
Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku membuatnya sesuka hati memperlakukan kepalaku. "Mau ngopi," ucapku polos sambil tersenyum.
"Aku pindah sini bukan mau jadi barista pribadi kamu ya," kata Rain sambil kemudian membuka pintu. "Ya udah sih," ujarku sambil langsung menyerobot masuk mendahului Rain.
"Woooaaaaaah," ucapku saat melihat apartemen Rain yang lebih luas dan tertata rapi dengan berbagai lukisan tergantung di dinding bahkan hanya diletakkan di bawah. Belum lagi pajangan berbentuk abstrak yang sebenarnya buatku bertanya "buat apa dibeli sih kalau enggak ada gunanya." Tapi mungkin berbeda untuk orang yang menyukai seni.
"Kamu kapan sih renov apartemen ini? Kok aku enggak tahu?" ucapku sambil membuka keripik yang ada di meja Rain. Semua cemilan bahkan tersusun rapi sesuai warna dan ukuran. "Apartemen kamu lebih mirip rumah contoh ya daripada tempat tinggal manusia," ucapku sambil memungut remahan keripik karena tak mau mengotori rumah Rain. Pada dasarnya aku sama rapi dan bersihnya dengan Rain, hanya saja apartemen Rain jauh lebih terlihat artistik dengan adanya lukisan dan patung.
Rain mengulurkan gelas berisi es americano ke depanku, "Arigatogozaimasu," ucapku sambil menundukkan kepala sebelum akhirnya membuat Rain menekan kepalaku.
"Ngomong bahasa Indonesia aja, enggak malu kamu ngomong bahasa Jepang sama aku," kata Rain yang memang memiliki ibu orang Jepang dan terbiasa menggunakan tiga bahasa dalam kesehariannya.
Kesal kepalaku terus disiksa Rain, meskipun maksudnya hanya bergurau, aku menutup kedua mulutku dan memasang wajah cemberut.
"Enggak usah pura-pura ngambek, enggak aku buatin americano lagi nanti," ancam Rain, padahal dalam hati Rain berkata "gemes banget sih kalau lagi ngambek gitu, pengin cium."
Aku berpamitan pada Rain setelah menghabiskan kopi dan mencuci gelasnya. "Han, kalau butuh apa-apa chat aku aja, kalau aku ada di apartemen aku pasti langsung datang," kata Rain dan aku mengangguk sambil menutup pintu apartemen Rain.
Saat menuruni tangga, karena apartemen Rain hanya satu lantai di atas apartemenku, tak sengaja aku mencium aroma yang tak asing, aroma pria americano itu. Aku hapal karena pria itu memiliki aroma yang unik, sesuatu yang bukan dijual secara banyak, aromanya benar-benar cocok dengan figurnya. Vanila, kapulaga, rempah-rempah. Langkahku sempat terhenti, tapi kemudian aku berjalan lagi berpikir bahwa itu hanya khayalanku. Aku tak sadar bahwa pria americano itu sebenarnya sedang melihatku dari kegelapan.
Sementara di dalam apartemen, Rain terlihat memeriksa rekaman cctv dari kafe miliknya, sambil meminum secangkir kopi. Jarinya lincah memencet tombol untuk mempercepat rekaman, sampai beberapa video dilihat secara bergantian selama beberapa hari. Rain meletakkan gelasnya, duduknya mulai tegak, jarinya kali ini bergerak perlahan, tampak beberapa kali mengulang rekaman dan Rain menyadari pria yang biasa memesan americano diam-diam selalu memperhatikan Hannie sebelum masuk ke dalam kafe. Rain menyadari ada yang tak wajar dengan perilaku pria americano itu, tapi tidak tahu apa.
Payung hitam
Aku menghentikan langkah di depan pintu apartemen, kesal harus naik lagi karena lupa membawa payung, tapi seorang pria berdiri di belakangku, mendorong tubuhku untuk jalan, aku melihat ke arah belakangku sambil menunduk meminta maaf, "Good morning," ucap Rain.
Aku langsung mengangkat wajahku, "Issh," ujarku.
"Dih pagi-pagi jadi ular aja," kelakarnya. Aku memukul lengan Rain yang kemudian ditariknya untuk sama-sama menggunakan payung. Sepanjang perjalanan aku tak memperhatikan, Rain ternyata memberikan lebih banyak payung padaku, karena saat di dalam kafe aku melihat bahunya basah. Aku hanya terdiam melihat hal itu. Sementara Rain masuk ke toilet dan keluar lagi setelah berganti pakaian. Entah kenapa pagi ini aku melihat Rain lebih tampan dari biasanya, apa karena air hujan? Rambut panjangnya yang dulu berwarna hitam, sejak beberapa minggu lalu diubahnya menjadi warna blueberry, entah kenapa warna itu ternyata cocok dengan warna kulitnya. Aku mengagumi ciptaan Tuhan yang bisa kunikmati gratis ini setiap hari.
"Awas ngeces loh," kata Rain sambil melempar handuk ke arahku. "Aku enggak basah ya," ujarku sambil menarik handuk dari kepalaku. Wajah Rain ternyata sudah sedekat itu dengan wajahku, aku yang duduk, sementara Rain berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Entah kenapa mata Rain yang awalnya menatap mataku, bergerak menuju ke arah bibirku, aku yang tersihir dengan gerakan mata Rain, mengikut arah gerakan matanya, aku melihat ke bawah, "bagaimana bisa bibir seorang pria semerah ini?" pikirku. Rain seperti sengaja mencondongkan tubuhnya lebih dalam, kami tersadar saat seorang pelanggan masuk. Dia pria americano itu.
"Aku enggak minta kamu pakai itu handuk ya, Aku suruh kamu taruh tuh handuk di kamar mandi," ucap Rain sambil kemudian berdiri tegak dan berjalan menuju meja kasir. Tapi aku sadar saat itu, tatapan Rain pada pria americano itu berbeda.
"Perasaan cemas ini muncul setiap kali melihat pria americano," kata Rain dalam hati. "Apa mau dia dari Hannie? Aku enggak akan biarkan siapa pun menyakiti Hannie."
Sambil memperhatikan Hannie yang masih duduk dan melipat handuk, Rain menerima pesanan dari pria americano itu. "Ada tambahan order?" tanya Rain dan pria itu menggelengkan kepala, sekilas pria itu juga memperhatikan Hannie dan tiba-tiba tersenyum lembut. Diakui atau tidak, Rain merasa cemburu saat itu.
"Hannie," kata Rain, "buruan taruh handuk itu ke kamar mandi," ucapnya membuat senyum di wajah pria americano itu mendadak hilang, Rain menyadari itu. Sementara di sana Hannie yang tak sadar kedua pria itu memperhatikannya, justru bertingkah menggelikan seolah mengejek Rain karena menyuruhnya.
"Badan kamu panas," ucap Rain tiba-tiba saat bersentuhan dengan Hannie, Hannie kemudian menyentuh dahinya. "Pulang aja gih, kamu lagi enggak deadline juga kan, enggak harus lama-lama di kafe," kata Rain.
Hannie menuruti ucapan Rain dan pulang ke apartemen. Rain yang khawatir, akhirnya mengunjungi apartemen Hannie sepulang menutup kafe. Setelah beberapa kali memencet bel, Hannie akhirnya membuka pintu. Wajahnya tampak pucat, tapi Rain membawa sekantong obat-obatan. Sambil duduk dan meletakkan obat di meja dapur, Rain menyiapkan minuman untuk Hannie. Hannie tampak meraih gelas dan obat-obatan tapi tubuhnya mendadak tumbang dan hampir menghantam meja di depannya. Beruntung Rain yang sedari tadi mengamatinya, dengan cepat menangkap tubuh Hannie. Rain menyadari demam Hannie semakin tinggi, dia ragu untuk membawanya ke rumah sakit, akhirnya membaringkan Hannie di kamar, mencoba berbagai cara untuk menurunkan panasnya. Rain terus menatap Hannie yang tampak lelap tapi sesekali terlihat mengernyitkan dahinya seolah menahan sakit. Melihat hal itu hati Rain ikut merasa sakit, dia tak tahu pasti apa yang dihadapi Hannie hingga dia memiliki BPD dan anxiety, Rain hanya menggenggam tangan Hannie, mengelus dahinya yang mengernyit, Hannie tampak kembali tenang. Diam-diam Rain mencium dahi Hannie.
'Hannie, aku enggak tahu perasaan apa ini, tapi aku takut kehilangan kamu, aku harus bagaimana dengan perasaanku?' kata-kata yang terus berputar di kepala Rain selama menemani Hannie. Rain tertidur dengan kepala tepat di samping kepala Hannie sementara tubuhnya duduk di lantai. Pukul 04.00 pagi Hannie terbangun dan melihat wajah Rain begitu dekat dengan wajahnya, saat akan bangun, Hannie menyadari tangannya sedang memegang erat tangan Rain seolah tak ingin melepasnya.
Tak ingin membangunkan Rain, Hannie akhirnya pasrah kembali dalam posisi tidur, hanya sedikit memutar tubuhnya agar lebih dekat memandang Rain. Tangan kirinya menyentuh dahi Rain, mencoba menyibakkan helaian rambut panjang Rain yang menutup mata, tangannya tergoda untuk menyentuh bulu mata lentik Rain. Rain hanya bergerak sedikit dari posisinya, padahal sebenarnya saat itu Rain sudah terbangun dari tidurnya, hanya saja dia ingin menikmati momen itu.
Sementara Hannie yang tak tahu hal itu, masih menikmati keindahan makhluk ciptaan Tuhan itu. Kali ini tangan Rain menggenggam erat tangan Hannie. Hannie kemudian membalas dengan mengelus lembut punggung tangan Rain dengan ibu jarinya, seolah ingin menenangkannya. Rain yang saat itu sadar, menyimpan rasa bahagia sendiri, karena tak mungkin untuk dia tersenyum.
"Pagi Hannie," sapa Rain dari arah dapur saat melihat Hannie keluar dari kamar. "Ngagetin ih," ucap Hannie.
Rain tertawa melihat reaksi terkejut Hannie, kemudian saat Hannie duduk di meja makan, Rain spontan meletakkan telapak tangan ke dahi Hannie.
"Udah enggak panas, mau ke dokter enggak?" tanya Rain dengan nada khawatir. "Udah enggak panas ini, enggak apa-apa mungkin kemarin karena keujanan dikit," jawab Hannie sambil masih memperhatikan Rain yang sedang membuat omelet.
Melihat tak ada kopi, Hannie berdiri dan meraih biji kopi untuk dimasukkan ke mesin kopi, tapi tangannya dihentikan oleh Rain, "kamu sakit tetap aja ngopi?" tanyanya heran. Hannie hanya mengangguk,'ice americano itu terbaik untuk kapanpun," jawab Hannie sambil mengibas tangan Rain tapi tak berhasil karena genggamannya menguat kali ini.
"Enggak ada kopi kopi kopi ya hari ini, awas aja, kalau ke kafe pun enggak akan aku bikinin, aku akan bilang ke karyawanku," kata Rain.
"Lepasin Rain, sakit," ujar Hannie. Rain yang tak sengaja kemudian melepaskan genggamannya, kembali melanjutkan aktivitasnya membuat omelet dan menyajikannya di depan Hannie bersama segelas greentea latte.
"Hannie, aku pulang ya, kamu di apartemen baik-baik, kalau butuh apa-apa telepon aja," pesan Rain sambil berjalan menuju pintu.
"Hari ini hujan lagi," kata Hannie sambil membawa secangkir greentea latte hangat buatan Rain. Tak sengaja matanya menatap ke arah Rain yang membuka payung hitam dan berjalan keluar. Hannie menyadari Rain melihat ke arah jendela apartemennya sebentar. Bukan menyapa, Hannie justru memilih sembunyi di balik jendela agar tak terlihat Rain.
"Cute," ucap Rain sambil tersenyum karena menyadari Hannie yang sembunyi di balik jendela. Rain pergi menuju kafenya, sementara Hannie memilih menikmati waktu istirahatnya sebagai webtoonist karena semua chapter untuk season ini telah diserahkan pada editornya.
Setelah memindah beberapa channel televisi sejak pagi, Hannie mulai merasa bosan, sebelum tiba-tiba dia mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi, di mana ternyata Rain memamerkan makanan yang dibawa.
"Aku tahu kamu bosen, nih makanan kesukaan kamu," ujar Rain sambil menyodorkan dango ke arahku. "Aku balik ke kafe dulu," kata Rain kemudian. Tak lama setelah itu, datang kiriman makanan, dari Rain lagi. Hampir setiap tiga jam makanan, minuman, dikirim dengan berbagai pilihan, tapi yang pasti tak ada kopi hari ini.
Setelah pulang menutup kafe, Rain kembali mampir ke apartemen Hannie. "Kamu udah makan?" tanya Rain. "Kamu masih kurang banyak pesenin makan? Masih tanya udah makan? Pasti udah lah," kata Hannie sambil cemberut.
"Enggak ada kopi, aku kesel sama kamu Rain," ujarnya lagi. Rain yang melihat tingkah Hannie justru merasa gemas dan mengacak rambut Hannie. "Heeeeh, enggak ya," ucap Rain.
Rain kemudian menarik tangan Hannie, memeluknya. Tubuh mereka berada di ambang pintu, "Hannie please jangan sakit lagi," ujar Rain.
Masih dalam pelukan Rain, Hannie berkata,"Kenapa? Takut kehilangan customer loyal ya?" tanya Hannie dengan maksud bergurau, tapi tidak demikian bagi Rain, pria bertubuh tinggi itu justru mempererat pelukannya. Sementara Hannie berusaha berontak dan melepas pelukan Rain, seolah ingin membalas kata-kata Hannie, Rain kali ini tertawa saat memaksa Hannie dalam pelukannya.
Red Velvet
Tanpa Hannie sadari, pria americano yang sering mampir ke kedai kopi Rain sebenarnya sudah cukup lama mengawasinya. Termasuk hari ini, disaat Hannie membantu Rain melayani pelanggan yang datang tanpa henti karena Rain sukses dengan menu cake barunya.
Menatap ke arah Hannie yang sibuk memasukkan cake ke dalam kardus mini untuk take away, Rain yang berada di kasir merasa tak tega, tapi hari ini kebetulan satu orang karyawannya sedang libur. Rain tak menyangka promosi kuenya kemarin bisa mendatangkan pelanggan baru seramai ini. Beberapa jam berlalu dan di sore hari menjelang malam kafe mulai sedikit berkurang, hanya satu dua orang datang untuk menikmati sore sambil mencicip kue dan kopi buatan Rain.
Rain menyodorkan kue ke depan Hannie yang kini sedang duduk di depan kafe. "Nih, upah kamu," ucap Rain. "Thank you," kata Hannie sambil memijat bahunya. Tanpa diperintah, Rain yang memang dalam posisi berdiri, beralih ke belakang Hannie dan meraih tangan Hannie, "Aku aja," ujar Rain. Keduanya terdiam, pipi mereka merona, Rain mengelus lembut punggung tangan Hannie, Hannie kemudian menarik tangannya dan membiarkan Rain memijat bahunya.
Sempat terdiam, sebelum Hannie memutuskan untuk menggoda Rain, "ini enggak harus dibayar kan?" tanya Hannie sambil tersenyum iseng.
"Heem," jawab Rain.
"Hemm apa? Dibayar? Minta bayaran?" tanya Hannie kesal sambil memutar badannya ke arah Rain. Sayangnya gerakan spontan Hannie terbaca oleh Rain yang kemudian sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga keduanya berciuman.
"Perasaan apa ini? Kenapa aku enggak pernah merasakan hal ini bahkan dengan pacar-pacarku yang dulu?" tanya Hannie dalam hati. Matanya yang semula terbelalak karena terkejut dengan kejadian itu spontan terpejam. Rain yang melihat itu seolah mendapat izin untuk mencium Hannie. Belum sampai Rain melumat bibir Hannie, seorang pengunjung berdeham membuyarkan fantasi keduanya. Ya pria americano itu tiba-tiba muncul entah dari mana.
Aroma parfum pria americano itu seolah menarik Hannie untuk kembali pada kesadarannya, bahwa selama ini yang dia suka adalah pria itu. Rain yang tersadar segera berdiri tegak dan berjalan ke dalam kafe untuk menerima pesanan pria americano itu, meninggalkan Hannie yang masih terdiam dalam pikirannya sendiri.
Merasa bingung dengan perasaannya sendiri, Hannie mengacak-acak rambutnya, sementara Rain yang selesai membuat kopi untuk pria americano itu kemudian berjalan menghampiri Hannie, keduanya saling bertatapan, Rain yang masih dalam posisi berdiri merapikan kembali rambut Hannie sambil tersenyum, Hannie menunduk mendapat perlakuan seperti itu dari Rain. Saat Rain berhenti merapikan rambutnya, Hannie menengadahkan kepala, keduanya kembali bertatapan dan tersenyum. Perilaku manis Rain itu mencuri perhatian pria americano yang duduk di depan mereka.
Sampai suatu hal mengejutkan dialami Hannie keesokan harinya. Pria Americano itu tiba-tiba saja datang menyapanya. Banyak hal yang buat Hannie bertanya-tanya, kenapa pria itu bisa mendekatinya seolah sudah mengenal lama. Tapi Hannie dibutakan oleh rasa kagumnya yang berawal dari aroma parfum. Hannie dalam sekejap melupakan perasaannya yang muncul karena ciuman tak sengaja antara dia dan Rain.
Kehidupannya sejak saat itu hanya berporos pada pria Americano yang kemudian diketahuinya bernama Lino. Saat itu Hannie tak pernah berpikir bahwa Lino akan menjadi suaminya kelak dan tak selesainya hubungan dengan Rain kelak menimbulkan masalah dalam kehidupan pernikahannya dengan Lino.
Sementara Rain, hanya bisa melihat perlahan tapi pasti Hannie yang selama ini diam-diam dicintainya perlahan menjauh. Hannie mulai sibuk dengan dunia barunya. Mereka bahkan kini tampak asing sejak Hannie memutuskan tinggal satu apartemen dengan Lino.
Lino seolah tak membiarkan Hannie berlama-lama sendirian meskipun tampak memberikan kebebasan untuk Hannie datang ke kafe, tapi Lino selalu punya cara untuk memastikan Hannie tak berada di kafe itu dalam waktu lama. Rain sadar, Lino seolah sengaja menjauhkan mereka, tapi bukan ingin menyerah, naluri Rain untuk memiliki Hannie justru semakin besar.
**end**