Masukan nama pengguna
Sejak ayah dan bundanya bercerai, terpisah jauh tak lagi bersama. Tara, gadis manis yang baru minginjak masa remaja, dan baru saja merayakan happy seventeen, berubah sikap dan gaya bertemannya.
Sebenernya Tara sudah merasakan keretakan hubungan orang tuanya. Dia penah mendengar nama wanita lain selain mamanya, tapi ia tidak sanggup untuk melerai. Ia hanya berharap pertengkaran ini hanya bumbu kehidupan keluarganya.
Kini ia hanya termenung meratapi kelangsungan hidupnya. Ia selalu berada di sebuah ayunan bertalikan tambang, tempat yang menurutnya aman dan nyaman. Pohon mangga yang rindang itu, sekarang menjadi rumah keduanya. Ia habiskan waktu sambil menatap kosong tak berirama.
Waktu itu hujan turun lebat dan beranginkan putaran dedaunan. Ia tersadar bahwa hujan mulai turun. Tara pun bersiap untuk berteduh, namun langkahnya tertahan, ada seseorang yang menggengam tangannya.
“Jangan pergi, hujan sudah lebat, kamu bisa sakit nanti,” ucap orang misterius itu.
Sambil membalikan badan, seseorang misterius itu tiba-tiba kabur dan melepaskan tanganya. Di sana Tara tercengang dengan jantung berdebar. Wajahnya semula merah-merah, kini menjadi pucat tak berwarna. Tangannya pun masih merasakan sentuhan itu.
“Siapa tadi? Kok tiba-tiba ada seseorang di sini, padahal tembok pembatas tinggi begitu,” ia bertanya dalam hati.
Tara bertanya-tanya dalam hati, sesosok manusia yang ia pikirkan, sudah menjadi banyangan makhluk halus, tapi ia tak menganggap berlebihan. Ia pun melangkah meski hujan teramat lebat.
Langkah Tara pun berlanjut, tangannya menyilang seakan merasakan kedinginan. Baru beberapa langkah saja, ia merasakan keanehan. Kepalanya takbasah? Padahal deras hujan bertubi-tubi membasahi bumi. Tara kali ini merinding, perasaanya tak enak.
Lalu ia berusaha membalikan badanya. Ia melihat seseorang tadi dengan payung di tangannya. Wajah orang itu tak nampak, berkat jaket kulit berwarna hitam serta topi dengan warna yang senada dengan jaket, melekat di badanya.
“Hei! Siapa kamu? Dari mana asal kamu?” ucap Tara berontak.
“Sudah, lihatlah ke depan, kan kau jumpai ibu dan bibimu.”
Tara pun mengikuti perintah sosok tersebut. Namun, tak ia lihat ibu dan bibinya berdiri di depan sana. Lalu ia mencoba bertanya lagi.
“Tapi kamu tuh si ...” Tara terkejut setengah mati, orang itu kembali menghilang.
Esoknya. Tara terjaga dari kantuknya, dengan mata yang masih terkantuk ia melihat sosok ibunya. Ibu dengan hati-hati meletakkan nampan berisikan roti dan apel merah segar yang sudah terbelah, di sebeleh ranjang.
“Bu.”
“Iya Tara?” memandang dengan senyum.
“Mana bibi?”
“Bibi? Mana ada bibi ke sini, ia kan sedang di luar kota,” ucap ibunya kebingungan.
“Lho kok gitu? Tapi kata orang itu …” ucap Tara namun terpotong.
“Kata orang? Siapa?”
“Kemarin ada orang yang memayungiku hingga teras rumah, lalu pergi entah kemana.”
“Mana ada orang lain selain kamu di sini?” ucap ibu seperti naik darah.
“Tapi ....”
“Sudah makan sana, ibu harus pergi kekantor.”
Tara terdiam, mendengar ibunya sudah menaikan nada bicaranya. Ia cemberut sambil menahan dagu dengan kedua tangannya. Sedangkan ibunya sudah berkemas utuk berangkat ke kantor.
Ibu pergi. Tara kembali sendiri. Kembali ia duduki ayunan bertali tambang, mengulangi lagi tatapan kosong, dengan tangan menggenggam tali. Kakinya belum mau menggerakan ayunan, tapi tiba-tiba saja ayunan bergerak sendiri, tanpa di gerakkan.
“Biar kuayunkan,” ucap orang misterius itu.
“Kamu! Lagi-lagi datang mendadak, sebentar lagi juga kamu menghilang.”
“Benarkah?”
“Iya tau! Eh, ngomong-ngomong kamu tuh siapa dan kenapa pakai baju serba hitam? Mau ngelayat ya? Hahaha,” cerocos Tara.
“Emangnya kamu harus tahu.”
“Iya! Kamu kok judes amat,” sambil membalikan badan.
“Ya begitulah aku.”
Suasan hening, tak bersuara. Orang misterius itu masih menggerakkan ayunan. Tara pun masih menikmati ayunan itu.
“Mengapa diam? Oh iya nama kamu siapa?"
“Valhen.”
“Siapa?”
“Ingat saja sendiri, Tara.”
“Hei! Bagaimana kamu tahu siapa namaku?”
Namun, sebelum pertanyaan itu terjawab. Sosok misterius itu sudah tak berada ditempat, di mana ia mengayunkan ayunan untuk Tara. Ayunan pun terhenti. Rasa penasaran yang begitu kuat dari dalam diri tara membuat ia mencoba mencari manusia misterius itu. Ia mencari di antara semak-semak, lalu dibelakang garasi hingga rela menaiki jenjang demi jenjang anak tangga, untuk melihatkeadaan di balik tembok yang tingginya dua meter itu.
“Siapa sih kamu? Valhen ...” teriak Tara menggema.
Tara lalu, mengayunkan langkah ke dalam rumah, dan ia dapati sebuah foto tergeletak di lantai, meski ia tak berfikir mengapa bisa terjatuh. Ia melihat seseorang dengan rambut agak kriting berjangut tipis, mengenakan baju warna biru dengan kata Valhen bergaya font Algerian.
Oh hari yang betah bagi Tara, ia merasa mual dengan kejadian ini. Tentang si misterius dan Valhen yang ia ucap. Tara pun rebahan, terkapar di lantai teras.
Belum sadar akan keadaan anaknya kini, membuat ibu gelisah. Sambil berharap-harap cemas dan menunggu dokter yang masih memeriksa keadaan fisik Tara.
“Anak ibu, cuma kecapek'an, saya beri resep ini, silahkan ibu membelinya di apotik.”
“Tapi dok, anak saya tak menglami penyakit mematikan?”
“Ah, ibu mengada-ada saja. Tara hanya kecapek'an saja serta butuh istirahat.”
Dokter pergi.
Ibu segara membeli obat sesuai resep yang di berikan dokter.
Tara terbangun, ia jumpai rumah dengan keadaan kosong, kepalanya masih terasa pusing. Tara coba duduk dengan menyandar di kepala kasur. Mencoba memandang bebas apa yang ada di balik jendela.
Lalu ia melihat seseorang duduk di ayunan, lalu berdiri dan memutar badan, melangkah dan menghilang di balik pohon. Ia seakan terkejut saat Tara melihatnya.
Tara bangkit dari kasur dan segera keluar. Namun, sayang langkah Tara terhenti ketika ia sadar ada ibu di depannya.
“Kamu mau kemana?”
“Mengejar Valhen, Bu, ia teman ku di .…”
“Tara! Darimana kamu tahu valhen?”
“Memangnya siapa itu Valhen, Bu?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Jujurlah, Bu, dia sosok misterius yang menemaniku akhir-akhir ini.”
“Apa?”
“Oh begitu jadinya, tragis sekali hidupnya.”
“Ya, dia dulu anak tiri ibu, ia kakakmu. Ia pernah ingin membunuh ibu, ingin menusuk ibu.”
“Lalu apa hubunganya dengan baju yang bertuliskan Valhen?”
“Baju itu adalah pemberian dari ibu kandungnya, pada acara ulang tahun yang ke tujuh belas, karena sudah lama terletak dan warnanya sudah mulai kusam. Ibu tak sengaja menjadikannya kain lap.”
“Lalu apa reaksi dia?“ kata Tara.
“Dia marah, dia ambil pisau, lalu ia mencoba menusukkan pisau kearah ibu. Ayah tiba-tiba datang dan lalu menendangnya hingga terdorong, kepalanya terbentur keras di dinding.”
“Ia masih hidupkah, Bu?”
“Kepalanya mengalami pendarahan hebat, darah ke luar dengan cepat. Ayah panik, ibu pun panik tak mau ayah masuk penjara, dan kami sepakat menguburinya di bawah pohon itu.” Ibunya menunjuk pohon di mana Tara berayun dengan kesunyian hatinya.
“Semoga ia tenang di alam sana. Ibu juga harus tenang, ia juga tahu. Ibu dan ayah tak salah dalam hal ini. Buktinya ia tak mengusik ketenanganku, malah ia selalu menemaniku saat ibu tidak ada di sisiku.”
Tepat di mana hari ulang tahun si misterius itu, ibu dan Tara sengaja memanjatkan doa di tempat ia di kuburkan, di bawah pohon yang dihiasi ayunan itu, dan berharap semoga arwahnya diterima disisi Tuhan. Saat Tara mulai pergi menjauh dari pohon itu, ia mendapati si misterius itu tersenyum.