Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,885
Suara Melodi Kematian
Horor

Sore itu, ketika hujan lebat tengah mengguyur sebagian besar kota Medan. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki areal Rumah Sakit Meta, tampaknya mobil tersebut tengah membawa penumpang yang sedari tadi berkutat dengan rasa khawatir dan panik.

Para suster telah menunggu, stand by dengan sebuah kursi roda yang nampaknya sudah disiapkan untuk di duduki oleh seorang pasien, dan benar saja, mobil tersebut memuntahkan seorang laki-laki dan wanita muda yang tengah mengalami pendarahan pada kandungannya. Wanita tersebut langsung dirujuk ke ruang bersalin, sementara sang pria yang tak lain adalah suaminya hanya diperbolehkan mengantar sampai di koridor depan tempat bersalin istrinya.

Setelah sekian jam terbujur, akhirnya penantian berbuah hasil. Lilis, wanita yang sejak tadi memperjuangkan hidup dan mati tersebut kini dapat bernafas lega. Buah hati yang selama 9 bulan dikandung dengan penuh perjuangan tersebut akhirnya lahir ke dunia dengan jalan sesar. Ini adalah anak yang ketiga dari hasil perkawinan mereka.

Hendra, yang tak lain adalah nama dari pria itu terlihat masih menunggu. Sudah hampir 3 jam ia menunggu, tapi sama sekali belum mendengar tangisan bayi. Namun, dari kejauhan terlihat pria berpostur agak tinggi dengan segera mendekati Hendra.

“Selamat Pak Hendra, anak bapak telah lahir dengan selamat, tapi ....” kata seorang pria berjas putih yang sebagian wajahnya ditutupi masker berwarna hijau.

“Tapi kenapa, Dok? Lalu bagaimana keadaan istri saya, apa dia baik-baik saja?” sambut pria itu heran sembari mengernyitkan alis.

“Istri bapak baik-baik saja, ya ... bapak bisa lihat sendiri lah. Terlalu berat untuk saya menyampaikannya kepada bapak, dan bapak pun harus tabah menerima kenyataan ini,” sambung sang dokter tersenyum tipis di balik balutan masker, sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Hendra yang tertegun dengan tanda tanya besarnya.

Terlihat Lilis terdiam di atas ranjang putih dengan pandangan kosong dan mata sayu.

“Apa yang terjadi pada bayi kita?” tanya Hendra khawatir.

Lilis tetap diam seribu bahasa, pandangannya hanya tertuju pada sebuah box bayi yang ternyata di dalamnya terdapat sang buah hati.

“Ayo jawab Lilis, kenapa diam saja?” Hendra semakin geram sambil menggoyangkan kedua lengan istrinya.

“Anak kita, Mas. Dari awal ia diangkat dari rahim ini, aku belum mendengar sedikitpun ia menangis,” jawab Lilis, masih memandangi box dengan tatapan kosong.

“Kau serius?” sambung Hendra meyakinkan.

“Aku tak tahu, mungkin aku yang terlalu berhalusinasi, atau ....”

“Tidak! Tidak mungkin, aku tidak percaya!” tukas Hendra tak yakin dengan kesaksian istrinya.

Jantungnya seakan berhenti sejenak, aliran darah seakan mengalir tak terarah dari arus normalnya.

Suara gemuruh petir disertai hujan yang begitu deras malam itu menyertai peristiwa miris pasangan suami istri tersebut, dan tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah malam itu berlalu.

***

Seorang gadis remaja yang kira-kira umurnya baru menginjak 17 tahun, tengah berlari tunggang langgang di tengah keramaian pasar malam. Sepertinya ia sedang dikejar oleh Pol PP yang malam itu sedang mengadakan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis.

Orang-orang berpostur kekar itu telah berhasil menangkap sebagian dari gelandangan yang biasa mengadu nasib di seputaran Pasar Sengol. Namun, sebagiannya lagi berhasil kabur menuju tempat persembunyian mereka. Biasanya para gelandangan yang berhasil kabur tersebut sudah mahir dan profesional dalam mengantisipasi bahaya razia itu, tak ayal bila mereka dengan mudah bisa lolos dari sergapan para Satpol PP.

Mobil-mobil besar dengan belasan gepeng di dalamnya telah pergi meninggalkan hiruk pikuknya Pasar Sengol. Terlihat gadis remaja berpenampilan lusuh dengan rambut panjang terurai terdiam sembari menatap belasan teman seperjuangannya yang tertangkap. Memakai topi yang ujungnya diputar 180 derajat ke belakang menambah berandalnya raut gadis yang sebenarnya berperangai polos itu.

Berbekal sebuah gitar kecil, langkah gadis yang biasa dipanggil Lara ini kian mantap menyisir setapak demi setapak sebuah jalan raya yang terbilang lengang itu. Maklum, jika sudah memasuki pukul 11 malam, jalanan di Kota Medan ini memang sudah sepi. Biasanya yang berlalu-lalang ketika ini hanya gelandangan yang tengah mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari dinginnya malam yang menusuk.

Sepertinya Lara telah menemukan tempat tujuannya. Ya, sebuah emperan toko yang cukup luas nyaman untuk berbaring dan memainkan beberapa lagu dengan gitar kecilnya, sembari membunuh rasa takut akan kejamnya kehidupan di dunia, tak ada yang bisa dipakai untuk membalut tubuh dari dinginnya hawa selain baju tipis yang melekat pada tubuh Lara. Dengan rasa iba pada diri, gadis itu pun mulai memetik senar-senar tipis bernada ritmis itu. Petikan-petikan itu bernada sendu, pas betul dengan kondisi hidupnya sekarang. Tanpa sadar ia pun mulai terlelap.

“Heh gembel, bangun! Enak saja tidur di depan kios orang, pelangganku pada pergi tuh, cepat bangun, heh!”

Tiba-tiba Lara dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Lara membuka mata sembari mengusapnya. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut murka, dan raut tersebut ditujukan pada Lara yang telah menumpang tidur di depan kios wanita tersebut.

Seusai membereskan barang bawaannya, Lara langsung pergi meninggalkan wanita pemarah dengan kiosnya itu.

Pagi ini memang cerah, namun raut Lara tak pernah sekalipun terlihat cerah. Dalam cerahnya dunia ini, ia masih merasakan redup dalan jiwanya. Dalam terangnya langit pagi ini, masih ada celah gelap di setiap rongga kehidupannya. Semua saling bersinergi membentuk paradoks dalam realita hidup seorang Lara.

Tak ada yang lebih indah bagi Lara selain memetik senar-senar ritmis dari gitar kesayangannya itu. Nada-nada indah selalu tercipta dengan alunan harmoni yang spektakuler. Ia tak pernah memberi nama setiap melodi yang ia ciptakan, ia hanya ingin melodi-melodi itu bebas tanpa terikat oleh apa pun dari dalam dirinya.

“Wah, merdu sekali petikan-petikan gitarmu, Nak!”

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bila dilihat dari penampilannya yang menggunakan setelan jas hitam dan sepatu yang mengkilap, sepertinya ia orang yang terpandang dan tentunya kaya.

Lara melongo menatap pria tersebut, tanpa sepatah kata pun untuk membalas pujian sang pria. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk tanda berterimakasih.

“Lho, kok cuma senyum? Siapa namamu, boleh Om tahu?” tanya pria itu lagi seolah memaksa karena merasa tak ada respon jawaban.

Karena terdesak, Lara langsung meraih kertas dan pensil dari dalam tas lusuhnya dan menulis nama Larasati. Boleh dipanggil Lara, pada permukaan kertas putih tersebut, lalu memperlihatkannya pada pria itu sembari tersenyum lebar.

Pria itu mengernyitkan kening seolah bertanya pada dirinya.

'Apa dia bisu?!'

Lara menurunkan senyum lebarnya ke bentuk awal, ia kebingungan melihat tampang sang pria, dan pemandangan itu berlangsung sekitar beberapa detik sebelum akhirnya seorang pria lain berpakaian dinas mendatangi pria bersetelan jas hitam tersebut.

“Lapor Pak Hendra, rapat dewan akan segera dimulai. Mohon bapak berkenan mesuk ke dalam mobil untuk menuju gedung DPRD.”

Pria berseragam dinas itu, yang ternyata asisten dari Hendra Dharmawan, seorang pengusaha kaya dan sekaligus sebagai ketua DPRD Kabupaten Tapanuli.

“Oh, baik. Sekarang saya menuju ke sana, tapi, beri saya waktu 3 menit lagi.”

“Baik, Pak!”

Sebelum pergi Hendra menyempatkan diri untuk pamit pada Lara. Entah kenapa Hendra merasakan getaran yang tak asing dari diri gadis itu. Seperti ada ikatan batin diantara mereka berdua. Lara pun merasakan hal itu, tapi ia tak punya keluarga bagaimana mungkin Lara bisa percaya tentang ikatan batin diantara Hendra dan dirinya.

“Boleh lain kali Om menjumpai kamu di tempat ini lagi Lara?” tanya Hendra ramah.

“Hemm ....”

Lara hanya mengangguk tanda setuju, karena tak ada yang bisa ia ucapkan selain memperlihatkan bahasa tubuh.

Seiring dengan itu, Hendra tengah bersiap-siap untuk berangkat dengan asistennya. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Lara. Entah mengapa pertemuan singkat itu menjadi pertemuan yang istimewa bagi seorang ketua DPRD yang selalu sibuk berkutat dengan urusan politik dan sosial.

“Sampai jumpa Lara.”

Lara turut membalas dengan lambaian tangan.

Berawal dari sebuah petikan gitar. Hendra dan Lara menjadi sering bertemu semenjak kejadian itu. Mereka terlihat akrab layaknya ayah dan anak. Lara juga dibelikkan baju baru, sepatu baru, tas baru, dan gitar baru yang membuat Lara makin berbunga-bunga. Selepas bekerja Hendra selalu menyempatkan diri untuk bertemu Lara.

Taman Kota Medan adalah saksi bisu bertemunya dua insan yang saling berparadoks dalam kehidupan mereka masing-masing. Benar-benar mukjizat Tuhan yang maha sempurna. Mereka sering jalan-jalan bersama, bercerita bersama dan menyanyi bersama dengan iringan gitar Lara. Hingga tak disadari karisma seorang pemimpin sudah tak nampak lagi pada perangai Hendra, yang ada hanya karisma seorang ayah.

***

“Aku sudah membuang bayi itu!”

“Apa? Apa kau sudah gila Lilis? Itu darah daging kita, tega sekali kau seorang ibu berbuat seperti itu! Di mana kau buang anakku? Jawab!”

Hendra tak percaya istrinya akan berbuat sekeji itu. Namun terlambat, bayi itu telah dibuang ketika Hendra tengah bertugas di luar pulau Bali.

“Di TPA, dan mungkin sekarang dia sudah mati dimakan anjing. Sudahlah, anggap saja aku tidak melahirkan lagi setelah Victor dan Ria," anak pertama dan kedua Lilis.

“Kau itu benar-benar, agh ....!”

Hampir saja tangan Hendra melayang ke pipi kanan Lilis, namun tertahan dan dihempaskan ke arah lain. Hendra tak ingin membuat perkara lebih panjang dengan istrinya yang sudah berjasa membesarkan kedua anaknya hingga mereka berhasil seperti sekarang. Namun, di sisi lain Hendra tidak mungkin melaporkan istrinya ke polisi atas tindakan kriminal pembuangan bayi. Di balik jabatan tingginya, ia sekeluarga dan rumah sakit yang dulu menjadi saksi bisu kelahiran bayi malang itu menutup rapat-rapat rahasia ini. Dengan uang kerjasama pun berjalan dengan lancar dengan pihak rumah sakit.

***

Lara kebingungan melihat Hendra yang tengah hanyut dalam lamunannya. Ia mencoba untuk menyadarkannya dengan menyenggol lengan pria itu.

“Eh Lara, maaf. Om ....”

Hendra tak sadar bahwa barusan flashback dari masa lalunya terputar kembali. Ia teringat dengan putrinya yang dibuang. Kembali ia menatap Lara yang sedari tadi memperhatikannya.

'Apa mungkin, apa mungkin kau putriku yang hilang itu? Katakan padaku Lara sayang,' ucap Hendra dalam hati.

“Jika Om boleh tahu, siapa orang tuamu? Dan kau tinggal di mana, Nak?”

Lara terdiam. Mulai meraih kertas dan pensil kesayangannya, lalu menulis.

“Saya tidak punya orang tua. Saya tidak punya rumah. Saya hanya punya gitar. Saya lahir dari sampah, mungkin orang tua saya adalah sampah.”

Kata-kata yang polos atau mungkin tidak polos sama sekali bagi Hendra, membuat ia tercengang akan kesaksian Lara. Bagaimana mungkin ia bisa berkata seperti itu. Namun di benak Lara, itu hanya kata-kata biasa yang tak ia tau persis maknanya. Maklum, Lara belum sempat mengenyam bangku sekolah selama hidupnya, tapi Lara punya semangat yang tinggi untuk belajar, buktinya ia bisa menulis meskipun ada banyak makna yang ia tak mengerti. Bahkan ia tak pernah tahu apa itu orang tua, yang ia tahu hanya sampah, dan mungkin, Lara juga tidak tahu apa itu sampah, tak ada bedanya.

Hendra masih terjebak dalam keterkejutannya. Ia mulai memutar balik otak dan ingatannya. Mulai membuka kembali lembaran-lembaran album suram yang telah terkubur rapi oleh kebusukan, tak lama kemudian ia tersadar. Sadar akan gadis yang ada di depannya itu adalah benar anak kandungnya yang telah lama hilang 17 tahun yang lalu.

“Lara, mau ya jadi anaknya, Om?”

Lara hening sejenak. Mencoba menyadarkan diri, ia tak bermimpi. Lara meyakinkan sekali lagi dengan bahasa tubuhnya.

“Benar Lara, Om serius, dan sekarang juga kamu akan Om ajak ke rumah Om, gimana? Mau ya?”

Seperti mendapat 2 Joker dan 4 As sekaligus, ini keberuntungan yang sulit dipercaya oleh Lara. Lara mengangguk tanda setuju.

Sungguh ajaib. Dalam hitungan beberapa detik hidup Lara berubah 360 derajat. Dari meminta sedekah, kini mampu memberi sedekah. Baju lusuhnya berubah seketika menjadi dress putih yang cantik dan mewah. Rambutnya yang kusam tak terawat itu dirombak habis-habisan oleh hairstyles kepercayaan Hendra di salon yang cukup megah dan elite.

Beberapa jam yang lalu Lara masuk ke salon sebagai Lara yang kumuh dan lusuh. Namun 2 jam kedepan, ke luarlah seorang putri cantik dengan rambut yang telah dismoothing dan wajah yang berbinar-binar. Kini Lara telah siap memasuki rumah megah orang nomor satu di Medan, Hendra Dharmawan.

Hendra dan Lara akhirnya sampai di rumah kediaman Hendra. Mereka disambut oleh pekarangan yang luas nan asri, dengan kolam renang besar di sisi kanan dan taman yang indah disisi kiri. Tampak dari kaca mobil bola mata Lara terbelalak dan menyapu seluruh isi pekarangan rumah itu. Bila pekarangannya saja sudah megah begini, lantas bagaimana isi di dalam rumahnya? Batin Lara bergumam.

Benar saja, rumah Hendra sangat megah dan indah. Ada 4 pilar besar yang terbuat dari bahan marmer menyambut kedatangan mereka. Rumah itu terlihat berkilau, karena 90% bahan luar dari rumah itu adalah bidang-bidang marmer putih yang mahal. Rumah itu tampak elegant berdiri kokoh di depan Lara.

Jika tadi Lara telah dimanjakan oleh keadaan rumah yang super mewah itu, kini ia harus terkagum-kagum ria juga dengan fasilitas yang dimiliki rumah tersebut. Dua orang security datang menghadap pada Hendra selaku Tuan rumah. Lalu mereka membukakan pintu dan mengawal kedua majikannya memasuki rumah.

“Nah, Lara. Sekarang ini rumah barumu, dan sekarang Om akan tunjukkan di mana kamarmu,” kata Hendra sembari menuntun Lara.

“Nah, ini dia kamar barumu. Om harap kamu suka ya, Nak? Sekarang Om harus pergi dulu, ada rapat penting yang harus Om hadiri. Baik-baik di sini ya Sayang.”

Setelah menunjukkan kamar pada Lara, Hendra langsung meninggalkan Lara dengan kamar barunya itu. Dengan sebuah lambaian tangan oleh Hendra dan dibalas pula oleh Lara, Hendra mengakhiri kebersamaan mereka.

“Siapa gadis itu, Yah?”

Seru seorang wanita paruh baya dari arah belakang Hendra. Semakin lama wanita itu semakin mendekat. Langkah Hendra jadi terhenti mendengar seruan tersebut. Segera ia membalikkan badan.

“Dia anak kita, anak yang telah tega kau buang!” sambut Hendra dengan nada agak tinggi.

“Apa?”

“Ya, dan sekarang dia tinggal bersama kita di sini, di rumah yang berhak ia huni!”

“Ta ... tapi, dia sudah mati 17 tahun yang lalu!”

“Belum, buktinya 17 tahun setelah itu aku menemukannya!”

Hendra berlalu meninggalkan Lilis dan tidak melanjutkan pembicaraan serius itu panjang lebar. Sementara Lilis masih terdiam, antara shock dan tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Hendra, suaminya.

Dalam waktu yang bersamaan pula, Lara sedari tadi sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Artinya ia letah merekam semua percakapan antara Hendra dan Lilis dalam memorinya yang benar-benar kosong. Butiran bening mulai menitik dan membasahi pipi mulusnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya terasa dihujam belati yang sangat tajam. Lara lemas.

Genap seminggu sudah Lara menjalani hari-hari bak seorang putri kerajaan. Walaupun butuh sedikit adaptasi, namun kehadiran Hendra yang selalu menemaninya di tengah kesibukan-kesibukan Hendra yang padat membuat Lara semakin kerasan tinggal di rumah tersebut.

“Lara mau sekolah?”

Pertanyaan singkat itu membuat Lara agak sedikit kaget dan ada rasa gembira di dalamnya. Seketika Lara mengangguk tanda setuju. Meskipun Lara dibesarkan dalam kerasnya kehidupan jalan, tetapi itu tak membuat niatnya surut untuk menuntut ilmu. Selama di jalan ia banyak belajar dari murid-murid sekolahan yang sesekali menyempatkan waktu untuk mengajarinya membaca dan menulis. Mata tak ayal, perlahan Lara semakin pintar, dan kini ia siap menantang dirinya untuk mengenyam bangku sekolah.

Karena daya nalar Lara yang cukup baik untuk menangkap pelajaran, Hendra tidak menyekolahkannya di SLB melainkan di sekolah biasa seperti anak-anak normal lainnya, dan tak tanggung-tanggung, SMA negeri yang berpredikat RSBI pun menjadi pilihannya untuk Lara. Hendra yakin Lara mampu dan bahkan lebih mampu melebihi kelebihan anak lainnya di sekolah itu.

“Terimakasih, Om.”

Lara tersenyum sembari memperlihatkan kata-kata yang ditulis pada permukaan kertas. Hendra hanya membalas dengan sesungging senyum dibibirnya.

***

Hendra terduduk di sebuah ruangan. Matanya terus memandang serius pada seorang wanita yang tengah berbicara dihadapannya. Tanpa mengurangi sedikit rasa hormat, wanita itu berbicara panjang lebar mengenai Lara, anaknya.

“Sepertinya bapak harus segera merujuk Lara pada Psikiater ahli.”

“Maksud ibu?”

“Saya tidak tahu dengan cara apa saya harus memberitahu hal ini pada bapak, tapi bapak tetap harus tahu.”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hendra makin penasaran.

“Kemarin kali kelima Lara masuk BK atas kesalahan yang sama. Dua di antara korban Lara, sekarang tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Namun, tadi pagi kami baru mendapat kabar bahwa salah satu dari mereka meninggal dunia dengan luka yang cukup parah di kepalanya.”

“Ya Tuhan, berita buruk macam apa ini!”

Seru Hendra, tak percaya dengan apa yang barusan ia simak, dan sekaligus tak percaya bahwa seorang Lara yang polos mampu melakukan hal tersebut.

“Maaf, Pak. Seburuk apa pun berita ini bapak tetap harus mengetahuinya. Kami juga tak percaya dengan hal ini. Lara seorang anak berprestasi, ia sempat menjuarai beberapa olimpiade dalam ajang OSN. Namun, sejak sikapnya berubah beberapa bulan yang lalu, kami menjadi ngeri dan sekaligus shock olehnya.”

“Lalu, mengapa tak ibu ceritakan dari dulu masalah ini pada saya?”

“Awalnya memang seperti itu, tapi kami takut. Kami juga telah sepakat untuk mendrop out Lara dari sekolah. Kami takut kalau korban semakin banyak berjatuhan gara-gara satu orang siswa. Namun, hasilnya nihil, kami tetap tidak berani mengingat jabatan bapak selaku orang nomor 1 di kota ini.”

Wanita itu kian berpasrah di depan Hendra. Sudah sekian jam mereka terjebak dalam kondisi yang amat krodit seperti itu.

Sepertinya suasana kelas XII IPA 1 mendadak seru pagi itu. Terlihat seorang gadis terduduk dengan darah dikepalanya. Teman-teman lainnya tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa berngeri-ngeri ria menyaksikan kejadian itu.

Lara hanya menatap gadis itu dengan pandangan tajam seolah penuh dendam. Kemudian ia berlalu meninggalkan kelas. Tak ada yang tahu kemana ia pergi. Suasana mencekam mulai terasa di sekolah terpandang tersebut. Hingga akhirnya awak media berhasil mengabadikannya di dalam sebuah surat kabar. Nama Lara Dharmawan seakan menjadi topik hangat yang tak habis-habis diperbincangkan seluruh media sosial. Kini Lara telah menjadi buronan para paparazzi.

Menjadi pusat perhatian dalam waktu yang cukup singkat membuat Lara menjadi semakin tak tenang. Sudah beberapa Minggu ia absen dengan alasan yang tidak jelas. Tentu ini hal ini sekaligus menjadi ketenangan tersendiri bagi pihak sekolah yang sudah resah dengan ulah sadis Lara.

***

Di sebuah rumah sakit besar di daerah Menteng.

“Apa sebenarnya yang terjadi pada anak saya, Dok?”

Suara barito Hendra memecah keheningan ruangan yang hampir seluruhnya bernuansa putih tersebut. Terlihat seorang dokter yang tengah serius menganalisis hasil psikotes dari anak Hendra, Lara.

“Hasil ini sungguh mencengangkan, Pak. Belum pernah saya menghadapi kasus semacam ini selama saya bekerja sebagai psikiater.”

“Memangnya hasilnya seperti apa?”

“Baik akan saya jelaskan, namun sebelumnya bapak harus menyiapkan mental yang cukup untuk mendengar hasil riset ini.”

Hendra membalas dengan anggukan mantap.

“Begini, anak bapak mengidap penyakit PSIKOPAT. Psikopat itu sendiri berasal dari kata Psyche yang berarti jiwa dan Pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya sering disebut SOSIOPAT, namun tidak berarti orang gila. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.”

Psikiater itu memaparkan dengan jelas penyakit yang diidap oleh Lara. Bak disambar petir di siang bolong. Hendra shock bukan kepalang. Berkali-kali ia menghela napas panjang, namun tak juga kunjung menenangkan kegundahannya. Kali ini ia benar-benar sanksi untuk mengajak Lara tinggal di rumah itu. Lara benar-benar orang sakit.

“Sudah saya katakan dari awal, ini butuh mental yang tinggi. Seseorang biasanya sulit mencerna kenyataan yang amat pahit, yang sabar ya Pak Hendra.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang terhadap Lara, Dok?”

“Mengingat ini sangat berbahaya bagi keselamatan bapak sekeluarga, saya sarankan bapak membawanya ke tempat rehabilitasi mental. Bukan rumah sakit jiwa ya, Pak! Tapi REHABILITASI MENTAL. Oia, di mana anak bapak sekarang? Saya harap ia tidak berada dekat dengan orang-orang yang dibencinya.”

“Di rumah, Dok.”

Suasana hening sejenak, dan tiba-tiba ....

“Astaga, di rumah saya bilang, Dok? Maaf, saya harus segera pulang!” kata Hendra, sebelum akhirnya ia melesat secepat kilat menuju rumah.

Sementara sang dokter tampak bingung melihat reaksi Hendra.

Hendra memasuki pekarangan rumahnya dengan tergesa-gesa, seperti sedang dikejar oleh monster yang menyeramkan. Biasanya ada security yang menyambutnya, namun rumah tampak dalam keadaan sepi. Ia masih ingat ketika ia pergi dari rumah dengan meninggalkan Lilis, Victor, Ria dan Lara di rumah. Sebenarnya ia tahu bahwa hubungan istri dan anak-anaknya tidak terlalu baik dengan Lara, tapi sebelum ia mendapat berita mencengangkan ini semua tampak baik-baik saja, pikirnya.

Sementara Lilis telah berkomitmen bahwa ia tak akan menerima Lara sebagai anak yang pernah ia lahirkan. Bagi Lilis itu adalah aib bagi orang terpandang seperti dirinya.

Brak! Hendra telah memasuki pintu utama rumahnya yang tak terkunci itu. Namun, Hendra agak bersemangat membukanya hingga terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras.

Semua ruangan di lantai satu telah diperiksa, tak juga ia temui istri dan anak-anaknya. Hendra menaiki tangga dengan langkah yang semakin dipercepat, dan sampailah ia di lantai dua rumahnya. Di sana ada sebuah kamar mandi besar, 3 kamar, dan sebuah ruang kerja miliknya. Pertama Hendra memeriksa kamar mandi, dan ....

“Agh ...."

Hendra berteriak histeris menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan di depannya. Dua mayat manusia terbujur kaku di tempat yang agak berjauhan. Kedua mayat itu tak lain adalah security yang selalu setia menjaga rumah megah itu. Keduanya tewas dengan luka gorok di leher. Ia tak tahu atau mencoba untuk tidak mencari tahu siapa gerangan orang sadis yang tega melakukan hal ini.

Dari kejauhan, tepatnya di kamar nomor 3 paling ujung dari tempatnya sekarang terdengar samar-samar suara petikan gitar. Ia seolah tahu itu adalah Lara, namun nada petikan gitar tersebut terasa sangat asing di telinganya. Seharusnya Lara memainkan melodi yang gembira seperti ketika ia pertama bertemu Lara yang tengah memainkan gitarnya. Namun, yang ia dengar kini adalah melodi menyeramkan seolah sedang berkabung. Mengapa Lara berubah.

Hendra seolah merasakan penderitaan yang di alami Lara sejak dulu. Andai saja ia tidak terlalu sibuk dengan urusan kepolitikannya, pasti Lara kecil tidak sampai dibuang oleh Lilis, dan kini semua itu tinggal penyesalan belaka. Dengan langkah gontai Hendra langsung menuju kamar ketiga yang merupakan sumber dari bunyi petikan gitar Lara atau bukan Lara yang sebenarnya. Hendra membuka pintu. Jiwa Hendra seakan lepas dari badan kasarnya, berkali-kali ia menepuk pipinya ke kanan dan ke kiri. Ini kenyataan.

Pemandangan yang lebih seram dari pada mayat-mayat security itu kian membuatnya tak sanggup untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Hendra tumbang dan tertunduk. Ia shock berat.

“Mengapa seperti ini, Lara?”

Kalimat bernada lirih terlontar dari bibir Hendra. Kini ia tak punya lagi cukup tenaga untuk membentak bahkan marah.

Sementara Lara tak merespon dan masih tetap betah dengan petikan-petikan gitarnya yang menyeramkan.

Suasana tersebut bertahan kira-kira sekitar 1 menit sebelum akhirnya kejutan yang lain mulai menampakkan diri pada Hendra yang ketika itu telah perpasrah diri menerima kejutan selanjutnya.

“Aku hanya mencoba menghantar kepergian mereka dengan lagu kematian ini, dan aku harap mereka tenang di sana. Apa ini salah, ayah?”

Hendra bangkit dari posisinya yang tertunduk, ia menatap lekat pada Lara dan gitarnya yang berlumuran darah segar. Sementara Lara menatap tiga wujud yang tak lagi bernyawa itu : Lilis, Victor dan Ria. Hendra pun sekaligus tercengang karena baru pertama kalinya Lara memanggilnya dengan sebutan AYAH.

“Ka ... kau, bisa bicara Lara?”

Suara parau Hendra tampaknya memaksa Lara untuk turut menatapnya. Namun, Lara tak lagi melanjutkan perkataannya yang cukup lancar itu.

“Apa motif di balik semua ini? Mengapa kau berubah seperti ini, Nak?” lanjut Hendra.

Lara bangkit dan mendekati Hendra. Ia tersenyum sembari menjawab.

“Tidak ada. Aku hanya ingin mereka bahagia dan tidak terlalu lama menderita di dunia ini dengan rasa dengki dalam diri mereka.”

“Ta ... tapi, ini terlalu sadis ....”

“Sadis ayah bilang? Mana lebih sadis dibanding dengan membuang anak kandung di tempat pembuangan sampah dan membiarkannya hidup sendiri di kejamnya kehidupan jalanan?”

Hendra terdiam. Napasnya terasa tertahan sejenak dan jantungnya sakit. Seperti ada peluru nyasar yang mengenai tepat di jantungnya.

“Lagi pula ini tidak sebanding dengan kehidupanku yang sadis hanya dibayar dengan cairan kental berwarna merah ini. Sungguh tak adil!”

“Lalu, apa yang kau mau sekarang?”

Lara menatap tajam ke arah kedua bola mata Hendra. Rautnya yang polos kini menjelma menjadi raut kemurkaan yang tak pernah Hendra bayangkan sebelumnya.

Lara memeluk Hendra lalu berkata.

“Aku ingin ayah bahagia. Di sana, dengan mereka!”

Hening ....

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)