Masukan nama pengguna
Ia berdiri di sana, sedang berbicara dengan seorang pelayan yang hendak mengantar pesanan. Tubuhnya tinggi, tegap, dan yang pasti, menawan. Baiklah, ini mudah. Aku hanya perlu mendekatinya dan menyerahkan surat ini. Kuharap ia baru membukanya setelah aku pergi. Aku tak ingin ia tertawa di depanku saat membacanya.
Seandainya Rosa tidak membuat ide gila ini, aku tak akan berada di posisi sulit. Seharusnya aku hanya duduk diam dan dia yang mendatangiku. Aku tak perlu repot menulis surat dan mengungkapkan apa yang aku inginkan melalui secarik kertas. Rosa benar-benar kelewatan. Jika aku mengatakan ingin laki-laki itu menghampiri mejaku, bukan berarti jika gadis berambut keriting itu bisa mengusulkan ide seperti ini.
Sayangnya aku kalah saat bertaruh lempar koin dengan si keriting itu. Dan hukumannya, jika aku tidak mengikuti kemauannya melakukan hal konyol ini, Rosa tak akan mau menemaniku datang ke pesta ulang tahun Julia malam ini meskipun ia tahu aku selalu gugup berada di keramaian. Terpaksa aku harus menuruti perintahnya untuk menulis surat dan mendatangi laki-laki rupawan itu lebih dulu. Ini memalukan sekali. Aku ini perempuan! Mengungkapkan keinginan pada seorang lelaki lewat sebuah surat terkesan agak....
Kuharap Erwin tak pernah tahu masalah ini atau dia akan memenggal leherku. Dia bisa salah paham jika kekasihnya yang cantik ini mendekati pria lain.
Kulirik Rosa yang mendelik menyuruhku mengerjakan tugas secepatnya. Kami memang berteman saat sekolah, tapi tetap saja aku lebih tua dua bulan darinya. Kukuatkan batinku sendiri bahwa aku melakukan hal bodoh ini untuk Julia, sahabatku. Ya. Untuk Julia.
"Permisi," tegurku setelah menarik napas panjang.
"Ya?" sahut lelaki itu dengan suara bariton yang seksi. Terlalu banyak keistimewaan pada dirinya yang tak manusiawi. Tidak adakah satu kekurangan saja yang dimilikinya agar terlihat lebih normal sebagai seorang manusia?
"Aku ... Umm ... Aku ingin memberikan ini," ucapku kikuk.
Lelaki itu mengernyit sambil menerima lipatan kertas yang kuberikan.
"Apa ini?" tanyanya sambil menatapku kembali.
"Baca saja. Mejaku di sebelah sana. Ada gadis berambut keriting dengan baju merah. Kau lihat?"
"Ya." Pria itu menoleh ke arah Rosa yang melambai dengan genit. Sial. Mukaku pastilah merah saat ini. Bahkan Rosa mengedip nakal membuatku malu mengenalkannya sebagai teman.
"Kalau begitu, aku kembali lebih dulu."
"Tunggu dulu," tahannya meraih lenganku.
Aku melirik tangannya seketika. Sadarlah lelaki itu bahwa aku tak ingin disentuh meski aku juga tak keberatan. Ia menurunkan tangannya dengan tatapan memohon maaf.
"Kau memperhatikanku sejak tadi?" tanyanya to the point.
Memalukan. Memalukan. Ternyata dia sudah tahu sejak tadi. Seharusnya aku tak perlu repot menulis surat dan mempermalukan diri seperti ini. Cepat atau lambat, ia pasti akan menghampiri meja kami. Lelaki itu tersenyum yang kuartikan sebagai menertawakan kebodohanku.
"Maaf. Aku hanya tak tahu bagaimana harus mengatakannya," ucapku semakin kikuk dan gugup.
Tuhan, semoga aku tidak bertemu temanku yang lain di sini. Aku tak pernah segugup ini sekalipun harus berdiri mempresentasikan topik Hukum Tata Negara selama dua jam di depan kelas.
"Aku mengerti. Maaf jika membuatmu mengatakannya lebih dulu," ucapnya dengan senyum simpatik yang memukau.
"Aku akan menunggu di meja saja."
Ia mengangguk setuju. Bergegas aku kembali menghampiri Rosa yang bersiap mendengar hasil pembicaraanku dengan laki-laki tampan itu. Semoga hanya sekali ini saja Rosa menyuruhku menulis surat untuk hal seremeh ini.
"Jadi?" tanya Rosa tidak sabar.
Kualihkan pandangan pada lelaki berpakaian seragam yang kini berdiri di depan counter.
"Dia sudah mengerti maksudku. Seharusnya kau tak perlu menyuruhku menulis surat untuk hal ini, Ros," dengusku sambil memijit kening.
"Hei, kau selalu mengatakan untuk menjabarkan semua permintaan dalam bentuk hitam di atas putih. Kau ini calon dosen hukum. Itu cita-citamu, bukan?"
Aku tak menyahut ucapan si keriting itu. Laki-laki tadi sudah datang dengan nampan di tangan berisi pesanan yang kuminta juga mengambil pesanan yang salah dari atas meja. Bagus sekali dia tidak melewatkan sepotong kentang pun dan semuanya sesuai dengan yang kutulis dalam surat. Dia mengumbar senyum manisnya sambil mengucap maaf sekali lagi sebelum pergi.
"Lain kali aku tak akan datang ke restoran ini lagi," gerutuku sambil menuang saus tomat ke atas makanan. "Mereka sering sekali mengantar pesanan yang salah."