Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,154
Musuh dalam Rasa Cinta
Romantis


Frilla memutar bola mata begitu melihat musuh bebuyutannya ada di tepi sungai. Jerry tampak tak terganggu saat sadar gadis itu berdiri mengawasinya. Bahkan tidak juga bergegas menyelesaikan keperluannya mengambil air meski seharusnya dia bisa segera pergi. Dengan ekspresi meledek yang mengganggu emosi Frilla, laki-laki 20 tahun itu sengaja menuang kembali air dari salah satu ember dan berpura menggosok bagian dasar ember.

Frilla meletakkan dua ember yang dibawanya di atas batu, agak jauh dari tempat Jerry menyelesaikan urusannya dengan ember yang tampaknya tak akan selesai dibersihkan dalam lima menit. Sambil sedikit bersungut-sungut, Frilla membasuh kedua kaki dan tangannya sekaligus mencuci muka sebelum mengisi dua embernya dengan air.

Bersamaan dengan berdirinya gadis berambut panjang itu, Jerry beranjak dan melangkah lebar-lebar menuju Frilla. Sengaja dia mengayunkan salah satu embernya menyenggol milik Frilla hingga terjatuh.

"Masih pagi. Mau ngajak ribut?" tanya Frilla berusaha tetap tenang.

"Sorry," sahut Jerry tanpa benar-benar merasa bersalah.

Frilla menghela napas kesal sambil memungut embernya lagi. Terpaksa dia kembali ke tepi sungai untuk mengambil air lagi. Jerry mengambil kesempatan untuk menumpahkan air dari ember Frilla yang lain. Agak lebih sial, percikan air yang tumpah mengenai pakaian gadis malang itu. Jerry terkekeh puas sambil buru-buru pergi.

"Dasar Udang Kering Timbuktu!" seru Frilla kesal.

"Elu yang Pantat Panci Gosong!" balas Jerry dari jauh lalu berlari kembali ke tenda.

---:::---

Samy sigap mengambil alih dua ember dari tangan Frilla saat gadis itu masuk ke tenda dapur. Gadis itu tidak terlihat baik. Selain pakaiannya yang basah kuyup, wajahnya juga kusut sekali. Segera setelah embernya beralih tangan, Frilla memilih masuk ke tenda. Samy menahan tangan gadis itu sebelum masuk.

"Kecebur lagi?"

"Lagi? Emang kapan gue pernah kecebur?" tanya Frilla sewot.

"Tadi subuh?" kata Samy tidak begitu yakin.

"Gara-gara cowok sialan itu, 'tuh!"

Samy menoleh ke tenda seberang yang ditunjuk Frilla. Jerry terkikik geli menatap ke arah mereka sambil berlalu. Menghela napas, kembali Samy menatap prihatin gadis manis di depannya.

"Ganti baju dulu, deh. Lo bisa masuk angin pakai baju basah gitu," kata Samy.

Frilla sudah hampir masuk tapi kemudian terdengar suara tawa Jerry yang berat dan dalam. Gadis itu menoleh lagi ke sumber suara. Tatapannya tajam ke arah pria berambut sedikit gondrong di seberang sana. Jerry kelihatannya sedang menanggapi sesuatu yang lucu dari teman timnya. Tawanya lepas hingga terbungkuk sambil memegangi perut.

Samy melirik Frilla yang masih betah menatap musuhnya meski mulutnya mengerucut. Hingga sesaat kemudian, Jerry yang merasa diawasi menoleh ke arah Frilla. Lidahnya terjulur membuat Frilla melayangkan kepalan tangan di atas kepala. Hanya Samy yang tidak paham apa yang menyenangkan dari perseteruan singkat itu. Tapi mereka berdua terlihat begitu nyaman beradu mata atau mulut.

"Cepet ganti baju. Bantu gue masak sarapan buat anak-anak," ucap Samy singkat sambil membalikkan badan. "Gue disuruh bantu-bantu di sini cuman karena Cecille lagi demam. Gue nggak mungkin ngebiarin lo ngerjain tugas piket sendirian."

Frilla mengangguk merasa diingatkan kembali dengan tugas yang lebih penting. Tanpa diminta dua kali, gadis itu segera masuk ke dalam tenda dan menutup dari dalam.

---:::---

"Kurang apa lagi, Fri?" tanya Renata sambil memangkas dedaunan di ranting yang akan dipakai untuk membuat kompor.

"Tinggal tunggu Samy ambil air buat bikin cat. Tadi udah gue siapin tumbuh-tumbuhan yang bisa menghasilkan warna. Mudah-mudahan cukup," sahut Frilla sambil mencuci peralatan yang tadi dipakai untuk mengumpulkan tanaman. "Thanks, Ren, padahal bukan jadwal piket lo, tapi lo jadi sibuk di sini."

"Nggak masalah. Si Ghea kayaknya sengaja ngasih gue tugas paling sepele di tim. Dia selalu sirik tiap kali gue kerja lebih bagus daripada dia," gerutu Renata.

"Lo udah benerin tenda berdua sama Kak Richard aja tadi pagi. Bukan hal aneh kalau sekarang tugas lo cuman bikin hiasan meja. Lagipula dengan keterbatasan di hutan kayak gini, nggak ada yang bisa bikin hiasan sebaik lo," kata Frilla sedikit menghibur.

Renata melirik ke arah taplak daun yang disusun sedemikian rupa di atas batu besar yang nanti akan dipakai saat acara inti. Dia menata sendiri meja itu sekaligus menghiasi area itu dengan biji atau bunga-bunga untuk membuatnya tampak natural namun tetap elok. Tidak untuk dinilai. Bahkan sekalipun tidak ditata dengan apik pun tidak akan ada panitia yang keberatan. Renata hanya sekurangkerjaan itu meski Ghea hanya memintanya membersihkan meja batu.

"Cecille masih sakit, ya? Kelihatannya lumayan parah," kata Renata mengalihkan pembicaraan.

"Kata Kak Yunan, dia digigit serangga atau entah apa yang bikin dia demam kayak gitu. Tadinya gue cuman bermaksud bagi tugas aja, dia cari ranting sementara gue nyiapin dapur dan beresin sisa game kemarin. Seharusnya gue yang pergi ke hutan. Dia 'kan nggak bisa bawa barang berat-berat," kata Frilla menyesal.

"Bukan salah lo. Gue tahu lo berusaha ambil pekerjaan lebih banyak dari dia. Walaupun badannya kecil, dia nggak selemah itu, kok. Mungkin emang lagi apes aja sampai dia digigit serangga dan demam."

"Tapi dia nggak biasa kerja kasar."

"Gue juga tahu dia anak mama banget. Gue masih inget waktu dia ngeluh kakinya sakit padahal cuman kesandung akar pohon waktu latihan baris. Semua panitia sesibuk itu ngurusin dia yang bersikap seolah-olah kakinya patah setelah kejatuhan pohon duren," kata Renata sambil tertawa lucu.

"Tim lo banyakan ngobrol ya, Ghea!"

Suara yang teramat familiar itu menyentuh gendang telinga Frilla. Siapa lagi jika bukan si usil biang keladi Jerry?

"Banyakan ngobrol gimana? Lihat aja orang-orang sibuk semua!" protes Ghea tidak terima anggotanya dianggap bermalas-malasan.

"Tuh, yang di belakang tenda. Gue dengerin dari tadi ngobrol terus," kata Jerry lalu terkekeh geli.

Kontan saja Ghea menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Jerry. Frilla sedang menatap tajam ke arah mereka sementara Renata masih terus berkomat-kamit menceritakan hal lucu yang pernah dilakukan teman-temannya. Ghea tidak terlihat hendak menyalahkan Frilla sedikit pun karena matanya terarah pada Renata.

Dengan langkah memburu, gadis itu melangkah maju ke arah teman-temannya. Jerry sudah siap dengan senyum lebarnya. Mengira jika dia berhasil membuat Frilla mendapat semprotan dari ketua kelompoknya. Tapi senyumnya menurun saat tiba-tiba gadis itu justru menarik ranting yang sudah ditancapkan di tanah oleh Renata. Kontan saja Renata melotot kaget melihat kerusuhan kecil yang dibuat ketuanya.

"Apa-apaan, sih lo, Ghe? Susah tahu nggak, sih, bikin ginian!" sentak Renata kesal.

"Elo yang apa-apaan? Ini kerjaannya Frilla! Lo cuman ganggu dia doang, ngerti nggak lo!" bentak Ghea emosi.

"Apanya yang ganggu? Gue justru bantu Frilla! Dia kerja sendirian karena Cecille sakit. Lo pikir dia itu apa? Monster? Dia juga nggak mungkin ngerjain kerjaan sebanyak ini sendirian!" balas Renata.

"Dia emang bantu gue, Ghe. Sorry. Banyak banget yang harus gue kerjain dan dia cuman bantu," sela Frilla menengahi.

"Elo juga! Ngapain lo minta-minta Samy buat bantuin lo? Dia itu tim cowok. Dan tim cowok punya tugasnya sendiri!" Ghea balik memarahi Frilla membuat Frilla mengernyit tak mengerti.

"Lo nggak ngerti gue ngomong apa tadi? Frilla sendirian! Kalau lo ngerasa udah bener jadi ketua, tunjuk orang buat gantiin Cecille, dong!" bela Renata.

"Eh, lo nggak usah sok ngajarin gue jadi ketua, ya. Lo pikir diri lo sendiri udah bener?"

"Dibanding ketua yang nggak bisa apa-apa seperti lo, gue emang jauh lebih baik dari lo," dengus Renata sinis.

"Udah nggak usah berantem," sela Frilla mulai jengkel. "Ren, makasih udah bantuin gue. Lo boleh pergi sekarang. Sisanya biar gue yang urus," ucap Frilla menoleh pada Renata.

"Tapi kita belum cari kayu bakar buat nyiapin makan malam," tolak Renata tidak tega.

"Gue yang cari nanti. Toh, kerjaan lain udah selesai. Mending lo ikut anak-anak siapin acara inti aja. Di sana lebih banyak kerjaan yang lebih penting," kata Frilla.

Renata sedikit tidak rela meninggalkan Frilla, tapi Ghea masih menatapnya tajam menyuruh angkat kaki detik itu juga. Tak ingin membuat permasalahan baru, Renata menurut untuk pergi. Diikuti Ghea yang meyakinkan diri bahwa Renata memang pergi ke lokasi acara inti.

Tinggal Frilla saja yang menghela napas berat sambil menatap kaleng-kaleng cat juga kompor setengah jadi untuk membuat cat. Sesaat kemudian dia ingat untuk menoleh ke arah biang keladi pertengkaran mereka. Jerry masih berdiri di tempatnya dengan aura bersalah. Hampir saja Frilla mengguyur air cucian ke arah Jerry jika Samy tidak segera muncul.

"Renata mana?" tanya Samy sambil menurunkan pikulan yang dipakainya untuk mengangkut tiga ember air sekaligus.

"Pergi. Lo bisa tolong gue jagain tenda sebentar?" pinta Frilla sambil meraih keranjang kayu bakar dan menumpahkan sedikit kayu yang tersisa ke tanah. "Gue mau cari kayu bakar lagi."

"Biar gue aja," tawar Samy berbaik hati. Frilla menggeleng mantap.

"Gue bisa sendiri," sahutnya yakin sambil melempar tatapan tajam ke arah Jerry.

Samy meneruskan pandangan Frilla hingga tiba pada Jerry yang bergegas mengambil keranjang kayu bakarnya lalu menumpahkan semua isinya di dekat tenda. Melihat tatapan mereka yang saling membunuh, Samy hanya merasa ada hal yang ingin mereka bicarakan berdua saja. Samy ingin melarang Frilla pergi, tapi gadis itu sudah memohon padanya untuk tidak mengikuti. Dan lagi, untuk pria yang sedang jatuh cinta, Jerry tidak mungkin membiarkan Frilla terluka, 'kan?

---:::---

Frilla menyibakkan dedaunan dengan kasar. Menendang ranting patah dengan kuat. Mencabut semak sambil menggeram kesal. Jerry berjalan empat langkah di belakang Frilla tanpa berkata-kata. Dia paham kekesalan gadis itu. Ada saatnya dia senang karena berhasil membuat si manis itu jengkel kepadanya. Tapi kali ini, Jerry merasa bersalah dengan keusilannya.

"Belum beres ngerjain gue?" tanya Frilla lalu kembali menarik semak yang menancap kuat di tanah. Jerry menahan tangannya menyuruh berhenti melakukan hal sia-sia itu.

"Lo sendiri ngapain?" tanya Jerry setelah Frilla menepis tangannya.

"Cari kayu bakar lah! Lo kira gue ngapain? Ngobrol?"

"Tanpa pisau?"

Frilla diam sejenak. Dia baru sadar jika dia berniat mencari kayu bakar tapi lupa membawa pisau atau parang untuk memotong dahan. Pandangan gadis itu beralih ke arah keranjang yang juga dibawa oleh Jerry. Kedua tangan laki-laki itu pun kosong dari benda tajam apapun. Frilla tersenyum sinis sambil beralih menjauh dari Jerry.

"Nggak sebego lo juga," sahutnya sambil berlalu.

"Gue nggak tahu kalau lo ngerjain piket sendirian. Gue juga nggak bermaksud bikin Ghea marahin lo."

Frilla menghentikan langkah di dekat rerimbunan semak tinggi. Tumben sekali Jerry tidak balas menghardik seperti biasanya. Sesaat Frilla berpikir jika Jerry membuntutinya untuk meminta maaf. Sejak kepergiannya menuju hutan, Frilla sudah yakin sekali jika laki-laki berkulit sawo matang itu akan mengikutinya. Hanya saja, tadi ia menerka jika Jerry membuntuti untuk melanjutkan perang.

"Jadi maksud lo, karena lo nggak tahu, lo nggak salah?" tanya Frilla tetap ketus.

Dia berbalik dan mendapati Jerry masih berdiri di tempatnya semula. Tidak tampak hendak mengikuti jika Frilla memang tidak berkenan.

"Gue nggak bermaksud memberatkan kerjaan lo. Gue bener-bener nggak tahu kalau Renata bantu lo. Gue pikir kalian dapet piket bareng."

"Gue marah karena lo bikin hubungan Renata sama Ghea memburuk," kata Frilla terus terang.

"Gue ngerasa bersalah karena gue semakin bikin lo susah," ucap Jerry.

Frilla tertegun mendengar ucapan dengan nada rendah yang dilontarkan Jerry. Dia tidak pernah berbicara dengan nada seperti itu pada Frilla. Lebih tidak pernah lagi mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya. Sepertinya ada jin baik di tepi hutan ini yang kebetulan merasuk ke dalam diri Jerry. Atau dia baru menyadari jika permusuhannya dengan Frilla memasuki tahap kelewatan.

Frilla menundukkan kepala lalu mendesah pelan.

"Renata baik sama gue. Gue cuma nggak suka orang-orang yang baik sama gue jadi susah gara-gara gue," kata Frilla lagi. Kali ini intonasi suaranya terdengar seperti sedang merajuk.

"Gue minta maaf sama Renata nanti," sahut Jerry. Dan suaranya terdengar seperti seorang ayah yang sedang membujuk putri kecilnya. "Balik ke tenda, yuk. Sebentar lagi gelap," ajaknya.

"Tapi gue harus cari kayu bakar. Persediaan kayu bakar di tim gue tinggal dikit. Buat bikin cat di lomba nanti, pasti kayu bakar habis. Nggak akan cukup buat masak," kata Frilla lalu berbalik meneruskan langkah kembali.

"Emangnya lo bawa senter?"

Frilla mengeluh dalam hati. Pisau saja tidak dibawa, apalagi senter. Dia terlalu terburu-buru pergi dari tenda karena marah. Baru disadari jika keterburu-buruannya lebih konyol dari dugaannya.

"Kita balik aja. Kayu bakar tim gue mungkin cukup buat kita sampai besok pagi."

Frilla berpikir sejenak lalu mengangguk setuju.

"Mumpung masih sore, gue cari sedikit lagi. Gue bisa ambil ranting atau dahan yang patah. Nggak perlu pisau," kata Frilla. "Lo balik duluan aja. Gue juga bakal balik sebelum gelap."

Jerry menarik napas panjang melihat Frilla sudah melangkah pergi tanpa menunggu jawabannya. Dia tidak pernah tahu gadis itu sedemikian keras kepala namun juga penuh semangat. Bukan hanya Renata, semua orang, terlebih lagi Samy, tentu begitu senang saat memiliki alasan untuk membantunya. Frilla tidak mengeluh tugasnya berat. Dan itu membuat semua orang tergerak untuk membuat pekerjaannya lebih mudah.

Frilla menoleh saat mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Jerry memilih untuk ikut dengannya, membuat Frilla senang untuk beberapa detik.

"Kenapa?" tanya Frilla menyembunyikan rasa bahagianya.

"Tangan lo kecil. Matahin lidi aja nggak bisa, apalagi matahin ranting pohon," sahut Jerry santai. Frilla mengernyit saat Jerry melewatinya begitu saja.

"Barusan baikan. Sekarang mau berantem lagi?" gerutunya kesal. Meski begitu, ia membuntuti juga langkah Jerry.

"Apa aja asal lo senang," sahut Jerry membuat Frilla geram.

Tak urung, Frilla meluruskan juga niatnya di hutan itu. Mengumpulkan ranting-ranting yang terjatuh atau mematahkan dahan rendah. Aktivitas itu menjadi menyenangkan kala Jerry mengambil alih tugasnya, atau memindahkan isi keranjang Frilla ke keranjang di punggungnya. Frilla tersenyum diam-diam melihatnya.

Beberapa lama mereka bekerja dalam keterdiaman. Tidak ada yang berbicara sepanjang usaha mereka mengumpulkan dahan dan ranting. Matahari sudah semakin turun, tidak terlalu banyak kayu yang bisa mereka kumpulkan. Tentu saja tim lain sudah menyisir tepian hutan pagi tadi. Pilihan yang mereka punya hanya masuk sedikit lebih dalam ke hutan dan keluar sebelum matahari benar-benar turun.

Jerry yakin mereka tidak masuk terlalu dalam ke hutan. Bahkan ia masih bisa melihat cahaya terang di ujung hutan tempat mereka masuk. Hanya saja, sayup-sayup dia mendengar geraman dan suara gemerasak daun yang terinjak. Jerry menoleh pada Frilla yang tampak berusaha menggapai dahan rendah di dekatnya.

"Fri, lo bisa manjat pohon?" tanya Jerry sedikit berbisik. Frilla menoleh dengan tatapan heran.

"Ngapain? Lo bilang kita ambil ranting yang gampang didapet aja," tolak Frilla.

"Bukan soal ranting. Tapi mungkin kita masuk terlalu ke tengah hutan. Gue khawatir ada hewan liar di deket sini," kata Jerry sambil menatap sekeliling. "Pohon itu aja. Kelihatannya lebih mudah dipanjat. Cepet!" ajaknya sambil menarik Frilla ke salah satu pohon yang dirasanya akan lebih mudah dipanjat oleh Frilla.

"Jangan nakutin gue, Jer. Nggak lucu banget tahu nggak!" tukas Frilla takut-takut.

"Mau denger sesuatu?" tanya Jerry sambil memberi isyarat diam dan mendengar.

Suara geraman memang terdengar semakin jelas. Hutan sunyi itu seolah menghamburkan suara yang mungkin lirih menjadi menyeramkan. Frilla melebarkan kedua matanya dengan takut. Jerry memberi kode pada gadis itu untuk meniti dahan demi dahan pohon. Jerry membantunya naik tanpa banyak membuat suara. Keranjang mereka ditinggalkan di bawah pohon, namun Jerry bersiap membawa ranting yang sekiranya cukup kuat sebagai senjata.

Seekor babi hutan melintas di bawah mereka sesaat kemudian. Frilla menutup mulutnya sendiri berusaha untuk tidak memekik. Terlambat sedikit saja mungkin mereka sudah diserang oleh babi itu. Beruntung sekali Jerry cepat menyadari dengan pendengaran tajam bak burung hantu.

"Kita tunggu di sini dulu. Siapa tahu masih ada babi hutan lain di sekitar sini," kata Jerry setelah hewan itu pergi.

"Di sini? Di atas pohon?" tanya Frilla menegaskan.

"Lo mau jadi makan malam hewan itu?"

Frilla menggeleng kuat. Dia hanya tak pernah membayangkan seumur hidupnya akan ada di atas pohon setinggi ini. Saat naik, Jerry membantunya sekaligus mengarahkan dahan mana yang harus dipijak dan dahan mana yang boleh diduduki. Kini kedua tangannya memegang erat batang pohon itu seolah dia akan mati jika melepaskannya.

"Kita pasti baik-baik aja. Setelah ini kita langsung balik ke tenda. Gue pikir kayu kita cukup sampai besok pagi," kata Jerry melirik keranjangnya yang baru terisi sepertiga bagian sementara milik Frilla kosong sama sekali.

"Thanks udah bantu gue," ucap Frilla.

Jerry tersenyum tanpa menoleh.

"Lo akan banyak berterima kasih setelah ini."

"Lo nggak harus bantu gue," sahut Frilla.

"Karena ada Samy?" tebak Jerry. "Karena Samy selalu bantuin lo?"

"Gue nggak pernah minta Samy buat bantu gue terus. Lagipula dia emang orang baik," protes Frilla.

"Dia orang baik, atau lo yang bikin semua orang pengen bantu lo?"

"Maksud lo gue lemah?" tanya Frilla mulai kesal.

"Lebih dari itu, lo seneng kalau Samy bantuin lo, 'kan? Lo jadi punya kesempatan buat deket sama dia," lanjut Jerry tanpa menjawab pertanyaan Frilla.

"Gue anggep dia sebagai temen. Dia emang baik. Dia selalu bantuin gue tanpa gue minta. Tapi itu bukan berarti kalau gue jadi suka dia lebih dari sekedar temen. Gue menghargai dia sebagai temen gue," kata Frilla dengan tegas.

Jerry tersenyum tipis lagi. Tanpa menjawab. Frilla ikut mendengus kesal. Obrolan dengan Jerry selalu disertai emosi. Tapi jika dipikirkan lagi, kenapa rasanya seperti Jerry ingin tahu perasaan Frilla pada Samy?

"Lo nyomblangin Samy sama gue?" tuduh Frilla membuat Jerry menoleh kaget.

"Gila apa? Nggak lah!" tukas Jerry. "Gimana gue mau nyomblangin kalian kalau tiap hari kerjaan kita cuman bertengkar?"

Frilla mengangguk-angguk kecil. Benar juga yang dibilang Jerry. Memang hanya dia yang terlalu berprasangka pada Jerry. Karena obrolan ini, dia jadi memikirkan sesuatu.

"Dan lagi...," kata Frilla hati-hati, "...lo nggak khawatir Anne nyariin lo karena lo tiba-tiba ngilang?"

"Lo mau tanya apa gue suka Anne?" tebak Jerry lalu dia mendekat sedikit pada Frilla. "Dia naksir gue, bukan gue yang ngejar dia. Dan lagi gue suka cewek lain. Sorry kalau bikin lo cemburu," lanjutnya dengan intonasi menyebalkan.

"Siapa yang cemburu? Gue cuman tanya," sahut Frilla mengalihkan pandangan.

Jantungnya berdetak tak karuan saat wajah Jerry hanya berjarak beberapa senti darinya. Selain menyebalkan, Jerry terlalu tampan untuk berada sedekat itu dengannya. Frilla bisa melihat mata tajamnya yang gelap, hidungnya yang mancung, lesung pipi yang muncul saat berbicara, juga bibir tipisnya yang membuat wajah itu menjadi sebuah pahatan istimewa.

Frilla menggeleng-geleng membuang semua pikirannya tentang Jerry. Dia benar-benar sudah gila jika mengakui perasaannya pada laki-laki berambut gondrong itu. Tapi hal bodoh juga jika dia tidak mengakui ketampanannya. Manusia buta sekalipun pasti tahu tentang itu.

"Nggak tanya siapa cewek yang gue suka? Kali aja bisa jadi obat penasaran lo," kata Jerry menggoda.

"Nggak perlu. Bukan urusan gue!" tegas Frilla.

Jerry terkekeh mendengarnya. Menyenangkan sekali menggoda Frilla seperti itu. Sayang sekali ia tak bisa melanjutkan agenda menyenangkan itu lama-lama. Hari sudah semakin gelap dan mereka masih ada di tengah hutan. Sepertinya suasana di bawah sana sudah cukup aman. Jerry bersiap untuk turun dan melihat keadaan.

"Gue cek keadaan dulu."

Frilla melihat bagaimana laki-laki itu cekatan menuruni pohon. Masa kecil pria itu pasti sering memanjat pohon dan makan buah di atas pohon seperti komik yang biasa dibacanya. Atau mungkin karena dia tergabung dalam klub pecinta alam maka dia terbiasa berada di alam seperti ini.

"Aman," kata Jerry dari bawah.

Masalah pertama, Frilla tidak tahu bagaimana menuruni pohon itu. Jerry terlihat mudah saja turun dari dahan ke dahan. Tapi saat Frilla mencobanya, semuanya berlangsung sangat sulit.

"Loncat aja, gue di sebelah sini," kata Jerry.

"Jangan gila. Gue bisa, kok," sahut Frilla. Dia masih terus berusaha menuruni pohon itu dengan susah payah.

"Gue cuman berbaik hati nolong lo."

"Jangan banyak omong. Gue lagi usaha, nih," kata Frilla. Tangannya berpegangan erat pada dahan sementara kakinya mengayun mencari pijakan lain.

"Lepas satu tangan lo, turun pake kaki kiri ke dahan di kiri bawah lo. Itu lebih kokoh," kata Jerry memandu.

"Mudah buat lo," sahut Frilla. Ia tidak berani melepas satu tangannya dari dahan.

"Gue ada di sini kalau lo jatuh. Kaki lo nggak bakal menjangkau kalau dua tangan lo ada di tempat yang sama."

Jerry akan menangkapnya jika ia jatuh. Membuat Frilla yakin bahwa sekalipun gagal pun ia tak akan cedera. Sesederhana itu yang membuatnya yakin untuk melepaskan satu tangan dan mengikuti arahan Jerry. Berikutnya pun lebih mudah baginya hingga menginjak tanah lagi.

Jerry tersenyum lega dan mengacak lembut rambutnya lalu memberi kode untuk mengikutinya. Kembali jantung Frilla berdetak cepat kala Jerry menyentuhnya. Seperti ada setrum dari sentuhannya yang membuatnya merasa aneh dalam sekejap. Frilla meraih keranjang dan menggendongnya sebelum mengikuti Jerry.

"Thanks, Jer," ucap Frilla setelah menjejeri pria itu.

Jerry hanya menoleh tanpa menjawab. Mereka terus berjalan ke arah mereka datang tadi. Matahari sudah tenggelam dan hanya menyisakan cahayanya saja di langit. Jerry mengeluarkan ponsel untuk menyalakan senter.

"Lo takut gelap?" tanya Jerry sambil terus berjalan.

Frilla menggeleng. Namun kemudian Jerry meraih tangannya dan menggenggam dengan lembut.

"Gue takut. Nggak papa 'kan, gue gandeng lo?" ucapnya membuat Frilla trenyuh.

Jerry khawatir pada Frilla dan Frilla menyadari hal itu. Secepatnya ia mengangguk kuat-kuat dan balas meremas tangan lelaki itu. Jerry tersenyum melihatnya. Ia menarik tangannya agar Frilla lebih mendekat.

Belum jauh berjalan, tak sengaja Jerry tersandung sesuatu. Suara desisan membuat keduanya terkesiap seketika. Jerry menarik Frilla mundur sambil mengarahkan senter ke sumber suara. Seekor ular bergerak lambat mendekati mereka.

"Jer," bisik Frilla panik.

"Pegang ini," pinta Jerry menyodorkan ponselnya, "dan jangan jauh-jauh dari gue. Tetep di belakang gue," lanjutnya sambil melepaskan tangan Frilla.

Frilla menurut untuk bergerak mundur. Jerry mengambil salah satu ranting dari keranjangnya lalu bergerak hati-hati mengitari ular itu. Frilla ikut bergerak di belakang Jerry. Matanya was-was terfokus pada ular di depan Jerry. Saat Jerry sudah hampir menarik Frilla berlari, ular itu melesat cepat ke kakinya.

"Jerry!" teriak Frilla panik.

Beruntung Jerry lebih sigap menjepit ular itu dengan rantingnya. Ekornya masih menggelepar berusaha melepaskan diri dari Jerry. Dengan beberapa kali pukulan di kepala, ular itu berhasil mati. Jerry memastikan sendiri ular itu tidak bergerak sama sekali. Setelah yakin, bangkainya dimasukkan ke dalam keranjang di punggungnya. Frilla melotot tak setuju melihatnya.

"Ngapain dibawa?"

"Buat makan malam di tenda. Oleh-oleh dari tengah hutan," jawab Jerry santai. "Yuk, jalan lagi," ajaknya mengulurkan tangan.

Frilla menyodorkan ponsel Jerry namun Jerry meraih tangan Frilla yang lain. Membuat Frilla bersemu malu karena mengira Jerry meminta ponselnya kembali.

Kali ini rasanya lain. Sudah agak lama mereka melangkah, ujung hutan belum juga terlihat. Frilla mulai agak gelisah dan lelah. Sepertinya mereka tidak masuk terlalu jauh ke dalam, tapi entah bagaimana saat kembali, jaraknya terasa lebih jauh.

"Kita nggak nyasar, 'kan, Jer?" tanya Frilla memandang ke sekeliling.

Suasana hutan mulai gelap. Bahkan cahaya bulan tidak banyak membantu di hutan lebat itu. Jerry mengusap jemari Frilla dengan ibu jarinya. Berusaha meyakinkan bahwa dia tidak sendirian, namun tidak menjawab apapun.

"Bisa kita istirahat sebentar?" pinta Frilla saat dirasa kakinya sudah terlalu lelah berjalan.

"Kita cari tempat yang agak tinggi, ya. Gue khawatir ada binatang buas lagi," kata Jerry. Ia mengambil alih ponselnya untuk menyinari sekeliling. Mencari lokasi yang sekiranya aman sebagai tempat peristirahatan sementara.

"Jangan di atas pohon lagi," rajuk Frilla.

Jerry tersenyum geli lalu menarik gadis itu untuk berjalan.

"Ada batu besar di sana. Kita perlu bikin api, puncak pohon nggak bakal cocok buat bikin api unggun."

Batu yang dimaksud Jerry setinggi pundak lelaki itu. Tidak ada dahan untuk berpijak, jadi Jerry merelakan punggungnya untuk Frilla naik ke atas sana.

"Gue berat, Jer," tolak Frilla tidak tega.

"Jadi lo sadar badan lo berat?"

Frilla menepuk lengan Jerry dengan jengkel. Tidak bisakah dia berbohong sedikit saja untuk menyenangkan hati perempuan?

"Buruan! Lo mau jadi santapan singa di bawah sini?"

Frilla terlihat ingin membantah namun Jerry menariknya dengan tidak sabar. Mau tak mau, Frilla menurut juga memakai punggung Jerry untuk pijakan. Meski demikian, dia melepas dulu sepatunya membuat Jerry tersenyum lagi. Lucu sekali gadis 20 tahun itu. Juga cantik.

Setelah mereka berada di atas, Jerry mulai menata ranting-ranting kayu menjadi satu tunjungan kecil. Daun-daun yang berserakan juga dikumpulkan untuk menyulut api. Jerry mengeluarkan korek dari sakunya dan mulai membuat api unggun kecil untuk mereka.

Meski kecil, api itu cukup untuk menghangatkan mereka. Frilla menggosok-gosokkan kedua tangannya di dekat api untuk mengusir dingin. Jerry melepaskan hem luaran yang dikenakannya untuk dipasangkan di bahu Frilla. Kesekian kalinya, Frilla dibuat trenyuh oleh sikap Jerry. Laki-laki itu tidak keberatan hanya memakai kaos yang pastinya tak cukup untuk menghalau dingin.

"Cewek yang lo suka itu...."

Frilla menggantungkan ucapannya. Ragu untuk meneruskan kalimatnya dan membuat Jerry menerka macam-macam. Meski pertanyaannya tidak lengkap, Jerry membuat jawaban juga.

"Dia cantik dan menyenangkan."

Frilla hanya mengangguk saja. Sudah jelas Jerry tidak menyukai Frilla. Mereka terlalu sering bertengkar, bukti jika Jerry tidak menganggapnya menyenangkan.

"Lo nggak tanya siapa orangnya?" tanya Jerry.

"Lo mau jawab?" Frilla berbalik tanya.

"Gue akan jawab kalau lo tanya."

Frilla diam sejenak lalu menggeleng pelan. "Gue nggak harus tahu."

"Lo cemburu?" goda Jerry juga memastikan. Frilla mendesah pelan.

"Gue nggak cemburu," sahutnya lalu menelungkupkan wajah di antara lutut. "Kita mau sampai kapan di sini? Orang-orang pasti nyari kita."

"Mungkin Samy yang nyari lo. Selebihnya ngira kita lagi main-main."

"Kenapa lo bahas tentang Samy terus?" sela Frilla mulai kesal.

"Kenapa lo marah? Gue cuman ngomongin kemungkinan."

"Trus kenapa Samy?" tanya Frilla lagi.

"Karena dia peduli sama lo. Dia berusaha buat jadi seseorang di mata lo," sahut Jerry. Frilla mengangkat kepalanya. Obrolan Jerry kali ini membuatnya begitu marah hingga ubun-ubun.

"Kalau lo ngajakin perang mulut lagi, gue capek!" sentaknya. "Samy bukan orang seperti itu. Dia peduli gue sebagai temen. Dia nggak bakal jadi seseorang spesial selain temen gue. Bukan cuma lo, gue juga punya cowok lain yang gue suka. Udah jelas bukan Samy!" tegasnya.

Jerry agak terkejut mendengar suara Frilla yang meninggi. Dia terlihat marah dan itu bukan main-main. Jerry menyentuh pundak Frilla memintanya menoleh. Dia ingin melihat mata Frilla saat gadis itu menjawab.

"Siapa cowok itu?" tanya Jerry hati-hati.

Ada keragu-raguan di wajah Frilla mendengar pertanyaan itu. Terlebih lagi Jerry menatap matanya dengan serius membuatnya semakin gugup. Hingga kemudian Frilla memilih untuk diam. Ia mengalihkan pandangan kembali ke api unggun. Tangannya merapatkan kemeja Jerry di pundaknya sambil menumpukan dagu di lutut.

Jerry tidak memaksa. Dia juga ikut menatap api yang sama. Pikirannya melayang kemanapun. Sisi hatinya berharap Frilla akan menyukainya, sementara sisi yang lain memaksanya ingat bagaimana selama ini ia hanya bisa membuat gadisnya kesal. Dan lagi, apa hal manis yang pernah diperbuatnya untuk membuat Frilla menyukainya?

Lagi-lagi, terdengar suara geraman yang mendekati mereka. Dari suaranya, sepertinya bukan lagi babi hutan. Frilla menarik lengan Jerry mencari perlindungan. Dia tidak tahu darimana arah datangnya sang hewan hutan itu. Sementara Jerry berusaha menajamkan telinga dan penglihatannya di remang-remang. Dia tidak ingin berakhir menjadi santapan malam hewan di usia muda.

Samar-samar, Jerry melihat sekelebat bayangan hewan menyerupai anjing atau serigala. Sebelum hewan yang entah apa itu mendekat, Jerry meraih bangkai ular yang tadi disimpannya dalam keranjang. Ia berdiri untuk mengambil ancang-ancang melempar.

Hup!

Lemparan jauhnya menarik perhatian si serigala. Hewan itu menggeram liar sambil mengejar santap malamnya. Berikutnya, suara derap langkah itu terdengar menjauh. Menyisakan keheningan malam dan kerik binatang malam lagi.

Jerry kembali duduk di tempatnya. Frilla yang tadinya memegangi celana Jerry saat pria itu melempar, mulai melepaskannya. Wajahnya masih sedikit pias karena takut namun segan menunjukkannya di depan Jerry. Jerry sendiri tidak tahu apakah Frilla memang seberani itu atau hanya berpura-pura. Dia hanya ingin Frilla bergantung padanya dan mempercayainya.

"Kita nggak bisa lama-lama di sini. Tapi bergerak di tempat segelap ini juga nggak aman."

"Jadi?" tanya Frilla memotong pembicaraan Jerry.

"Orang-orang di tenda mungkin mulai cari kita. Gue nggak bisa hubungin siapapun. Di tempat seperti ini, nggak mungkin ada sinyal," lanjut Jerry.

"Jadi kita harus diem di sini sampai mereka nemuin kita?" tanya Frilla menegaskan.

Jerry diam sejenak lalu mengangkat bahunya.

"Ide gue mungkin nggak terlalu bagus. Gue pengen lo tunggu di satu tempat yang bener-bener aman sampai gue...."

"Gue nggak mau sendirian," potong Frilla cepat. "Gue mau sama lo. Jangan pernah ninggalin gue sekalipun. Gue takut, Jer," lanjutnya hampir menangis.

Jerry mendesah lalu menarik Frilla dalam pelukannya.

"Gue nggak mau lo kenapa-napa," ucap Jerry pelan. Frilla meremas punggung Jerry yang dipeluknya.

"Gue pengen bareng lo. Gue pasti aman selama gue sama lo," kata Frilla. Jerry tertegun mendengarnya.

"Lo percaya gue?"

"Lo nolongin gue walaupun lo benci gue. Jadi kenapa gue nggak percaya sama lo?" jawab Frilla.

"Gue nggak benci lo," sahut Jerry lalu melepas pelukannya. "Mau janji buat selalu di deket gue? Jangan pergi terlalu jauh dari pandangan gue. Kita jalan bareng-bareng, satu arah. Oke?"

Frilla mengangguk setuju. Jerry mengusap pipi gadis itu lalu merangkulnya erat.

"Kita istirahat sebentar lagi sebelum jalan."

Frilla mengangguk lagi. Apapun rencana Jerry, ia tahu itu untuk keselamatannya. Entah sejak kapan dia begitu percaya dengan musuh bebuyutannya ini. Mungkin sejak lama, hanya saja mereka tidak saling menyadari itu.

---:::---

Sekitar 500 meter dari tempat mereka beristirahat, akhirnya mereka mendengar suara gemericik air. Frilla menarik Jerry dengan bersemangat mendekati suara itu hingga tiba di tepian sungai. Frilla dan Jerry saling berpandangan seolah mengiyakan kesamaan isi pikiran mereka. Aliran sungai ini pasti mengarah pada lokasi perkemahan.

"Capek?" tanya Jerry saat mereka berjalan menyusuri tepian sungai.

Frilla menggeleng dengan tegas.

"Gue tahu seharusnya gue takut ada di hutan seperti ini. Tapi ini bisa jadi pengalaman yang menyenangkan," kata Frilla dengan intonasi lucu.

"Termasuk manjat pohon dan ngasih makan serigala?" canda Jerry membuat Frilla terkekeh.

"Kita nggak akan musuhan lagi setelah ini 'kan, Jer?" tanya Frilla tiba-tiba.

Jerry tidak langsung menjawab. Ia meremas lembut jemari Frilla yang digenggamnya.

"Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti. Tapi lo harus tahu kalau gue nggak pernah benci lo."

"Nggak pernah? Lo selalu jahil. Ngusilin gue tanpa sebab. Jangan bikin gue nyebutin apa aja hal yang bikin gue ngerasa sengsara karena satu kampus sama lo," tukas Frilla.

"Gue punya alasan. Tapi nggak bisa gue omongin sekarang," kata Jerry.

"Kenapa enggak?"

Jerry mengangkat bahunya. "Nggak bisa aja. Mungkin suatu hari nanti kalau ada kesempatannya," jawabnya membuat Frilla semakin tidak mengerti.

"Apa bedanya sekarang sama nanti?"

"Beda. Lo nggak akan ngerti," tegas Jerry.

"Gue kelihatan sebodoh itu?"

Jerry menoleh pada Frilla yang sedang menatapnya. Dia mengulurkan tangan hendak mengusap wajah gadis itu namun Frilla mengelak.

"Karena gue terlalu cowzy buat dijadikan tempat bermain, 'kan?" tebak Frilla.

"Nggak ada yang ngomong gitu," sanggah Jerry.

"Elo yang bersikap seperti itu!" tandas Frilla. "Selama ini lo selalu main-main sama gue. Ngisengin gue itu hal paling sederhana. Lo seneng 'kan, lihat gue sengsara karena ulah lo?"

"Gue nggak gitu...."

"Lo tiba-tiba ngasih gue bunga sama boneka waktu gue lagi bareng pacar gue. Lo sengaja bikin gue berantem sama dia sampai dia mutusin gue, 'kan? Lo juga pernah tiba-tiba duduk di sebelah gue waktu kompetisi lukis. Kalau bukan karena panitia yang ngusir lo, lo berencana ngrusak kerjaan gue waktu itu, 'kan? Lo juga dengan sombongnya pamerin hasil ujian yang nilainya jauh di atas gue, cuman buat bikin gue semakin down, 'kan? Lebih gila lagi, lo tiba-tiba datang ke rumah gue sambil bawa parcel setinggi gedung, bikin kakak gue ngira kalau lo pacar gue sampai sekarang. Lo belum puas setelah nglakuin semua itu ke gue? Apalagi rencana lo selanjutnya? Potong jari gue? Jual mobil gue? Bikin gue diusir dari rumah?"

Di ujung kalimatnya, Frilla terengah-engah karena terlalu banyak berbicara. Saat menoleh, dia melihat Jerry menutup mulut sambil menahan tawa. Hal itu justru membuat Frilla semakin kesal lagi. Dia menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Jerry. Laki-laki itu menangkap lagi tangannya untuk digenggam lebih erat.

"Maaf kalau gue ketawa. Tapi lo emang lucu banget. Apalagi ekspresi kesel lo itu...." Jerry melepaskan tawanya dengan bebas sementara Frilla mengerucutkan bibir.

"Ketawa aja sepuas lo. Gue benci sama lo," gerutu Frilla.

Jerry menghabiskan sisa tawanya lalu mendekatkan wajahnya pada gadis manis itu.

"Gue udah bilang kalau gue nggak benci sama lo. Udah pasti gue nggak berniat bikin lo sengsara. Tapi, gue tetep minta maaf bikin lo ngerasa tersiksa. Gue ketawa karena gue seneng aja," kata Jerry yang langsung disahut oleh Frilla.

"Seneng udah bikin gue marah?"

"Karena kakak lo ngira kalau kita pacaran," ralat Jerry lalu menepuk kepala Frilla. "Sejujurnya gue pengen kalau dia bukan cuma mengira. Gimana kalau kita bikin jadi beneran?"

"Lo mau ngerjain gue lagi, 'kan? Nggak lucu, ngerti nggak, Jer?" tukas Frilla jengkel.

Jerry tersenyum lalu menegakkan badannya kembali.

"Gue tahu jawaban lo. Gue juga nggak bisa maksa," ucapnya lalu mendahului berjalan sekaligus menarik Frilla di belakangnya. "Apalagi udah ada cowok lain yang lo suka," lanjut Jerry.

Frilla tidak menyahut. Jerry menoleh sekilas ke belakang untuk melihat ekspresi Frilla saat dia mengucapkan kalimat yang terakhir. Menyadari gadis itu sudah tidak berapi-api lagi, Jerry menarik dan merangkul pundaknya.

"Sedeket apa lo sama cowok itu?" tanya Jerry masih dengan merangkul Frilla.

Frilla mengalihkan pandangannya dari Jerry. Pertanyaan itu membuatnya malu saat mengingat siapa sosok pria itu sebenarnya. Mengakuinya tentu saja lebih tidak mungkin lagi.

"Kita udah lewat jalan yang bener," ucap Jerry mengalihkan obrolan.

Frilla meneruskan pandangan Jerry hingga tertuju pada sungai dimana mereka biasa mengambil air atau melakukan aktifitas mencuci. Tiga batu besar di tengah sungai yang sudah meyakinkan mereka. Masih ada batu-batuan terjal yang harus dilewati untuk mencapai daerah itu. Tentu saja dibanding mendaki bukit, mereka akan lebih memilih untuk menyusuri tepian bukit melewati batu-batuan itu.

Frilla melangkah lebih dulu dengan Jerry di belakangnya. Keranjang di punggung mereka sedikit menyulitkan untuk saling berpegangan tangan. Batu-batu itu cukup licin jika tidak berhati-hati. Aliran sungai tidak terlalu deras, tapi mereka tak ingin mengambil resiko berenang di malam yang dingin itu.

Tinggal sedikit lagi untuk mencapai daerah yang lapang. Frilla menoleh ke belakang sesaat. Jerry yang tadinya fokus dengan jalannya, mengangkat kepala balas menatap gadisnya.

"Hati-hati," kata Jerry karena tak mengerti alasan Frilla menoleh.

Frilla mengangguk saja lalu kembali menatap ke depan. Tangannya menggapai-gapai apa saja yang bisa dijadikan pegangan. Tak sengaja, tangannya meraih benda panjang seperti ular yang menjalar di lereng bukit. Refleks ia menjerit kaget sambil melempar benda itu jauh-jauh.

"Frilla!" seru Jerry ikut kaget sambil menahan keranjang di punggung gadis itu agar tidak terpeleset ke sungai.

Tapi bukan itu yang menjadi masalah sebenarnya. Benda panjang yang tadi dikira ular, nyatanya adalah akar pohon yang sudah lapuk. Setelah ditarik, lereng itu mulai longsor sedikit demi sedikit.

"Fri, lebih cepet!" pinta Jerry.

Frilla tak perlu menunggu perintah dua kali. Ia mengira sekawanan ular mengejar mereka di belakang. Jerry ikut mempercepat langkah di belakangnya. Batu-batu di atas bukit berjatuhan satu per-satu. Frilla mendengar bunyi gemuruh di belakang. Tinggal beberapa langkah lagi untuk berpijak di tempat yang aman.

"Aaaahh!" seru Jerry membuat Frilla menoleh kaget ke belakang.

"Jerry!"

"Cepet! Gue nggak papa."

Frilla tidak bertanya lagi. Setengah berlari melintasi batu-batu licin hingga tiba dengan selamat. Jerry menyusul di belakangnya sambil memegangi lengan kiri. Laki-laki itu langsung terduduk di tanah dengan napas ngos-ngosan. Frilla melepaskan keranjang di punggung Jerry dan melihat luka di lengan kirinya.

"Berdarah, Jer. Kenapa?" tanya Frilla panik.

"Tergores sesuatu. Nggak tahu apa," jawab Jerry.

Terdengar bunyi berdebam dari arah bukit. Sebuah batu besar jatuh ke sungai menimpa salah satu dari tiga batu besar. Mereka benar-benar bersyukur bisa selamat dari batu itu. Frilla kembali menoleh pada Jerry yang tampak kesakitan. Darah yang keluar cukup banyak.

Frilla melepas bandana yang ia kenakan untuk membalut luka di lengan Jerry. Agak sulit mengikatkan bandana itu di lengan. Frilla mencabut rerumputan di dekatnya untuk membuat ikatan. Sementara ini darah bisa ditahan. Tapi Jerry tetap butuh pertolingan secepatnya.

"Kita ke tenda pengobatan, ya. Tinggalin aja keranjangnya di sini. Gue ambil nanti," kata Frilla sambil menarik Jerry untuk berdiri namun Jerry menariknya duduk kembali.

"Lo khawatir sama gue?"

"Lo butuh pertolongan, Jer. Gue nggak ngerti apa-apa soal pengobatan luka di tengah hutan," tegas Frilla.

"Cowok yang lo suka itu gue, 'kan?" tanya Jerry membuat Frilla terkesiap.

"Lo ngomong apa, sih?" elak Frilla mengalihkan pandangan.

"Gue cuma perlu tahu."

"Gue nggak bisa jawab."

"Kenapa?" tanya Jerry.

"Pokoknya gue nggak mau." Frilla meninggikan intonasi suaranya.

"Tapi gue suka sama lo," ucap Jerry membuat Frilla tertegun lagi. "Cewek yang gue suka itu lo. Udah sejak lama gue suka sama lo, tapi gue nggak bisa ngomongin ini."

Frilla meneguk ludah sebelum menyahut.

"Karena Samy sahabat lo?"

"Dia baik sama lo. Dia juga punya lebih dari segalanya dibanding gue. Dia sempurna buat lo. Karena itu gue mundur. Tapi gue nggak bisa berhenti natap lo. Cara gue bisa berinteraksi dengan lo...bertengkar," tutur Jerry.

Frilla menahan napas sejenak mendengarnya. Tak pernah terpikir sedikitpun jika Jerry akan menyatakan perasaan padanya. Mereka bertengkar sudah seperti makan setiap harinya. Akan terasa lapar jika sehari saja tidak ada alasan bertengkar. Hal sekecil apapun bisa membuat mereka berperang mulut. Tak pernah terpikir jika ada perasaan lain yang menyusup dari pertengkaran itu.

"Gue cuma mau ngomong itu sebelum kita balik ke tenda. Lo nggak harus jadi cewek gue, lo berhak dapet cowok yang lebih baik dari gue," kata Jerry sambil beranjak bangkit.

"Lo tanya siapa cowok yang gue suka, 'kan?" kata Frilla membuat gerakan Jerry terhenti dan menoleh. "Bukan lo. Tapi gue kasih tahu nanti setelah lo diobati."

Serasa ada duri yang menusuk hati Jerry. Dia sudah terlalu yakin jika Frilla juga menyukainya. Ternyata dugaannya selama ini salah besar. Dan menyakitkan sekali mendengar hal ini dari perempuan itu sendiri.

"Kalau bukan gue, lebih baik gue nggak perlu tahu," kata Jerry lalu melanjutkan langkahnya.

Frilla membiarkannya. Ditatapnya punggung Jerry yang menjauh. Sesaat kemudian ia tersenyum lebar hingga menutup mulut dengan malu. Jerry menyukainya? Ini hal yang lebih gila dari sekedar tersesat di hutan dan dikejar serigala!

---:::---

Renata menghampiri Frilla yang baru saja selesai mandi. Pagi ini, berganti Renata yang mendapat tugas piket bersama dengan Savita. Beruntung kemarin Frilla masih sempat mendapat kayu bakar meski tidak banyak. Sisa kayu bakar tepat habis untuk membuat cat warna. Jika tidak, mungkin pagi ini mereka tak akan sempat menyiapkan sarapan untuk dilombakan.

"Udah diambil bahan-bahannya?" tanya Frilla sambil membereskan perlengkapan mandinya. "Cecille udah baikan. Tadi dia bilang kalau mau bantu. Gue udah bilang Ghea buat nggak ngasih tugas terlalu berat sama dia," lanjutnya.

"Tadi si Jerry nyamperin gue, Fri," kata Renata mengabaikan obrolan Frilla.

Frilla tersenyum mendengar nama Jerry disebut. Dia belum melihat laki-laki itu pagi ini. Sedang apa dia kira-kira?

"Dia minta maaf ke gue karena bikin Ghea marah-marah. Gue nggak ngira kalau dia bisa gitu," kata Renata.

"Bisa bikin kalian berantem? Dia 'kan emang doyan berantem," sahut Frilla.

"Bukan. Gue nggak nyangka dia bisa ngakuin kesalahan dan minta maaf. Lagipula, kalau dilihat-lihat, dia ganteng juga. Heran, deh, kenapa lo suka berantem sama cowok seganteng itu?"

"Lo naksir dia?" tanya Frilla.

"Dia ganteng. Kelihatannya juga baik. Buktinya dia gentle banget ngaku salah lalu minta maaf. Gue tahu dia tulus," sahut Renata.

"Lo udah diracuni Jerry," ucap Frilla kesal.

"Kalian kemarin cari kayu bakar bareng, 'kan? Kenapa tangannya luka?"

"Kenapa lo nggak tanya dia sendiri?" tukas Frilla.

Renata terkikik geli melihat kejengkelan temannya. Dia tahu obrolan tentang Jerry selalu mengundang kekesalannya. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataannya Jerry memang si ganteng yang di luar perkiraan.

"Hei, ayo mulai masaknya!" seru Priyanka dari luar tenda diikuti Cecille yang membawa baskom berisi sayuran.

Frilla lebih dulu beranjak dibanding Renata. Ghea menyusul sesaat kemudian setelah selesai mendapat pengarahan dari ketua panitia. Ada tiga menu yang harus disertakan dalam lomba pagi itu. Setelah mendapat undian bahan makanan darurat, mereka sepakat untuk membuat nasi goreng kacang merah, ikan goreng saus tiram, dan cah sawi dengan campuran ayam.

Frilla, Priyanka, dan Cecille yang menyiapkan nasi goreng dan cah sawi. Sementara Ghea dan Renata mencuci ikan dan memasaknya. Sejauh ini semua berjalan baik. Ghea dan Renata juga bisa bersikap profesional untuk kali ini. Tidak ada keributan dan semua berjalan dengan baik-baik saja.

Kerja sama tim mereka yang cukup kompak dan keahlian memasak Priyanka yang hebat, mampu membawa mereka meraih juara kedua. Meja yang kemarin disiapkan Renata, dirapikan kembali tanpa mengubah tatanan aslinya. Meja itu dipakai untuk meletakkan makanan yang dibuat oleh semua tim.

Di tengah acara sarapan bersama itu, Frilla melihat Jerry sedang merokok bersama Samy. Tampaknya mereka selesai makan lebih dulu dan menghabiskan sisa waktu pagi untuk merokok agak jauh dari kerumunan. Frilla tahu mereka pernah beberapa kali berada di kelas yang sama saat kuliah, namun tidak pernah berpikir bahwa keduanya bersahabat. Dibanding dengan Samy, Jerry terlihat lebih sering berjalan dengan Iko.

Apa benar Jerry menyembunyikan perasaannya pada Frilla karena Samy? Apa mereka memang sedekat itu? Atau selama ini dia yang tidak terlalu memperhatikan?

Samy melempar senyum pada Frilla hingga gadis itu sadar sudah menatap mereka terlalu lama. Frilla balas tersenyum lalu berbalik meneruskan makannya bersama Renata dan Cecille. Dia tahu Samy baik. Bahkan terlampau baik padanya. Tapi kenapa dia tidak bisa menyukai pria itu? Apa karena Jerry jauh lebih menarik secara fisik dibanding Samy? Tapi Samy pun tidak bisa dibilang jelek. Dia memiliki struktur muka yang lembut dan membuat kesan penyabar.

Selesai makan, Frilla menoleh lagi ke tempat Jerry berada. Samy sudah pergi sementara Jerry masih asyik merokok. Sudah berapa batang yang dihabiskannya pagi ini? Bahkan kini ia mulai mengambil sebatang rokok yang baru dan korek. Frilla meraih dua botol jus mangga instant dan membawanya ke arah Jerry.

Tanpa banyak bicara, Frilla merebut rokok di jari Jerry lalu menginjaknya hingga mati. Sebagai gantinya, ia menyodorkan minuman dan duduk di sampingnya. Jerry hanya melongo melihat Frilla bersikap semena-mena pada batang rokok terakhirnya.

"Belum puas ngerokoknya?" tanya Frilla lalu meneguk minumannya sendiri.

Jerry menatap botol di tangannya lalu ikut meminumnya sedikit. Dia masih tidak mengerti dengan Frilla. Dia terlihat mudah ditebak, tapi ternyata di luar perkiraannya. Dia mengira sudah membuat Frilla menyukainya, tapi gadis itu memiliki orang lain untuk dicintai. Atau dirinya yang terlalu sombong menghargai dirinya sendiri? Berpikir bahwa gadis seperti Frilla akan bertekuk lutut padanya hanya karena ditolong memanjat pohon?

"Gimana tangan lo? Udah diobatin?" tanya Frilla membuka obrolan.

"Membaik," sahut Jerry. "Tumben nyamperin. Ada apa?"

"Gue mau ngambil bandana gue. Mana?" tanya Frilla menadahkan tangannya.

Jerry tersenyum kecut lalu menunjuk ke arah tenda dengan dagunya.

"Tapi masih kotor."

"Nggak masalah. Udah nggak dipake, 'kan?"

Jerry meneguk sedikit minumannya.

"Makasih, ya. Cari aja si Roy. Dia yang ngobatin gue kemarin. Dia juga yang simpan bandana lo," kata Jerry kemudian.

"Roy? Kenapa bukan lo yang simpan?" tanya Frilla dengan nada tidak suka.

Jerry menghela napas lalu bangkit dari duduknya.

"Maaf. Gue ambilin sekarang," ucap Jerry mengalah. Sangat bukan Jerry sekali.

"Nggak usah," tolak Frilla lalu menarik Jerry agar duduk kembali. "Gue juga pengen ngobrol sama lo."

Jerry menurut untuk duduk. Dia sudah tidak bersemangat lagi untuk bertengkar ataupun menarik perhatian Frilla. Sejak tahu bahwa dia bukan orang yang disukai, tak ada gunanya lagi bersikap bodoh untuk membuat Frilla menatapnya.

"Gue juga mau bilang makasih karena lo udah banyak nolongin gue kemarin. Gue tertolong banget,* kata Frilla.

Jerry hanya mengangkat alis sebagai jawaban. Untuk orang yang sedang jatuh cinta, sikapnya kemarin tidak pantas mendapat ucapan terima kasih. Dia hanya terlalu terbawa perasaan. Terlalu mengharapkan gadis yang disukainya tidak memiliki luka segores pun. Bahkan mungkin Frilla bisa membalasnya dengan sekedar ucapan terima kasih. Tidak akan ada balasan perasaan yang sama untuknya hanya karena Jerry melakukan tingkah heroik penyelamatan sekalipun.

"Renata juga udah bilang kalau lo minta maaf ke dia. Lo nepatin janji," ucap Frilla lagi.

"Gue emang salah, 'kan? Udah sewajarnya...."

"Gue juga masih punya janji yang belum gue tepati," potong Frilla cepat. "Ngasih tahu lo siapa orang yang gue suka."

Jerry tersenyum sinis mendengarnya. Ia meraih ranting kecil untuk dipermainkan dengan memutar-mutar di sela jarinya. Frilla tidak merasa putus asa meski Jerry membangun kesan tak peduli.

"Gue suka sama lo."

"Tapi?" sahut Jerry tidak percaya. Dia masih asyik memutar-mutar ranting tanpa terkejut dengan ucapan Frilla. Gadis itu sendiri yang kemarin mengatakan tidak memiliki perasaan padanya. Tidak mungkin jika sekarang dia bermaksud mengatakan bahwa Jerry adalah gebetannya.

"Gue suka sama lo!" tegas Frilla sekali lagi.

"Sebagai temen? Sebagai musuh? Sebagai sahabat orang yang lo cinta?" tanya Jerry yang disambut Frilla dengan gelengan.

"Kalau gue bilang suka sama lo, artinya gue suka sama lo. Gue cintanya sama lo. Bukan sahabat lo."

"Tapi kemarin lo bilang...."

"I was messing around," sahut Frilla lalu terkikik geli melihat wajah Jerry yang kebingungan. "Gue seneng lo lebih dulu bilang suka sama gue. Lo pasti tahu cewek selalu gengsi nyatain perasaan lebih dulu."

Jerry mengernyit tak suka lalu menggeleng-geleng cepat.

"Lo udah gila, Fri."

Berganti Frilla yang mengernyitkan kening.

"Kok, lo bilang gitu?"

"Lo benci gue. Tiap hari bawaannya marah terus tiap ketemu gue. Lalu kemarin bersikap lebih manis, tapi waktu gue tembak langsung balik marah lagi. Lo nolak gue, bilang kalau lo suka sama cowok lain dan itu bukan gue. Lalu sekarang tiba-tiba bilang kalau lo cinta sama gue. Gue yakin ntar sore mau berantem lalu mutusin gue tanpa alasan pasti," cetus Jerry berapi-api.

"Kok, lo jadi nyolot, sih, Jer? Kalau lo nggak mau nerima gue ya udah. Nggak perlu marah-marah nggak jelas gini!" tukas Frilla jengkel.

"Bukan gue, tapi lo yang nggak mau nerima gue," tandas Jerry.

"Nggak mau nerima gimana? Gue udah jelas-jelas nyamperin lo ke sini dan bilang suka. Lo pikir buat apa gue repot-repot kayak gini kalau bukan karena beneran suka?" sentak Frilla.

"Lo selalu di luar perkiraan. Mana bisa gue percaya sama lo?" cetus Jerry semakin sinis.

"Lihat gue!" pinta Frilla membuat Jerry menoleh. "Apa gue kelihatan seperti main-main? Apa gue kelihatan lagi nggak waras sampai ngomong ngelantur?"

"Gue nggak tahu," sahut Jerry tak peduli hampir mengalihkan pandangan namun Frilla menahannya.

Gadis itu menempelkan jarinya di bibir lalu diarahkan ke bibir Jerry. Jerry agak terkejut mendapat ciuman jarak jauh seperti itu. Memang hanya bibir dengan jari, tapi kesan yang diperolehnya membuat dada berdebar tak karuan. Frilla benar-benar sudah gila.

"Lo berusaha bikin gue percaya dengan ngelakuin itu?" tanya Jerry mengatur suaranya agar tidak bergetar.

"Gue nggak mungkin cium lo beneran di tempat umum seperti ini," jawab Frilla lalu berpaling malu. "Kalau lo masih nggak percaya, gue nggak tahu harus gimana lagi."

"Jadi lo seagresif itu?" ucap Jerry menyembunyikan senyumannya.

"Gue nggak agresif! Gue cuma nggak tahu harus apa. Kalau lo nggak percaya, gue juga nggak akan maksa," tukas Frilla lalu bangkit berdiri. "Gue uda malu-maluin diri gue sendiri."

"Setelah cium gue, sekarang lo mulai ngerasa malu?" goda Jerry. "Lo mau gue jawab apa?"

"Urus aja diri lo sendiri. Bandana gue bisa lo buang kalau udah nggak dipake. Gue nggak mau ambil itu lagi."

Jerry memutar bola matanya dengan jahil. Ditariknya gadis itu untuk duduk kembali. Dengan sikap dan ucapannya yang seolah-olah hendak pergi, Frilla tidak benar-benar pergi. Atau mungkin dia masih mengharapkan Jerry berubah pikiran dan menerimanya.

"Gue suka sama lo, dan itu nggak main-main," ucap Jerry. "Nggak ada perantara kalau gue naksir sama seseorang. Termasuk buat ciuman," lanjutnya lalu mencium Frilla tepat di bibir.

Frilla membelalakkan mata mendapat ciuman singkat itu. Hanya sekejap saja, bahkan kini Jerry sudah menjauh sambil menyembunyikan senyuman di balik kepalan tangan.

"Lo nggak inget kalau kita di tempat umum?" gerutu Frilla lirih.

"Peduli amat."

"Gue peduli!" tukas Frilla kesal.

"Jadi lo nyesel?" goda Jerry. "Atau kurang lama?"

"Lo nyebelin, Jer," ucap Frilla.

Jerry tersenyum lalu menarik Frilla berdiri.

"Yuk, gue kenalin sama temen-temen gue. Gue juga mau minta maaf sama Samy karena tadi gue bilang ke dia kalau gue nggak mungkin jadian sama lo. Samy mungkin masih berharap sama lo," kata Jerry.

Frilla tidak menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Renata dan Ghea sedang melihat ke arah mereka dengan mata terkejut tapi segera mengalihkan pandangan saat Frilla menoleh. Bukan hanya kedua orang itu. Ada beberapa teman lain yang tak sengaja melihat keduanya. Sepertinya gosip akan menyebar lebih dulu dibanding ajakan Jerry yang memperkenalkan Frilla pada teman-temannya. Atau mungkin Jerry tak perlu repot melakukan hal itu.

"Gue malu, Jer."

"Kenapa? Karena gue nggak seganteng Samy? Body gue oke, kok. Nggak kalah dari Samy. Gue juga sadar kalau gue cakep," sahut Jerry dengan pedenya.

"Bukan gara-gara itu, Bego! Gue malu karena lo cium gue!" tukas Frilla kesal.

"Kita udah dewasa, orang-orang bakal ngerti. Kita juga bakal sering nglakuin itu," ucap Jerry lalu mengecup bibir Frilla sekali lagi.

"Jerry!" sentak Frilla malu.

Jerry terkikik geli lalu menarik gadis itu untuk pergi. Ada banyak pasang mata yang menatap mereka sedang bergandengan tangan. Seandainya bisa, Frilla ingin menghilang detik itu juga. Malu sekali terpergok berpacaran dengan musuhnya sendiri. Meski Jerry cukup tampan untuk menjadi pacar, tetap saja....

Samy melihat mereka dari jauh. Dia yang tadinya hendak membantu Gabriel mencuci piring, tersenyum miris melihat pemandangan itu. Mereka memang sudah seharusnya bersama. Pertengkaran mereka akan terkesan abal-abal saja untuk saat ini.

Samy menggeleng pelan lalu melanjutkan tugas mencuci piring. Mungkin Jerry benar, Renata akan cocok dengan karakternya yang cenderung pendiam. Frilla hanya akan menghabiskannya dengan cacian terlebih Samy lebih mudah mengalah. Yah. Mereka berdua memang tidak akan mungkin bersatu.

Samy tersenyum sekali lagi. Akhirnya si Bodoh Jerry berhasil juga menaklukkan rivalnya. Sepertinya soto Mang Udin di kampus besok siang akan cocok untuk merayakan hari ini. Tentu saja Samy tidak bisa membiarkan temannya bersenang-senang tanpa membayar pajak. Bukan hal aneh untuk memaksanya kali ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)