Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,685
Kalau Saja Orang Itu Dia
Romantis

Samantha menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya. Akhirnya pekerjaannya selesai juga. Setelah setengah mati mengerjakan ulang pekerjaan yang terbengkalai karena ditinggal Manager ke luar negeri, akhirnya Samantha bisa menyelesaikannya dalam 3 hari. Sekali lagi dia membaca email yang dikirimkannya sesaat lalu. Senyum puas tersungging di wajahnya.

Dengan santai dia meregangkan tangan ke atas berusaha melemaskan otot-ototnya. Jam istirahat sudah terlewat, tapi dia masih punya waktu untuk membuat sereal di pantry. Belakangan ini dia memilih makan siang dengan sereal untuk menjaga berat badannya. Pagi hari hanya segelas susu yang bisa dikonsumsinya.

“Udah selesai? Udah bisa makan siang?”

Samantha melirik ke arah Gabriel yang berdiri di depan meja kerjanya sembari tersenyum. Lelaki itu menenteng laptop dan beberapa lembar dokumen di tangan yang lain. sepertinya dia baru saja selesai meeting.

“Capek banget,” kata Samantha sambil memundurkan kursinya. “Gue mau ke pantry.”

“Sereal lagi? Mau makan di luar, nggak? Gue juga belum makan siang. Baru beres meeting sama Pak Radip.”

“Gue lagi diet, Kak. Lo tahu, ‘kan?”

“Tahu. Kita ke resto Langsa aja. Lo bisa pesen veggie di sana. Yuk.”

Gabriel meletakkan laptop dan dokumennya di atas meja kerja Samantha lalu menepuk saku belakangnya, memastikan jika dia sudah membawa dompet. Namun, Samantha memilih untuk menggeleng. Dia sedang mengikuti program diet dan hanya sereal itu yang bisa dimakannya saat makan siang.

“Gue ada jadwal makan sendiri.”

“Diet terlalu ketat itu nggak baik, Sam,” kata Gabriel.

“Enggak, kok. Gue makan sesuai takaran.”

“Seharusnya ada karbo dan protein yang masuk siang ini, tapi lo lebih milih makan sereal aja. Sepertinya lo harus baca ulang aturan dietnya.”

“Gue lebih tahu aturannya.”

“Cheating day sekaliii aja,” pinta Gabriel sambil mengangkat jari telunjuknya. “Gue yang traktir, deh. Gue laper banget dan semakin laper lihat lo pegang kardus sereal gitu.”

Samantha menoleh pada tangannya yang sudah meraih box sereal. Seketika itu juga dia tersenyum geli. Gabriel melangkah sedikit masuk ke area kerja Samantha lalu meraih tangannya yang lain.

“Ini buat kebaikan lo juga. Gini-gini gue juga pernah baca tentang diet sehat.”

“Tapi, Kak….”

“Keburu Pak Radip ke sini. Bisa-bisa gue dipanggil lagi buat bahas summary meeting tadi,” desak Gabriel.

Samantha menghela napas lalu mengangguk pasrah.

“Nggak perlu traktir. Gue mau milih makanan mahal.”

Gabriel tertawa mendengarnya. Selain merasa lucu dengan jawaban Samantha, juga senang karena Samantha mau menerima ajakannya untuk makan bersama.

Sudah lama dia menyukai gadis itu. Samantha baru bergabung dengan perusahaan sejak 2 tahun lalu. Dia lulusan terbaik sebuah kampus ternama di Indonesia dan berusia 2 tahun lebih muda dari teman-teman seangkatannya karena akselerasi. Bukan hanya dalam hal akademik, nyatanya di dunia kerja pun dia cukup cekatan dan mudah beradaptasi, membuatnya menjadi orang kepercayaan Pak Siswanto, Manager R&D tempatnya bekerja.

Samantha tergolong cantik. Satu dua pria berusaha menarik perhatiannya di kantor, termasuk Gabriel. Sejauh ini, Gabriel belum pernah mendengar gosip Samantha berpacaran dengan siapapun. Dari sumber terpercaya, Gabriel tahu Samantha anak dari pemilik percetakan buku indie. Mungkin itu juga sebabnya Samantha tumbuh menjadi anak yang cerdas karena sudah sangat sering membaca buku dari percetakan ayahnya.

Kini melihatnya makan dengan lahap di hadapannya, Gabriel tersenyum puas. Samantha tidak banyak akrab dengan banyak orang karena kesibukannya di kantor. Kadang Gabriel iba dengannya yang diberi tugas berlebihan oleh Pak Siswanto hanya karena Samantha bisa mengerjakan dengan cepat. Tapi, dia juga beruntung karena hanya Gabriel yang bisa diminta untuk membimbingnya sebagai senior. Terlebih sebentar lagi Gabriel akan menggantikan Pak Siswanto yang pensiun sebagai Manager. Tentu saja hubungan mereka bisa semakin dekat.

“Makan pelan-pelan. Belanda masih jauh,” kata Gabriel sambil mendorong dimsum pesanannya lebih dekat ke arah Samantha.

Samantha melirik dimsum itu lalu menoleh pada Gabriel.

“Gue boleh minta?” tanya Samantha menunjuk dimsum yang terlihat menggiurkan itu.

“Boleh, dong. Ini aman untuk diet, kok. Gue udah riset duluan.”

Samantha tersenyum lalu mengambil salah satunya dengan garpu.

“Udah lama gue nggak makan sebanyak ini,” kata Samantha lalu melahap dimsum dengan gigitan besar.

“Kenapa harus diet? Gue lihat, badan lo nggak segemuk itu sampai harus diet segala,” kata Gabriel. Dia menyuap makanannya juga sambil tetap memperhatikan ekspresi Samantha.

Samantha mengunyah sebentar lalu berbicara setelah menelan makanannya.

“Target berat badan gue 47 kg. Biasa kalau cewek itu, target idealnya tinggi badan dikurangin 110. Karena tinggi badan gue 157 cm, jadi berat badan ideal 47 kg,” jelas Samantha. “Sekarang boleh, deh, cheating day. Ini karena Kak Gab udah baik sama gue aja.”

“Emang mau apa dengan badan sekurus itu? Begini aja lo udah cantik. Udah banyak yang naksir.”

Samantha tersenyum malu dipuji demikian. Dia menarik tissue untuk mengusap ujung bibirnya yang terkena sedikit makanan.

“Gue nggak tahu kalau gue juga cantik di mata Kak Gab.”

“Itu udah jelas, dong! Gue yakin semua orang juga berpikiran hal yang sama.”

Samantha terkekeh lalu meletakkan sendoknya. Lalu dengan tangan di dekat mulut, dia berbisik pada Gabriel yang mencondongkan badan ke arah Samantha untuk mendengarkan sebuah rahasia.

“Gue cuman ngomong ini ke lo karena lo udah seperti kakak gue,” kata Samantha mengawali pembicaraannya membuat Gabriel mengernyit.

“Siapa yang….”

“Ada cowok yang gue suka di kantor,” lanjut Samantha tanpa peduli dengan pertentangan di hati Gabriel. “Temennya ada di sini, jadi gue nggak bisa keras-keras.”

Rasanya ada rasa kesal yang berlebihan terasa di hatinya. Seandainya boleh, dia ingin sekali menggebrak meja saat itu juga. Tapi, jika Samantha sudah berkata demikian, maka Gabriel bukan orang yang disukai oleh Samantha lebih daripada sekedar “seperti kakak” yang tak dimengerti Gabriel.

“Siapa?” tanya Gabriel sambil memundurkan punggungnya. Lebih tepatnya, dia ingin tahu siapa orang yang menjadi lawannya dalam mendapatkan hati Samantha.

“Mario dari divisi SM. Lo pasti tahu, ‘kan?”

“Si cebol itu?” tanya Gabriel tak percaya. Samantha memukul lengan Gabriel dengan kesal.

“Dia nggak cebol, Kak.”

“Cuman setinggi bahu gue. Apa namanya kalau bukan cebol? Kayaknya juga lebih tinggi lo daripada dia.”

“Dia 165 cm. Tinggi standard untuk cowok Indonesia. Apalagi dia juga ganteng.”

“Ganteng mana ama gue?” tanya Gabriel tidak suka. Samantha tersenyum lucu sambil menutup mulutnya.

“Kak Gabriel juga ganteng, sih. Tapi, lo ‘kan, udah tua.”

“Tua apaan? Gue 30 tahun!” tukas Gabriel. Samantha buru-buru meralat ucapannya.

“Maksud gue, dengan umur gue yang baru 22 tahun, umur lo terlalu….”

“Emang lo tahu Mario umur berapa?” tanya Gabriel lagi.

“25. Gue pernah curi denger obrolan dia sama temen-temennya.”

Gabriel mendesah semakin kesal. Dia meraih gelasnya dan meneguk isinya hingga habis. Berikutnya dia mengangkat tangan memanggil pelayan dan meminta dibawakan minuman baru yang sama.

“Lo kelihatannya nggak suka sama Mario. Kenapa? Ada masalah sama dia?” tanya Samantha.

Gabriel melirik gadis di hadapannya. Sorot matanya yang tadi berbinar-binar sudah redup. Mungkin dia menyangka Gabriel akan mendukung atau menggodanya seperti biasa. Namun, nyatanya dia justru bereaksi berlawanan.

“Dia udah 3 tahun kerja di sini, tapi masih tetep gitu-gitu aja. Seharusnya lo cari cowok yang berkembang lebih baik dibandingkan lo.”

Samantha mengerucutkan bibirnya. Dia meraih lagi sendoknya dan menyuap kembali makanannya yang sempat terjeda. Untuk beberapa saat tidak ada yang berbicara hingga minuman pesanan Gabriel datang. Gabriel meneguknya sedikit lalu membuka percakapan kembali.

“Trus, apa hubungannya lo suka sama dia dan diet ketat lo? Tipe dia yang cungkring kurang gizi?”

Samantha menelan makanannya lalu melirik Gabriel sedikit waspada.

“Pasti lo bakal marah.”

“Kalau gue pikir itu merugikan lo, itu udah pasti,” jawab Gabriel. “Jadi bener?”

Samantha mengangguk takut-takut.

“Mantan pacar dia model yang badannya kurus dan tinggi. Bukan gue mau jadi seperti mantannya, tapi gue pikir punya berat badan ideal itu bagus.”

“Sekarang berapa berat badan lo?”

“53 kg. Masih harus turun 5 kg lagi.”

Gabriel menggeleng-gelengkan kepala tak setuju.

“Lo harus tetap jaga kesehatan.”

“Iyaaa….”

“Gue serius!” tegas Gabriel.

“Gue ngerti, kok.”

Gabriel mengacak-acak rambut Samantha dengan gemas. Yang bersangkutan hanya mampu meringis pasrah saja sambil merapikan rambutnya kembali.

“Kasih tahu gue kalau dia nyakitin lo. Gue bisa bantu hajar dia dari samping,” kata Gabriel sambil membenahi rambut Samantha yang sesaat lalu diacaknya.

Samantha tersenyum lalu mengacungkan jempolnya. Hingga selesai makan, nyatanya Gabriel juga yang membayar keseluruhan bill-nya. Meski Samantha bersikeras hendak mengganti, Gabriel menolaknya. Mungkin saja ini akan menjadi terakhir kali mereka makan bersama jika Samantha berpacaran dengan Mario.

***

Gabriel memperhatikan Samantha dan Mario dari kejauhan. Samantha terlihat memberikan sesuatu pada Mario. Sepertinya hadiah. Mario menerimanya sambil tersenyum lebar. Dia melambai pada Samantha dan berlalu dengan teman-temannya. Samantha masih mengawasi kepergian Mario.

Gabriel mengalihkan perhatian pada Mario yang sudah berjalan dengan teman-temannya menuju pelataran parkir. Sebelum masuk mobil, salah seorang dari mereka berbisik di telinga Mario. Mereka saling tertawa-tawa lalu Mario kembali menghampiri Samantha. Gadis itu sudah hampir pergi tapi berhenti ketika Mario mendekat.

Kedua orang itu kembali mengobrol. Gabriel bisa melihat ekspresi Samantha yang malu-malu. Hingga kemudian Mario membungkukkan sedikit badannya dan menoleh ke samping. Tak disangka, Samantha mencium pipi Mario sekilas. Teman-teman Mario di belakangnya bersorak riuh menarik perhatian orang-orang di sekitar. Kemarahan Gabriel terasa semakin memuncak. Terlebih ketika melihat teman-teman Mario di belakang sedang membagi-bagi uang sambil tertawa-tawa. Jelas sekali Samantha sedang diperalat sebagai taruhan.

Gabriel melambai ketika Samantha tak sengaja menoleh ke arahnya. Dia memberi kode pada gadis itu untuk mendekatinya. Samantha menoleh dulu ke arah Mario yang sudah bergabung dengan teman-temannya dan pergi dari depan café itu. Sekali lagi Gabriel memberi kode padanya untuk mendekat.

Samantha tersenyum sambil melangkah mendekati Gabriel. Di hari Sabtu, mereka bekerja setengah hari setiap 2 minggu sekali. Ketika datang ke kantor pun tidak ada agenda yang pasti. Kadang orang-orang bermain tenis meja atau basket di aula olah raga, atau sekedar absen dan nongkrong di café lantai dasar seperti Gabriel saat ini.

“Lo tahu tadi mereka ngapain?” tanya Gabriel saat Samantha sudah mendekat.

“Taruhan, ‘kan? Gue tahu, kok.”

“Kok lo masih tetep mau cium dia? Nggak ada harga dirinya jadi cewek.”

“Apa, sih, Kak? Kok ngomongnya gitu?” dengus Samantha tersinggung.

“Jaga kehormatan lo. Sekarang mereka cuman taruhan cium pipi. Kalau lebih gimana?”

“Gue bisa jaga diri! Ini cuman sekedar cium pipi, nggak lebih!” tukas Samantha marah. “Kenapa, sih, akhir-akhir ini lo sewot mulu sama gue? Gue bikin salah apa?”

“Lo harusnya tahu, Sam. Gue jagain lo!”

“Enggak! Kak Gabriel mempersulit gue. Nggak cuma di kantor, tapi juga di kehidupan pribadi gue!”

Samantha menghentakkan kaki kesal lalu berbalik pergi dari hadapan Gabriel. Hampir saja dia menabrak seorang pelayan yang membawa nampan namun untungnya berhasil menguasai diri. Gabriel mendesah melihatnya. Sepintar apapun, dia tetaplah gadis kecil yang polos.

Ponsel yang diletakkan Gabriel di atas meja bergetar pelan. Dia meraih ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Sesaat senyum sinis tersungging di wajahnya. Dia tidak membalas pesannya, tapi memilih untuk melakukan panggilan telepon.

“Saya terima kabar, anak yang lolos interview untuk posisi Humas itu mengundurkan diri. Saya kepikiran satu nama kalau boleh saya merekomendasikan,” kata Gabriel lalu tersenyum tipis sekilas. “Mario, Pak. Dia dari divisi SM dan belakangan ini kerjanya kurang di divisinya, tapi sepertinya akan cocok di posisi Humas. Dia juga lahir di NTT, ‘kan? Deket, lah, dari kantor cabang kita di NTB.”

***

Gabriel sedang memberikan instruksi pada Anya. Meeting sudah berakhir dan semua orang sudah bangkit dari kursinya masing-masing. Hanya Gabriel dan Anya yang masih tertinggal untuk diskusi kecil. Samantha yang tadinya hendak pergi, akhirnya memutuskan untuk bergeser ke samping Anya.

Gabriel hanya melirik sekilas pada Samantha, tapi tidak mengatakan apapun. Dia masih tetap memberikan arahan pada Anya soal tugas-tugas yang diberikan oleh Pak Siswanto. Anya baru bergabung 3 bulan di perusahaan itu, sehingga Gabriel harus mendampinginya secara khusus agar bisa cepat beradaptasi sebelum Pak Siswanto resmi pensiun.

“Ada apa? Ada yang mau ditanyakan?” tanya Gabriel pada Samantha setelah selesai berurusan dengan Anya.

Anya menoleh pada Samantha dan tersenyum kaku. Dia membereskan barang-barangnya lalu berpamitan keluar lebih dulu karena mengira Samantha hendak membahas sesuatu yang serius dengan Gabriel.

“Kata Pak Farhan, Kak Gabriel yang nyaranin Mario buat dipindah ke NTB? Ada alasan khusus? Ini gara-gara gue, ya?”

“Itu tahu,” jawab Gabriel sambil terkekeh. “Gue nggak berencana menutupi apapun dari lo. Jujur aja, emang gue yang bikin dia dipindah. Keberadaan dia di sini mengganggu banget.”

“Kenapa, sih, Kak? Kalau gue bahagia, ‘kan, gue bisa kerja dengan baik juga. Lo nggak mau gue bahagia?” tanya Samantha jengkel.

“Mau. Makanya gue pindahin dia.”

“Lo kelewatan kalau campurin masalah pribadi dengan masalah kerja. Lo juga nggak tahu apa-apa soal kebahagiaan gue.”

“Lo nggak akan bahagia sama dia, Sam. Percaya, deh. Gue hidup lebih lama dari lo. Lo sendiri bilang gue udah tua, ‘kan? Gue punya segudang pengalaman termasuk ketemu cowok seperti dia.”

“Masalah taruhan, itu cuman keisengan anak muda.”

“Gue begini buat kebaikan lo. Emangnya lo pikir kenapa gue pengen dia jauhin lo?”

“Lo cemburu, ‘kan? Lo cemburu karena sekarang ada orang lain yang lebih gue anggap spesial dibandingkan lo.”

“Kalau gue cemburu, dia udah babak belur di detik yang sama dia naruhin lo,” kata Gabriel penuh penekanan. “Asal lo tahu, gue nggak akan cemburuin orang yang nggak selevel sama gue.”

“Sombong lo, Kak!”

“Terserah. Yang pasti, HR setuju mutasiin dia, dan dia setuju buat pindah. Lo nggak bisa merubah apapun, Sam,” kata Gabriel sambil menutup laptop dan membereskan barang-barangnya. “Gue begini biar lo hidup tenang dan sangat berbahagia selama kerja di sini.”

“Lo jahat, Kak,” desis Samantha.

Gabriel hanya mencibir. Dia mengacak rambut Samantha lalu lebih dulu keluar dari ruangan itu. Samantha semakin kesal dibuatnya. Bukannya merapikan rambut, dia semakin mengacak-acak rambutnya. Kelakuan Gabriel belakangan ini membuatnya begitu sebal.

***

Sebuah mobil berhenti di depan Samantha yang sedang menunggu ojek online. Samantha sudah tahu siapa orang di balik kemudi itu. Siapa lagi jika bukan Gabriel? Lelaki itu menurunkan kaca lalu tersenyum ramah.

“Yuk, gue anter. Udah malem.”

Samantha menggeleng yakin.

“Enggak. Gue udah pesen online.”

“Cancel aja. Ini udah hampir jam 9 malam. Gue anterin sampai depan rumah,” bujuk Gabriel. Samantha mendengus mendengarnya.

“Salah siapa sok ngide meeting jam 6 sore?” gerutu gadis itu.

Gabriel terkekeh mendengarnya.

“Iya, gue yang salah. Tapi, mau gimana lagi? Besok udah hari terakhir Pak Sis. Nggak ada waktu lagi.”

Samantha menggumam lirih yang terdengar seperti gerutuan. Gabriel memahami kekesalan gadis itu. Minggu ini ada banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakan Samantha terlebih karena Pak Siswanto menuntut tugas-tugas diambil alih secepatnya. Ditambah hari ini Samantha harus bekerja lembur dan meeting hingga larut malam, Gabriel tidak bisa menyalahkannya.

“Kalau gitu, ini sebagai permintaan maaf gue. Gue anterin lo pulang.”

“Enggak, Kak. Kasihan ojolnya kalau di-cancel,” kata Samantha lalu melihat ponselnya lagi. “Dia udah deket.”

Benar saja, sesaat kemudian ada ojek online yang berhenti di belakang mobil Gabriel. Samantha melempar tatapan meledek ke arah Gabriel lalu menghampiri ojek itu. Gabriel tak habis pikir jika gadis itu benar-benar naik ojek. Padahal tadinya dia berpikir Samantha akan memesan mobil, bukannya motor.

Dari spion tengah, Gabriel memandangi Samantha yang berbicara dengan pengemudi ojol. Mereka tampak bersitegang yang tak didengar oleh Gabriel. Sesekali pula Samantha menunjukkan ponselnya dan mereka kembali berdebat kembali.

Tadinya Gabriel hendak diam saja dan mengawasi dalam diam. Terlebih karena dia khawatir Samantha akan marah jika dia terlalu ikut campur. Tapi, dilihatnya Samantha menoleh ke arah mobil Gabriel dengan ekspresi ragu-ragu. Entah dugaan Gabriel benar atau salah, dia hanya mengira Samantha sedang berusaha meminta pertolongan meski tidak yakin.

“Kak Gab,” panggil Samantha begitu melihat Gabriel keluar dari mobilnya.

Gabriel melangkah mendekati kedua orang itu. Pengemudi ojol itu tampak kikuk saat tahu ada Gabriel yang mengenali calon penumpangnya. Gabriel menatap kedua orang itu bergantian.

“Ada apa?” tanya Gabriel.

“Oh, ini, Bang. Tarifnya nggak sesuai. Tapi, udah kok...,” kata pengemudi itu tergagap lalu menoleh pada Samantha. “Yuk, Neng.”

“Enggak. Tadi dia minta gue buat matiin aplikasi dan bayar offline, Kak. Katanya kalau malam gini potongannya banyak,” jelas Samantha pada Gabriel.

“Nggak apa-apa, Neng. Nggak usah dimatiin aplikasinya. Yuk, saya antar.”

“Jangan!” sela Gabriel lalu menarik tangan Samantha untuk berdiri di dekatnya. “Saya pacarnya. Tadi kita berantem jadi dia minta pulang sendiri. Biar dia pulang sama saya aja.”

Samantha menoleh pada Gabriel dengan terkejut.

“Kak?”

“Tapi udah terlanjur pesen, Bang. Saya juga udah sampe sini. Mana bisa di-cancel?”

“Saya bayarin, deh,” kata Gabriel lalu mengambil dompet dari saku celananya. “Segini cukup?” tanyanya memberikan 3 lembar uang 50 ribuan.

Wajah pengemudi itu langsung berseri-seri sementara Samantha melotot tak setuju.

“Cuman 35 ribu, Kak!”

“Cukup, Bang!” sahut pengemudi itu lalu menerima uang dari Gabriel dengan buru-buru. “Makasih, ya. Kalau gitu saya cancel, ya.”

Gabriel meraih lagi tangan Samantha dan meremasnya. Dia menunggu hingga ojol itu pergi baru menatap wajah Samantha.

“Lo hampir aja diculik sama dia. Sampai sini lo masih belum paham?”

“Dia cuman pengen nganterin secara offline biar nggak kena potongan aplikasi, Kak. Tadi gue cuman berencana ngasih tip lebih asalkan tetap online. Kenapa malah diusir, sih? Kalau kayak gini, ‘kan, malah jadi rugi banyak. 150 ribu, lho, yang lo kasih.”

“Daripada cerewet begini, mending pulang sama gue aja,” kata Gabriel lalu menarik Samantha ke sisi mobilnya. “Gue bisa maklum sama kebodohan lo yang ini. Jangan diulang yang kedua kali.”

Samantha masih merengut meski menurut untuk masuk mobil Gabriel. Gabriel menutup pintu dengan cepat lalu setengah berlari masuk ke sisi kemudi. Dilihatnya gadis itu sudah memasang seat belt meski bibir masih mengerucut. Ada senyum tertahan di wajah Gabriel melihatnya. Dia melajukan mobilnya menembus kegelapan malam.

“Keselamatan lo nggak aman kalau malam-malam kayak gini pakai ojek offline. Siapa yang tahu kalau nantinya dia belok ke tempat yang lo nggak tahu? Kalau lo diapa-apain di tempat sepi gimana? Lo tahu berita kejahatan di mana-mana. Seharusnya lo ngerti jaga diri kalau lagi sendirian, bukan malah nantangin.”

“Gue nggak nantangin.”

“Lo bikin gue khawatir. Kalau nggak ada gue, jangan-jangan lo bakal mau-mau aja ikut dia,” kata Gabriel. “Lagian, kemana mobil lo?”

“Di bengkel. Kemarin, ‘kan, mogok. Gue pulang dianterin sama Anya.”

Gabriel mengangguk saja. Dia memang tahu kemarin mobil Samantha dijemput bengkel dari depan kantor. Dia hanya tidak tahu jika sampai hari ini mobilnya masih tetap bermasalah.

“Makanan favorit lo apa? Gue belakangan ini lagi suka sama ramen,” kata Gabriel tiba-tiba. Samantha menoleh ke arahnya.

“Ngapain tiba-tiba nanyain makanan favorit? Mau nyogok?”

“Bukan. Besok ada acara makan-makan di kantor karena perpisahan Pak Sis.”

“Oh,” sahut Samantha lalu menatap ke depan kembali. “Gue juga suka ramen, sih. Tapi, ramen korea karena kalau dikombinasiin sama toppoki, tuh, enak banget. Gue nggak suka dicampur, lebih suka terpisah. Kalau dicampur namanya rappoki, tahu nggaK?” tanya Samantha.  

Gabriel mengangguk mengerti.

“Tahu. Gue juga suka.”

“Bener, ‘kan? Itu enak banget,” kata Samantha sambil tersenyum lebar. “Oh, ada lagi. Gue juga suka kentang madu. Lo bisa rekomendasiin buat side dish besok, ya. Serius itu enak banget dimakan setelah makan yang pedes-pedes.”

“Oke. Ada lagi selain makanan korea?”

“Hmmm…,” gumam Samantha sambil berpikir. “Gue paling suka makanan Korea, sih. Tapi, gue juga suka pasta. Semua jenis pasta. Spaghetti, Lasagne, Ravioli, Fusilli….”

Gabriel mengangguk-angguk saja. Dia membelokkan mobilnya berlawanan arah dengan jalan pulang ke rumah Samantha membuat gadis itu bingung. Dia hafal semua jalan alternatif menuju rumahnya, tapi jalan yang dipilih Gabriel mengarah jauh dari rumahnya.

“Kok lewat sini, Kak? Mau kemana?”

“Lewat sini lebih cepet,” jawab Gabriel singkat.

“Lo mau culik gue, ya? Mending gue naik ojol daripada diculik sama lo.”

“Cerewet, deh,” dengus Gabriel lalu membelokkan lagi mobilnya ke sebuah restoran Korea. “Untung masih buka. Kalau udah tutup, mau gue ajak makan Spaghetti aja.”

Samantha menatap bingung ke resto di depannya. Gabriel dengan santai memarkirkan mobil di pelataran parkir yang terisi beberapa mobil saja. Sudah mulai lengang karena memang sudah malam.

“Mau pesen buat besok?” tanya Samantha bingung. Gabriel tertawa lucu mendengarnya.

“Menu besok tumpeng nasi kuning sama nasi uduk. Maaf kalau menunya bukan favorit lo. Itu pilihan Pak Sis sendiri. Yuk, turun. Kasihan perut lo udah keroncongan dari tadi.”

Samantha merengut malu namun menurut untuk turun. Seorang pelayan menyambut mereka dan mengarahkan ke meja yang kosong. Gabriel menoleh pada Samantha yang berjalan di sampingnya dalam diam. Gabriel tersenyum geli lalu merangkul gadis itu. Dia pasti tidak menyangka jika Gabriel akan benar-benar mengajaknya makan malam.

“Mau ramen sama toppoki? Bisa minta ukuran pedesnya, kok,” kata Gabriel sambil membaca menu. 

Gabriel tampak santai sekali. Samantha tak pernah berpikir dia bisa membaca apa yang ada dalam pikiran pria itu. Di balik sikapnya yang belakangan ini menjengkelkan, Samantha tahu Gabriel selalu mengkhawatirkannya. Dia selalu peduli dengan rekan satu timnya. Mungkin terasa spesial untuk Samantha sendiri, tapi sepertinya dia memang sebaik itu pada semua orang.

“Maaf, ya, kalau gue sering bikin Kak Gabriel jengkel,” kata Samantha merasa bersalah.

“Lo bikin gue khawatir, iya,” kata Gabriel lalu menurunkan buku menunya. “Yang gue bilang nggak baik, itu pasti karena hal itu membahayakan lo. Termasuk pergi sama ojol aneh kayak tadi.”

Samantha mengangguk merasa bersalah.

“Tapi, gue masih kesel soal Mario. Kenapa lo sebegitunya misahin gue sama dia?” tanya Samantha. Nadanya sudah lebih rendah bahkan terdengar seperti sedang merajuk.

“Karena gue tahu dia nggak baik buat lo. Lo cantik, pintar, baik. Seharusnya orang seperti Mario bukan pilihan buat jadi pacar lo.”

“Dia bisa berubah, kok.”

“Nggak bisa. Percaya sama gue. Dia bakal tetap dengan dunianya dan begitu juga elo. 2 tahun di sini lo udah dipercaya jadi senior. Ikut meeting besar dan handle banyak kerjaan yang berhubungan dengan luar negeri. Buat gue itu udah bisa disebut dengan prestasi kerja. Sementara dia, sampai detik ini pun statusnya cuma staff biasa dan nggak ada perkembangan maju walaupun udah beberapa tahun di sini. Dia bakal tetap berada di posisinya kalau dia cuman mikir senang-senang.”

“Jadi menurut lo, kerjaan gue bagus?” tanya Samantha mulai tertarik. Gabriel mengangguk yakin.

“Pak Sis juga bilang gitu. Dia bahkan nyaranin gue buat ambil lo jadi Supervisor. Gue mau. Tapi buat ngisi posisi itu butuh pengalaman serius. Gue akan biarin posisi Supervisor itu kosong sampai lo siap. Jangan sampai lo terbebani dengan tugas SPV dan terbengkalai hanya karena lo nggak siap di sana.”

“Ini serius?” tanya Samantha tak percaya. “Secepet ini gue naik tingkat?”

“Itu kalau lo mau gue bimbing.”

“Mau!” jawab Samantha cepat. “Gue mau, kok, belajar lebih dari ini. Tapi kalau posisi itu kosong, trus siapa yang ngerjain tugas-tugas SPV selama ini?”

“Gue tetep handle kerjaannya karena itu tugas gue awalnya sebelum jadi Manager. Mungkin nantinya setelah Anya lancar dengan kerjaannya, lo bisa berbagi tugas sama dia dan mulai belajar tugas SPV bareng gue.”

Samantha tersenyum lebar dan mengangguk lucu.

“Oke. Gue ngerti.”

Gabriel ikut tersenyum lalu membaca menu kembali. Tiba-tiba Samantha meraih tangan Gabriel dan digenggam erat. Gabriel sampai terkejut karena tangan yang biasanya tak pernah berinisiatif menyentuhnya itu sudah berada dalam genggamannya.

“Makasih, ya, Kak. Makasih karena Kakak udah ngasih kepercayaan sebesar ini.”

Gabriel melepaskan buku menunya lalu menepuk tangan Samantha dengan hangat.

“Lo masih muda. Lo bisa perhatikan lebih baik lagi yang mana baik buat lo dan mana yang enggak. Ini bukan cuman karena Mario.”

Samantha mengangguk mengerti. Senyuman masih tersungging di wajahnya.

“Gue pengen punya pacar kayak lo, Kak. Lo ngertiin gue banget.”

“Serius?” tanya Gabriel dengan kening mengernyit. Samantha mengangguk yakin.

“Iya. Gue pasti bangga banget kalo punya pacar kayak lo. Baik, ganteng, tinggi, peka lagi. Lo bisa tahu apa yang gue mau dan enggak tanpa gue minta.”

“Kalau gitu…,” kata Gabriel lalu berdehem sejenak. “Mau pacaran beneran aja?”

“Hah?”

Tangan Samantha mengendur karena kaget. Senyumnya juga hilang dalam sekejap. Gabriel menahan tangan Samantha yang hampir terlepas. Dia menepuk lembut punggung tangannya.

“Gue suka sama lo. Aneh rasanya khawatir sama lo padahal kita cuma sekedar rekan kerja. Tapi, lo bener-bener bikin gue khawatir setiap waktunya. Gue nggak bisa berhenti mikirin apa yang bakal terjadi sama lo di luar pandangan gue.”

“Tapi...,” sela Samantha lirih. “Kak Gab baik sama semua orang. Lo baik sama Anya, sama Cindy, sama Joseph….”

“Gue cuman makan siang di luar berdua sama lo, yang gue antar pulang sampai rumah itu elo, yang gue ajak makan malam sepulang kerja juga cuma lo. Kalau lo mau perhatikan lebih, nggak ada yang gue gandeng tangannya atau gue acak-acak rambutnya kalau bukan lo. Lo nggak sadar?”

“Ah, itu… Gue pikir lo anggep gue adik lo. ‘Kan gue seumuran sama adik lo. Waktu itu lo bilang gitu.”

Gabriel menggelengkan kepalanya. Jempolnya mengusap lembut jemari gadis itu.

“Gue nggak salah mengartikan omongan lo, ‘kan? Gue tipe cowok yang lo suka?” tanya Gabriel. “Lo boleh makan sebanyak apapun tanpa khawatir berat badan, lo boleh jadi diri lo sendiri, main sama temen-temen lo atau mau jalan-jalan ke tempat yang lo suka.”

Samantha diam tak menjawab. Matanya terarah pada jemari Gabriel yang menggenggamnya lembut. Dia nyaman bersama Gabriel karena dia tidak pernah membuatnya berada di posisi sulit. Gabriel menjaganya dan mengkhawatirkannya. Meski kadang-kadang bertengkar, dia tahu Gabriel tak pernah benar-benar memarahinya.

Tapi, jika untuk menjadi pacar…

“Susah, ya?” tanya Gabriel sambil tersenyum. “Nggak harus jawab sekarang, kok. Yang penting lo udah tahu gimana perasaan gue. Bisa jawab kalau lo udah siap, dan jangan jawab kalau lo belum siap.”

“Eh, gimana?” tanya Samantha bingung.

Gabriel terkekeh sambil melepaskan tangannya. Dia kembali membuka menu sambil mengedik ke arah Samantha.

“Pilih dulu mau makan apa. Udah laper banget, nih. Hari ini gue yang traktir.”

Samantha menurut untuk membuka buku menu di depannya. Sesekali dia mencuri pandang pada Gabriel yang masih komat-kamit membicarakan menu kesukaannya.

Memang benar. Pria di hadapannya ini adalah pria matang yang tampan, pekerja keras, cerdas, dan termasuk dalam jajaran idola karyawan kantor. Apa tidak apa-apa memiliki hubungan spesial dengan orang sepertinya?

***

Samantha memperhatikan Gabriel dari kejauhan. Lelaki itu sedang bercengkerama dengan beberapa Manager di dekat meja minuman. Hari ini selain perpisahan untuk Pak Siswanto, juga pengangkatan Gabriel sebagai Manager baru. Di antara manager lain, Gabriel adalah yang paling muda. Samantha masih tak menyangka laki-laki yang seperti dia justru memilih menyukai Samantha, gadis muda yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.

Dengar kabar, Gabriel lulus sarjana dalam 3.5 tahun dengan IPK tinggi. Tahun lalu dia mendapat gelar Magister dari University of Edinburgh dengan beasiswa pendidikan dari kantor. Hanya 2 orang terpilih yang dibiayai oleh kantor untuk melanjutkan jenjang S2, Gabriel adalah salah satunya. Begitu menyelesaikan kuliahnya, dia langsung diangkat sebagai Supervisor dan tahun berikutnya sudah menjadi Manager.

Bukan hal aneh jika banyak yang menyukai lelaki itu. Selama ini Samantha selalu menganggap Gabriel sebagai orang baik yang mengajarinya di kantor. Siapa yang menyangka orang baik itu mengharapkan sesuatu yang lebih?

“Kak, udah makan?”

Samantha tersentak kaget saat Anya menjawil lengannya. Ada Sandra di sebelahnya yang menatapnya lekat sambil menyuap kue tart.

“Udah. Tadi gue udah makan,” jawab Samantha.

“Gue dikasih amanah buat nanyain lo, Kak. Katanya, lo harus makan banyak walaupun ini bukan menu favorit lo,” kata Anya berbisik lalu terkekeh pelan. “Mau gue kasih tahu siapa yang nyuruh gue?”

Samantha berdecak sebal. Sudah tentu itu kalimat yang muncul dari mulut Gabriel. Kemarin mereka sempat membicarakan soal menu favorit. Apa sekarang dia sedang mencoba memberi tahu semua orang bahwa dia sedang menyukai Samantha?

“Gue udah tahu,” jawab Samantha jutek.

“Wah, gue nggak tahu kalau ada cinlok di kantor kita,” timpal Sandra ikut tertawa. “Kalian pacaran?”

“Enggak. Jangan bikin gosip macam-macam, ya,” larang Samantha.

Anya dan Sandra tertawa bersamaan.

“Tapi, Keenan juga bilang gitu, sih. Tadinya dia minta ngrahasiain namanya. Sok-sokan jadi penggemar rahasia. Ternyata Kak Samantha udah tahu duluan,” kata Anya lalu tertawa lepas. 

Samantha mengernyit dengan bingung.

“Keenan?”

“Iya, Keenan,” kata Anya menghentikan tawanya. “Lo pikir siapa?”

Samantha melirik Gabriel diam-diam. Dia masih asyik mengobrol dengan Pak Dirgantara dan Pak Radip. Lagipula, selama ini Gabriel selalu berbicara langsung pada Samantha tanpa perantara. Meja kerja mereka berdekatan. Di luar masalah pekerjaan pun sering mengobrol santai. Mana mungkin dia meminta Anya atau Sandra mengatakan sesuatu yang bisa dia sampaikan sendiri?

“Iya, Keenan,” kata Samantha menyembunyikan kecanggungannya.

“Dia lolos seleksi beasiswa kantor. Katanya, sih, dia udah dapet LOA di Sidney. Keren banget, ‘kan, Kak? Lo beruntung kalau bisa dapetin hatinya. Siapa tahu lulus S2 dia bisa langsung jadi Supervisor kayak Kak Gabriel. Eh, kita udah harus panggil dia Pak Gabriel nggak, sih? Udah jadi Manager, Bu.”

Sandra dan Anya tertawa bersamaan kembali. Samantha ikut tertawa kecut. Kembali dia melirik ke arah Gabriel. Kebetulan sekali Gabriel juga menoleh ke arahnya sembari tertawa mendengar candaan Pak Dirgantara. Alisnya terangkat menyapa Samantha. Hanya begitu saja sudah membuat jantung Samantha berdetak tak karuan. Buru-buru dia menunduk mengalihkan pandangan dari pria itu.

“Kayaknya dia mau nyamperin lo, deh, Kak. Kita minggir dulu aja kali, ya,” kata Sandra sambil menggamit lengan Anya.

Samantha menoleh pada Sandra dan Anya lalu mengikuti arah pandang mereka. Keenan langsung berbalik badan saat Samantha menemukannya. Dia menggaruk kepalanya dengan gelisah membuat Samantha tersenyum geli.

“Malu-malu, deh. Padahal kalau ke cewek lain suka bikin bengek. Ternyata sama cewek favorit jadi kayak kucing ketemu macan,” canda Anya sambil menyenggol lengan Samantha. “Gue suruh dia ke sini, ya.”

Sebelum Samantha sempat menolak, Anya dan Sandra sudah menghambur menghampiri Keenan. Mereka tampak berbicara sesuatu lalu Anya menarik lengan kemeja Keenan menyeretnya hingga tiba di hadapan Samantha. Berikutnya, kedua gadis itu sudah menghambur pergi sambil tertawa cekikikan.

“H-halo,” kata Keenan canggung.

Samantha tersenyum lucu melihatnya. Mereka belum pernah mengobrol berdua selain masalah pekerjaan. Kini melihatnya malu-malu seperti ini membuat Samantha geli. Biasanya Keenan cenderung pendiam namun suka melempar candaan garing pada orang-orang.

“Gue nggak tahu kalau lo juga tahu makanan favorit gue,” kata Samantha lalu mengulurkan tangannya dengan akrab. “Selamat, ya. Lo dapet beasiswa ke Sidney, ya?”

“Ah, iya. Makasih, ya,” sahut Keenan balas menjabat tangan Samantha.

“Kapan berangkat?”

“Awal kuliah di bulan September. Mungkin aku berangkat bulan sebelumnya, sekalian ngurus administrasi.”

“Gue juga ngajuin beasiswa tahun ini, tapi nggak lolos. Ternyata gue cuman kurang pinter aja,” kata Samantha sambil tersenyum lebar.

“Kamu pinter, kok. Mungkin karena kamu sibuk kerja aja jadi waktu belajarnya kurang.”

“Bener, sih. Bisa dibilang gue nggak belajar apapun waktu itu. Kerjaan gue lagi penuh-penuhnya,” sahut Samantha.

“Kamu mau coba lagi tahun depan? Aku bisa bantu kasih kisi-kisi soal kalau kamu mau. Lebih bagus lagi kalau kamu juga pilih University of Sidney. Kita bisa ketemu di sana,” kata Keenan lalu menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Aku bakal seneng banget kalau bisa deket kamu.”

“Makasih, ya. Gue juga pengen coba lagi kalau kantor buka tes beasiswa lagi. Tapi kampusnya, gue belum tahu mau milih yang mana. Ada kampus yang gue incer dari dulu, sih.”

“Oh ya? Kamu pilih mana?”

“Groningen University. Waktu itu gue pilih Energy and Environmental Sciences karena di sana ada kelompok-kelompok penelitian kayak CIO, Energy Conversion, dan lain-lain.”

“Oh, kalau nggak salah inget, program magister di sana bisa ikut proyek di Group of ESRIG, ‘kan? Bakal banyak subject yang bisa kamu ambil buat penelitian nanti,” timpal Keenan.

“Iya bener!” sahut Samantha bersemangat. “Bakal jadi kebanggaan banget, sih, buat gue kalau gue bisa kuliah di sana.”

Keenan tertawa sambil menepuk lengan Samantha bersahabat.

“Kalau kamu dapet LOA duluan dan nggak lolos beasiswa kantor, kamu bisa ngajuin scholarship Erasmus Mundus.”

“Emang bisa? Jadi aku resign dari kantor?” tanya Samantha.

“Nggak harus resign. Bisa, kok, minta surat izin dari kantor buat kuliah. Kamu bisa tanya-tanya sama Rio. Dulu dia ambil beasiswa Erasmus Mundus juga.”

“Wah, gue pengen coba, deh,” kata Samantha berseri-seri. “Gue jadi tahu banyak hal cuman dengan ngobrol semenit sama lo.”

Keenan tertawa mendengarnya. Dia kembali menepuk bahu Samantha pelan.

“Kita bisa ngobrol berjam-jam buat tahu lebih banyak hal. Misalnya tentang film apa yang kamu suka? Kita bisa nonton weekend ini kalau kamu nggak sibuk.”

Samantha tersenyum geli mendengarnya. Tak sengaja matanya terantuk pada Gabriel yang melangkah ke arahnya dengan tatapan lekat padanya. Samantha jadi gugup sendiri karena Gabriel mendekat. Mau apa dia datang? Apakah ada hal yang harus dihindari Samantha? Apakah ini tentang kekhawatirannya lagi?

“Kalau kamu nggak suka nonton, kita bisa jalan-jalan aja. Mungkin kamu suka ke tempat wisata lainnya. Mau ke pantai?” tanya Keenan lagi tanpa menyadari jika Samantha tengah gugup karena Gabriel sudah dekat dengan mereka.

“Samantha, bisa ngomong sebentar? Ini soal kerjaan.”

Keenan menoleh kaget ke belakang. Gabriel berdiri tepat di belakangnya dengan aura mengintimidasi. Segera saja dia bergeser hingga di sebelah Samantha agar tidak memunggungi Gabriel.

“Oh? Oke,” jawab Samantha kikuk. “Kita ngobrol lain kali, ya, Nan.”

“Aku telepon nanti malam, ya,” ucap Keenan agak berbisik namun Gabriel mendengarnya.

Samantha melirik Gabriel sekilas lalu mengangguk. Keenan tersenyum lega lalu beringsut pergi setelah mengangguk sopan ke arah Gabriel. Pria itu memandangi kepergian Keenan dan meyakinkan bahwa dia sudah cukup jauh untuk tidak menguping.

“Seru, ya, ngomong sama Keenan?” tanya Gabriel pada Samantha. “Ngomongnya pake ‘aku-kamu’ lagi.”

“Sekarang kenapa lagi? Dia bukan cowok baik? Dia nggak lagi taruhan sama siapa-siapa. Reputasinya juga bagus. Nggak pernah ganjen sama cewek.”

“Gue nggak bilang dia bukan cowok baik,” sanggah Gabriel.

“Trus? Kenapa nggak suka gue ngobrol sama dia?”

“Gue cemburulah. Lo pikir kenapa?”

Samantha mengatupkan mulutnya seketika. Dia tidak bisa membalas perkataan Gabriel jika alasannya adalah cemburu. Itu artinya dia sayang dengannya, ‘kan? Dia tidak mau kehilangan Samantha, ‘kan?

“Gue cuman ngomongin beasiswa sama dia,” sahut Samantha pelan.

“Gue ngerti lo bisa ngomongin tentang apapun sama dia. Gue kesini karena gue cemburu aja. Gue takut lo semakin milih orang lain dibanding gue.”

Samantha menunduk tersipu mendengarnya. Mulutnya menyunggingkan senyuman karena senang. Ternyata seperti ini rasanya dicintai. Hatinya terasa berbunga-bunga karena bahagia.

“Gue masih mempertimbangkan lo, Kak.”

“Serius?”

Samantha melirik Gabriel lalu mengalihkan pandangan. Sesaat kemudian dia mengangguk malu-malu.

“Kalau kita jadian beneran….”

“Jangan!” potong Gabriel cepat.

“Hah? Lo nggak mau? Bukannya kemarin….”

“Maksudnya, gue ajak lo dinner nanti malam. Gue mau kesan yang berbeda buat hari jadian. Gue booking resto, ya. Mau makan spaghetti?”

Samantha melongo sesaat namun segera tertawa begitu Gabriel menyelesaikan ucapannya. Dia mengangguk-angguk masih sambil tertawa lebar. Lucu sekali melihat lelaki itu gelagapan seperti itu.

Gabriel ikut tersenyum melihat gadis itu tertawa lepas. Sesaat lalu hatinya mendidih melihat Samantha bercanda akrab dengan lelaki lain. Kini kegelisahan itu memudar setelah melihat langsung gadisnya tertawa bersamanya. Tentu saja dia akan senang jika Samantha terus tertawa bersamanya. Itu harapannya sejak sekian lama.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)