Masukan nama pengguna
Tak lelo, lelo, lelo ledung
Cep menenga cah ayu
Dak emban slendang bathik kawuh
Yen nangis mundhak Ibu bingung
***
Aku terbangun dengan keringat basah di seluruh tubuh. Mimpi aneh itu lagi. Batinku gusar sambil mengelap keringat di dahi dengan punggung tangan. Beberapa minggu belakangan ini aku merasa diteror lewat mimpi aneh. Ibu dan sosok perempuan tua asing itu...
Tes!
Tes!
Suara apa itu?
Cahaya bulan yang masuk melalui jendela kamar yang sedikit terbuka membantuku melihat sekitar kamar yang remang. Nihil. Tak ada apa pun.
Cah, ayu!
Aku terperanjat. Menoleh ke sumber suara. Melihat sesosok perempuan tua bungkuk berdiri di pojokan kamar, tengah menatapku sambil tersenyum dalam. Perempuan itu memakai sampir yang dililit dengan baju perempuan pada zaman dulu.
“Siapa kau?” Aku mendengar suaraku yang tercekat. Aku tak bisa menyembunyikan ketakutanku sendiri. Bagaimana mungkin sosok asing tiba-tiba ada di kamarku.
“Kenapa kamu belum melakukannya, Nduk?” Aku mengernyit. Melakukan apa?
Sosok tua itu masih tetap berdiri di tempatnya. Entah mengapa aku seperti merasa akrab dengan sosoknya. Kemudian ia mendongak, menatap lurus padaku. “Perjanjian itu harus tetap dijalankan!” Ia berjalan tertatih ke arahku. Aku ingin berdiri dan lari secepat mungkin tapi badanku seperti dipasung. Tak bisa bergerak.
Bibirku juga kaku untuk membuka. Ia sudah semakin dekat ke arahku. Badanku masih saja kaku untuk digerakkan. Seperti ada hal mistis yang menahanku. “Cah, ayu,” Ia meraba wajahku dengan kulit tangannya yang begitu dingin di wajahku. Bola matanya yang dalam juga sisi wajah pucat itu membuatku ingin menangis. Aku sungguh takut dengan penampakan wajahnya yang menyeramkan. Dapat ku dengar aroma amis dari tubuh ringkihnya. Rasanya perutku akan muntah.
Aku juga belum bisa bergerak. Dapat kulihat wajah keriput pucat itu. Tatapannya menatapku dalam. “Ibumu kesepian di dalam sana. Mau kamu temani, nduk?” Aku berusaha menggerakkan tubuhku. Nihil. Rasanya sulit sekali untuk digerakkan.
Siapa perempuan tua ini? Apa hubungannya dengan Ibuku.
“Sumur tua itu.” Sosok itu menunjuk ke arah jendela. Tepatnya ke arah sumur tua belakang rumah.
“Segera, anakku.” Kemudian sosok itu menghilang begitu saja. Menyisakan bekas tangannya yang terasa kebas di kulit wajahku.
***
“Maria, kamu akan kembali ke kota?” Aku mengangguk mendapat pertanyaan yang sama beberapa hari belakangan ini. Perempuan dengan rambut yang di sanggul rapi itu membantuku memasukkan barang-barang ke dalam koper.
“Kapan?”
“Lusa ini, mungkin.” Jawabku menggantung. Entah mengapa, sebelum kembali ke kota, aku ingin memastikan sesuatu yang membuatku penasaran.
“Ada apa, Bude?” Aku menatap perempuan di depanku. Dia menggeleng, kembali memasukkan barang-barangku ke dalam koper.
“Memang seharusnya kamu tidak di sini. Lanjutkan kehidupanmu di kota sana.” Aku menghentikan gerakanku yang melipat baju. Menoleh ke arah perempuan yang juga menatapku itu. Sorot matanya seperti menyimpan sesuatu.
“Apa maksud Bude?” Perempuan itu menghela napas.
“Tidak ada.” Aku tahu Bude berbohong. Tapi aku tak bertanya lagi. Ada sesuatu yang membuatku lebih penasaran lagi. Tentang kejadian semalam yang membuatku merinding, juga mimpi aneh yang sepertinya saling berhubungan.
“Mengapa Bude menutup pintu ke arah sumur belakang rumah kita. Seingatku dulu Ibu sering mandi di sana.” Bude terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Raut wajahnya terlihat pias seketika.
“Aku sering bermimpi aneh, sumur itu seperti mengejarku lewat mimpi. Juga Ibu yang tengah mengendongku dan sosok perempuan tua...” Ada suasana tak menyenangkan saat aku kembali mengingat mimpiku sendiri. Ada bayang-bayang mistis yang memburuku. Rasanya menakutkan.
Entah mengapa, tiba-tiba Bude keluar dari kamarku begitu saja. Ada apa? Apa bude tahu sesuatu?
Beberapa menit kemudian, Bude kembali masuk ke kamarku. Dia duduk di sampingku sambil menunjukkan satu buntalan putih dari kain. “Apa ini, Bude?” Bude memberikannya padaku. Perempuan itu menyuruhku untuk membukanya.
Saat aku melepaskan benang yang mengikatnya, aku hampir melemparnya kalau Bude tak menahan tanganku. “Plasentamu.” Aku masih memegangnya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Apa maksud semua ini? Mengapa Bude masih menyimpannya.
“Ibumu yang menyuruhku untuk menjaganya.”
“Kamu lahir karena desakan keluarga Ayahmu. Nenekmu yang tahu Ibumu mandul segera melakukan ritualnya kembali. Dia tak mau anaknya menjadi bulan-bulanan keluarga Ayahmu yang saat itu hampir saja menceraikan Ibumu.”
“Kemudian sebulan setelahnya, Ibumu hamil,” lanjutnya lagi.
“Tapi semua itu harus dibayar mahal. Itu ritual perjanjian yang Nenekmu lakukan. Dan kamu yang harus memenuhinya,” rasanya ini seperti mimpi. Sosok tua itu...
“Perjanjian apa?” Bude menghela napas. Dia menatapku lamat-lamat.
“Kamu harus menjadi penunggu sumur itu seumur hidupmu. Tapi Ibumu menolaknya, memilih menyerahkan dirinya sendiri.”
“...Tapi perjanjian itu tetaplah perjanjian. Tak bisa digantikan oleh siapa pun. Maka ketika kamu lahir, Nenekmu memaksa Ibumu untuk menidurkanmu setiap malam di sumur itu. Sebagai penyerahan perjanjiannya. Bukankah sewaktu kecil kamu selalu betah di sana, memaksa tidur di sana.” Aku kembali teringat bagaimana caraku diam-diam pergi ke sumur itu sewaktu kecil. Juga kerasnya ibu yang menyeretku untuk tidak pergi ke sumur itu. Bahkan aku hampir mengamuk karena dilarang berdiam di sumur itu.
“Sosok tua yang sering kamu lihat dalam mimpimu, dia penunggu sumur tua itu.”
“Jadi…”
“Ya, dia tetap mengincarmu sampai sekarang!” Tiba-tiba aroma amis darah menyergap hidungku. Mataku menatap sekitar, kemudian terpaku pada sosok tua di pojok kamar dengan sampir yang melilit tubuhnya. Ia tersenyum kering, sambil menatapku.
“Jadi, kelahiranku ini karena perjanjian aneh dengan sosok tua itu? Aku…” aku menatap nanar Bude dihadapanku.
Nenek juga ibuku melakukan perjanjian gila itu agar aku lahir…
“Maafkan Ibu juga Nenekmu ya nduk! Bude tahu mereka salah. Mereka telah melakukan hal syirik yang dibenci Allah.” Bude memeluk tubuhku dengan erat.
“Maka, lekaslah kembali ke kota itu!”
***
Tepat tengah malam, aku berjalan seorang diri ke halaman belakang rumah. Tempat yang sudah Bude peringatkan untuk tak membukanya sejak awal kepindahanku ke rumah ini tiga bulan yang lalu.
Aku membuka pintu yang sepertinya sudah lama tak tersentuh. Bahkan kenopnya terasa sudah karatan akibat sudah lama tak disentuh.
Aku terus berjalan. Kakiku yang tanpa alas kaki menginjak rumput yang tumbuh liar. Bahkan ada yang sudah setengah dari tubuhku.
Sumur tua itu!
Sumur di depanku ini adalah sumur yang sering ibu gunakan hanya untuk mandi dulu. Saat usiaku masih kecil, aku sering mengintip dari pintu tadi hanya untuk melihat apa yang ibu lakukan. Ibu sangat melarangku untuk mendekati sumur itu. Bahkan sejak kematiannya yang tak biasa, pesan untuk tak mendekati sumur itu yang ibu ucapkan saat kematiannya.
Aku masih ingat bagaimana dulu ibu mencampur pandan juga aneka kembang kemudian memasukkan ke dalam timba untuk menyirami tubuhnya.
Aku membuka penutup sumur dari seng dan tumpukan daun kering. Seketika tubuhku mendadak terasa berat. Aroma amis bercampur apek menyatu dalam hidungku. Kemudian air dalam sumur itu tiba-tiba meluap, seperti air bah menyentuh kakiku.
“Cah, ayu.” Tiba-tiba dari balik sumur itu muncul sosok perempuan tua yang mendatangiku kemaren malam.
“Kemari, Nduk.” Entah mengapa aku merasa sangat merindukan sumur itu. Rasanya seperti telah lama ingin mengunjungi rumah sendiri, dan berdiam diri di dalamnya. Ia menuntunku ke arah sumur itu. Aku mengikutinya begitu saja. Aku merasa nyaman. Seperti pulang ke pangkuan ibu. Tubuhku sudah terjun bebas ke dalam sumur. Aku merasa benar-benar pulang sekarang.
Rumah pasir, September 2023