Flash
Disukai
4
Dilihat
5,752
Liam, Green dan Dongeng Yang Tak Usai
Romantis

Liam, Green dan Dongeng Yang Tak Usai



Seperti penyair yang tersesat, aku terus berjalan menemui seseorang yang harus membantuku kali ini. Banyak waktu yang sudah kuhabiskan hanya untuk menyusun sebuah paragraf yang entah kapan akan usai. Aku tak ingin ia terlihat usang dan tak layak huni.

Seseorang itu. Liam...

         Kulihat Liam kembali menyusun paragrafnya. Dia menulis. Membersihkan gang tanda baca yang berceceran di rebah paragraf. Laki-laki itu terlihat fokus dengan kacamata minusnya. Terlihat menawan.

         Laki-laki itu bukan hanya terlihat sempurna bagi seorang perempuan, tapi juga bisa menghilangkan rasa dahaga terhadap frasaku yang selalu ambigu.

         “Ada apa?” Sambutnya dengan acuh tak acuh.

         “Frasaku belum usai.” Keluhku sambil menatapnya intens. Aku benci diacuhkan.

Liam kali ini menatapku. Green, kali ini kau keterlaluan...

Aku hanya menatapnya. Tatapannya seolah menyudutkanku bahwa aku benar-benar salah dan aku tak berminat untuk membantahnya.

Aku tahu kali ini aku benar-benar keterlaluan, dan Liam harus bisa membantuku apa pun itu.

“Kau harus membantuku Liam”

Liam menatap keluar jendela, seperti menerawang banyak hal. Hujan mengguyur kota kami sore ini. Terasa menenangkan. Aku bisa merasakannya. Dan orang-orang masih terlihat sibuk dengan segala aktivitasnya.

“Hujan sore ini deras bukan?” Aku menatap Liam tak mengerti.

“Mereka menikmatinya Green, sore ini hujan turun deras tapi orang-orang itu tetap bisa berlalu-lalang dengan segala aktivitasnya.”

“Kenapa? karena mereka menikmatinya, tujuan bisa jadi nomor kesekian.”

Liam berbalik. “Tapi kau! Hanya memikirkan tujuan akhir, penyelesaian. Tidak menikmatinya.”

“Aku menikmatinya, Liam!”

“Oh, ya?”

“Tentu saja!”

“Bagaimana kau menikmatinya? Dengan terburu-buru menyusun, semua berceceran dan frasamu terlihat ambigu dimana-mana.” Kali ini aku diam. Mencerna segalanya. Apa benar aku terlalu terburu-buru. Bukankah bagi penulis seperti kami waktu adalah segalanya.

Aku kembali berpikir tentang tulisanku. Ia belum usai, teronggok bisu dipojok kamarku selama musim hujan ini.

“Apa aku terlalu memaksakannya? Bahkan aku hanya ingin mereka cepat usai.” Aku berharap Liam mengerti, semua tak mudah.

“Aku tak ingin mereka teronggok begitu saja dan menjadi tak berkesudahan seperti nasib-nasib frasa lainnya di tangan penulis yang lumpuh.”

Penulis yang akhirnya lumpuh...

Itulah yang menjadi ketakutanku selama ini. Aku tak ingin nasibku sama dengan penulis lainnya, mereka yang tak pernah usai menyelesaikan tulisannya sehingga tulisan mereka berceceran tak berkesudahan dimana-dimana.

“Penulis yang lumpuh. Kau tahu mengapa?” Aku bergeming di tempatku.

“Pikiran mereka sendiri yang membuatnya lumpuh.” Aku menatap Liam tak mengerti. Bagaimana bisa pikiran yang membuat mereka lumpuh untuk menulis.

“Mereka terlalu ambisius untuk selesai, tak membersihkannya tak menyadari bahwa tulisan itu masih kotor. Mereka terus menulis, membuka tokoh baru, frasa baru dan meninggalkan got-got sampah pada tulisan sebelumnya. Terus seperti itu.”

“Akhirnya apa? Mereka tak pernah dan tak akan pernah menyelesaikan tulisan mereka. Menjadi penulis yang akhirnya lumpuh pikirannya.”

Aku kembali teringat semua alasan aku menulis. Proyek penting itu memaksaku harus cepat menulis. Awalnya semua berjalan dengan baik. Tapi sampai lembar kedua itu memasuki musim hujan lalu aku menemukan keambiguan dalam frasaku. Semua tokoh-tokoh itu seakan tak mau memasuki alinea baru yang akan kutuliskan lagi. Semuanya terasa hambar.

         “Bisa jadi kau sama seperti mereka, dan kau tak pernah sadar untuk membersihkan selokan paragrafmu, tak menyadari sampah yang menumpuk!” Tandasnya kering. Seperti frasaku yang meranggas.

         “Sudah. Seringkali bahkan mengecatnya kembali tapi tak pernah usai.”

         “Mengecatnya?” Liam memandangku sinis.

         “Tentu saja, ia terlihat usang.”

         “Ah! bahkan kau belum menemukan Alinea mu.” Liam menatapku iba.

         Lalu tiba-tiba ia mendekatkan pensil dan bukunya padaku. Menatapku dengan pandangan menuntut. “Tulis saja apa yang ingin kau tulis!”

Tapi aku menggeleng. Menatapnya dengan marah.

         “Aku bahkan belum menemukan Alinea ku, aku rindu tumpukan paragraf, celotehan para tanda baca dan berpasang tokoh cerita ku,”

         “Frasaku belum berbuah Liam, ia masih sepasang pohon ranggas di musim kemarau!” Ucapku kelu.

         Liam kali ini tersenyum, menepuk bahuku yang naik turun.

         “Green, kau tak apa mengecat paragraf itu. Tapi kau tak perlu membuka lembar baru yang akhirnya menimbulkan ambiguitas frasa dan mengerdilkan tokoh-tokoh mu.” Ia tersenyum hangat. Seperti ikut merubah frasa ku yang kemarau.

Aku menatapnya, mencoba menemukan frasaku yang selama ini kering di matanya. Hangat. Seolah menyeretku pada susunan kalimat segar yang dinanti banyak orang, seolah dahaga itu lenyap oleh tatapannya.

         “Kau hanya perlu membersihkannya dari got-got selokan tak terbatasmu itu, mengecatnya dengan cat baru dan menyingkirkan sampah yang mengganggu.”

         “Sebab itu hanya akan menafsirkan hal baru yang terlihat asing oleh sepasang banyak Alinea mu.”

         “Green…” Aku menatap Liam. Matanya seperti menuntunku perlahan untuk menjelaskan keambiguan ini.

Aku masih tersesat Liam....

Liam tersenyum. Menarikku untuk menatap tumpukan hujan yang semakin deras.

         “Aku tahu kau hanya terlalu terburu-buru. Kau hanya tersesat Green, tapi kau tak lumpuh.”

         “Apa tulisan itu akan selesai?” Suaraku yang sumbang mulai kerdil berkejaran dengan derasnya hujan.

         “Bisakah aku menyelesaikannya, Liam?”

         “Kau masih harus melanjutkan frasamu dan semuanya akan baik-baik saja.”

 

Terinpirasi dari kumpulan cerita “Bapak Puisi, Ibu Novel dan Kami Pembatas Buku” karangan Ibnu Wicaksono dengan judul “Pengarang Kami Telah Berhenti Menulis”.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)