Cerpen
Disukai
3
Dilihat
15,528
Sepotong Kue Enak
Drama

Beberapa uban di kepalanya berhembus terterpa angin kencang. Tapi dia tetap fokus menggenggam kuenya dengat erat. Kue citarasa tradisional yang dibuat dengan cara tradisional juga. Kue kesukaannya sejak kanak-kanak. Kue itu sekarang ada di tangannya setelah perjuangan yang luar biasa di pasar malam ini. Matanya mencari kursi yang masih tersisa. Tak ada. Tentu saja dia tidak mungkin berharap satu dari anak-anak muda itu akan memberikan kursi padanya. Akhirnya dia bersender di bongkahan batu-batu besar yang ada di pasar malam tersebut. Sejenak dia ragu apakah memakan kue tersebut atau meyimpannya dan membawa pulang ke rumah.

Namun lelehan gula merah yang berasal dari kue itu menggugah seleranya. Dia mendekatkan kue tersebut ke mulutnya. Satu gigit. Dia merasa dirinya melayang. Enak sekali. Mungkin beginilah yang dirasakan orang-orang saat mendapatkan kue hasil jerih payahnya. Mendapat sepotong kue saja bisa membuatnya begitu bahagia. Dia membayangkan orang-orang yang mendapatkan bukan hanya sepotong, tapi satu loyang penuh. Pasti bahagianya juga seloyang. Dia tersenyum meski lelah. Ada rasa puas di hatinya. Rasa puas yang membuatnya lengah dan mengendorkan genggamannya. Kemudian dia mendekatkan kembali kue tersebut ke mulutnya. Gigitan ke dua. Tiba tiba angin kencang dan anak anak muda berhamburan memasuki pasar malam. Tangannya yang mulai lemah tersenggol tangan anak muda yang berdesakan untuk masuk. Kue tersebut jatuh terpelanting. Dia terkejut, tapi sejurus kemudian dia mencari kue tersebut di antara kaki kaki yang terburu-buru berjalan.

“Nah di sana,” katanya dalam hati.

Dia berjalan tertatih. Ketika semakin dekat dengan kue tersebut, dia berjalan lebih kencang dengan wajah ceria. Dia sudah berdiri di depan kue itu terjatuh. Sakit encok yang dimilikinya, membuatnya agak susah untuk membungkuk mengambil kue yang terjatuh tersebut. Perlahan dia menekuk kakinya dan mengulurkan tangannya meraih kue tersebut.

“Sedikit lagi,” pikirnya

Saat bersamaan sepasang sepatu anak muda kekinian menendang bongkahan kuenya. Dia tidak menyerah. Dia menyeruak di antara anak-anak muda di pasar malam. Seakan-akan dia mendapatkan kekuatan entah dari mana, karena sisa kuenya sedikit lagi berhasil digapainya. Dia berjalan cepat menuju kue tersebut.

Saat akan membungkuk, kue tersebut terinjak beberapa pasang sepatu, sepatu-sepatu kekar dan gesit yang tidak melihat ada setengah potong kue di jalan yang mereka injak. Setengah kue sekarang berubah mejadi remahan, persis seperti remahan rengginang. Dia berusaha menegakkan tubuhnya kembali, tapi begitu sulit. Encok selalu hadir saat angin kencang dan cuaca dingin. Pinggangnya terasa sakit dan kakinya gemetar. Kemudian dia sempoyongan, dia tergusur oleh anak-anak muda yang terburu-buru menuju pentas utama Pasar Malam. Tubuhnya limbung dan dia terjungkal. Kakinya menghantam kerikil-kerikil. Sakit dan perih. Sepasang kaki tak sengaja menyenggol tubuhnya yang rapuh dan dia memekik pelan. Sepasang kaki tersebut, berhenti sebentar, menatapnya tanpa ekspresi.

“Maaf,” ujar si pemilik kaki yang hampir menginjak tubuhnya.

Hanya itu, kemudian si anak muda berlalu, meninggalkannya tanpa berusaha membantunya untuk bangkit dan berdiri kembali. Tanpa bantuan siapapun, sedikit demi sedikit dia berhasil bangkit dari kejatuhannya. Dia mengesot ke pinggir agar tak terpental lagi. Dia menatap nanar remahan kue tersebut. Kue enak yang didapatkannya dengan susah payah sekarang tergilas bagai remahan rengginang. Kemudian dia menatap hiruk pikuk gerombolan anak muda tadi, tertawa lepas. Sungguh bersemangat untuk meraih kebahagiaan dan memasuki panggung utama di pasar malam. Beberapa dari mereka tidak peduli telah dan mendorong pengunjung lain. Dia melihat sepasang anak muda yang menggerakkan telepon genggam mereka ke arahnya. Mereka merekam kejadian tadi. Dia tidak paham ironinya, apakah lebih penting mengambil video kejatuhannya daripada mengulurkan tangan menolongnya berdiri.

 Dia lelah dan kesakitan, tapi rasa sakit tersebut dia tahan sekuat tenaga. Dia juga tidak ingin menangis hanya karena sepotong kue yang hancur. Di lubuk hatinya, dia menghitung waktu yang telah dijalaninya untuk mendapatkan sepotong kue tersebut, tenaga yang dia keluarkan untuk itu dan berapa banyak pula patah hati yang dirasakanya untuk mendapatkan kue enak tersebut. 

******

Beberapa keluarga dan temannya yang mendengar kejadian tersebut, menelepon dan berdatangan sekedar mengucapkan prihatin atas kehilangan kue tersebut

“Kue itu memang enak, Mba Sal. Ya wes, cari kue yang lain, yang lebih modern, banyak loh. Tak kalah enak,” anjur Menik teman masa sekolah

Keponakannya, si gadis SMU datang mengunjungi bersama ibunya. Memperlihatkan video yang viral di sosial media.

“Itu tante kan?” tanya si gadis ponakan

Dia mengerutkan kening, menonton video itu beberapa detik dan akhirnya mengangguk pelan.

Wajahnya memang tak terlihat di video tersebut. Tapi dia mengenali dirinya sendiri meski dari tampak belakang.

“Aku ingat sepatu tante, sepasang sepatu beda warna, kuning dan hijau muda,” katanya sambil terkekeh

“Separah itukah aku terjungkal?” tanyanya dalam hati

“Tante viral, ayo komentar, tan,” kata ponakannya

Dia menggeleng kemudian menuju sofa untuk rebahan. Kakaknya menghampirinya dan memijit kakinya dengan penuh kasih sayang.

“Jaman sekarang memang begitu, dik. Bukannya menolong malah mengambil video kejatuhan kita sambil menuliskan kata ihh kasihan ya, sedih melihat ibu tua itu atau kalimat kalimat lainnya yang seolah-oleh mereka peduli padahal enggak,” kakaknya menjelaskan.

Dia tidak menanggapi, hanya tersenyum kecil.

“Oh ya, dik, ponakanmu mau ikut study tour dari sekolahnya minggu depan. Kakak pakai duitmu dulu ya, ntar diganti begitu ada rejeki,” kakaknya semakin bersemangat memijit kakinya.

Dia meraih tasnya yang tergeletak di lantai tanpa beranjak dari sofa, kemudian memberikan sejumlah uang pada kakaknya.

“Wah ini kebanyakan, gak sampai segini biayanya,” kakaknya tersenyum degan mata berbinar.

“Untuk ongkos kemari,” jawabnya pelan.

“Ya sudah kalo begitu, terimakasih yah. Kakak harus buru-buru pulang, bapaknya anak-anak kurang sehat,” kakaknya menggenggam erat uang tersebut dan bersiap-siap pulang.

Kakaknya bahkan tidak sempat menggunakan minyak urut untuk memijit kakinya yang sakit. Dia bengong beberapa detik, kemudian memijit kakinya sendiri.

 

******

Keesokan harinya, sahabat semasa kecilnya, Erwin datang menyambangi rumahnya untuk menunjukkan keprihatinannya

“Anak anak muda di pasar malam itu, mereka gak melihat ada kue enak di depan sepatu mereka. Apa yang membuat mereka begitu tergesa-gesa dan tak peduli sekelilingnya?” dia bertanya pada sababatnya Erwin

“Mereka mungkin tidak memperhatikan karena kue itu enggak menarik. Hanya kue tradisional yang banyak dijual di pasar,” jawab Erwin

Kalimat itu diucapkan Erwin dengan ringan, tak urung mampu menikam sanubarinya. Dia terdiam sambil memandang kue sejenis yang dibawa Erwin masih tergeletak di mejanya. Kue-kue itu sekilas mirip kue miliknya, tapi beda. Kue ini diciptakan secara massal, dibuat dengan mesin.

“Cobalah, tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru atau kau akan tertinggal,” Erwin meletakkan sepotong kue di tangannya

Dia menggigit sedikit kue tersebut. Manis tapi tanpa kesan.

“Aku ingin kueku sendiri, bukan pemberian dari orang lain,” jawabnya pelan.

“Gak ada salahnya diberikan sesuatu oleh orang lain. Di usia kita yang tak lagi muda ini, mendapat sepotong kue aja kita harus bersyukur, Sal. Ga usah pilih pilih kue. Kue apa aja,” jawab Erwin.

Setelah Erwin pulang, dia memikirkan kejadian tersebut dan perkataan Erwin.

 

*****

Tiga tahun kemudian. Uban di kepalanya semakin banyak. Encoknya semakin menjadi, bukan hanya itu, ditambah lagi penyakit asam urat yang terkadang kumat. Namun semangatnya tidak pernah pudar. Dia menggenggam kue yang sama. Kue tradisional seperti dahulu. Kue kesukaannya semasa kanak-kanak. Namun kali ini dia tidak menggenggam terlalu erat. Dia tidak takut kue itu jatuh atau terhempas. Karena dia selalu punya cadangan kue yang lain

“Kue Tradisional Mengglobal” demikianlah spanduk yang terlihat di depan toko kue itu. Dia memandang toko kue tersebut sambil tersenyum. Toko miliknya. Dia memiliki kue sendiri sekarang, dengan gayanya sendiri.

Mungkin kue yang dulu memang tidak sepenuhnya miliknya. Hanya dua gigit saja. Selebihnya kembali pada takdir. Erwin benar, tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Kue Tradisonal Mengglobal. Kuenya tetap dengan cita rasa tradisional, hanya kemasan dan proses pembuatannya menggunakan sesuatu yang baru. Dia sudah tidak muda lagi. Tetapi menjadi tua tidaklah buruk. Dia lebih belajar bersyukur



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)