Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,387
Sang Asisten
Misteri

“Hi, saya Merona Menyala Pane, silahkan duduk,” aku menunjuk kursi yang ada di depanku. 

Dia duduk dengan wajah gelisah, tangannya diremas berkali kali. Matanya sembab dan kulit wajahnya putih pucat.

 Siapa wanita ini? Masih muda, mungkin sekitar 23-25 tahun. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku melihat kartu pegawai yang terkalung di lehernya. Maya Delilah. Rambutnya sangat indah, berombak dan bergelung indah berwarna coklat pirang. Dia menggunakan sepatu heels hitam. Memakai rok selutut berwarna hitam. Stocking berwarna hitam. Blouse berwarna biru muda yang sangat cocok dengan warna kulitnya. Kemudian dipadukan dengan blazer yang pas di badannya. Apabila aku tak membaca kartu pegawainya, menurutku dia lebih mirip model dengan tubuhnya yang tinggi langsing semampai.

Take your time. Bicaralah apabila sudah tenang,” kataku dengan suara pelan namun tanpa paksaan atau desakan.

 Aku menunggu dengan sabar. Aku tidak memegang dan memainkan telepon genggamku seperti biasanya. Aku ingin dia tahu bahwa apa yang akan disampaikannya sangat penting bagiku. Sunyi. Tidak ada suara. Aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Tidak masalah bagiku. Aku sudah terlatih untuk bersabar dan mendengarkan. Itu keahlianku. 20 tahun bekerja di perusahaan ini membuatku memahami bahwa bersabar dan mendengarkan adalah keahlian yang sangat penting dan tidak semua orang memiliki keahlian ini.

“Mba... ,” katanya lirih.

Aku memandangnya. Penuh simpati, untuk memotivasi dia agar berbicara lebih lanjut.

“Aku mengalami pelecehan seksual,” katanya kemudian menangis histeris.

Aku terkejut namun segera menguasai diriku. Seperti bom waktu yang jatuh begitu saja. Siapa Maya Delilah ini? Mengapa dia menjumpaiku? Untuk apa dia membuat pengakuan padaku? Aku bukan di bagian personalia? Bukan psikiater kantor? Aku bukan siapa siapa di kantor ini.

Why me?

***

 Aku menunggu sepuluh menit di ruang tunggu sebelum akhirnya masuk ke ruangan Benita Saragih. Aku tidak mengenalnya dengan baik tapi pernah bertemu dalam beberapa kesempatan meeting terkait kepegawaian. Benita Saragih adalah generasi ke 19 di keluarga Saragih mereka. Aku keturunan ke 18 keluarga Pane. Jadi aku lebih tua secara adat Batak. Mestinya hal itu saja sudah bisa membuat dia sedikit segan kepadaku apabila dia memahami adat Batak.

 “Silahkan duduk, Bu Rona,” sambutnya dengan senyum sumringah. 

“Maaf tadi harus menunggu ya, saya baru selesai meeting,” katanya masih dengan senyum manis membuat lipstik merahnya semakin merekah.

Aku menangguk sambil tersenyum tipis. Basa basi yang tidak perlu tapi aku maklum.

 “Saya sudah membaca email resmi Bu Rona. Honestly, ini sudah masuk investigasi kita sejak dua minggu lalu. Namun tanpa bukti sulit untuk menentukan apakah benar Pak Dion Saladin melakukan pelecehan seksual kepada asistennya sendiri, Mba Maya Delilah. Menurut pengakuan Bapak Dion, dia tidak melakukan pelecehan seksual pada Maya Delilah, bahkan beliau tidak pernah menyentuhnya, hanya sekedar jabat tangan dan interaksi normal saja,” Benita menjelaskan dengan runut.

"Menurut pengakuan Pak Dion, justru terkadang beliau agak risih karena Maya Delilah ini berusaha keras untuk lebih dekat dengannya. Tapi dia tidak menyambutnya karena sudah beristri dan punya dua anak," Benita berhenti sambil memandangku

 Aku mendengarkan setiap kata dengan teliti. Inti dari perkataannya adalah kesaksian hanya dari Maya Delilah melawan kesaksian dari Dion Saladin. Nothing more. Tidak ada yang lain.

Dion Saladin berusia 40 tahunan, persisnya berapa aku kurang tahu. Pembawaannya karismatik. Orangnya pintar, cerdas dan ramah. Wajahnya cukup lumayan dengan tubuh yang proposional pasti mampu memikat banyak wanita.

 “Apakah investigasi sudah ditutup?” tanyaku.

“Sudah ditutup karena tidak adanya bukti,” Benita menyerahkan laporan akhir dan berita acara penutupan investigasi tersebut padaku.

“Terimakasih,” jawabku sambil memasukkan laporan tersebut ke dalam tas laptopku.

“Namun saat ini Maya Delilah tidak lagi menjadi asisten Bapak Dion Saladin. Maya Delilah meminta dipindahkan. Beliau sementara di tempatkan di bagian arsip di basement,” jawabnya.

“Mengapa di ruang arsip?” tanyaku

Semua orang tahu ruang arsip adalah penempatan buangan bagi para pembangkang, provokator dan pegawai yang tidak termotivasi untuk berkontribusi lebih pada Perusahaan.

“Karena hanya ruang arsip yang masih membutuhkan personil,” jawabnya lugas.

Pikirku, Benita Saragih ini cocok jadi juru bicara parlemen suatu hari nanti. Cepat, tegas dan diplomatis. Emosinya juga terjaga dengan baik.

******

Wanita yang duduk di depanku saat ini sangat berbeda dengan wanita yang datang menjumpaiku minggu lalu. Dia terlihat lelah dan kuyu. Badannya terlihat lebih kurus. Aku melihat matanya dan seketika timbul rasa iba padanya. Apakah ini yang terjadi bila seseorang menuntut haknya untuk keadilan namun tidak memiliki bukti. Dia terbuang di ruang arsip ini dengan gossip yang tiba tiba beredar dan entah siapa pemicunya. Maya Delilah, sang asisten yang menggoda bos nya sendiri. Bahkan masa lalunya pun ikut dikorek dan disampaikan ke sosial media oleh anonymous sender. Siapapun itu, mereka telah berhasil menghancurkan mental wanita yang duduk di depannya saat ini. Jelas kesehatan mentalnya terganggu, rasa malu, takut dan panik bercampur menjadi satu. Aku menahan diriku untuk memeluknya. Anak perempuan berusia 23 tahun tersebut seumuran dengan keponakanku.

 “Saya menjumpai Ibu Benita Saragih. Menurut beliau kasusnya sudah ditutup. Dengan Keputusan bahwa tidak benar terjadi pelecehan seksual oleh Dion Saladin,” aku menyampaikan dengan pelan dan lambat agar dia dapat mencernanya.

 Dia menangis sesegukan. Suara tangisnya semakin lama semakin kencang. Aku tidak mencoba menenangkannya. Aku memberinya keleluasan untuk menangis, melepaskan sakit yang mungkin sudah ditahannya beberapa hari ini. Dia butuh itu. Keleluasaan dan kesempatan untuk menangis.

****

Aku memasuki rumah sakit dengan terburu buru. Aku mendapatkan info bahwa Maya Delilah mencoba bunuh diri dan sekarang sedang berjuang untuk tetap hidup. Rasa di hatiku campur aduk. Merasa bersalah, panik, pedih dan hopeless menjadi satu.

 Maya Delilah terbaring tak berdaya di ruang rawat inapnya. Dia tak sadarkan diri. Aku menjumpai ayah dan ibunya yang duduk menunggu di ruang rawat inap.

“Temannya Maya dari Perusahaan, mba?” tanya ibunya

Aku mengangguk pelan. Aku duduk di sofa di samping ibunya. Sementara sang Ayah duduk di samping ranjang rawat inap Maya.

“Maya benar benar terganggu mentalnya, dikucilkan di kantor, digosipin, dia gak tahu harus bagaimana, harus mengadu ke siapa. Dia putus asa banget. Beberapa hari lupa makan. Pulang kerja langsung mengurung diri di kamar,” sang ibu menjelaskan di antara isak tangisnya.

Aku mendengarkan dengan teliti.

“Bagaimana bila nanti setelah sehat, Mba Maya diajak ke psikiater, Bu. Agar mentalnya kembali pulih,” aku menganjurkan.

“Kenapa psikiater, mba? Kan anak saya gak gila, mba. Anak saya dilecehken tapi ga ada yang belain. Dibilang gak ada bukti lah, dibilang cari perhatian lah, macem macem hal buruk disematkan ke anak saya. Padahal dia sudah menyampaikan kalau ada bukti pakaian dalamnya yang sempat dirobek oleh bajingan itu sebagai bukti dan ada darah juga di pakaian dalam tersebut tapi kata mereka tidak ada saksi yang melihat kejadian itu,” si ibu sedikit emosi.

 Tiba tiba aku terkesiap. Pakaian dalam robek? Darah? Aku langsung teringat pada Aryo. Setidaknya Aryo berhutang budi padaku. Sudah saatnya menagih hutang tersebut.

Sang ibu berjanji besok akan menyerahkan padaku kantong plastik berisi pakaian dalam Maya yang robek dan bernoda darah Dion Saladin yang dicakar oleh Maya Delilah. 

*****

Meeting hari ini dihadiri oleh beliau, Dion Saladin. Dia meneguk minumannya langsung dari botol dengan gaya charming. Hanya aku yang tidak terkesan dengan karismanya. Apalagi setelah melihat tangannya yang penuh luka bekas garukan tangan. Pasti cakaran Maya Delilah cukup dalam sehingga luka ditangannya masih terlihat.

Selama meeting dia selalu melemparkan pandangan kepada peserta meeting yang muda dengan gaya santai sambil becanda. Wanita-wanita tersebut juga cukup terkesan padanya. Tidak bisa dipungkiri juga, posisinya sebagai salah satu direktur menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita-wanita muda tersebut.

Dia sama sekali tidak pernah memandang ke arahku. Apakah menurutnya aku tak muda lagi? Kemudian aku memperhatikan busanaku yang serba tertutup dan berlapis lapis. Blouse, sweatshirt, blazer. Memang tidak ada yang bisa dilihat.

Setelah meeting aku mengambil botol minuman Dion Saladin dan memasukkan dalam tasku. Aku harus menjumpai Aryo sekarang juga.

 ****

 Beberapa hari kemudian laporan dari Aryo sampai ke mejaku. Aku membaca dan menutup mata. Aku sedikit emosional setelah membaca hasil laporan tersebut. Latihan menahan emosi membawaku kembali ke bumi. Aku tenang dan duduk berpikir. Orang yang pertama aku infokan adalah Maya Delilah dan keluarganya. Aku tahu pilihannya tidak banyak. Akan tetap kesaksian korban melawan kesaksian pelaku tanpa saksi mata.

 *****

Aku menjumpai Maya Delilah dan orangtuanya di rumah sakit. Aku menyampaikan pada Maya Delilah laporan dari Aryo. Aku juga sampaikan pilihannya. Aku aware dengan kesehatan mentalnya saat ini. Aku menganjurkan dia untuk menjumpai profesional di legal dan bidang kesehatan mental. Dia butuh bantuan. Jangan malu. Aku sampaikan ini sangat urgent.

Saat akan beranjak, dia berbicara kembali

“Mungkin mba, bertanya-tanya, kenapa saya datang menjumpaimu waktu itu,” Maya berbicara pelan

Aku mengangguk mengakui.

“Aku dulu pernah sebagai penyelenggara training di perusahaan kita. Saat itu ada ujian kenaikan jabatan. Lalu satu peserta meninggalkan telepon genggamnya. Tapi tak satupun yang tahu milik siapa dan handphone nya pakai password. Waktu itu, mba duduk di belakang dan langsung ngomong, “cari peserta yang kidal, pemilik handphone ini kidal karena handphone nya, botol minumannya dan alat tulisnya berada di sebelah kiri, berbeda dengan yang lain”. Saya ga pernah lupa itu, ga pernah lupa nama dan di bagian apa mba di perusahaan kita,” Maya menjelaskan.

Aku tersenyum dan memandangnya terharu.

“Terimakasih sudah mengingat saya,” aku menyampaikan dengan halus.

***

Aku bergegas menjumpai Benita Saragih. Wajahku yang terlihat sedikit emosional sedikit banyaknya membuat Benita Saragih penasaran akan berita apa yang akan aku sampaikan.

“Silahkan dibaca, Bu Benita,” kataku sambil memberikan laporan dari Aryo dengan sopan.

“Berikut ini laporan investigasi dari Bu Benita, coba bandingkan,” kataku sambil menyodorkan laporan yang pernah dia berikan padaku.

 Aku mengamati dia membaca laporan tersebut. Aku menyaksikan respon terkejutnya. Wajahnya seketika pucat dan sedikit ketakutan.

 “Pelaku tidak pernah menyentuh Maya Saladin. Tidak benar. Omong kosong. Darah yang berada pada pakaian dalam Maya Delilah adalah milik Dion Saladin. Dicocokkan dengan DNA yang berasal dari air liurnya. Memang bisa saja dia berdalih, suka sama suka karena memang tidak ada saksi. Namun dia berbohong mengatakan tidak pernah menyentuh Maya Delilah,” aku menyampaikan dengan tegas

 “Perusahaan ini adalah salah satu Perusahaan infrastruktur terbaik di negeri ini bahkan di Asia Tenggara. Reputasi perusahaan ini terlalu berharga bila ini sampai ke pengadilan. Butuh waktu dan energi yang lama. Reasonal doubt. Yes. Jadi, here’s the deal. Dion Saladin mengundurkan diri atau dipindahkan dari posisinya. Kembalikan Maya Delilah ke unit kerjanya. Bentuk unit khusus di Human Capital ini untuk kejadian seperti ini. Perlakukan siapapun yang datang mengadu ke sini dengan terhormat. Tidak menyebarkan gosip ke luar dan tetap jaga rahasia mereka. Jaga mental mereka. Bentuk secepatnya. Kasus ini dianggap selesai oleh korban,” aku berbicara dengan jelas, tegas dan tak bertele tele

 Benita tidak menyahut namun wajah pucat dan keringat yang mengalir di dahinya sudah cukup sebagai bukti bahwa dia harus melakukan hal tersebut demi seluruh karyawan di perusahaan ini.

 Beberapa minggu kemudian, Dion Saladin mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Lalu terbentuk unit baru di perusahaan ini, Employee Wellbeing Center. Ini bukanlah kemenangan yang ideal bagi Maya Delilah, tetapi ini merupakan langkah awal untuk mencegah kejadian serupa berulang kembali.

 

TAMAT


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)