Cerpen
Disukai
3
Dilihat
17,207
Perjalanan dengan Si Ratu Pamer
Drama

Mmm, jadi rekan seperjalananku Adela? yang dijuluki Si Ratu Pamer, semakin menarik saja hidup ini, pikirku.

Aku dan Adela harus melihat lokasi Bazzar sekarang juga dikarenakan telah terjadi gempa yang cukup mengguncang lokasi bazzar. Lokasi bazzar Perusahaan kami konon agak penyot dan harus dibereskan segera karena Bazzar dibuka besok jam 10 pagi dan akan dihadiri oleh Presiden dan wakil presiden. Aku dan Adela naik pesawat jam 23.30 menuju lokasi. Kami mendarat di lokasi jam 02.30 dini hari dengan suasana sepi dan udara semakin dingin.

 Adela mengomel karena tidak ada yang bisa datang menjemput dari kantor cabang perusahaan Infrastucture kami. Aku paham karena kami tiba tengah malam. Aku juga sudah terbiasa melakukan perjalanan jam berapapun tanpa harus dijemput siapapun dari kantor cabang. Sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkan siapapun. Kebalikan dari Adela, kalo bisa merepotkan semua orang cabang, why not? Sebagai orang kantor pusat harusnya orang cabang paham bahwa kami tidak tahu menahu daerah sini. Valid point, pikirku. Tapi tidak ada gunanya juga ribut dengan orang cabang, lebih baik mencari solusi lain. 

 Aku tahu bahwa teman seperjalananku, Adela, dijuluki si Ratu Pamer. Orang-orang di kantor yang sudah pernah melakukan perjalanan dengan Adela sudah mengingatkan bahwa sepanjang perjalanan dia tidak akan berhenti bicara tentang semua hal-hal mewah yang dimilikinya. Pamer sana sini. Meskipun bagiku ini bukan info penting, but good to know, seperjalanan dengan orang yang 'unik' seperti Adela. Bagus untuk melatih dan menguji kesabaran.

 Aku membeli teh hangat dan pisang goreng 2 biji dari gerobak butut di luar bandara. Aku memberikan satu pada Adela.

“Pisang goreng? Belinya di gerobak? No thanks. Bukan saja makanan berminyak gak baik dikonsumsi malam hari, jenis minyaknya juga gak jelas,” ceramahnya dengan lantang.

Aku berjalan ke warung kecil di samping gerobak dan membeli dua botol air kemasan yang paling mahal di situ.

 “Ambillah, setidaknya ini minuman botol termahal di warung itu,” aku nyengir sambil menyerahkan satu pada Adela.

 Dia mengambil botol tersebut sambil cemberut. Aku tidak menanggapi tingkahnya. Aku habiskan dua potong pisang goreng itu dan meminum airku setengah botol. Kemudian aku memesan mobil melalui aplikasi Moda Modis.

 

*****


Moda Modis adalah armada angkutan yang bisa dipesan secara online. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya mobil angkutan kami tiba. Kami memasuki mobil Toyota Innova pesanan kami dari Moda Modis. Kami berdua duduk kursi barisan belakang supir.

 “Selamat malam ibu, nama saya Kudam, driver Moda Modis. Apakah ibu ini Merona Menyala Pane?" tanya si supir.

Aku mengangguk.

"Selamat datang di armada kami, Bu,” si bapak yang terlihat sembrawut mencoba untuk tersenyum ramah meski gagal. Wajahnya kusam dan seperti orang yang tidak tidur dan makan berhari hari. Aku diam saja sementara Adela tersenyum cerah ceria.

 Kami duduk dan aku memperhatikan rute perjalanan melalui online map. Kemudian Adela mengatur tasnya sedemikian rupa dan juga koper mini di samping kakinya,

 “Maklum harganya mahal, Gucci loh ini jeng,” katanya tersenyum manis padaku.

Aku tidak menyahut tapi melihat sekilas tas tangan dan koper merek Gucci tersebut. Terlihat mewah. Selain itu, fungsinya sama saja dengan tas lainnya maupun kantong kresek, sama sama untuk membawa sesuatu.

 Aku menoleh ke jalan dengan bosan.

 Beberapa menit kemudian kami, memasuki area yang tidak sesuai dengan map yang ada padaku. Aku memandang supir tersebut melalui kaca depan. Dia duduk gelisah di depan kami.

 “Pak, ini daerah apa ya? Banyak kebon sawit dan kebon karet, bukannya tujuan kami ke kota ya, pak?” tanyaku.

 “Iya, bu tapi ini jalur tercepat untuk menuju kota, jadi ini jalan memotong,” kata si supir dengan tangannya yang bolak balik mengetuk setir mobil.

 Aku melirik jam tanganku, jam 03.15 malam. Di jalanan yang kami lewati hanya satu dua rumah penduduk dan itupun sudah tertutup dan gelap.

 “Jeng, liat deh gelangku ini, berlian dan emas yang dibelikan suamiku loh. Aku senang banget dihadiahi perhiasaan sama suamiku. Maklumlah dia baru naik jabatan jadi direktur di Bank Papan Atas,” Adela memperlihatkan gelang emas 3 biji yang menggelantung indah di pergelangan tangannya.

 “Kalung ini sengaja dia beli di Eropa karena model begini belum masuk Indonesia loh, Jeng Rona,” dia menunjukkan kalungnya yang berkilau seperti emas putih dan leontin yang indah terbuat dari berlian.

 Aku yakin ini sangat mahal. Ratusan juta. Aku membatin.

 “Pak, apakah kira kira masih jauh?” tanyaku pada supir.

“Sekitar 30-40 menit lagi, bu,” jawabnya tegas.

 “Oh ya, kemarin kami sekeluarga liburan ke Eropa. Wadaw, sepuluh hari kayaknya gak cukup ya menjelajah Eropa. Masih banyak mall dan tempat belanja yang belum saya datangi. Tapi suami saya gak mau nambah hari,” Adela masih berbicara.

Kemudian dia mengeluarkan ponselnya.

“Ini fotoku dan pak suami waktu di menara eiffel,” dia menunjukkan foto di handphone nya kepadaku.

“Nah ini waktu di Italia lagi makan pizza,” dia melanjutkan.

 Kemudian dia menatapku ragu.

 “Menurut Jeng Rona, kira kira di antara foto ini yang mana yang paling cocok untuk tayang di sosmed ku ya?” dia memperlihatkan sederet foto mesranya bersama suaminya.

 Aku diam aja. Tapi dia mencolekku sedikit dan menanggukkan kepalanya pada foto-foto di handphone tersebut. Dengan sedikit terpaksa aku menunjuk satu foto yang terlihat normal untuk ukuran mereka. Foto duduk di taman.

 Dia sibuk meng update sosial medianya. Setelahnya terdengar bunyi dering berulangkali di ponselnya, dia tertawa girang. Dia menunjukkan padaku respon netizen setelah dia upload fotonya. Aku melirik, ternyata dia meng-upload fotonya yang di merana eiffel.

 Dasar kucing garing, kalo sudah tau mau foto yang mana ngapain nanya, pikirku dengan wajah bosan.

 Kemudian dia mengeluarkan seperangkat alat dandannya. Tas segi empat yang mentereng dan ada detail bunga mawar di bagian atas berwarna merah jambu. Aku sedikit terpesona melihat tas tersebut. Bagus memang. Tentunya mahal. Kemudian Adela membuka tasnya dan memperlihatkan segala macam alat dandan dan skincare favoritnya. Semuanya berasal dari brand terkenal

 “Saya itu suka bingung, kalo ga pake bedak Estee Lauder, kulit saya itu keliatan kusam. Saya cuma cocok pake brand Estee Lauder dan Dior. Selain itu gak bisa. Apalagi pake brand local, hadehhh, capek deh,” dia mulai memulas lipstick ke bibirnya.

 “Jeng Rona mau dandan juga gak? Pake punya saya aja. Kan Jeng Rona ini jarang dandan, coba deh pake alat dandan saya, pasti berasa bedanya.”

 “No, thank you,” aku menjawab singkat dan sopan.

 “Wah sayang banget. Jeng Rona ini sebenarnya item manis loh, apalagi kalo didandani makin manis,” Adela tersenyum.

 Aku mengangkat tangan sambil tersenyum tipis. Dia melanjutkan ritual dandannya. Setelah selesai dandan dia melanjutkan ritual ngobrolnya.

 “Jeng, ga nyangka ya tas sekecil ini dan cuma buat alat dandan harganya sembilan puluh jutaan loh,” katanya sambil mengangkat tasnya

 Aku mengangguk paham. Kemudian mataku melirik ke kaca tengah mobil dan memandang wajah si supir yang terlihat memendam sesuatu yang hebat, seperti kuatir, gelisah, putus asa sedih bercampur aduk.

 “Itu foto keluarganya mas?” tanyaku sambil menunjuk foto di dashboard mobil.

“Iya, bu,” jawabnya singkat

“Itu anaknya sedang sakit ya? Kakinya diperban,” tanyaku kembali.

“Iya betul,” jawabnya makin gelisah.

"Sakit apa mas?" tanyaku kembali.

"Ditabrak mobil, bu. Anak saya harus dioperasi segera," jawabnya pahit.

 Kemudian dia mencoba meraih botol minuman di sampingnya namun terpental dan mobil sedikit oleng ke kiri dan dia mengerem mobil mendadak.

“Hati hati dong mas,” jerit Adela pelan.

Tas milik pengemudi yang sedari tadi di dashboard meluncur jatuh, aku melihat sekilas kilatan besi sebelum dia memugutnya kembali. Aku menyadari kilatan besi itu terasa familiar. Kemudian dia meletakkan tas tersebut di kursi di sampingnya. Si Supir diam sejenak, seperti berpikir apakah menyalakan mesin mobil atau tidak. Dia menunduk dan menutup matanya.

   “Oh ya Mba Rona ini saya dengar belum menikah ya?” tanya Adela dengan manis tapi tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya.

 “Apa urusannya denganmu saya sudah menikah atau belum?” tanyaku dengan garang dan dengan nada tinggi yang membuat si supir membuka matanya dan menoleh ke belakang sejenak.

 Adela terkejut dan mulutnya menganga. Dia tidak menyaka reaksiku semarah itu.

 “Mba, calon suami saya bertugas di kesatuan polisi dekat sini dan dia juga berasal dari keluarga kaya raya. Jadi bukan cuma suamimu yang berasal dari keluarga kaya raya,” aku berbicara makin kencang sambil menunjuk wajahnya.

Adela pucat seketika.

 “Dari tadi saya capek mendengarkan ocehanmu tentang perhiasanmu yang hebat dan mahal. Saya tahu semua itu palsu, jangan pikir saya gak bisa bedakan ya barang asli dan palsu,” jawabku makin galak.

 “Enak aja bilang palsu. Ini semua asli tauuu, sembarangan,” Adela membela diri dengan wajah makin pucat.

 Aku mengangkat lengan Adela dan menyentuh gelangnya.

 “Ini adalah imitasi, semua barangmu ini palsu, paling harganya cuma lima puluh ribu. Tas-tas mu ini, semuanya juga tas KW, buatan Citayam palingan, mungkin harganya sekitar tiga puluh ribuan. Halah masih mau pamer. Pikirmu saya ga tau kalo suamimu sudah dipecat. Kalian punya banyak hutang di bank. Keluargamu sudah jatuh miskin masih sombong dan pamer. Yang dipameri barang palsu pula,” bentakku dengan galak.

 Kemudian hening. Adela membelalakkan matanya dan hampir menangis. Supir terdiam dan terlihat ciut nyalinya.

 “Ayo pak jalan. Tunggu apa lagi, di depan sana, ada kantor polisi, kami berhenti di situ saja. Calon suami saya kepala polisi di situ. Saya mau tunjukkan kepada teman saya ini bahwa saya sudah punya calon suami dan punya jabatan mentereng. Kepala polisi,” suaraku keras dan tegas.

 Si supir menyalakan mesin mobil dan sikap gelisahnya seperti hilang seketika.

 “Gitu aja marah, padahal saya cuma nanya,” Adela mencoba membela dirinya.

 “Mba, pertanyaan udah nikah atau belum itu hal sensitif bagi wanita, jadi hati hati kalo bicara,” jawabku dengan tajam.

 Adela membuang mukanya dengan marah dan air matanya hampir jatuh. Dia kemudian menghentakkan kakinya beberapa kali seperti anak kecil sedang marah.

 

*****

 

Beberapa menit kemudian, si supir menepi dan berhenti di depan kantor polisi setempat kemudian menoleh ke belakang dan memandangku.

 “Ibu, di kantor polisi ini?” tanyanya.

Aku melihat logo dan tulisan di kantor yang tidak terlalu besar tersebut,” betul pak,” jawabku kemudian membuka pintu mobil.

 “Ayo turun, Mba Adela,” kataku dengan intonasi memerintah.

 Dia menurut dan menurunkan koper dan tasnya dengan hati-hati. Dua polisi yang sedang berjaga memandang kami dengan heran. Kemudian mereka berdiri dan membantu Adela mengangkat kopernya. Lalu Adela duduk di kursi di teras kantor polisi tersebut.

 “Sebentar pak,” panggilku pada si supir pada saat dia sudah membuka mobilnya.

Aku menyerahkan uang tips padanya.

 Dia melihat lembaran uang tersebut dan terharu. Kemudian dibalik lembaran tersebut ada secarik kertas kecil

 “Ini apa, bu?” dia membentangkan tiket kecil tersebut.

“Ohh itu tiket undian dari teman saya. Simpan saja, kalo bapak selalu berdoa dan berusaha di jalan yang benar, semoga nomor di tiket itu yang hari ini.”

 Si bapak supir tidak menyahut tapi tersenyum tipis.

 “Dan satu hal lagi, jangan membawa pisau bila anda sedang bekerja, karena kantor polisi ada di mana mana,” kataku sambil menunjuk tasnya yang terletak di kursi samping supir.

 Dia mendadak pucat. Badannya kaku dan gemetaran. Dia diam mematung dan tak berani bergerak. Dua polisi yang tadi membantu mengangkat kopor bergerak mendekatiku

 “Silahkan lanjutkan perjalanan bapak. Hati hati di jalan,” kataku.

 Si supir dengan sigap masuk ke mobil dan melajukan mobilnya dengan kencang.

 

*****

 

“Mba mba ini mau ke mana sebenarnya?” tanya Pak Polisi sambil menghidangkan air hangat kepada kami.

 “Kami mau numpang sholat di sini ya pak, sebentar lagi subuh. Apalagi pak supirnya juga ga terlalu tau daerah sini. Jadi kami menunggu di sini ya pak. Setelah matahari terbit kami akan dijemput rekan kami di sini,” kataku.

 Adela yang sedang menyeruput teh hangatnya mendadak kesedak dan melotot kepadaku dengan pandangan bertanya-tanya.

 “Ohh silahkan menunggu di sini, kalau mau di dalam ada sofa bisa duduk lebih leluasa,” pak polisi tersenyum.

 “Di sini saja pak, udaranya segar,” jawabku.

 Kemudian pak polisi kembali ke meja tugasnya. Aku dan Adela duduk berdua. Aku mengambil telepon genggamku dan memberikan instruksi ke kantor cabang agar kami dijemput di sini pagi hari.

 “Kita itu ke kantor polisi ini ngapain sih?” tanya Adela.

“Untuk menghidari si supir tadi,mba,” jawabku pelan.

 Dia terdiam dan bingung.

“Memangnya kenapa?” tanyanya.

 “Si supir tadi membawa senjata tajam. Lebih baik kita di sini. Lebih aman. Apalagi mba Adela membawa banyak barang berharga, ratusan juta mungkin harganya,” kataku sambil menunjuk perhiasan dan tas-tas mahalnya.

 Dia diam dan seketika paham.

“Terimakasih, Jeng Rona,” ucapnya lirih.

 

TAMAT

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (9)