Flash
Disukai
12
Dilihat
10,417
SE-ABAD
Misteri

Galih menghirup udara dalam-dalam saat kakinya pertama kali menapak di kota ini. Turun dari kereta yang berjam-jam membawanya dari Jakarta.

Bukan untuk berwisata Galih datang ke kota kecil ini, melainkan untuk meliput kegiatan adat tahunan wilayah pesisir pantai selatan. Petik Laut 1 Suro.

Baru saja ia meregangkan tubuh, Galih sudah disambut sapa lembut dari seorang gadis ayu berkebaya putih. Rambut dikepang dua dengan rok di bawah lutut. Apakah Galih terdampar di jaman penjajahan?

"Mas Galih?"

Galih terkesiap oleh keayuan dan suara lembut sang gadis berkebaya.

"Iya? Kok tahu nama saya?"

"Saya Puspa Mayang, anak pak Lurah. Disuruh bapak jemput Mas Galih."

"Oalah, pantes sudah kenal saya. Dapat foto saya dari bapak, ya? Terima kasih Mbak Puspa, maaf merepotkan."

Basa-basi sebagai salam perkenalan. Harusnya Galih datang kemarin, tapi kehabisan tiket membuat Galih baru bisa hadir hari ini. Mau tak mau, Galih langsung datang ke tempat upacara adat dimulai, tanpa sempat beristirahat.

"Ini acara sudah mulai ya, Mbak?"

"Iya." Puspa menjawab dengan menunduk malu, membuat Galih terpesona.

"Berarti, kita langsung ke lokasi saja ya, Mbak."

Puspa hanya mengangguk. Sungguh Galih benar-benar dibuat kepincut oleh paras dan sikap Puspa. Wajah Puspa seolah tak asing bagi Galih, senyumnya, suaranya. Jantung Galih langsung berdebar saat pertama melihat Puspa.

Mereka tiba di lokasi yang sudah riuh, kini pukul sembilan malam.

"Mas, nanti pukul dua belas saya tinggal, ya. Saya harus ikut menari di atas kapal."

"Tapi, saya boleh ikut naik ke atas kapal?"

Puspa mengangguk malu.

"Hari ini perayaan spesial. Kanjeng Putri Mayang bakal muncul bertemu Raden Patih Arya. Kekasihnya yang dibunuh akibat hubungan mereka yang tidak direstui. Mas Galih tahu kisah ini?"

Galih menggeleng.

"Saat Kanjeng Mayang tahu kekasihnya dibunuh oleh Paduka, beliau kabur ke pantai ini. Lalu menenggelamkan diri, berjanji bahwa akan kembali setiap 100 tahun untuk menemui kekasihnya, hingga semesta menyatukan mereka."

Entah kenapa, Galih merasakan kesedihan yang begitu mendalam pada suara Puspa. Bahkan jantung Galih berdetak terlampau cepat.

Waktu berjalan cepat, pukul dua belas telah tiba. Layar dikembangkan, beberapa orang telah menaiki puluhan kapal yang membawa sesaji untuk penguasa laut selatan.

Iring-iringan gending mulai terdengar, Galih siap naik ke atas perahu yang Puspa tumpangi. Sampai satu tangan menyentuh bahunya.

"Mas Galih, Bapak kira tidak jadi datang. Saya telepon tidak bisa nyambung terus."

Galih mengerutkan alis. Orang di hadapannya ini adalah pak Lurah.

"Saya dijemput Puspa tadi, Pak. Katanya Bapak yang suruh?"

"Puspa siapa? Puspa anak saya lagi di kota, Mas. Kuliah tidak libur."

Galih linglung. Matanya menangkap Puspa yang ia temui telah menari bersama rombongan penari. Galih berdesakan mencoba mencari jalan di antara kerumunan orang, agar bisa menggapai Puspa. Hingga kapal oleng dan Galih disergap kegelapan.

Subuh tiba, Galih tersadar memeluk pusara. Di pulau seberang tempat para sesepuh desa melarung sesajen. Lelaki itu tertegun saat pada nisan itu jelas tertera nama "R.A Puspa Mayang". Dan sepucuk lontar pada genggaman Galih bertulis Sansekerta.

"Aku akan terus menunggumu, hingga semesta rela menyerahkanmu kepadaku. Aku tetap mencintaimu."

-TAMAT-

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (11)