Flash
Disukai
8
Dilihat
18,639
JAKARTA
Drama

"Bayar lo, udah nunggak dua bulan. Sore nanti kagak bayar, gue buang barang-barang lo."

"Iya, Beh. Saya usahakan bayar sore nanti."

Adit segera memacu motor bututnya, meninggalkan pemilik kontrakan yang melabraknya pagi ini. Nyatanya Jakarta tidak seindah bayangannya.

Hari masih terlalu pagi, tapi Jakarta sudah menggeliat. Jalanan macet tidak mengenal waktu. Polusi asap kendaraan, bising bunyi klakson yang seolah bisa membuka jalan, bahkan cacian pengendara lain, adalah sarapan tiap pagi yang rela tidak rela harus Adit telan. Demi mengejar cita-citanya menjadi wartawan surat kabar Ibukota.

Kadang Adit heran, untuk apa orang-orang itu berlomba membunyikan klakson? Padahal mata mereka bisa melihat jalanan yang memang penuh tidak bisa bergerak. Bukankah hanya akan menambah stress? Kenapa mereka tidak terbang saja? Toh orang bilang, bukan Jakarta namanya jika tidak macet.

"Mata lo ke mana, Anj**g?"

Satu teriakan memekak telinga Adit. Ia menolah melihat pengendara motor yang memberi sumpah serapah pada supir angkot yang berkendara seenak hati. Tak ada pagi sunyi yang tenang dan teduh di kota ini. Hampir semua orang menghabiskan hidupnya di jalan yang penuh keruwetan, kebersamaan bersama keluarga, hanyalah nomor sekian untuk kaum pencari uang di Ibukota.

Adit memulai paginya, hanya dengan sedikit kewarasan.

Ia masih ingat kata ibunya semalam, saat Adit bercerita via telepon tentang letihnya ia hidup di kota ini.

"Sabar, kalau memang lelah, sini pulang, Nak. Rejeki itu ada di mana saja. Cita-cita memang harus dikejar, tapi yang terpenting dalam hidup itu adalah menikmati setiap detik waktu hidupmu dengan kebahagiaan."

Prinsip hidup kadang harus digadai untuk bertahan di kota ini. Ibukota terlalu keras.

Di tengah kewarasannya yang hanya sedikit, nasib sial justru merundung Adit. Motor bututnya mogok, tak jauh dari stasiun Jatinegara. Mau tak mau, ia harus merelakan sisa uang di dompetnya untuk naik komuter line pagi ini. Selamat tinggal sarapan bubur ayam, kini hanya tinggal impian.

KRL, bukanlah tempat yang lebih ramah dari jalanan. Ini adalah rimba yang sesungguhnya, tak peduli apa jenis kelaminmu, kamu harus bar-bar jika ingin berada di gerbong tepat pada waktunya. Berjalan dengan cepat, berdesakan, menghimpit orang, adalah hal lumrah di komuter line.

Adit menerawang, melihat orang-orang di sekelilingnya. Mata sayu, wajah lelah yang belum puas terlelap; dipaksa segar dengan pulasan make up, berdiri bergelantungan; sesekali sekejap terlelap dalam diam berdirinya. Adit mengembuskan napas berat.

Sampai kapan ia harus bertahan di kota ini? Apakah benar ia akan bahagia ketika cita-citanya nanti tercapai? Lebih tepatnya, apakah Adit benar bisa mencapainya?

Kota yang lelah, dengan hidup yang berat.

Adit merogoh sakunya, mengambil ponsel dan menekan satu nama di sana.

"Ibu, Adit kangen."

-TAMAT-

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (5)