Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,042
Sang Pencuri
Misteri



Wagiso mematung di atas dahan pohon mangga. Dipastikan ia sangat senyap saat dua sosok melintas dibantu lampu senter. Sepertinya ninja kalah dengan kemampuan Wagiso mengendap-endap. Kemampuan sebagai seorang pencuri tak bisa diremehkan begitu saja. Ia akan menyatroni kediaman sang korban sembari berdoa agar pemilik rumah ialah orang dengan hidup sejahtera. Terkadang rumah bisa menipu, dikira sejahtera tetapi ternyata tidak demikian.

Wagiso bergerak menuju meja makan, mencoba mengais sisa makanan walaupun terkadang ada sedikit ludah tertinggal dari sang pemilik. Jika tak ada, ia akan memasak di rumah korban dengan tenang. Entah bagaimana cara Wagiso melakukan aksi konyol itu. Dan yang lebih konyol, ia tak mencuri hal berharga lainnya. Sangat amat goblok bagi Wagiso yang memiliki kemampuan seperti itu. Tak lupa ia akan mencuci piring setelah makan. Mungkin otaknya sudah geser ke arah antah berantah.


Maka, di keesokan harinya gempar sang pencuri kembali melancarkan aksinya. Walaupun cukup sepele namun tetaplah meresahkan.

"Kau dengar?" tanya tetangga Wagiso yang cukup khawatir.

"Untuk apa khawatir, minyak tanah komporku sudah habis! Jikalau maling itu masuk rumahku, mau masak dengan apa dia?" Tawa yang keluar dari mulut Wagiso terdengar lucu bagi tetangganya.

Memang lucu, namun bagi tetangganya? Lebih seperti tangan yang memukul gendang telinga. Ini gendang telinga! Bukan gendang dangdut.

Bagaimana tidak? Wagiso memiliki toko kelontong yang selalu menjadi sasaran warga setempat untuk meminta utangan beras, gula, minyak tanah dan sebagainya hingga hampir habis tak bersisa kecuali sarang laba-laba yang kian bertambah. Tetapi tidak dengan laba toko yang ia peroleh.

Demi menghemat pengeluaran, ia rela memeras keringat hingga tetes terakhir. Salah satunya ialah ronda! Ia bisa menikmati sekadar gorengan dan kopi, tak lupa rokok. Meskipun bukan favoritnya, setidaknya rokok itu masih bisa dibakar dan mengeluarkan asap!. Dari sekian kegiatan mencuri konyolnya, ia juga mencegah para pencuri lain masuk ke kawasan target pencurian Wagiso.

"Apakah maling itu keturunan ninja?" Rekan Wagiso ronda bertanya hal konyol hanya untuk mengatasi rasa takut selain para pencuri, yaitu komplotan hantu yang siap menakuti siapa saja tanpa pandang bulu.

"Entahlah, bisa jadi iya ... Bisa jadi tidak," jawab Wagiso.

"Bisa jadi, Nippon memang meninggalkan ninja di bumi Nusantara ini karena kalah berperang."

"Maksudmu, saat Nippon di bom atom oleh Amerika?"

Banyak yang mereka berdua bicarakan, mulai dari hal yang tidak penting hingga hal yang paling tak penting.

"Lihat, si Suroso lagi banyak rezeki ... Dia beli mobil lagi, Mercy pula," ucap rekannya.

"Wah, puji tuhan ... Aku turut senang melihatnya sukses," ujar Wagiso yang memang senang bukan main.

Kelihatannya bakal ada mangsa baru, setidaknya stok makan masih aman untuk hari-hari selanjutnya. Rekannya cukup tolol karena bercerita hal seperti ini pada Wagiso. Toh, tak ada yang tahu kalau selama ini Wagiso ialah pencuri yang dicari. Banyak juga di kawasan targetnya yang kaya mendadak dikarenakan tanah yang mereka miliki disulap pemerintah menjadi jalan tol. Tak ada yang mengetahui identitas asli sang pencuri ini kecuali 3 orang, salah satunya ialah Tuhan.


Dan suatu hari saatnya tiba, Wagiso siap beraksi. Masih dengan kemampuan mumpuni untuk pencurian konyol. Kali ini rumah Suroso menjadi target!. Lidahnya riang gembira dibelai lembut makanan enak. Daging beserta buah buahan mahal masuk begitu saja. Tak lupa ia juga menguras habis isi kulkas pemilik. Ia tak Sudi untuk mencuri emas berlian serta uang walau ia lebih membutuhkan duit. Hati nurani Wagiso menjerit keras akan kelakuannya kali ini yang sedikit melebihi batas dari apa yang ia sepakati dengan dirinya sendiri. Seperti makan di warung, ia meninggalkan sejumlah uang sekaligus sebagai tanda terima kasih atas makanan yang lezat ini.

Sebelum pergi, ia berkeliling rumah Suroso. Bola matanya nyaris keluar saat ia memasuki salah satu ruangan. Ada tumpukan uang di atas meja. Uang sebanyak itu tak akan habis dimakan tujuh turunan! Turunan ayam maksudnya. Uang yang menggunung membuat Wagiso merasa geram atas nasibnya yang selalu menjadi bahan utangan warga. Sesegera mungkin ia kembali ke meja makan guna mengambil uangnya.

"Tak Sudi aku membayar, saat tuan rumah memang sangat kaya!" Gerutu Wagiso.

Wagiso pun menghilang layaknya ninja yang ambil langkah seribu seusai melempar bom asap guna pengalihan.

Maka, keesokan harinya sudah seperti biasanya, Gempar!. Masih dengan makanan raib digondol maling. Tetapi tidak dengan uang pemilik rumah. Dan masih seperti biasanya, suasana makin meresahkan bagi warga di sekitar kediaman Wagiso. Hingga sang anak muncul tepat di hadapannya dengan wajah kesal. Dia adalah orang kedua yang mengetahui pekerjaan asli sang ayah.

"Untuk apa bapak masih mencuri?" Suara Azrial sangat pelan nyaris berbisik walaupun marah bukan main.

"Tak perlu kau menggurui aku, bocah tengik!" balas Wagiso tak kalah sengit.

"Ikut saja denganku, aku jamin hidupmu sampai mati."

"Harga diriku terlalu tinggi untuk digantungkan pada bocah tengik," ucap Wagiso tak peduli pada anaknya yang memiliki niat baik.

"Aku punya segalanya sekarang, uang dan kuasa ...,"

Wagiso memotong ucapan anaknya dengan penuh semangat, "dengan mencuri dari si miskin!".

Tawa Wagiso sangat keras menggelegar meskipun yang mereka berdua bicarakan sangat pelan.

"Apa bedanya denganku, hai bocah tengik?"

Wajah Azrial memerah, umpatan ingin keluar dengan liar tetapi tertahan oleh isyarat tangan Wagiso.

"Permisi, Pak Wagiso," ucap bocah kecil dengan penuh keraguan.

"Masuk, ada apa Ilham?" tanya Wagiso.

Melihat keraguan dalam diri bocah itu membuat Azrial melembut ucapannya, "Jangan takut, ada perlu apa?"

Nyaris saja Wagiso muntah di wajah bocah itu, kata manis dari Azrial sungguh memuakkan indra pendengaran Wagiso. Terlalu manis bahkan. Wagiso mengarahkan bocah itu masuk ke warung kelontong. Sedikit basa-basi tak Wagiso hiraukan. Dari awal ia memang sudah tahu betul keinginan dari orang tua bocah ini. Mereka berdua membisu menunggu bocah ini keluar membawa sembako hasil utangan.

"Semua sudah saya tulis di buku utang."

"Iya, hati-hati di jalan, ya," ujar Azrial dan Wagiso bersamaan.

"Terima kasih, Pak Wagiso," ucap bocah itu kemudian menghilang.


Wagiso hanya bisa menghela napas panjang, sepertinya ia harus menambah stok buku utang untuk warga sekitar. Ada rasa tak enak dalam dirinya untuk sekadar menagih utang. Dan konyolnya, makin banyak warga yang utang kepada Wagiso seolah-olah dia memang bank berwujud toko.

Hal itu membuat Azrial terbahak-bahak, ayahnya ternyata tidak lebih seorang badut! Lucu namun tragis.

"Apa kata ibu nanti?"

Ucapan Azrial membuat ingatan Wagiso melompat mundur jauh sekali menuju kilas balik masa lalu. Masih segar dalam ingatan di mana saat istrinya sekarat dan memintanya untuk berjanji agar berhenti menjadi pencuri. Tatap lekat mata istrinya tak bisa membuat Wagiso memegang janji itu. Dan akhirnya Wagiso berhasil membuat istrinya mati dengan penuh kekecewaan. Istrinya juga salah satu dari ketiga orang yang mengetahui pekerjaan Wagiso.

Sekarang? Ia tak punya janji dengan siapapun untuk berhenti menjadi pencuri, dengan Tuhan sekalipun.

"Sudah ku bilang, jangan menggurui! Bocah tengik."

"Mereka juga mencuri darimu, bapak!" Azrial hilang kesabaran menghadapi ayahnya.

Anak bapak itu setali tiga uang! Sesama pencuri. Bedanya, anak itu mencuri dari orang miskin dengan dalih kebijakan upeti. Hal yang menjijikkan bagi Wagiso dan bertentangan dengan hati nuraninya.

"Beda denganmu bapak, mereka izin untuk merampok toko kecilmu dengan dalih utang! Apa bapak bisa meminta mereka bayar utang? Jika tidak, bapak adalah korban rampok dari warga tak tahu terima kasih itu."

Wagiso tahu benar. Selama ini ia dan warga hanya saling mencuri satu sama lain. Harta benda dan makanan seolah tidak memiliki pemilik pasti di sini.

Keras sikap Wagiso berhasil membuat Azrial meradang, " Satu pertanyaan dariku, apakah ada orang di Nusantara ini yang tidak mencuri?"








Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)