Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,439
Dunia Panggung Sandiwara
Drama



Bukan tanpa alasan ia menjadi miskin, ia memang miskin semenjak dalam kandungan. Orangtua miskin ditambah bebuyutan miskin semua serba miskin. Keturunan miskin melahirkan kemiskinan baru ditambah menikahi wanita miskin. Makin miskin pula ia jadinya, Markesot namanya. Dari yang ku dengar dari mulut ke mulut orang uzur, memang ia sudah ditakdirkan demikian.

Dunia panggung sandiwara yang hebat dan Markesot menjadi pemeran utama dalam dunianya. Dunia yang ia tinggali benar-benar berbeda dan membuat kita semua terpaksa mengikuti aturan hidupnya yang di luar nalar.

Hidupnya begitu nestapa malah makin jadi bencana tatkala ia memilih mengakhiri masa lajangnya yang begitu menyedihkan. Dengan wanita miskin pula ia memutuskan mengikat hubungan dalam status resmi. Entah berita baik atau buruk mengenai pernikahannya ialah, sesama nasib miskin akan menjadikan keluarga miskin baru dan pasti bakal membuat pemerintah pusing tujuh keliling mengurusi orang-orang miskin seperti Markesot. Sudah miskin, menyusahkan pula hidupnya dengan selalu berhutang di warung terdekat.


Selain miskin, Markesot juga bisu. Setiap menyapa para tetangga ia hanya bisa berkata ah, ih, uh, sesuai dengan mulut bisu itu. Tuhan memberinya peran begitu apik dalam hidupnya sebagai si miskin nan bisu. Walaupun aku lebih suka menyebutnya malapetaka maha dahsyat.

Dan sepertinya Tuhan memang senang dengan peran Markesot sebagai orang miskin. Selain tersiksa di dunianya, rupanya tuhan memberi peran lebih keren yaitu apes. Setiap ada warga yang tengah mendapat musibah pencurian ia akan segera mengakui agar dibawa ke kantor polisi. Bukan tanpa alasan, ketika pihak berwajib tak menemukan bukti kejahatan maka ia akan segera dilepas dengan sejuta permintaan maaf beserta makanan untuk keluarganya. Sudah miskin, menyusahkan pula!.


Tetapi, siapa sangka jika dipikir lebih dalam ia mempunyai otak cemerlang. Mendapatkan makanan gratis bukan masalah baginya meskipun utang di warung makin menggunung mengalahkan tingginya Semeru. Ketika tetangga punya hajat, ia bakal membantu sebisa mungkin demi makanan dan para tetangga sudah hafal betul dengan tabiat konyolnya. Tak mungkin mereka sepenuh hati tega dengan membiarkan Markesot yang begitu kelaparan beserta keluarganya. Tuhan benar-benar tak bisa dikalahkan dengan sudut pandang tertentu. Dan hal itu membuat peran Markesot sebagai orang miskin yang berbakat begitu melekat kuat.


Tetapi di lain cerita, ia baru saja mendapatkan hibah sebuah ponsel jadul. Karena hampir tak mungkin atau lebih tepatnya mustahil setiap insan di zaman serba menunduk tak memiliki ponsel. Rupanya pangkat miskin yang ia sandang bertahun tahun kini bisa naik derajat berkat sebuah ponsel jadul yang tak diketahui apakah masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya atau malah sebaliknya. Malahan peran yang ia lakoni sebagai manusia menyedihkan malah diturunkan menjadi pelawak menyedihkan, bukan tanpa alasan.


Siang itu aku melihatnya, dengan langkah besar ia menempelkan ponsel jadul yang selalu bisa dipastikan tak memiliki pulsa itu di telinga seolah-olah tengah melakukan bisnis besar. Ia berjalan santai dengan gaya bicara besar, imajinasi menjadi seorang bos sudah ia gapai. Kini ia harus bicara sesuai manusia normal. Karena mau bagaimanapun peran yang ia lakoni haruslah dapat berbicara fasih bahasa manusia. Tapi sayang seribu sayang bahwa kenyataannya ia bisu.


BISU!.


Betapa tuhan melengkapi penderitaannya. Aku hanya bisa mengelus dada melihatnya. Ada sedikit tawaan mencoba keluar dari mulut ini saat mendengar ah, ih, uh macam orang gila. Tapi mau bagaimana lagi?, Tertawa tak enak, ditahan juga tak enak apalagi jika mengingatnya ... Ah, sudahlah. Memang kuasa tuhan menentukan semua ini. Semua insan yangg ia ciptakan memang hanya untuk menghiburnya. Ada yang memiliki peran apik ada pula yang malah sebaliknya seperti Markesot.


Waktu terus berlalu, Markesot masih saja setia dengan peran sandiwara dunia sebagai miskin mengenaskan. Dan tuhan masih betah melihatnya atau mungkin tak ada yang bisa menandingi pendalaman peran si miskin selain Markesot. Jika disamakan seniman, Johnny Depp mungkin tak ada apa apanya. Atau bahkan Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt, peran yang ia lakoni begitu nestapa hingga menyentuh relung hati siapapun yang melihatnya.

Jika ada yang bertanya siapa manusia paling miskin di dunia panggung sandiwara ini, maka akan aku jawab Markesot-lah orangnya dan dengan spontan ku yakin ia akan mengangkat tangan dengan penuh kegembiraan. Insan Gembira akan peran di dunia panggung sandiwara ini cukup sulit atau bahkan hampir mendekati kata mustahil. Tapi Markesot benar-benar bahagia dengan perannya itu.


Dan di suatu pagi itu lidahku terbakar memikirkan nasib Markesot yang begitu mengenaskan. Perlukah tuhan menghibur diri seperti itu, atau Markesot saja yang terlalu nyaman dengan peran dan tak ingin menjajal peran lain?.

Lidahku terbakar kopi panas, betapa bodohnya aku tak menunggu hangat. Selain itu juga pengumuman di Masjid membuatku terkaget bukan main. Benarkah ia mati?, Rupanya tuhan ingin perannya di dunia selesai dan entah imbalan apa yang tuhan berikan nantinya.


Terlihat istri dan anaknya yang meraung-raung mengetahui kepala keluarganya mati. Raungan itu sungguh pilu menusuk hati siapapun yang mendengarnya, tetapi aku tahu itu bukan raungan kesedihan. Lebih tepatnya istrinya menangis sebab tak memiliki uang sepeserpun, jangankan untuk mengurusi kematiannya, bahkan untuk mengadakan tahlil pun ia tak akan mampu. Apalagi jika sepeninggalannya semua kebutuhan pokok makin mencekik dan utang di warung kian tak terkendali membuat pemilik warung harus membeli banyak buku utang untuk istri Markesot.


Mendengar istrinya beserta curahan dalam hatinya membuat Markesot enggan meninggalkan dunia panggung sandiwara ini. Ia memilih melanjutkan peran memperpanjang kontrak dengan tuhan karena siapa yang akan menjaga anak istrinya. Markesot yang baru saja mati memilih enggan mati betulan, ia bangkit dan langsung bekerja meninggalkan warga yang begitu keheranan melihat kematian sementara, begitu juga denganku yang hanya bisa geleng-geleng akan tingkahnya. Mungkin tetes air mata istrinya yang membuat Markesot enggan mati betulan, bisa juga ternyata ia masih mencintai istrinya. Dan masih ingin bercinta sedahsyat-dahsyatnya.

Aku hanya bisa berpikir, apa yang dipikirkan oleh tuhan?. Apakah begitu rumit hingga aku sebagai pemeran pembantu di dunia Markesot juga harus dipusingkan tingkah laku pemeran utama itu.


Tuhan maha membolak balikan hati insan, di suatu hari aku melihat Markesot diam mematung. Berjuta pertanyaan memenuhi kepalaku, apa yang tengah pemeran utama ini pikirkan?. Apakah ia akan meminta peran lain pada Sutradara sandiwara ini atau hal lain yang begitu menganggunya hingga bota matanya tak bergerak. Kopi yang kupesankan untuknya kini menjadi dingin, hingga ia menggerakkan kepalanya menatapku begitu dalam.

Mungkin mulutnya bisu tetapi aku tahu masalah yang ia hadapi begitu mencekik, hanya dari tatap matanya aku bisa merumuskan masalahnya. Ia begitu tercekik memikirkan warisan apa yang akan ia tinggalkan untuk anaknya dikemudian hari selain cerita yang hanya bermodal ah, ih, uh. Ia mulai berkedip beberapa kali setelah lupa untuk berkedip kerana melamun sedari tadi.

Dan kini ia menyeruput kopi dengan penuh senyum dan mengajakku mengobrol mengenai keadaan cuaca hari ini. Obrolan hangat ini sayangnya harus mengambang begitu saja layaknya asap rokok dari mulutku, hilang begitu saja tak ada arti. Bukan berarti obrolan kami tak bermanfaat, melainkan apa yang bisa ku mengerti dari pemeran utama bisu ini?

Ia memutuskan untuk menyudahi obrolan tak lupa mengucap terima kasih dengan isyarat atas kopi dingin ini. Dan hilanglah ia dari pandangan mata ini. Aku juga memutuskan beranjak, berjalan menyusuri tanah bumi sementara langit dibelakangku mengawasi dengan sorot matanya yang paling tajam. Ingin aku memaki sang sutradara panggung sandiwara ini namun akalku tak sampai. Kita yang sangat dekat untuk meminta tetapi terlalu jauh untuk berjumpa .


Aku melihat Markesot menatap hampa di tepi jalan, entah apa yang sudah terjadi ketika ia didekati beberapa warga. Dan baru saja ia menjadi korban tabrak lari. Sepeda bututnya kini sudah tak berbentuk berbanding terbalik dengan dirinya yang seperti tak mengalami apa-apa. Kini jiwa emosinya muncul tatkala ku dekati. Cercaan pertanyaan warga menjadi saksi bisu mimik wajah menahan tawa saat Markesot menceritakan kronologis ia menjadi korban tabrak lari. Begitu juga dengan diriku, tak ada yang bisa ku lakukan selain menahan tawa mendengar cerita ah, ih, uh.


Kini, aku dengan segala kelemahan mengakui sutradara panggung sandiwara ini tak tertandingi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)