Masukan nama pengguna
“Oalah. Pantesan kamu belum hamil, Wa. Mainanmu sama kucing.”
Bak disambar petir di siang bolong, Sahwa merasakan sesak di dadanya kala mendengar celoteh tetangganya. Gadis berambut cokelat dengan panjang sebahu itu mendongak, menatap wanita setengah paruh baya yang berdiri di depan gerbang rumahnya.
“Maksud Ibu apa?”
“Astaga. Masa kamu ini nggak tahu. Katanya istri dokter.” Bu Rana merapikan rambut pinggirnya ke belakang telinga. “Kucing itu kan bisa buat perempuan susah hamil. Bulunya itu banyak kuman, yang nyebabin keguguran juga. Masa gitu aja nggak tahu.”
“Saya nggak tahu, Bu. Malah baru denger.” Sahwa menunduk. Dilihatnya George yang asyik memakan makanannya. Wajah imut dengan tubuh gempal itu membuat Sahwa tak percaya jika hewan di depannya ini bisa membuat dirinya sulit hamil.
“Makanya, jangan main sama kucing. Nanti nggak bisa punya anak baru tahu rasa.”
“Bu Rana kok ngomong gitu?!”
***
“George.” Richard memanggil kucing peliharaan di rumahnya. Biasanya kucing dengan bulu halus warna abu-abu itu berkeliaran di sekitar ruang tamu. Entah kenapa sejak pulang dari rumah sakit tadi siang hingga malam, Richard belum bertemu kucing kesayangannya. “George!”
“Kak Richard, makan malamnya udah siap.” Sahwa keluar dari ruang makan dan bersandar di pintu. “Yuk, makan.”
“Sahwa, kamu tahu di mana George?” Richard masih celingak-celinguk mencari George. “Dari tadi aku nggak-”
“Aku buang.”
“Apa?!” Richard menatap istrinya tak percaya. Setahu Richard, gadis yang berdiri di ambang pintu ruang makan itu sangat menyayangi George. Bagaimana bisa Sahwa membuangnya?
“Yuk, makan. Nanti makanannya keburu dingin.”
Sahwa membalikkan badan, kembali masuk ruang makan. Sementara Richard memijat keningnya yang mulai berdenyut. Ia bisa merasakan perasaan Sahwa yang sedang tidak baik-baik saja. Bisa dilihat ekspresi Sahwa tadi, tak ada senyuman. Tatapannya bahkan sendu.
***
Richard melirik gadis berusia sembilan belas tahun yang duduk satu kasur dengannya. Sahwa tampak sibuk dengan laptop yang ada di pangkuannya. Wajahnya tampak masam meski tangannya sibuk mengetik artikel. Richard mengembuskan napas panjangnya. Ia tidak bisa berlama-lama diam mengikuti Sahwa. Menyelesaikan masalahnya saat ini lebih penting. Apalagi ini waktu yang tepat untuk mengobrol sebelum tidur.
“Sahwa.”
“Hm.” Sahwa tak menggubris suaminya.
“Aku mau ngomong sama kamu.” Richard menghadapkan tubuhnya pada mahasiswa komunikasi di depannya.
“Ngomong aja.”
“Kamu tahu kan, aku nggak bisa ngomong kalau kamu masih sibuk sama laptop kamu.”
Sahwa menghentikan pergerakan jarinya. Ditutupnya laptop hingga menimbulkan nada keras. Gadis berhidung pesek itu menghadapkan tubuhnya pada pria bermata cokelat.
Richard tersenyum meski Sahwa menunjukkan ekspresi tak bersahabat. “Aku tanya sama kamu. George di mana?”
“Aku buang.”
Richard mengangguk. Berusaha sesabar mungkin menghadapi istinya yang terbilang masih remaja. “Di mana?”
“Jalan.”
Richard menghela napas. Ia kembali tersenyum dan bertanya, “Kenapa kamu buang George?”
“Kata Bu Rana kucing penyebab keguguran sampai sulit hamil. Katanya bulunya banyak-”
“Itu mitos, Wa.”
Sahwa membelalakan mata. Tak percaya dengan ucapan Richard. “Kamu nggak bercanda kan?”
Richard menggeleng.
“George!”
***
“George.” Sahwa menggendong George yang seharian berada di pos ronda. “Maafin aku, ya.” Sahwa mengelus bulu lembut George yang masih wangi meski seharian di luar.
“Makanya, kalau ada apa-apa itu bilang sama aku. Tanya kebenarannya sama aku.”
“Kamu belum jelasin kenapa disebut mitos, Kak.”
“Oh, iya.” Richard nyengir. “Sebenarnya, penyebab sulit hamil atau keguguran itu bukan karena bulu kucing. Melainkan virus toksoplasma yang ada pada kotoran kucing. Sebenarnya nggak cuma di kotoran kucing. anjing, burung, ayam juga bisa.”
“Oh gitu. Terus kenapa aku belum hamil? Padahal nikah sama kakak umur tujuh belas.” Sahwa menatap Richard dengan tatapan polos. Membuat Richard gemas sendiri.
“Karena kita belum pernah berhubungan intim, Sahwa.”