Masukan nama pengguna
Tidak sia-sia aku belajar keras untuk semester ini. Aku berada di peringkat 25 dari 273 mahasiswa di fakultas ekonomi.
Serangkai bunga muncul di depanku. Aku menoleh ke samping menatap laki-laki yang memberikannya. “Buat kamu,” ucapnya membuatku tersenyum, “selamat ya peringkat dua,” lanjutnya.
Seseorang mengambil bunga tersebut dan mengucapkan, “Makasih.” Oh, jadi Arya memberi bunga untuk Salsa? Bodohnya aku yang berpikir bunga itu untukku.
Salsa menciumi bunga mawar putih pemberian Arya. Aku benar-benar tidak percaya melihatnya. Hanya bunga saja, apa harus senyum lebar seperti itu. Aku mundur perlahan dan pergi dari kerumunan. Muak melihat Salsa yang bahagia dengan bunga tersebut dan tentunya dengan orang-orang yang membicarakan mereka.
“Aya!” Seseorang memanggilku. Aku tahu siapa orangnya. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Aya hanyalah Arya. “Kok tiba-tiba pergi?” tanyanya sembari menyeimbangi langkahku.
“Mau ngapain lagi di sana?” jawabku cuek.
“Nanti pulang bareng, ya. Tante minta aku antarin kamu,” jelasnya. Aku menjawab dengan gumaman.
***
Siangnya aku dan Arya pulang bersama. Ia mengantarku dengan mobil seperti biasa. “Mampir toko bunga, ya, Ar,” pintaku padanya. Arya hanya mengangguk tanpa menanyakan tujuanku.
Sesampainya di toko bunga, aku langsung memilih bunga yang kuinginkan. Dari sekian banyak bunga yang ada, aku memilih bunga lili. Kuberikan bunga itu pada Arya. Arya mengangkat satu alisnya melihatku menyodorkan bunga tersebut. “Beliin. Aku nggak ada uang,” kataku.
Ia tampak terkejut mendengarnya, “Kalau nggak punya uang, ngapain ngajak kemari, Aya!” ucapnya gemas. Aku mengediikan bahu. Ia terpaksa ke penjaga bunga dan membayarnya. Lalu menyerahkan bunganya lagi padaku.
“Thanks,” ucapku kemudian keluar toko lebih dulu.
Arya kembali mengantarku pulang. Saat aku sedang menciumi bunga, smartphone Arya berdering. Sempat kulihat nama si pemanggil sebelum Arya mengangkatnya. Salsa lagi, Salsa lagi.
“Kamu kecelakaan?” Wajah Arya mulai panik. “Ok, aku ke sana. Tunggu ya, Sa!” tutup Arya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Salsa kecelakaan, Ya. Kita temuin Salsa dulu, ya,” ucapnya sembari memutar setir.
Tak butuh waktu lama, aku dan Arya sampai di rumah mewah berwarna cream. Satpam membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan mobil kami masuk. Setibanya di teras rumah, kami disambut salah satu asisten rumah tangga dan diantar ke kamar Salsa. Salsa menceritakan insiden yang ia alami.
Aku memutuskan keluar dari kamarnya karena muak mendengarnya. Dia hanya jatuh karena tersandung disebut kecelakaan? Oh, ayolah. Jika Salsa tersandung kemudian kepalanya terbentur yang harus membuatnya dijahit aku akan menganggap itu kecelakaan, tapi ini hanya lututnya yang tergores. Aku benar-benar geram dibuatnya.
***
Aku memegang tiga map berwarna cokelat, dua di antaranya milik Arya dan Salsa. Map ini berisi dokumen pribadi untuk pemilihan beasiswa magister di Singapura. Aku diminta Arya untuk mengumpulkannya karena ia sedang membantu Salsa. Saat berniat mengetuk pintu, kudengar samar dari dalam jika beasiswa hanya akan diberikan pada dua mahasiswa.
Aku pun berbalik, kembali menatap ketiga map. Kuhela napas panjang. Aku mendekati tong sampah. Membuang salah satu map. Kemudian berbalik lagi menuju ruang dosen untuk menyerahkan kedua map di tanganku.
Sorry, Sa. Kamu bukan pemeran utama yang akan menemani Arya. Akulah pemeran utamanya.