Cerpen
Disukai
0
Dilihat
11,683
Jangan Cemburu
Romantis

“Maukah kamu jadi pacarku?”

Aku mengitarkan pandangan ke seluruh area kafe. Orang-orang tampak antusias menyaksikan ungkapan cinta dua sejoli yang ada di depan. Johan, laki-laki yang sedang menyatakan cinta itu masih berlutut dengan satu kaki. Kedua tangannya memegang bunga mawar untuk perempuan di hadapannya, Maria. Keduanya adalah temanku, dan kini aku bersama orang-orang menyaksikan penyataan cinta mereka.

Maria tersenyum sembari mengambil bunga dari Johan dan mengatakan, “Iya, aku mau.” Tiga kata yang terlontar dari bibir Maria membuat pengunjung kafe bersorak heboh. Mereka memberikan tepuk tangan paling meriah. Aku bersama dua temanku lainnya ikut bertepuk tangan juga.

“Johan romantis banget ya, Ki. Jadi pengen …,” ucap Riska manja seraya memelukku dari samping. “Makanya, cari cowok. Ngemal mulu sih,” cibirku sedikit bercanda. Riska langsung melepas pelukannya, memasang wajah cemberut karena kusindir. 

Aku menatap cowok di depanku. Ia tampak serius menulis di buku. Entah apa yang ditulisnya, cukup membuatku penasaran. Mengingat sekarang kami sedang berada di kafe. 

“Nulis apa, Gav?” tanyaku. Bukannya memberi jawaban. Cowok di depanku ini malah mendongak sebentar untuk tersenyum dan lanjut menulis lagi, membuatku semakin penasaran.

“Kayak nggak tahu Gavin aja sih, Ki. Kerjaannya ya … baca, nulis, dengerin musik. Ngomong aja irit kayak bayar!”

Terlihat Gavin tidak menggubris celoteh Riska. Aku tertawa pelan mendengarnya, benar juga yang di katakan Riska. Gavin Kalleandra. Cowok berwajah manis dengan lesung di ke dua pipi. Dikenal karena wajah rupawan tak membuatnya tebar pesona. Ia justru memilih kegiatan yang membosankan seperti yang dijelaskan Riska. Apa pun, di mana pun situasi dan kondisinya, selalu ada buku di sampingnya.

Johan dan Maria yang baru saja meresmikan hubungan mereka bergabung dengan kami. Mereka masih mengumbar senyum.

“Yang habis jadian, senyum mulu …,” ledek Riska pada keduanya.

“Apa sih? Sirik aja lihat orang bahagia,” sahut Maria tersipu malu. 

Kami makan bersama. Kali ini ditraktir oleh Johan sebagai tanda perayaan hubungannya dengan Maria. Saat semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Gavin memberikan sebuah kertas lipat di dekat piringku. Aku menatapnya dan mengangkat satu alis. Lagi-lagi, Gavin tersenyum dan melanjutkan makan. Aku langsung membuka pelan kertas tersebut dan membacanya.

Jangan cemburu dengan pernyataan cinta pasangan lain. Aku tidak akan bisa melakukannya untukmu. Karena aku hanya manusia biasa. Aku milik Allah. Begitu juga denganmu. Cukup kuungkapkan rasa cintaku lewat bait-bait doa yang kulambungkan pada-Nya. Agar kelak kita bersama, bersanding sebagai jodoh sejati.

Tanpa sadar, aku tersenyum membacanya. Inilah Gavin, tanpa suara, dengan tulisan ia mengutarakan perasaannya.

***

Aku menjadi orang ketiga saat ini. Bagaimana tidak, aku duduk bertiga bersama dua sejoli yang baru saja jadian. Rasanya seperti nyamuk. Aku sibuk mengaduk dan meminum jus. Sementara Maria dan Johan sibuk mengobrol tanpa mengajakku dalam obrolan mereka. Pembahasan mereka beragam, mulai dari nanti sepulang sekolah mau apa. Jalan-jalan kemana. Pulang dulu atau langsung pergi. Ah, aku benar-benar salah tempat. Seharusnya aku duduk sendiri menjauh dari dua manusia ini.

Sebuah kertas lipat disodorkan di depanku begitu saja. Bersamaan dengan Gavin yang duduk di sampingku. Aku menatapnya, Gavin sedang menyeruput jus jambu kesukaannya. Seperti biasa, cowok berlesung pipi ini menutup telinganya dengan headset. Aku kembali beralih dengan kertas lipat di depanku dan membacanya.

Jangan cemburu pada mereka yang berpacaran. Alasan mengapa aku tidak pernah mengajakmu berpacaran karena ingin menjagamu dari nafsu yang sewaktu-waktu bisa datang. Aku bukan malaikat yang penuh ketaatan, bukan iblis yang penuh kemungkaran. Aku manusia biasa, yang sedang menjaga diri untuk menjadi terbaik di hatimu.

Aku dibuat tersenyum lagi olehnya. Gavin, laki-laki yang pernah mengaku menyukaiku lewat secarik kertas, namun tidak berani mengatakannya. Dan anehnya aku mempercayainya tanpa mempertanyakan kebenarannya.

“Kertas apaan Ki yang dikasih Gavin?” Rupanya Maria menyadari pemberian kertas yang Gavin berikan padaku.

“Oh, ini list buku yang lagi promo, Mar,” jawabku sekenanya. Begitulah cara menyembunyikan hubunganku dengan Gavin. Entah hubungan seperti apa. Aku dan dia diam menyembunyikan perasaan kami, tidak ada satu pun yang tahu. 

“Parah kamu, Gav. Ngomong kan bisa. Pakai kertas segala.” Johan menggeleng, yang tidak ditanggapi Gavin karena kedua telinganya terpasang headset. Aku dan Maria tertawa diikuti putaran malas kedua bola mata Johan.

“Percuma emang ngomong sama Johan,” ucap Maria di sela tawanya.

***

Sepulang sekolah ini, aku memutuskan untuk pergi ke bioskop bersama teman-teman. Siapa lagi kalau bukan Riska, Gavin, Johan dan Maria. Lebih tepatnya, aku bersama Riska menemani Maria dan gavin menemarni Johan. Mereka minta ditemani karena tidak ingin berdua saja. Nyatanya mereka terus berdua dan bergandengan tangan. Sesekali Maria akan memeluk lengan Johan. Menyandarkan kepalanya di bahu Johan. Tertawa bergurau layaknya pasangan pada umumnya.

“Duh, males banget nggak sih? Nemenin mereka pacaran. Tahu gini aku ke mal aja,” keluh Riska yang berjalan di samping kiriku. Aku mengangguk setuju.

Gavin yang berada di sisi kanan menyelipkan kertas di tanganku. Aku meliriknya. Tetap saja, ia masih sibuk dengan dunianya. Mendengarkan lagu lewat headset. Kulirik tanganku yang sudah memegang kertas, kemudian memasukannya ke dalam saku. Aku belum bisa membcanya sekarang karena Riska masih menempel padaku. Takut ia akan ikut membaca.

Sesampainya di bioskop, aku ditinggal sendiri. Johan dan Maria membeli popcorn. Gavin membeli tiket. Riska, di mana lagi jika tak sedang merapikan baju di toilet. Kusempatkan mengambil kertas yang diberikan Gavin tadi. Aku membaca kalimat demi kalimat yang tertulis.

Jangan cemburu pada mereka yang bersentuhan meski itu hanya genggaman tangan. Aku tidak pernah menyentuhmu karena aku menghormatimu sebagai perempuan terhormat. Bagiku kamu adalah perhiasan yang harus dijaga hingga Allah menjadikanmu milikku.

Bersamaan itu sebuah tiket tersodor ke arahku. Aku menatap laki-laki yang memberikannya Wajahnya manis, putih, bersih. Alisnya hitam dan tebal. Matanya tidak besar juga tidak sipit. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ia tersenyum padaku. Tanpa berkata apa pun. Jarang sekali aku mendengarnya bersuara.

Kuambil tiket yang ia berikan, “Thanks, Gav,” ucapku. Responnya seperti biasa, mengangguk dan tersenyum sekilas. Kemudian ia berdiri di sampingku. Tidak dekat. Mungkin bisa untuk satu orang berdiri di tengah kami.

Gavinku, bolehkah aku menganggapnya milikku? 

***

Jangan cemburu pada mereka yang berduaan. Aku tidak pernah mengajakmu pergi berdua karena aku tidak ingin ada makhluk tak kasat mata ciptaan Allah yang menggodaku. Aku terlalu takut jika terlena hingga nanti aku menyakitimu. Cukup kujaga dirimu agar Allah merelakan makhluknya kujaga nanti.

Lagi-lagi aku tersenyum selepas membaca secarik kertas dari Gavin. Memoriku kembali ke dua jam yang lalu, saat kami di bioskop. 

“Film action? Yang bener aja, Gav!” protes Riska.

“Gue nggak suka film action, Gav,” timpal Maria.

Nggak pa-pa action, nanti aku jelasin.” Johan menggenggam tangan Maria.

Maria hanya mengucap ‘oke’ kemudian tersenyum simpul malu. 

“Sumpah, aku tidur di bioskop kalau kayak gini,” protes Riska lagi. Setelah itu kami masuk ke dalam ruang bioskop menonton film action.

Maria dan Johan memilih duduk di pojok. Sementara aku, Riska dan Gavin duduk bersama dengan Riska berada di tengah. Aku melirik ke samping. Riska sudah tertidur. Gavin, entah apa yang dipikirkannya hingga memilih film action, padahal kita sudah memintanya membeli tiket film romance.

Aku mengedarkan padanganku. Tampak remang-remang karena lampu di matikan. Meski begitu, bisa terlihat semuanya berkumpul dengan grup masing-masing. Mungkin hanya grupku yang terpisah jadi dua. Maria dengan Johan dan kami bertiga. Aku kembali menikmati film action hingga selesai. 

Begitu kami keluar dari ruang bioskop, hanya Maria dan Johan yang tampak gembira. Aku merasa puas dengan filmnya. Riska dengan muka bantal dan Gavin … sulit untuk memprediksi raut wajahnya.

***

Entah dari mana gosip yang beredar. Tiba-tiba saja ada gosip aneh tentangku dan Niko berpacaran. Gosip itu kian menyebar luas tiap kali ada yang memberiku selamat. Oh, ayolah ini gosip. Bagaimana bisa aku berpacaran dengan Niko?

“Bunda bilang, kalau tante belum pulang. Kamu ke rumah aja,” ucap Niko begitu melihatku di kantin. Kemudian ia pergi ke kumpulan teman-temannya. Aku menepuk jidat pelan, bagaimana bisa dia berkata begitu di depan banyak orang. Padahal bisa lewat chat. Dasar! Cowok ini!

Aku menatap ke depan. Kulihat Gavin mengalihkan pandangan ketika aku menatapnya. Apa yang dipikirkannnya? Apakah ia cemburu? Gavin cemburu? Rasanya tidak mungkin. Selama tiga tahun mengenalnya, hingga duduk di bangku kelas XII, ia baru mengungkapkan perasaannya awal semester. Berjalan hampir setahun, bahkan kami akan segera lulus, tak pernah ia mengungkapkan kecemburuannya. Lagi pula untuk apa dia cemburu? 

Bukan lagi secarik kertas, buku terbuka berisi tulisan ia geser tepat di depanku. Aku membaca pesan yang ia sampaikan.

Aku cemburu kamu telah memberikan hatimu untuknya. Meski begitu aku tidak menyerah. Kamu milik Allah, maha membolak-balikkan hati manusia. Akan kuminta dirimu dari-Nya. Kulambungkan doa ke langit tertinggi. Hingga aku berhasil di sepertiga malam.

Inikah Gavin? Aku tersenyum membacanya. Apa yang kupikirkan salah. Dia menunjukkan kecemburuan saat ada yang dekat denganku.

Kuambil pulpen di depan Gavin dan menulis di bawah pesannya. Kuserahkan padanya begitu selesai menulis.

Jangan cemburu pada saudaraku. Cowok itu sepupuku. Bundanya adalah kakak dari ibuku. Dan jangan khawatir. Aku akan tetap menjaga diriku. Aku juga berdoa hal yang sama untukmu. Agar doa kita satu dan menembus langit-Nya.

Gavin menatapku, kemudian tersenyum yang membuatku ikut tersenyum. Inilah hubungan kami. Saling menjaga tanpa mengucap kata-kata puitis. Mungkin bagi sebagian orang, sikap Gavin tidaklah romantis. Namun, bagiku dia adalah cowok romantis pilihan Allah, yang kuharapkan menjadi jodohku kelak.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)