Masukan nama pengguna
Mayat baru mati tiga hari berdiri di depan kaca nako, mengetuk kecil tujuh kali dengan ujung telunjuk yang menyembul dari kafan: tuk, tuk, tuk, tuk, tuk, tuk, tuk.... Ujung telunjuk bercokelat-cokelat tanah segar dan kukunya setengah terkelupas.
Gusar yang belum terlelap membuka matanya yang berat. Kilatan mencoreng langit berbayang terang di kaca nako yang sehadapan tempat tidurnya. Dalam lima detik, dia menatap bola mata mayat yang masih tertutup kapas. Dia tak lupa bahwa itu mayat Ganas, preman Pasar Kembang yang terkenal ganas dan tega menghabisi siapa pun yang menolak keinginannya. Satu codetan ujung benda tajam membekas dan memanjang, mulai dari bawah alis mata kanan berlekuk-lekuk sembilan seperti Pasopati, sebuah keris pusaka milik seorang keturunan Raja-raja Nirwana yang hilang. Lekuk keris terakhir berakhir di pipi kiri dekat ujung bibir tebal, kasar dan pecah-pecah, dan cacat abadi itu serupa lintah hitam berbaris mengisap darah. Cacat hitam tak pernah Ganas lupa, dendam dan kesumat menyatu, setelah sengaja ujung Pasopati mengukir wajah Ganas yang tegang dan kaku. Tak percaya: Pasopati sanggup mengukir kulitnya!
Ganas lari terpukang-pukang. Meninggalkan satu tas gantung hitam yang rimbun uang setoran, pajak keamanan pasar, dan pajak haram itu siapa berani melawan? Melawan pasti mati. Bahkan aparat yang coba-coba menangkap Ganas kualat. Ganas memiliki Ilmu Kualat yang langka. Diwariskan dari Mbah Segala Ilmu yang tinggal di puncak gunung paling dingin, dan Ganas mewarisi segudang aji-aji sakti: Rawa rontek, Gendam Hati, Panca Sirna, Sukma Sekarat, Gending Gantra, Luber Muntaber, Mayang Wiri-Wiri, Blotot Kentot, Sego Ludeng, Brojomusti, Batara Karang, Paksi Larasati, Kemungkus Kemangi Ijo, Gesper Wisanggeni, Manuk Petir, Sutasuma, Wengi-Wengi Kobong, dan Cupit Cerewet. Semua ilmu linuwih si Mbah, habis dilalap Ganas yang sudah Mbah latih keras sejak bayi merah. Mbah menemukan Ganas yang dibuang di lereng gunung paling dingin, dan memang sejak bayi merah, Ganas sudah ganas. Bayangkan saja, bayi merah mampu merobek kulit tangan Mbah, dan menggigit hingga tinggalkan dua lubang yang cukup dalam. Dua gigi melengkung serupa taring Gabon Viper tumbuh tepat di gusi atas bayi merah itu. Di tengah-tengah gusi.
Bukan kesal karena dicakar dan digigit, Mbah malah mencintai bayi merah itu:
"Ganas. Ganas namanya. Bayi merah sudah mampu membuka kelopak mata lebar-lebar, tegas, bola mata hitam, benar-benar hitam bola matanya, tak ada bagian putih dalam bola mata itu. Aku sayang, sayang, sayang pada kau! Kau memiliki tulang-tulang sempurna, tulang-tulang yang mampu menerima semua ilmu yang kumiliki. Aku berjanji, Sayang, akan kuwariskan ilmu langka ini, hanya kau, kepada kau, satu-satunya manusia yang kupercaya!"
Mbah membuka bibir bayi merah itu. Meludahi tiga kali di sana lalu menggosok-gosok dua gigi ular sampai berkilat dengan saputangan putih. Ganas tenang seolah tahu apa yang Mbah katakan tadi. Dia tertawa dan ikut meludah mengenai tepat ujung hidung Mbah yang bengkok. Mbah menjerit kepanasan. Ludah Ganas sepanas timah cair!
Di Pasar Kembang, saat Gusar sedang memilih barang-barang keperluan memandikan mayat di Toko Mayat, toko satu-satunya di pojok pasar yang turun-temurun menjual kebutuhan memandikan mayat, peti mayat, nisan, jas mayat, make-up mayat, wangi-wangian mayat, kafan, sabun khusus, kapas khusus, tali khusus, bunga-bungaan khusus, pengawet mayat, semuanya lengkap dan terjamin kualitasnya sesuai keyakinan masing-masing. Koh Athong, generasi ketujuh, pewaris Toko Mayat sedang melayani Gusar.
"Semua tiga ratus ribu."
"Kok mahal, Koh?"
"Terpaksa aku naikkan. Bahan-bahan kain naik. Bensin naik. Otomatis semua naik. Haiyaaa.... Tau lah elu keadaan naik-naik begini bikin yang lain ketiban ikut naik-naik juga."
"Aku cuma punya dua ratus ribu, Koh. Tinggi sekali naiknya."
"Haiyaaa. Elu kayak pembeli baru aja. Udah, bawa aja! Sisanya boleh kapan elu punya duit."
Gusar sedih. Sedih karena Koh Athong terlalu baik kepadanya. Di desa itu, mungkin hanya Koh Athong yang peduli Gusar. Profesi memandikan mayat jarang ada orang mau. Bahkan desa-desa lain tak ada yang mau menjadi tukang memandikan mayat. Nama Gusar terkenal di sekabupaten sekaligus ditakuti sebab ketika Gusar kejatuhan Cahaya, itu adalah penanda kematian seseorang, dan Gusar tahu, di mana rumah orang yang akan mati itu. Seperti hari ini, Gusar tahu Ganas akan mati. Karena itu, dia mempersiapkan bahan-bahan kebutuhan memandikan mayat yang habis stoknya. Gusar memberikan uang 200 ribu kepada Koh Athong dan terbata-bata berkata, "Koh, maafkan aku yang sering buat susah Koh terus."
"Haiyaaa. Tidak, tidak, jangan minta maaf. Elu orang hebat. Tidak sembarangan manusia sanggup memandikan mayat. Pekerjaan berat, oi. Pekerjaan berat. Tanggung jawab berat kepada Thian dan si mati. Sudah. Ambil dan pulang."
Koh Athong tahu keistimewaan Gusar. Dia yakin bahwa Thian menggantikan kemiskinan Gusar dengan kelebihan-kelebihan ajaib yang tak bisa manusia pelajari. Dia tahu bahwa profesi Gusar adalah profesi paling terhormat dan paling tinggi nilainya. Dia tahu bahwa manusia takut mati. Manusia ingin abadi. Mati adalah meninggalkan kesenangan-kesenangan dunia. Mati adalah memasuki suatu dunia baru. Ragam cerita baru. Menitis kehidupan baru. Mati adalah kesempurnaan dan orang yang bekerja dekat-dekat kematian, memandikan mayat, menurut keyakinan yang dianut Koh Athong, adalah profesi yang dihormati Thian. Kadang Koh bertanya kepada Gusar karena penasaran, "Apakah elu tahu kapan matinya orang seperti aku yang tidak memiliki keyakinan yang sama seperti elu?" Gusar tak menjawab. Hanya mengangguk tipis dan cukup membuat Koh Athong bergemetaran seluruh sendi-sendinya.
"Woi!!!"
Suara keras seseorang mengentak kegaduhan pasar pagi itu. Ramai-ramai orang menoleh dan semua kecut, diam, tegang, saat suara Ganas menggetarkan pasar. Siapa orang yang Ganas panggil? Sial sekali orang itu. Begitu pikiran orang-orang itu. Kembali Ganas berteriak, "Woiii!!! Kau!!! Ya, kau!!! Cepat kemari!!!"
Rupanya Gusar yang Ganas panggil. Seribu mata tertuju kepada Gusar yang memanggul satu karung putih besar dan berat. Sambil tertatih Gusar mendekati Ganas.
"Aku, Bang. Ada apa?"
Gusar mencoba tenang. Tak pernah sekalipun dia bermasalah dengan Ganas. Tak pernah.
"Turunkan karung itu! Woiii, ngapain mata elu-elu pade masih di sini?!!! Mau elu semua gue pancong leher lu?!!!" Srettt-jeduk! Ganas menarik golok di pinggang dan menenggelamkan ke sarung golok yang dilapisi kulit macan. Matanya melotot. Orang-orang segera bubar dan kembali beraktivitas seperti biasa.
"Kau sudah makan?"
"Belum, Bang."
"Ayo makan dulu! Kutraktir!"
Ganas menepuk pundak Gusar dan berjalan ke arah gerobak Mi Ayam Jamur si Dul.
"Biasa, bakso jamur lu pisahin mangkok! Mi kering, ya! Banyakin kecap asin di mangkok bakso jamur. Daun bawang banjir! Ceker ayam banyakin! Pangsit basah pisahin mangkok. Pangsit kering pisahin mangkok. Eh, kau pesan kayak aku atau gimana?"
Gusar mengangguk. Memang Gusar lapar.
"Die juga sama pesanan kayak gue! Cepet, Dul, buatin!"
"Minum apa?" tanya Ganas. "Terserah." Jawab Gusar.
"Es jeruk dua, Dul!" Dul segera membuat pesanan Ganas dan cuek saja meninggalkan pesanan orang lain yang sudah lebih dulu antre. Dul nggak mau gerobaknya dibalikpukangkan oleh Ganas ketika dulu Dul masih berprinsip antrean pertama wajib didahulukan.
Setelah mereka puas menikmati semangkok besar mi ayam jamur yang lezat, Ganas menepuk pundak Gusar yang kekenyangan. Dari lilitan ikan pinggang lipan, Ganas mengeluarkan Pasopati, keris berlekuk sembilan, panjangnya tak lebih dari obeng kembang. Keris legam dan berbau minyak kemiri itu tampak berkilat-kilat dari cahaya matahari yang menembus ujung lubang atap terpal gerobak mi ayam jamur si Dul.
"Kau tahu, Pasopati ini mampu menembus baja apapun kecuali kulitku ini."
Ganas menusuk ujung Pasopati dan mencoba membenamkan ke dalam kulit tangannya. Tapi itu kulit seolah membal, menolak tembus.
"Lihat, nggak tembus, kan?"
Gusar hanya meringis dan mendesah. Keringat mengucur dari dahinya. Lima sendok cabe rawit tadi terlalu pedas. Gusar masih merasakan pedas di lidahnya. Sambil meminum es jeruk, Gusar mendengarkan Ganas bercerita.
"Aku ini terlalu banyak ilmu kanuragan. Kau tahu, kan?"
Gusar mengangguk. Ya, dia tahu Ganas memiliki banyak ilmu kanuragan. Dia mendengar hebatnya ilmu itu dari banyak keluarga mendiang yang Gusar mandikan. Ada yang menceritakan kehebatan Ganas bisa terbang dengan ilmu Sapujagat. Berjalan di atas air. Tubuh Ganas berminyak, licin seperti belut. Ganas bisa menghilang. Ganas pernah ditembak polisi tujuh kali dan peluru remuk sebelum sampai ke tubuhnya. Tapi yang paling hebat, Ilmu Kualat. Barang siapa coba-coba melawan Ganas maka tiga hari setelah itu kualat, sakit misterius dan mati. Ilmu Kualat inilah yang membuat semua orang takut kepada Ganas sehingga mereka membiarkan saja kesewenang-wenangan Ganas di desa itu daripada mereka celaka.
"Tapi semalam aku bermimpi buruk. Padahal, mimpi ketakutan mendatangi aku. Mana berani mimpi memasuki tidurku? Tak pernah! Bahkan akulah paling ditakuti mimpi. Aku yang memasuki tubuh mimpi!"
"Mimpi buruk?" tanya Gusar.
"Ya, kau. Mimpi buruk adalah kau!"
"Aku?" Gusar kernyitkan dahi. Dia tak pernah bermasalah dengan Ganas dan tak perduli tentang mimpi buruk. Mereka seumuran dan sama-sama tidak memiliki orang tua. Kalau bayi Ganas tega ditinggalkan orang tuanya di tengah lereng hutan gunung paling dingin, bayi Gusar tega ditinggalkan di depan kebun Kyai Mambo, seorang Kyai sepuh desa itu yang kulitnya sehalus bayi karena seumur hidupnya hanya memakan buah-buahan segar. Pagi itu, suara tangis bayi menggema di kebun bergabung dengan suara-suara anjing hutan yang kelaparan. Anjing-anjing hutan yang mengitari kotak kardus berisi bayi Gusar. Kalau saja Kyai Mambo tidak menengok kebun, dan pasti melewati kebun buah-buahan menuju Surau untuk mengimami salat Subuh, tentu bayi Gusar dicabik dan dimakan anjing-anjing hutan. Singkat cerita, Kyai Mambo mengambil Gusar sebagai anak.
"Kau mimpi burukku! Tapi aku tak percaya! Mana ada orang mampu melukai aku?"
"Aku tidak pernah bermasalah dengan kau. Aku hanya tukang memandikan mayat."
"Tapi aku ingin kaugoreskan Pasopati ini! Terserah di bagian mana tubuhku kau suka!"
Gusar gemetar. Dia tak mau bermasalah dengan Ganas.
"Sudahlah. Mimpi buruk tetaplah mimpi buruk. Aku tidak berhubungan dengan mimpi buruk itu. Aku pulang, ada tugas memandikan mayat sebelum Zuhur nanti. Aku harus mempersiapkan segala bekal untuk si mayat."
"Pulang? Enak sekali, kau! Sudah aku traktir mi ayam jamur dan es jeruk, kau hendak pulang? Tidak bisa! Aku ingin kaugoreskan Pasopati sekarang juga!"
Suara Ganas yang keras membuat orang-orang di pasar menoleh. Dul dan pelanggan lain ketar-ketir melihat situasi itu.
"Aku tidak mau! Aku harus pulang! Baik! Tak perlu kautraktir! Aku bayar semua!"
Gusar tak sadar emosi. Bayar pakai apa? Sedang tadi saja baru berutang di toko Koh Athong. Gusar kesal karena dibalik traktiran itu, ada satu permintaan yang aneh. Mana mau Gusar membayar dengan menggoreskan Pasopati di tubuh Ganas?
Ganas mencekik leher Gusar. Gusar gelagapan bernapas. Tangan ganas besar. Telapak tangan itu seolah mudah saja menutupi leher Gusar yang kecil. Memang tubuh Ganas lebih besar dari tubuh Gusar. Tapi tangan kecil Gusar mencengkam pergelangan tangan kanan Ganas yang sedang mencekik itu, dan Gusar menekan kuat-kuat sehingga Ganas menjerit kecil. Ganas menarik cekikannya.
"Wah! Hebat juga kau diam-diam memiliki simpanan ilmu! Ayo sini kita bermain-main sejenak!"
Ganas mulai memasang kuda-kuda dan mulai merapal aji-aji Bayu Langit. Gusar yang heran melihat gerak kaki kuda-kuda aneh itu, mengamati kitaran kaki Ganas yang silang-menyilang lalu melemparkan tenaga angin yang keluar dari dua telapak tangannya. Suara deru angin mengalir deras ke arah Gusar. Tapi dengan sedikit memiringkan tubuh ke kiri, angin deras itu melengos menghantam gerobak mi ayam jamur si Dul. Gerobak itu terbalik dan orang-orang berhamburan menghindari cipratan sedandang besar air panas mi ayam jamur. Dul menjerit melihat gerobaknya terbalik. Mangkok-mangkok mi ayam jamur berpecahan.
Sekarang Ganas memburu Gusar. Kepal tangan Ganas selegam arang. Brojomusti! Aji-aji Brojomusti yang benda apa saja bila tersentuh kepalan tangan legam itu bakal lebur menjadi abu. Tiga tinju beruntun Ganas berikan ke arah tubuh dan wajah Gusar. Cepat-cepat Gusar melepas lilitan kain sarungnya dan membalut pergelangan tangan Ganas lalu membantingnya.
Ganas berguling-guling ke samping kanan tiga meter. Orang-orang mulai membentuk lingkaran. Mereka takjub melihat Gusar memiliki ilmu silat yang mampu mengatasi kehebatan Ganas. Selama ini, yang mereka tahu, Gusar tukang memandikan mayat. Gusar yang pendiam dan tidak pernah membuat sulit orang-orang desa. Tentu saja mereka pro kepada Gusar dan sekarang, mereka mulai berteriak-teriak mendukung Gusar.
Ganas bangkit. Tubuhnya penuh debu. Baru kali ini ada orang yang mampu membuatnya berguling-guling. Semua ilmu Mbah seperti tak ada gunanya di depan Gusar. Tapi Ganas tertawa. Dia memiliki Ilmu Kualat! Ilmu yang paling ditakuti lawan-lawannya bila pun Ganas kalah bertarung.
"Jadi si Tukang memandikan mayat ini bernyali juga, ya! Puih! Baik. Terima ini!!!"
Sebelum Ganas merapal aji-aji Blotot Kentot, suatu aji-aji lawas dan langka yang mampu membetot semua tulang-tulang tubuh manusia berlepasan, Gusar berteriak: "Hentikan! Baik! Aku goreskan Pasopati sesuai keinginan kau! Tapi jangan salahkan aku jika Pasopati nanti bakal membuat kau cilaka!"
Yah. Kalau Ganas tadi meminta untuk menggoreskan Pasopati di kulit tubuhnya itu, apa salahnya, kan? Toh semua orang tahu kulit tubuh Ganas seatos karang. Daripada kapiran seperti ini, merusuhi pasar dan membuat pekerjaan Gusar terhambat, memandikan mayat sebelum Zuhur nanti, lebih baik Gusar menerima tantangan Ganas.
Ganas menarik rapalan aji-aji Blotot Kentot. Akhirnya Gusar menyerah juga batin Ganas.
"Untung Blotot Kentot tidak jadi keluar! Kalau tidak, kau bakal menjadi...."
Huuu... huuu..... huuu. Orang-orang bergemuruh kecewa. Tentu saja mereka ingin menyaksikan secara live aji-aji Blotot Kentot yang langka itu. Bahkan semua sudah mempersiapkan kamera hape untuk merekam. Tentu saja konten langka seperti ini bakal viral. Belum pernah ada konten aji-aji langka ini dipertontonkan. Belum pernah.
Ganas maju dan memberikan Pasopati kepada Gusar.
"Silakan pilih mana saja kulit di tubuhku ini untuk kaugoreskan Pasopati!"
"Mana saja?"
"Mana saja kau suka! Silakan!"
"Baik. Tak ada dendam?"
"Tak ada dendam! Silakan!"
Gusar menancapkan Pasopati ke tanah pasar.
"Wahai Pasopati, dari tanah kembali ke asal jadi tanah!"
Tujuh kali Gusar menancapkan Pasopati ke tanah dan sekarang dia mendekati Ganas. Wajah mereka sehadapan.
"Silakan gores, jangan sungkan! Mana saja kau suka!"
Perlahan ujung Pasopati menyentuh kulit di bawah kelopak mata Ganas, dan pelan-pelan ujung Pasopati mengukir berlekuk-lekuk garis memanjang melewati tulang hidung sampai ke samping bibir tebal kering dan pecah-pecah. Ganas menjerit kesakitan. Luar biasa perih dan panas ukiran yang dibuat Gusar!
Ganas berteriak ampun, ampun, lintang-pukang meninggalkan satu tas gantung hitam rimbun uang pajak pasar.
Gusar bangkit dan mendekati kaca nako kamarnya. Dia tatap mata Ganas yang masih lekat kapas.
"Aku berterima-kasih. Kau telah mandikan aku dengan baik dan sempurna. Kau kafani aku dengan sempurna. Kaubersihkan seluruh retak di kepala aku dengan sempurna. Ceceran otakku, kau kembalikan ke asalnya. Serpihan sisa kulitku, kau kembalikan pada tempat asalnya. Aku akui, kau adalah tukang memandikan mayat terbaik. Seluruh aturan memandikan mayat tak ada yang salah. Sempurna. Bahkan Malaikat yang mendatangi aku, kagum dengan kebagusan kafan yang kaubalutkan pada tubuhku ini, sehingga, sungkan Malaikat menyeramkan itu menghajar aku! Gusar, hanya sekali ini aku diizinkan datang menemui kau. Terima kasih."
Tak lama mayat Ganas meloncat-loncat dan hilang di semak kebun buah-buahan Kyai Mambo. Mata Gusar berlinang-linang air mata. Ucapan terima kasih seperti ini sering dia dapatkan dari ribuan mayat yang telah dia bersihkan, mandikan dan kafani. Rasa terima kasih para mayat itulah yang membuat hati Gusar tidak silau dengan harta. Tidak iri dengan kekayaan orang lain. Rasa terima kasih para mayat itulah bagian paling indah di kehidupan dunia ini. Yang mati mendekati yang hidup, dan Gusar tahu pasti bahwa kematian itu tidak mudah dihadapi. Kebanyakan orang takut akan kematian sebab kematian mencerabut keinginan dan kesenangan manusia atas dunia ini yang belum dirasai, belum tercapai cita-cita itu, dan bila kesenangan itu sudah didapatkan, sesungguhnya dibalik kesenangan itu berlipat-lipat kesenangan lain yang disulap oleh para setan agar manusia takut dengan kematian.
Mengenai Ilmu Kualat Ganas, tidak berlaku untuk Gusar. Dendam kesumat Ganas akibat Pasopati mengukir cacat di wajahnya itu, tak pernah kesampaian. Ilmu Kualat milik Ganas malah berbalik memakan tuannya sendiri. Sewaktu Ganas lintang-pukang setelah wajahnya terukir Pasopati itu, di jalan lintas antar provinsi, dia mati dihantam truk molen. Otak Ganas berceceran. Kulit kebal Ganas tersayat-sayat oleh aspal. Ilmu kebal Ganas tak berarti di hadapan Gusar. Ilmu Kualat Ganas luntur di hadapan Gusar, dan on time Gusar memandikan, mengafani, mayat Ganas sebelum Zuhur.
Tamat
©brobin