Masukan nama pengguna
KUCING-KUCING WANGSA PRIBUMI berdebar-debar menunggu hasil rapat hidup-matinya seekor kucing jantan yang dihadiri Warga Komplek dan Warga Apartemen di Balai RW-09 sesudah Magrib di Malam Minggu.
Vean tuannya adalah montir tersibuk di komplek aku. Tuan Vean namanya. Bendahara RW-09. Vean kucing betina. Dia bergelung manja di pangkuan Tuan Vean yang serius mendengarkan Pak RW bercerita tentang keburukan Bum. Vean suka Bum tapi Bum pantang membuntingi kucing-kucing bertuan. Bum satu-satunya kucing wangsa pribumi yang tersisa, yang kagum keberanian dan kegigihan Datuk, dan berniat meluruskan kemanjaan kucing wangsa pribumi kembali menjadi liar semestinya. Bum tidak bertuan dan satu-satunya wangsa kucing pribumi yang merdeka seutuhnya merdeka.
Warga komplek dan warga apartemen tidak suka kucing kotor dan bau. Apalagi suka mengganggu kucing-kucing piaraan kesayangan mereka. Bum dianggap kucing liar, parasit komplek-apartemen yang menjengkelkan karena suka meninggalkan sisa bangkai tikus got di teras-teras rumah kedua warga. Sisa setengah kepala tikus got, jeroan tikus got bahkan kadang sisa setengah kepala ular kobra digeletakkan begitu saja di teras warga komplek-apartemen sehingga menyisakan bau bangkai kengerian yang menjijikkan. Bukan sisa satu kepala tikus atau ular saja yang tidak dimakan Bum. Kadang, saat puncak libido seks sedang tinggi-tingginya, semalaman Bum sanggup membunuh sepuluh ekor tikus got besar dan tiga ekor ular kadut, dan sisa setengah kepala buruan dibiarkan begitu saja di teras warga komplek-apartemen, seolah memberi kabar bahwa banyak tikus got bersarang di gorong-gorong yang penuh timbunan tanah, dan otomatis menyumbat jalannya air got saat musim penghujan tiba.
Bum doyan mengobrak-abrik tempat sampah warga komplek-apartemen yang kelupaan mengikat kantong kresek hitam untuk mencari sisa-sisa balung ayam atau serpihan balung kepala gulai kakap kuning yang suka dikunyah warga komplek karena gurih. Tapi Bum paling suka mengobrak-abrik tempat sampah Pak RW karena sering mendapatkan serpihan daging-daging sapi dan tulang-tulang muda sapi yang lembut. Pak RW pedagang bakso sapi yang terkenal paling enak di komplek-apartemen.
Terakhir, Bum dicap kucing liar paling berisik. Suara Bum memang lain. Melengking senyaring macan kumbang marah ketika purnama tiba, sehabis menghabisi beberapa ekor tikus got dan ular kadut, Bum menyenandungkan lagu kesedihan kucing wangsa pribumi sambil mengintip purnama dari dahan cemara rimbun yang satu-satunya ada di komplek-apartemen.
Senandung kesedihan menyengat telinga kucing wangsa pribumi dan menggema di seantero komplek-apartemen sampai puncak-puncak blok apartemen yang mengelilingi komplek. Senandung Bum membuat gendang telinga warga komplek-apartemen mencelat, sulit tidur.
Kucing wangsa pribumi menitikkan air mata saat Bum bersenandung tapi warga komplek-apartemen yang kejatahan ronda, susah payah mengusir Bum yang asyik bersenandung di dahan paling tinggi sambil menari-narikan ekor hitam panjangnya yang serupa cambuk dan tak peduli para peronda melempari batu bahkan menembak Bum dengan senapan angin Benjamin. Bum tidak bakal bergeser seinci pun dari dahan tinggi bahkan para peronda malah gelisah dan lintang pukang kala melihat satu wujud legam berkilat lain yang panjang dan besar, kesasar, dan cemara besar digempakan sesuatu auman kemarahan sehingga tubuh cemara besar seperti berputar-putar menggugurkan banyak daun dan ranting-ranting kering.
Begitulah. Namaku Ruhe. Tuan Ruhe majikan aku yang baik hati. Aku kucing wangsa pribumi seperti kawan-kawan kucing yang lain. Di komplek tidak ada kucing wangsa pendatang. Tidak ada orang-orang memelihara kucing wangsa pendatang yang harganya jutaan itu. Kami semua kucing wangsa pribumi liar yang menetap dan beranak-pinak di komplek ini sejak komplek ini belum bernama. Dulu komplek ini rawa belukar dan Datuk kami hidup liar di rawa belukar ini semasa Tuan-Tuan tanah Belanda, para Meneer berkantong tebal, dan mereka semua memiliki sertifikat tanah komplek luas ini. Tapi sejak negeri ini merdeka, mereka dicabut hak memiliki atas tanah komplek kami. Komplek kami dimiliki oleh negara, dan sekarang, dari rawa belukar disulap bergedung-gedung tinggi dan komplek kami dilingkari 17 blok apartemen melingkar.
Demikianlah Datuk kami bertutur sejarah dari bapaknya Datuk kepada anaknya Datuk, anaknya Datuk bertutur sejarah kepada cucunya Datuk, cucunya Datuk bertutur sejarah kepada cicitnya Datuk, dan cicitnya Datuk bertutur sejarah kepada cucutnya Datuk dan cucutnya Datuk bertutur sejarah kepada cucungnya Datuk maka sampailah tuturan sejarah kepada aku dan semua kucing yang tersisa hari ini, di sini, sebagai para cucungnya Datuk. Jadi, seluruh kucing-kucing di komplek ini adalah cucungnya dari Datuk, dan bila aku memiliki anak maka aku pun bertutur sejarah kepada anakku yang nanti disebut cocongnya Datuk.
Masih kuat dan teguh kuingat amanat pusaka dari cucungnya Datuk pada ibuku dan semua ibu cucungnya Datuk saat aku masih perawan:
"Tetaplah tenang sebagai kucing wangsa pribumi. Jangan sekali-kali bergaul, mau digauli dan mau menggauli kucing-kucing bermata biru gelap. Kucing-kucing rumahan, kucing-kucing rebahan. Kucing-kucing manja dan bakal mati ketika tuan-tuan mereka lupa memberi makan. Kucing-kucing yang sudah bermetamorfosis cakar mereka menjadi cakar pesolek. Cakar kucing semestinya merobek-robek jantung buruan, tikus, ular, anjing, sekarang cakar itu bergelung di dalam kulit seolah mereka lupakan apa fungsi utama cakar kucing bahkan berak pun diatur-atur oleh para Tuan. Pasir dan tanahlah tempat berak kita bukan kloset jongkok atau kloset duduk yang menyusahkan kita saja. Keluarkan cakar kalian, jangan ragu dan malu, inferior di depan kemajuan masa depan; gali pasir dan tanah sedalam mungkin lalu tutup rapat-rapat tahi kita cepat-cepat agar para anjing dan musang, juga ular berbisa, tidak bisa membaui tahi kita. Tajamkan hidung kalian kuat-kuat pada ujung tahi kalian yang masih basah. Dengus dan kenali bau tahi wangsa pribumi agar kalian bercucung-anak tidak saling mencakar sesama keturunan. Aku harap kalian jangan jauh-jauh pergi dari perimeter kampung ini. Ingat! Kalian wajib bertahan di sini dan jangan terlena kucing-kucing pesolek yang datang. Mereka kucing pendatang, wangsa pendatang yang rendah-murah mutu cakarnya dan kalian adalah kucing-kucing wangsa pribumi yang gagah pemberani sejak zaman perang!"
Bagaimanapun kuat dan hebat amanat pusaka Datuk sekarang malah pudar cakar kebanggaan Datuk. Satu demi satu kami sukarela mensukakan diri kepada Tuan-Tuan yang suka. Bahkan mamaku berpendapat bahwa kucing wangsa pribumi seharusnya dimiliki sejak lama oleh para Tuan agar hidup menjadi bermakna dan terukur. Mama beralasan bahwa zaman semakin maju dan pasir juga tanah berganti aspal dan beton yang tak mungkin dikoyak-koyak cakar kucing. Mama ingin jiwa keliaran kucing wangsa pribumi mohon sudi dijinakkan saja. Jiwa keliaran boleh ada waktu itu sebab Datuk hidup di masa penjajahan. Ketika jiwa keliaran sudah dimerdekakan bangsa maka kucing wangsa pribumi harus terikut merdeka:
"Jiwa liar kucing wangsa pribumi harus mengikuti zaman. Keliaran kita yang dulu terkesan arogan dan tidak berbudaya itu tidak bisa lagi dipertahankan. Kalau dulu bulu-bulu kita disentuh manusia maka kita marah karena bau tangan manusia yang sering menyentuh bulu-bulu kita bakal menghilangkan bau asal kita dan tanpa ragu kita cakar mereka sekuatnya. Sekarang jangan. Jiwa liar kucing wangsa pribumi dibuang jauh-jauh! Ganti jiwa liar kita dengan senyum dan ngeongan indah superior. Ganti jiwa liar kita dengan jiwa pesolek yang dimandikan sabun melati para Tuan. Cobalah rapikan dan patutkan wajah kita di cermin air sungai, amati kumis dan taring kita, amati kedalaman bola mata biru terang dan hidung bangir kita, amati cakar kebanggaan Datuk, kekasaran lidah kita, dan tanyakan di cermin air sungai, apakah cakar kebanggaan Datuk masih pantas atau tidak menggali pasir dan tanah untuk tahi kita yang baunya dibenci para Tuan? Apakah cakar kebanggaan masih pantas merobek-robek jantung buruan kita setelah para Tuan memberikan kita makanan kaleng, susu segar, vitamin, cek-up ke dokter hewan, dan susuran keping cokelat berbau daging segar darah, dan kesemua kemewahan itu diberikan gratis tanpa lagi kita capek-capek mencakar dan berburu tikus got dan ular kadut di gorong-gorong berlumpur dan berbau tengik? Apakah kalian masih sudi mencium bau tahi kita yang kini kusadari baunya busuk tajam melebihi bau busuk tahi para Tuan?"
Aku protes Mama dan kukatakan:
"Datuk saat ini kepanasan di alam kubur bila mendengar Mama ingkar! Tidak! Kita adalah darah Datuk dan darah Datuk tetap harus liar!"
Mama gelisah. Dia jilat tengah dahi dan tengkukku sambil berbisik bergetar,
"Kau persis Papa dan Abang. Keras seperti Datuk dan berjiwa liar. Tapi lihat mereka, semua mati sia-sia. Mama sayang kau. Sudah pantas nanti kau dibuntingi kucing jantan pendatang dan jangan lagi melawan zaman."
Mata Mama membasah dan aku tak kuat melihat mata biru terang Mama membasah. Mata biru terang kucing wangsa pribumi bila membasah maka kesuraman kelabu bermunculan di seluruh rongga mata kami. Biru terang menjadi kelabu dan sungguh aku benci melihat kelabu. Kelabu bagi kucing wangsa pribumi suatu tanda keseraman yang sempit disadari. Kelabu serupa angka 13 yang laten keseramannya, jarang ada angka 13 di lift-lift hotel manusia. Aku tak suka melihat mata Mama kelabu. Oke, Papa dan Bang Doreng mati karena ditembak oleh seorang penghuni apartemen yang marah saat Papa melukai leher Nengra, satu kucing jantan pendatang berbadan bulldog. Bulunya lebat dan tebal serupa ambal Persia dan memang dia kucing keturunan Persia dari Kucing Wangsa Klorong. Suatu wangsa kucing perang atau Klorong dan ucapan bahasa mereka tak sama dengan ucapan bahasa Kucing Wangsa Pribumi walaupun sama artinya. Kalau kucing wangsa pribumi mengeong dan mereka mengiau, kiau. Kucing wangsa klorong susah menyetel lidah mereka untuk bab dengung: eng, ng; dan mereka tak bakal paham mana yang e-pepet dan bukan e-pepet karena taring mereka lebih pendek dari taring kami dan pita suara mereka lebih halus dari pita suara kami yang rada serak. Pita suara kami lebih tebal uratnya.
Papa yang emosian makin emosi saat Nengra baru tiba di apartemen yang baru sebulan diresmikan negara dan apartemen itu melingkari komplek kami. Komplek kami menolak digusur oleh pemilik apartemen dengan argumen bahwa warga komplek adalah pribumi asli dan lebih dulu ada dari berdirinya negara ini, dan negara enggan membantah argumen kami dan negara membiarkan komplek kami tetap ada walaupun dilingkari oleh apartemen-apartemen yang besar dan tinggi itu.
Nengra tinggal di lantai tujuh blok B-1. Dia mengintip dari pintu apartemen yang sedikit terbuka sewaktu Tuan Nengra sibuk menaikkan barang-barang pindahan. Papa saat itu Ketua Kucing Wangsa Pribumi di komplek. Tugas utama Papa mendata kucing wangsa pendatang yang masuk wilayah hukum komplek kami ditambah radius 20 mil dari perimeter komplek-apartemen yang dibatasi oleh dinding batako melingkar. Seluas itu kekuasaan Papa dan seluas itu pula tanggung-jawab Papa mengamankan kucing wangsa pribumi.
Papa memanggil Nengra tapi dia menolak. Bahkan Nengra menyerang Papa sambil membanggakan kucing wangsa klorong yang doyan perang.
Walaupun tubuh Nengra sebesar bulldog tapi Papa bukan lawan Nengra. Saat Papa hendak menghabisi Nengra dan sudah menggigit jalur napas di lehernya dan siap menekan putus, dua letusan Benjamin mengenai pipi kiri Papa dan satu letusan tepat di dahi Papa. Papa tersungkur dan mati seketika. Papa mati dengan mata terbuka menatap tajam Tuan Nengra. Bang Doreng kaget mendengar letusan dan buru-buru ke arah letusan. Bang Doreng saat itu ikut membantu Papa untuk membantu mendata kucing-kucing pendatang. Dia tak jauh dari Papa dan dia sedang menggoda seekor kucing betina wangsa pantheyon dari Yunani. Wangsa Pantheyon ini adalah kucing ahli filsafat di zaman Aristoteles. Tapi Bang Doreng Yang belum tahu kejadian apa langsung saja ditembak dan ikut menyusul Papa ke lain alam.
Yah, mau apalagi? Keliaran aku mulai luntur setelah aku melawan argumen Mama dan setelah kejadian mengerikan itu, semua kucing wangsa pribumi mengadakan rapat mendadak dan berakhir pada satu kesimpulan bahwa amanat pusaka Datuk sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kucing Wangsa Pribumi pelan-pelan kehilangan kendali keliaran dan mulai bersuka-suka dengan warga komplek.
Anehnya, aku merasa merdeka melihat kebebasan bersuka-suka itu. Aku merasakan efek kasih sayang dari para warga komplek yang satu demi satu mengambil kami sebagai piaraan yang berharga murah. Kami senang mendapatkan keadaan psikologi baru seperti itu. Kami merasa mewah dan dibutuhkan oleh para warga komplek. Kami mulai dimandikan. Diberikan rumah-rumahan. Diberikan kerincingan bertanda nama kami di leher. Kami suka bunyi kerincing yang berbeda itu dan kami tahu siapa yang sedang mendatangi kami bila mendengar bunyi kerincing. Kami merasa inilah kemajuan zaman. Keliaran kami dijinakkan atau tepatnya kami menjinakkan diri kami sendiri di hadapan manusia. Kami suka melihat hal baru ini dan mulai melupakan asal-usul kami, melupakan amanat pusaka Datuk, dan melupakan semua keliaran kami pelan-pelan. Kami menikmati semua kasih sayang manusia kepada kami, makanan enak tanpa susah payah lagi kami berburu. Kami menerima kloset duduk dan kloset jongkok sebagai ganti tanah dan pasir untuk membuang tahi-tahi kami. Kami mulai diajarkan oleh manusia tatacara hidup teratur dan bersih. Memotong setiap sekian inci cakar kami memanjang, disuntik serum anti rabies, melihat cara hidup manusia bersosialisasi, tuan-tuan kami itu, bergaul dengan anak-anak mereka dan kami menjadi senang bergaul bahkan kami tergila-gila tidur di ranjang-ranjang empuk mereka. Kami diajak menonton televisi bersama dan sungguh aku tergila-gila serial si Unyil. Kami diajak jalan-jalan ke pantai dan gunung-gunung, dan baru kami sadari, betapa luas kekuasaan manusia itu. Sungguh bau air laut dan sejuknya udara gunung membuat kami rindu. Itu adalah bau asli dan sejuknya keliaran alam ini. Tapi semua hal-hal baru itu tidak berlaku bagi BUM! Dia mengamuk dan mencemooh kelakuan kami dengan seburuk-buruknya perlawanan!
"Apakah kalian semua senang hidup menjadi budak? Hidup di bawah ketiak manusia yang arogan itu? Apakah kalian rela melepaskan keliaran kalian demi makanan gratis itu? Bau tubuh wangi karena kalian setiap hari dimandikan sabun melati dan bukan mandi bersama debu tanah yang wangi alam asli? Apakah kalian malu melepaskan tahi kalian di pasir dan tanah sejumput yang manusia sisakan untuk keliaran yang tersisa? Manusia itu rakus dan kejam bila kalian mengerti!"
Bum solo karir membuat kerusakan di komplek-apartemen. Bum sendirian mengacau dan siapa mampu melawan Bum? Kami lupa cara mencakar dan menggigit leher buruan kami. Kami lupakan keliaran kami. Bahkan kami lupa bahwa ekor panjang kami diciptakan sebagai penyeimbang tubuh kami ketika kami meloncat dan menerkam dari ketinggian.
Aku gelisah saat para warga komplek-apartemen sedang menumpahkan kegeraman mereka pada Bum.
"Padahal kantong kresek hitam sudah aku ikat kencang. Simpul mati. Eh, itu kucing kampung cakarnya terbuat dari baja agaknya. Banyak warga kita protes atas kelakuan kucing jorok itu!"
"Dibuang saja, Pak RW. Bahkan kucing buduk itu suka mengganggu kucing saya. Enak saja mau kawini kucing saya! Wong saya malah menjodohkan kucing saya dengan kucing anggora di blok-7 apartemen, eh, kucing buduk sialan itu malah menghajar kucing jantan anggora itu sampai mati. Banyak pemilik kucing mahal di apartemen yang ingin sekali meracuni kucing buduk itu dan saya setuju!"
"Ya! Dia kan suka daging bakso Pak RW, tuh! Campurin aja daging sama portas biar modar!"
"Atau gini, jarum jahit patahin kecil-kecil dan benamkan dalam daging sapi Pak RW. Kan itu kucing rakus pasti ususnya hancur kalau ngabisin itu daging!"
Susah payah aku berdiri dan menjilat-jilat dagu Pak Ruhe. Aku mencoba menggeram agar Pak Ruhe melakukan pembelaan kepada Bum seperti tiga bulan lalu. Pak Ruhe pedagang motor bekas. Dulu dia tinggal di komplek ini dan rumahnya dijual kepada Pak RW. Tuanku itu Sekretaris RW-09 yang abadi. Tak ada yang berani mengganti Sekretaris RW-09 karena Engkong dari Engkong Pak Ruhe, Babe Nyali, adalah Jawara paling disegani Belanda dan Datuk kami bernama Datuk Nyali! Benar, Babe Nyali memelihara Datuk kami yang sebesar macan kumbang, bermata biru terang, dan di belakang telinga Datuk ada bulatan putih hitam seperti mata seekor macan. Bulu Datuk kami hitam legam berkilat berminyak dan sewangi bunga cempaka mekar yang sedang kencing. Cakar Datuk kami benar-benar setajam dan sedalam cakar macan kumbang.
"Saya tidak tega membuang Bum! Walaupun tubuh Bum bau tikus got, dialah satu-satunya kucing kampung yang berani mengusir tikus-tikus got yang segede kucing dan ular-ular berbisa. Jadi, Pak RW, jangan lagi memiliki niat membuang Bum. Saya bertanggung jawab atas kebersihan RW kita ini dari sisa bangkai tikus got yang dibawa Bum. Saya bertanggung-jawab. Saya siap bersihkan bangkai-bangkai itu dan telepon saya jika ada warga yang kedapatan bangkai-bangkai itu."
Tapi semua pembelaaan itu sia-sia. Pak RW kali ini berani melawan pembelaan Pak Ruhe. Malam Minggu kelabu sudah diputuskan bahwa Bum harus dimatikan dengan apapun cara. Warga komplek-apartemen menandatangani keputusan bersama dan aku mencakar wajah Pak Ruhe. Dia tidak marah. Dia membiarkan aku turun dari pangkuannya dan sebelum aku pergi, dia tersenyum melihat perut aku yang membuncit dan berat.
Aku harus pergi. Aku berjanji pada Bum untuk menjaga keliaran anak-anak Bum yang sebentar lagi keluar dari perutku. Vean pun demikian. Vean tersadar arti keliaran. Kami berdua sadar dan pergi meninggalkan tuan-tuan kami yang baik hati itu sambil menahan beban berat di perut kami. Kami berdua mencoba melawan jatuhnya air mata yang paling kami benci. Kelabu. Kelabu seram. Mata biru terang kami, mata biru terang milik Datuk kami, mata biru terang Mama dan Papa aku, mata biru terang Vean, dan kami harus liar walaupun seribu tatapan kucing wangsa pribumi lain mengiringi gerak kepergian kami dengan air mata. Tapi itu bukan air mata kelabu! Itu air mata kebahagiaan melihat kami pergi. Mereka bukan keturunan kami lagi dan kami aanggap mereka kucing-kucing pendatang! Kucing-kucing rumahan yang tak tahu cara mencakar, menangis, menggali tanah dan pasir! Mereka semua sudah melupakan kematian alami kucing. Sesungguhnya, para manusia tidak pernah tahu di mana kami akan mati alami dan menjadi bangkai! Tidak pernah tahu. Kami abadi.
Tamat
®brobin, 100923