Masukan nama pengguna
Ratu Di Tengah Kota
Jalanan menuju Senggiling itu, sepi. Apalagi, menjelang maghrib. Nyaris tak ada warga yang lalu lalang di sana.
Saat mentari kembali ke peraduannya, lampu jalanan di sana mulai menyala. Itu pun, tak terlalu terang. Nyaris seperti cahaya remang-remang kalau dilihat dari kejauhan.
Pemukiman penduduk di sana juga bisa dihitung dengan jari. Tapi, rumah mereka sudah bisa dibilang modern. Karena, ada penerangan lampu listriknya, kalau malam hari.
Satu rumah mentereng, dan megah. Berdiri di sana. Rumah siapa lagi, kalau bukan rumah Nyai Suri. Mantan seorang walikota perempuan.
Lampu jalanan, menuju rumah Nyai Suri, juga sama redupnya dengan lampu jalanan yang dipasang di sejumlah titik jalanan Senggiling.
Dua satpam yang biasa berjaga-jaga di pos pintu masuk gerbang rumah Nyai Suri juga sudah tidak lagi kelihatan batang hidungnya. Kini, pos penjagaan
itu, sepi, sunyi.
Biasa, di pos penjagaan itu, kalau malam, terdengar suara nyanyian lagu Melayu yang berasal dari suara radio.
Sehari setelah agenda pelantikan wako yang baru, Nyai Suri sedih. Dua satpol yang sudah bertugas selama belasan tahun di kediamannya, ditarik.
"Maaf Bu, kami undur diri ya. Pimpinan baru, meminta kami, supaya hari ini kembali ke markas." kata Dipo, Satpol PP yang paling lama bertugas di kediaman Nyai Suri.
"Hmmm," kata Nyai Suri tanpa ada komentar lain.
"Sebenarnya kami ingin selamanya bertugas menjaga rumah ibu. Tetapi, apa daya, Pak Kasatpol meminta kami harus balik ke markas." terang Dipo mengulanginya.
Dipo merasa tak enak hati saat ingin berpamitan. "Terimakasih atas semua kebaikan ibu. Mohon dimaaf jika ada salah kata atau sikap kami yang tak berkenan di hati ibu selama ini." kata Dipo lagi. Tiga orang satpol PP lainnya, Sino, Ragil, dan Sofyan, tampak tertunduk di hadapan Nyai Suri.
Nyai Suri berusaha tersenyum. Namun, hatinya ciut dan sedih. Dia sadar. Sekarang, dia bukan siapa-siapa lagi. Meskipun dia menyandang status sebagai mantan walikota, memakai fasilitas negara, tidak diperkenankan lagi. Satpol PP pun ditarik dari rumahnya. Semua demi perintah atasan yang baru.(***)
Cucu oh Cucu
Pulang dari pasar, Nyai Suri dibuat emosi. Andika, cucunya yang baru masuk SD kelas 1, minta diantar ke sekolah. Katanya, kalau tidak diantar Nyai Suri, dia tidak mau berangkat ke sekolah.
"Ya ampun, Andika. Nyai mau masak. Ini sudah terlanjur beli ikan. Nanti Andika pulang sekolah, makan apa dong, kalau Nyai tak masak. Sekolahnya sama Amang Budi saja ya, nak!" bujuk Nyai Suri pada Andika.
"Nggak mau sekolah kalau begitu." kata Andika dengan wajah bersungut-sungut.
"Nanti pulang sekolah, Nyai ajak berenang ke pantai. Sekarang, Andika sekolah dulu ya. Bu guru Andika pasti marah, kalau Andika suka bolos sekolah.'' kata Nyai Suri sekali lagi membujuk cucu lelakinya itu.
Sambil terus pasang wajah cemberut, akhirnya Andika masuk mobil dan Amang Budi pun mengantarkannya ke sekolah.
Sinta, cucunya yang perempuan yang masih sekolah PAUD, juga terlihat ingin bermanja-manja sama Nyai Suri. Dia tak mau kalah dengan Andika.
Sinta merengek minta diantar ke sekolah, sama Nyai Suri. "Duh, macem mana ini. Andika sama Sinta, tumben manja hari ini. Ada apa ya," celetuk Nyai Suri, pada putri pertamanya, Luna.
"Nggak usah dilayan, Ma. Biarkan saja mereka pergi sama Amang Budi. Bukankah sekolah Andika dan Sinta, searah," kata Luna.
"Kemarin, mama sengaja antar mereka, Ke sekolah. Itu pun, lantaran waktu mama nggak sibuk. Hari ini, mama terlanjur belanja ikan di pasar. Nanti kalau tidak cepat diolah. Bisa busuk." jelas Nyai Suri panjang lebar.
Tiba-tiba, datang Raka. Bocah lelaki 4 tahunan, anak Luna yang ketiga. Dia mengambil ikan Nyai Suri terus dimasukkan ke wastafel.
"Nyai, ikannya mau berenang di wastafel, boleh?" kata Raka yang sudah berdiri di wasrafel. Air kran wastafel itu mengalir. Di bawahnya ada panci yang sengaja diisi air.
"Aduh sayangggggg. Ikan Nyai jangan dimainkan dong." kata Nyai Suri dan segera mengambil ikan dalam panci yang tadi dimasukkan Raka.
Raka berlari dan datang-datang membawa sapu. "Nyai. Nanti kalau Raka sudah besar, Raka ingin jadi kepala kebersihan." kata bocah cilik itu sambil menyapu lantai dapur.
"Apa. Kepala Kebersihan?" celetuk Nyai Suri sambil tertawa lepas.
"Hmmmm. Anak Luna ini, siapa lah yang mengajari macam begitu. Mau jadi kepala kebersihan." kata Nyai Suri lagi.
Sambil terus menyiapkan bumbu-bumbu ikan, Nyai Suri terus berceloteh dengan cucu kesayangannya itu.
Dalam hati, Nyai Suri, selalu mengaitkan dengan masa kecil Luna yang suka aneh-aneh.
Dulu, waktu masih kecil, Luna bercita-cita jadi orang yang bisa megal-megol di panggung. Nyai Suri pun tak habis pikir. Dapat kosakata dari mana, megal megol. Mungkin, maksudnya jadi foto model.
Luna, orangnya fotogenik kalau di depan kamera. Suka berlenggak-lenggok di depan kaca, kalau mau berangkat sekolah.
Lucu, kalau ingat masa kecil Luna. Mau mandi pun dia megal-megol, dulu. Nyai Suri diminta melihat aksinya.
"Ma. Bagus kan, gaya Luna."
Nyai Suri suka dibuat emosi. Mau mandi megal-megol. Setelah pakai seragam. Megal-megol.
Lulus CPNS
Cieeee. Ada yang lulus tes CPNS. Kapan makan-makan nih," celetuk Angga menggoda kakak perempuannya.
"Apaan sih. Ini kan makan-makan. Mau makan apa lagi!?" katanya dengan wajah bersungut-sungut. Melihat respon negatif dari kakaknya itu, Angga langsung diam.
"Nyai. Kenapa dengan kak Luna?" tanya Angga pada mamanya, Nyai Suri, dengan berbisik.
"Stttt! Lima menit lagi. Kita berbuka. Konsen makan saja, dulu. Ceritanya nanti saja ya." kata Nyai Suri.
Angga pun terpaksa lebih memilih diam, setelah Nyai Suri memintanya lebih fokus menunggu jam berbuka puasa. Angga semakin penasaran dengan sikap kakaknya itu. Seharusnya, orang yang lulus tes CPNS itu, bersuka ria. Wajahnya sumringah. Terus, bikin acara makan-makan sama teman atau keluarga.
Iseng-iseng dia buka status di profil watshapp kakak perempuannya. "Daripada jadi fitnah. Mending gue mundur." Rasa penasaran Angga semakin memuncak setelah membaca status itu. Apa maksud status kakaknya, Angga tambah penasaran. Ingin bertanya ke mamanya, tapi dia berpikir seribu kali, dan berusaha menahan diri. Pikir dia, menunggu waktu yang tepat.
Bedug adzan maghrib telah ditabuh. Waktu berbuka pun tiba. Mereka, Nyai Suri, Luna, dan Angga fokus menyendok makanan masing-masing.
"Papa, kemana ma. Kok nggak buka sama kita, hari ini?" tanya Angga yang berusaha memecah konsentrasi buka bersama di ruang makan itu.
"Katanya ada bukber dengan teman-temannya." kata Nyai Suri menjawab pertanyaan Angga.
"Oooooooo." jawab Angga sambil mengunyah makanan.
"Ma. Besok Angga traktir, ya. Bulan ini, penjualan mobil di showroom aku, melebihi target." kata Angga dengan bangganya.
"Wah. Keren. Jadi bukber di mana besok?" tanya Nyai Suri yang terlihat senang dengan kabar gembira yang disampaikan Angga, anak lelakinya yang nomor 2 itu.
"Sekalian sama Kak Luna, ya Ma. Kita rayain. Kak Luna lulus tes CPNS. Terus, penjualan mobil di showroomku, melebihi target." kata Angga sembari melirik ke arah Luna yang masih pasang wajah cemberut.
"Apaan sih. Pamer-pamer kayak gitu. Kalau mau dirayain. Rayain saja sendiri sana. Nggak usah ajak-ajak orang. Lagi bokek. Aku lagi nggak punya duit." celetuk Luna dengan nada ketus.
Dia pun tak lama meninggalkan meja makan. Pergi ngeloyor masuk ke kamarnya.
"Ma. Kak Luna kenapa kayak gitu sih. Aneh deh. Angga takut, ngeliatnya. Kayak macan mau menerkam mangsanya. Hiiiii ngeri….." kata Angga.
"Sudah. Biarkan saja. Mungkin kakakmu itu lagi capek. Besok kabari mama ya. Kalau jadi buka bareng. Insya Allah mama nggak ada agenda, besok Sabtu. Time untuk keluarga." ujar Nyai Suri.
"Oke ma." kata Angga. Tak lama mereka bubar. Nyai Suri juga masuk ke kamarnya.
Sudah tiga hari, sejak pengumuman kelulusan tes CPNS itu, Nyai Suri belum ngobrol dengan putrinya itu. Sejauh ini, rasa penasaran terus membelenggu. Ingin rasanya bertanya pada Luna, apa gerangan yang membuat putrinya terlihat ketus, ketika ada yang bertanya soal kelulusannya.
Ucapan selamat yang pernah dia sampaikan lewat ponsel, ketika tahu nama Luna masuk dalam daftar peserta tes CPNS yang lolos, juga tak mendapat respon yang sebagaimana mestinya.
"Tks ma." jawab Luna singkat. Balasan chat lima huruf itu, mengundang seribu tanya, di benak Nyai Suri.
"Luna, nanti mama tunggu di kamar ya. Pijitin mama sebentar. Tadi badan mama pegel-pegel." Nyai Suri iseng mengirim pesan singkat itu ke putrinya.
Pesan singkat lewat chat whatsappnya hanya dibaca. Tanpa ada balasan. Akhirnya, Nyai Suri mengetuk pintu kamar Luna. Tak ada sahutan. Tapi, Nyai Suri mencoba mendorong pintunya. Tak dikunci. Dilihatnya, dengan mengintip dari pintu kamar, anak perempuannya itu tertidur dibalik balutan selimut tebalnya.
Nyai Suri pun menutup pintunya lagi. Pikirnya, mungkin anak perempuannya itu sedang tidak ingin diganggu, saat ini. Sebisa mungkin Nyai Suri berusaha tenang, dalam menghadapi situasi ini. Dia kembali ke kamarnya, tadarus, melantunkan ayat-ayat suci al-quran.
Penasaran Sesi Kedua
"Ma. Meli mau buka klinik kecantikan, boleh?" tanya Meli yang membuat Nyai Suri keheranan. Tak Ada tanggapan soal rencana Meli mau buka usaha klinik kecantikan. Justru, Nyai Suri masih berharap Meli berubah pikiran.
"Jadi, seriusan mundur dari tes CPNS itu? tanya Nyai Suri balik. "Iya Ma. Nggak enak jadi PNS. Belum lagi dikata-katai orang. Katanya aku lulus CPNS, karena dibantu mama. Kan aku tersinggung ma. Dengar tuduhan itu." jelas Meli.
"Ya ampun. Jadi karena tuduhan itu. Terus kamu mundur dari tes CPNS itu? Terus, sekarang kamu merasa dibantu nggak, sama mama. Mama saja tak pernah tahu kalau Meli mau daftar tes CPNS. Tahu-tahu, nama Meli masuk daftar peserta tes CPNS yang lolos. Jangan dengar kata orang, sayang. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan." celetuk Nyai Suri panjang lebar.
Ternyata, meski mulut Nyai Suri sampai berbuih, dia tak berhasil membujuk Meli. Meli tetap pada pendiriannya. Mundur dari tes CPNS, meski namanya dinyatakan lolos.
"Maaf ma. Meli tak bisa memenuhi keinginan mama." katanya sambil menangis sesenggukan.
"Kebanyakan orang beranggapan, ketika seorang anak walikota lolos tes CPNS, pasti semua karena dibantuin orang tuanya. Disitulah, Meli sedih. Kenapa asumsi orang selalu negatif thinking." ujar Meli dengan nada kesal.
Dalam hati Meli, sebenarnya ia sedih mengambil keputusan ini. Tetapi, gengsinya lebih tinggi. Dia tak mau dituduh macam-macam oleh orang lain. Mentang-mentang anak walikota. Kalau ikut tes CPNS pasti lolos. Kalimat nyinyir itu yang tak ingin dia dengar lagi.
"Ma. Meli izin dulu ya. Mau janjian ke Dinas Kesehatan sama Santika." pamit Meli, sembari menyalam tangannya dan mencium kedua pipi Nyai Suri.
"Santika. Aku on the way ya ke kantormu!" kata Meli dari balik telepon genggamnya. Meli pun berlalu meninggalkan mamanya. Diam-diam, Nyai Suri membuntuti Meli. Dia meminjam mobil humas.
"Tolong jemput saya sekarang di rumah." perintah Nyai Suri pada Darma. Tak lama, Kepala Bagian Humas Pemko Tanjungpinang itu, datang.
"Tolong antarin saya ke Dinas Kesehatan. Agak cepat ya!" perintahnya.
"Baik bu." jawab Darma.
Dengan kecepatan tinggi, Darma melarikan mobil Kijang Innova berplat merah itu.
Di area parkiran Dinas Kesehatan, Nyai Suri belum melihat keberadaan mobil putri sulungnya itu.
Tak lama. Mobil Honda CRV silver milik putrinya, parkir di deretan kendaraan milik orang-orang Dinas Kesehatan.
Meli keluar, ditemani Santika. Meli terlihat menenteng koper besar. Keduanya masuk ke kantor Dinas Kesehatan itu.
"Buk. Itu kan Dokter Meli." celetuk Darma.
"Stttt. It's saya tahun. Lah kok mereka bawa koper besar. Ngapain ya." tanya Nyai Suri.
Satu jam lebih, Nyai Suri menunggu keduanya keluar Dari kantor itu.
"Kita tunggu mereka pergi. Baru saya turun sebentar. Tunggu ya. Saya sebentar saja." perintahnya.
"Baik. Bu!" jawab Darma.
Sejumlah pegawai di kantor itu, kebingungan. Karena tiba-tiba didatangi walikota. Semua jadi salah tingkah. Ada yang buru-buru menghentikan main game mobile legendnya. Ada yang berhenti mengunyah.
"Kepala Dinasnya mana," tanya Nyai Suri kepada salah satu dari pegawai di sana.
"Produk pembersih Dr Meli, bagus. Aku sudah pakai yang kedua kali." celetuk salah seorang dari mereka.
Pernyataan itu sedikit menggelitik benak Nyai Suri. Diam-diam Nyai Suri pun mendekati pegawai itu dari belakang. Rupanya pegawai itu tak menyadari kedatangan walikotanya. Dia malah asik cerita soal produk kecantikan Dr Meli.
"Produknya memang mehong. Cin. Tapi bikin wajah glowing." kata pegawai itu lagi.
"Boleh lihat nggak ya. Produk pembersih wajah yang dari Dr Melli?" celetuk Nyai Suri. Kontan saja, pegawai tadi membalikkan tubuhnya. Wajahnya berubah jadi merah jambu, karena malu-malu.
"Eh. Ibu. Maaf." kata pegawai itu, malu-malu.
"Coba lihat dong. Mana Produknya." pinta Nyai Suri.
Pegawai itu pun menunjukkan Saturday paket botol kecil-kecil. Semua bertuliskan the beauty clinik Dr Meli.
Ada rasa bangga yang menyeruak di hati Nyai Suri. Ternyata putri sulungnya itu punya jiwa bisnis. Difotonya satu paket produk kecantikan atas nama Dr Meli itu.
Dengan wajah sumringah. Nyai Suri meninggalkan Kantor Dinas Kesehatan itu. Dia pun minta diantar ke kantor Pemko.
Iseng-iseng Nyai Suri menelepon Santika. "Santika. Bisa ke ruangan saya, sekarang?" perintah Nyai Suri dari balik telepon genggamnya.
Nyai Suri memastikan bahwa Santika sudah berada di ruangan tempat dia bekerja. Sebab, jam istirahat sudah berakhir. Jadi, semua pegawai kembali bekerja seperti sediakala.
Dalam hitungan 5 menit, Santika yang merupakan pegawai Bagian Kesra, dan juga sahabat Dr Meli itu, sudah berada di ruangan kerja Nyai Suri.
Deg-degan, rasanya Santika saat dia dipanggil ke ruangan walikota. Ada apa gerangan. Bahkan, dia kaget saat ditanya soal produk pembersih wajah buatan Dr Meli.
"Iya Buk. Kalau Ada waktu saya menemani dokter Meli menawarkan produknya ke pegawai-pegawai yang di dinas-dinas," jelas Santika di hadapan walikota yang juga orang tua sahabatnya sendiri itu.
"Haaaaaaaa. Sejak kapan kalian bisnis produk kecantikan itu?" tanya Nyai Suri, yang sama sekali tak percaya akan cerita Santika itu.
"Hehehehe saya hanya Jadi assistennya buk, menemani Dr Meli kalau ada yang pesen, kami antarin." jawab Santika, blak-blakan.
"Hmm......laris dong berarti. Meli sampai punya asisten. Tapi, thanks berat ya infonya. Saya sangat bangga pada kalian. Terimakasih sudah jadi teman baik buat Meli, anak saya." kata Nyai Suri penuh semangat.
"Eh iya Santika, saya mau tanya soal itu saja. Kalau masih ada pekerjaan, silakan kembali bekerja. Sekali lagi, terimakasih ya Santika." katanya sambil menjabat tangan Santika. Santika pun berlalu meninggalkan ruangan Walikota itu.
Belum hilang rasa takjubnya kepada Meli. Nyai Suri dikejutkan dengan pemberitaan kolom bisnis salah satu media loyal yang ada.
Produk Pembersih Wajah Dr Meli, Lagi-lagi Boming. Ya Allah.... terimakasih. Putri pertamanya itu ternyata sedang berjuang membangun usahanya.
"Ma. Meli pergi dulu ya. Ada janji sama pasien?" kata Meli yang terlihat buru-buru. Tanpa sempat bertanya. Terpaksa Nyai Suri melepas kepergian Meli begitu saja. Padahal, ada seribu tanya yang hendak dia perbincangkan dengan putrinya itu.
Nyai Suri, tak sengaja tersenyum sendiri. Mengingat perkataan Meli, saat pamit pergi tadi.
"Pasien? Sejak kapan dia jadi dokter. Terus dia dokter apa ya? Apa iya, dokter kecantikan? Dia kan lulusan kedokteran spesialis kulit. Ya ampun Meli. Sebagai orang tua, rasanya bangga banget.
Sunyi Sepi
Sejak kepergian suaminya, Nyai Suri lebih mencurahkan ungkapan perasaannya lewat puisi. Sesekali, dia lebih memilih bercengkrama di depan makam suaminya.
"Pa. Tahu nggak. Kemarin aku dibuat terkejut sama anak gadis kesayanganmu itu. Pagi-pagi aku lihat ada undangan peresmian sebuah Boutiq. Awalnya aku tak tahu kalau itu Butiq Meli. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala Pa. Lihat tingkah dia. Dia suka main rahasia-rahasiaan, Pa. Sama aku. Pertama, dia jualan produk kecantikan diam-diam. Dia ngider, jualan ke dinas-dinas. Hmmmmm...... Anak gadis kita itu punya strategi Luar biasa ya Pa." katanya sambil menaburkan bunga kertas di atas makam suaminya.
Pa..... Kalau masih ada papa, pasti Meli nggak kayak gitu. Pasti orang pertama yang diberi tahu soal bisnisnya itu, papa. Tapi, aku nggak marah Pa, meski dia seperti itu. Aku bangga dengan pilihan hidupnya. Kemarin dia lolos tes CPNS Tapi mundur Pa. Dia keras kepala.
Di tengah kesibukannya, saban pagi Nyai Suri selalu membuatkan secangkir teh hangat untuk suaminya. Bercengkrama, barang 10 menit sampai 15 menit. Sebagai seorang walikota, ia tak pernah melupakan kodratnya sebagai seorang istri. Di pagi buta, jam empatan, sudah bangun dan langsung menuju dapur untuk membuat masakan kesukaan suami.
Asam pedas adalah makanan kesukaan suaminya. Bahkan, ia punya resep spesial untuk menu makanan khas Melayu yang satu ini.
‘’Pa. Aku masakin asam pedas khas Melayu ya. Nggak pakai gula, nggak pakai saos. Terus banyak kunyit, daun kunyit juga dikasih sedikit. Merah gitu warnanya. Papa suka kan? Ikannya ikan merah. ‘’ jelasnya.
‘’Masakan spesial kesukaan papa. Besok. Menunya ganti ya Pa. Rencana mau masak asam pedas, dan sop tulang. Itu juga makanan favorit papa kan. Kebetulan, besok mama libur. Taka da jadwal.’’ kata Nyai Suri.
‘’Beneran nih. Nggak ada jadwal. Nanti tiba-tiba disuruh meresmikan posyandu.’’ kata suaminya menggoda Nyai Suri.
‘’Iyaaaaaaaaaa. Pa. Janji. Besok sudah aku niatkan masak khusus buat Papa. Mama janji. Nggak akan ingkar.’’ katanya.
Meski ada beberapa pembantu di rumahnya, Nyai Suri tak sepenuhnya menyerahkan pekerjaan rumah kepada mereka. Untuk keperluan suami, sebisa mungkin dikerjakannya sendiri, meski hanya menyuguhkan segelas air putih.
‘’Pa. Hari ini jadwal mama agak padat ya. Kemungkinan sampai malam.’’ kata Nyai Suri memberi informasi kepada suaminya.
‘’Jadi, papa sarapan nasi goreng spesial aja ya, pagi ini.’’ jelasnya.
‘’Hmmmmm….iya. Baiklah, tuan putri.’’ katanya dengan nada romantis.
‘’Ya sudah pa….ini mama telat mau ke acara peresmian posyandu lansia di Tanjung Lanjut.’’ K
kata Nyai Suri berpamitan.
Dia pun sudah ditunggu sopir pribadinya, di teras samping rumah. Ada yang tak berkenan di hati Nyai Suri. Seperti ada yang mengganjal. Tapi, dia sendiri tak tahu apa itu. Di mobil, dia selalu baca-baca ayat suci alquran. Kemana-mana, dia selalu membawa alquran kecil.
Itu, sepertinya sudah menjadi aktifitas rutinnya, saat perjalanan menuju kantor. Hujan deras di pagi itu, semakin menambah batinnya bergejolak. Ada apa gerangan dengan perasaan ini.
Hanya berselang beberapa menit. Telepon genggamnya berbunyi. Meli, si manja. Demikian tertera sebuah nama di layar ponselnya.
‘’Ma. Papa….ma….Papa masuk rumah sakit.’’ teriak Meli sambil menangis.
Ternyata, itu yang membuat batin Nyai Suri tiba-tiba bergejolak. Merasakan bakal ada sesuatu bencana yang terjadi.
‘’Darma. Tolong putar ke RSUD. Bapak dilarikan ke rumah sakit.’’ Kata Nyai Suri berusaha tenang.
‘’Baik bu!’’ kata Darma. Dia pun melarikan mobil Pajero Sport yang dia kemudikan itu, dengan kecepatan tinggi.
Lemah lunglai. Seperti orang tak bertenaga, rasanya pagi itu. Sepanjang perjalanan Nyai Suri terus berdoa, berharap tidak terjadi apa-apa, dengan suaminya itu.
Setengah jam kemudian, Nyai Suri tiba di rumah sakit. Meli, Angga, Jihan dan Hani, sudah berkumpul di sana. Nyai Suri sudah pasrah. Karena suaminya tak tertolong lagi. Semua berpelukan, sambil menggenggam jari jemari tangan lelaki yang sudah terbaring kaku itu.
Tak ada yang bisa dikatakan Nyai Suri, karena kepergian suaminya itu mendadak. Meli, tak henti-henti menangis di samping tubuh papanya itu. Karena, dia orang yang selama ini merasa paling dekat dengan papanya.
Empat puluh menit yang lalu, kita baru saja bersenda gurau, minum secangkir teh hangat bersama. Kamu, melepas aku dengan senyum termanismu, pagi tadi.
Setelah itu, kamu pergi, tanpa pesan.
Sayang……
Aku rindu….
Rindu minum secangkir the hangat di pagi hari……
Rindu bercengkrama, di awal hari…..
Sayang…..kenapa kamu begitu cepat meninggalkan aku…..
Sayang…..aku sedih mengingat pagi itu……
Senyum di bibirmu hilang……
Canda tawa mu bisu….
Tatapanmu hampa….
Kamu tak berkata sepatah kata pun di hari terakhir pertemuan kita…..
Sayang……semoga kamu berbahagia di sana…..
You are my inspiration……Adi Herlambang ku…
Sejak kepergian suaminya, Nyai Suri lebih banyak menuangkan kisah kesendiriannya lewat puisi, ia tak hanya dikenal sebagai walikota biasa. Tak ayal, kini orang-orang menyebutnya sebagai walikota penyair.
Nyaris di setiap kesempatan, ia selalu membacakan puisi-puisinya. Di sebuah pertemuan RT. ‘’Ma, bukuin ma puisinya. Nanti biar Meli yang susun acara launching bukunya.’’ kata Meli memberi semangat pada mamanya.
‘’Puisinya belum lengkap. Nanti kalau jumlahnya sudah banyak, baru mama bukukan. Sekarang, mama konsen mengarang puisi.’’ Jelas Nyai Suri
‘’Emang sudah berapa banyak ma. Puisi karangan mama?’’ tanya Meli.
‘’Baru ada 30 puisi, yang mama kumpulkan,’’ sebut Nyai Suri.
‘’Beuhhhhhhh, keren mama ku ini. Sekarang jadi penyair, bisnis sampingannya.’’ puji Meli dengan bangga.
‘’Ma. Mama kok bisa sih nulis puisi. Belajar dari mana nih?’’ tanya Meli penasaran.
‘’Mama belajar sendiri.’’ Jawab Nyai Suri meyakinkan.
‘’Hmmmmmm. Begitu ya. Percaya deh.’’ sahut Meli.
‘’Dulu, waktu mama masih sekolah, suka beli Gadis. Menginjak bangku kuliah dan sekarang, suka beli Femina dan Kartini. Kalau baca Femina, suka baca cerpennya. Terus rubric konsultasinya. Terus kalau ada mode-mode baju yang menurut mam bagus, mama gunting dan mama simpan, jadi kliping. Dulu, mama punya satu lemari untuk kumpulin majalah-majalah tersebut. Belum lagi yang hilang, tak tahu kemana letaknya. Terus yang disimpan di lemari, lama-lama banyak dimakan rayap karena jarang dibaca. Yah……terpaksa dikasihkan ke orang yang masih bagus. Lalu yang sama sekali tidak bisa dibaca, terpaksa dibakar.’’ kenangnya.
‘’Ma. Boleh tanya nggak?’’
‘’Tanya apa?’’
‘’Mama kenapa sih suka warna ungu?’’ tanya Meli penasaran.
‘’Oooooohhh. Semua bermula dari tayangan di televisi. Waktu itu acara apa ya…..mama lupa. Cuma ingatnya waktu itu ada anak Rinto Harahap. Dia menampilkan baju-baju warna ungu. Eh bagus……ya ternyata warna ungu. Ada warna ungu tua, muda, ungu kemerahan. Nah, sejak saat itu mama suka koleksi baju-baju warna ungu. Terus. Dulu waktu mama SMA suka sekali dengan warna coklat. Terus berubah, lihat warna hijau kok bagus. Berubah selera jadi suka warna hijau. Sekarang, mama suka warna ungu.’’ jelas Nyai Suri.
‘’Ohhhhh. Pantes ada banyak koleksi baju-baju warna ungu di almari pakaian mama.’’ celetuknya.
‘’Ma. Waktu mama baca puisi di panggung. Kok mama nggak demam panggung. Hebat ya.’’ ujar Meli.
‘’Sebenernya awal-awal, mama gugup. Takut puisi yang mama baca, nggak bagus kata-katanya. Tapi, lama-lama banyak yang memuji. Katanya puisi mama bagus. Sesuai dengan kenyataan.’’ jelas Nyai Suri.
‘’Sebenarnya mama tak pandai baca puisi. Jadi, ya begitu-begitu saja sih gaya bacanya. Biasa. Ngomong soal perasaan, sebenarnya mama malu. Tetapi keinginan mama untuk baca puisi itu besar. Pede ajalah. Bahkan, untuk belajar membuat puisi, mama amati puisi-puisi karya orang lain. Waduh……..kok puisi-puisi mereka bahasanya bahasa sastra ya. Sedangkan bahasa mama, sama sekali tak berbau sastra. Maklum mama bukan orang sastra. Tapi, biarlah, mama mau coba buat puisi dengan gaya saya sendiri.’’ katanya memberi penjelasan ke Meli.
Kemarin, kata Nyai Suri, dia didatangi awak media dari Jakarta. ‘’Dia bertanya, sama seperti pertanyaan Meli. Terus dia minta kertas puisi yang mama baca.’’ cerita Nyai Suri.
‘’Haduh. Udah jadi artis nih mama aku sekarang. Dimintain tanda tangan.’’ celetuk Meli.
‘’Ya sudah. Ini sudah malam, Mel. Tidur yuk.’’ ajaknya.
‘’Wah pasti mau nulis puisi nih mama. Hayo. Ngaku. Masa baru jam 8 malam sudah mau ngajak tidur. Tapi, iya deh mama. Silakan. Meli mau ajak anak-anak makan di luar. Kemarin sudah janji. Kalau libur mau ajak makan ke KFC. Atau mama mau ikutan?’’ tanya Meli pada mamanya.
‘’Nggak ah. Mama kurang suka makan KFC. Mama lebih suka asam pedas.’’ Jawab Nyai Suri.
‘’Mentang-mentang dulu papa suka asam pedas. Sekarang makanan favorit mama juga asam pedas. Hmmmmm. Ya sudah ma. Meli Pergi dulu ya.’’ Katanya.
‘’Iya. Hati-hati di jalan.’’ sahut Nyai Suri.
Seperti biasa. Menjelang tidur. Tidak setiap hari sih. Tetapi kalau tiba-tiba muncul inspirasi, Nyai Suri langsung menuliskan puisi. Inspirasi itu, datangnya tak tentu. Apalagi, ada peristiwa-peristiwa penting, dia langsung menuliskannya lewat puisi.
Membuka Album Kenangan
‘’Ma. Lucu ya ma, waktu kecil Meli.’’ kata Meli sembari menunjukkan album di tangannya.
‘’Iya. Dulu kamu doyan makan. Ingat nggak. Waktu Meli kelas tiga SD. Waktu kita makan di meja 8 Tugu Pahlawan, banyak banget pesen makanan. Belum habis makanan yang ada di depannya, eh pesen lagi. Sampai-sampai, orang yang jualan geleng-geleng kepala. Ini orang makan apa makan ya……..Tapi memang luar biasa waktu kamu kecil. Makanan apa saja Meli suka. Luar biasa pokoknya.’’ cerita Nyai Suri.
‘’Tapi, Meli kok nggak gemuk sih ma, sekarang. Malah kutilang!’’ ujar Meli.
‘’Gembrot tahu, kamu waktu kecil.’’ sebut Nyai Suri.
‘’Hah. Masa sih ma. Mana coba fotonya. Di Foto ini saja, Meli kurus kok. Ah mama nih mengada-ada. Bohong pasti.’’ tepis Meli.
‘’Ada cerita lucu nih. Ingat nggak. Waktu itu hidangan ayam milik Angga habis. Terus dilihatnya di piring Meli, masih ada. Terus Angga minta ayamnya Meli. ‘’Kak mintalah.’’ gitu katanya. Terus lucunya Meli bilang…….’’Dek kalau laki-laki nggak boleh makan ayam banyak-banyak. Nanti adek bisa mens kayak kakak lho.’’ Ketawa mama dengarnya. Sejak saat itu, si Angga nggak suka makan ayam. Lucu sekali memang kalian waktu kecil.’’ beber Nyai Suri.
Nyai Suri rindu kenangan itu. Kenangan masa kecil anak-anaknya. Sekarang, mereka sudah dewasa dan punya keluarga masing-masing. Satu hal yang buat saya sering bahagia, ya cucu-cucunya. Ali yang masih 4 tahun, Husin (sekolah TK) dan Jihan dua tahun. Mereka kadang sering merengek minta ikut ke kantor Nyai Suri.
‘’Ma, kalau dari papa, yang mama suka apa.’’ tanya Meli iseng.
‘’Wah, banyak. Papa mu itu, sangat pandai masak. Apalagi masak nasi goreng. Bahkan, nasgornya lebih enak dari buatan mama.’’ sebut Nyai Suri.
‘’Hmmmmm Meli kok jarang ya ngerasain masakan papa.’’ aku Meli.
‘’Lah. Nasi goreng yang sering Meli santap, di hari libur itu, masakan papa.’’
‘’Hah. Masa sih ma. Kukira, itu masakan mama.’’ katanya setengah tak percaya.
‘’Ternyata papa jago masak toh,’’ puji Meli.
‘’Ma. Dua tahun lagi, mama katanya mau pension. Jadi rencana mama, apa nih?’’ tanya Meli iseng.
‘’Mama, ingin belajar tentang apa saja yang mama suka. Entah budaya, sastra, atau……..apa ajalah…….yang ingin mama pelajari lagi. Tapi mama juga sangat ingin melanjutkan tulisan mama soal pengalaman mama, selama ini memimpin kota ini.
‘’Tapi, yang terpenting Istirahat. Rencana mama, cuma mau main sama cucu mama.’’ jawab Nyai Suri yang membanggakan bagi Meli.
Ruang Spesial Untuk Meli
Tak banyak yang mengenal sosok dr Meli. Putri sulung walikota,Nyai Suri.
Untuk kali kedua, dia dijagokan jadi calon walikota. Masih segar dalam ingatan masyarakat. Dokter kecantikan itu, pernah mencalonkan diri jadi walikota.
Di tahun 2011 itu, jabatan Nyai Suri sebagai wako, sudah berakhir.
Tak ada yang menyangka, di saat jabatan akan berakhir, ternyata putrinya dimajukan dalam bursa pencalonan walikota.
Sementara, publik mengetahui jika putri wako itu, tidak pernah sekalipun terlibat dalam kegiatan sosial apapun atau partai menapun. Sebab, ia lebih fokus mengurus bisnis klinik kecantikannya.
Bahkan, waktu itu, sesuai catatan media, di tahun 2011, Dr Meli menegaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak ingin dilibatkan dalam politik.
Bahkan, ia terang-terangan mengaku sama sekali tak mengerti dengan dunia politik. ''Jadi saya nggak mau ikut terlibat dengan pilkada. Saya saja nggak pernah ikutan politik atau pun organisasi lainnya,'' tegas saat itu.
Bahkan, Nyai Suri juga mengatakan bahwa anaknya itu memang sama sekali tidak tertarik dengan dunia politik.
Sedikit diceritakan perjalanan hidup putrinya itu, bahwa sekitar tahun 2007, Dr Meli sempat diterima dalam penerimaan tes calon pegawai negeri sipil (CPNS).
''Sempat ikut orientasi CPNS. Setelah ikut orientasi itulah, dia mengatakan dengan saya ingin mundur dari CPNS tersebut. Terkejut setengah mati saya dengarnya. Tetapi, selama ini memang saya tidak pernah mengatur anak-anak, mau jadi apa. Mereka bebas menentukan pilihan hidupnya.'' terangnya kepada public.
Nyai Suri juga sempat memberinya saran alangkah lebih baik, jika menjadi pegawai negeri sembari membuka bisnis. Namun ternyata saran itu tidak diterima anaknya. ''Dr Meli ingin terjun total di dunia bisnis,'' terang Nyai Suri.
Akhirnya, Nyai Suri membebaskan apa yang menjadi kehendak putrinya. Sekarang, putrinya itu memang dikenal sebgai dokter kecantikan..
Meski sempat membantah isu pencalonan wako itu, pada bulan April 2011. Ternyata, sebulan kemudian, dr Meli memutuskan ikut dalam bursa pencalonan wako.
Ada beberapa nama kepala dinas Pemko Tanjungpinang, yang sempat disandingkan dengan dr Meli. Ada nama Juramadi Esram, Gatot Winoto, Tengku Dahlan dan Edward Mushali. Tapi nama yang paling kuat, kabarnya putri sulung wako itu akan dipasangkan dengan Tengku Dahlan.
Endingnya, dalam sebuah konferensi pers, koalisi pengusung Dr Meli, mengumumkan nama Tengku Dalam, jadi pasangannya.
Sayangnya, waktu itu, Tengku Dahla berangkat ke tanah suci, Dr Meli pun berjuang sendiri menuju kursi wako, periode 2013-2018.
Nyai Suri tak henti memberikan semangat kepada putrinya. Bahkan, ia berusaha mendampingi putrinya bersosialisasi saat turun ke masyarakat.
‘’Bekal maju sebagai calon wako, harus siap fisik dan fikiran.’’ Pesan Nyai Suri pada putrinya.
Dalam kampanyenya, Dr Meli selalu menyampaikan bahwa lewat tekad dan konsepnya, Peduli Rakyat, dr Meli-Dahlan ingin membangun kotanya, di segala aspek kehidupan.
Namun sayang, di akhir perjuangan putri sulung mantan wako itu, ia tak berhasil memenangkan pertarungan di bursa pilwako. Rivalnya, pasangan Jon dan Harun, berhasil merebut simpati warga, dan keduanya berhak mengambil tongkat kepemimpinan yang sebelumnya berada di tangan Nyai Suri, selama 17 tahun lamanya.
Waktu itu, kemenangan pasangan Jon-Harun, hampir merata di setiap kecamatan.
Sejak hasil perhitungan cepat KPU menunjukkan hasil bahwa rivalnya menang, Dr Meli memberi ucapan selamat.
Maya mengaku legowo dengan hasil perjuangannya. “Saya dan tim mengucapkan selamat kepada Jon-Harun. Mari kita bergandeng tangan membangun kota.” ujar Dr Meli, di hari H usai pencoblosan/ malam hari selepas maghrib, waktu itu.
Sejak kekalahan itu, publik mengetahui secara pasti, bahwa anak mantan wako itu tidak pernah lagi berkutat atau menyibukkan diri dalam kegiatan sosial apa pun atau ikut bergabung di partai mana pun.
Dr Meli, benar-benar melepaskan diri dari aktifitas sosial apa pun. Ia terlihat sibuk memajukan bisnis klinik kecantikannya.
Lima tahun telah berlalu. Cerita tentang keterlibatan Dr Meli di kancah politik pun menghilang. Hilang bagai ditelan bumi.(***)