Cerpen
Disukai
1
Dilihat
10,545
Di Bawah Langit Badra
Drama

Di Bawah Langit Badra


Selepas subuh, jam 05.00 wib. Haliq buru-buru keluar kamar hotel, menuju mesin pinjer print yang letaknya di pos penjagaan security Hotel Badra. 

‘’Pagi!’’ sapa Haliq pada seorang security hotel, sambil menempelkan jempolnya di mesin pinjer print.

‘’Pagi,’’ balas pria itu.

Haliq mempercepat langkahnya, meninggalkan pos security. Pikirnya, dia harus lolos dari pantauan Abasyah. Karena, Abasyah dan rekan-rekan lainnya, akan menggelar aksi demo di kantor UNHCR, hari ini.


Haliq, adalah satu-satunya imigran Badra, yang menolak aksi protes kepada UNHCR. Karena, dia tahu, UNHCR bakal bungkam seribu bahasa, meski ada segudang tuntutan dari para pencari suaka. Daripada bergabung, menghilang adalah cara paling jitu untuk menghindar dari aksi demo bareng Abasyah. Haliq tak peduli, apapun penilaian rekan-rekannya. Yang pasti, dia tak ingin bergabung di aksi demo itu.


Di tikungan jalan, dia menelepon ojek langganannya. Dalam hitungan 15 menit, ojek langganannya itu tiba di depannya. 

‘’Antarkan saya ke RSUD Tanjungpinang.’’ pinta Haliq, lalu naik ke boncengan ojek itu.


Tanpa ada pertanyaan, Bang ojek langsung melaju. Lega, kata Haliq, dalam hati. Namun, di tengah perjalanannya, ponsel genggamnya berdering. Abasyah meneleponnya. Lama, Haliq memandangi layar ponselnya. Ragu-ragu, dia mengangkatnya.


Tiga kali panggilan. Haliq bertekad tak ingin mengangkatnya. Karena, hari ini, ada jadwal mengajar melukis di RSUD Tanjungpinang. Baginya, mengajar melukis, adalah prioritas.


Bahkan, Haliq selalu bersemangat datang ke RSUD, demi bertemu Mila, dokter gigi yang sudah mencuri hatinya, sejak pertama bertemu. 


‘’Dimana Haliq, teman-teman sudah mau berangkat ke kantor UNHCR. Aku tahu kamu ada jadwal mengajar melukis. Pasti, itu lebih penting bagimu. Tapi, tolong ikut juga dalam aksi demo ini. Sebagai bentuk kebersamaan kita. Karena kita harus sama-sama berjuang. Supaya, UNHCR berusaha mengirim kita ke negara ketiga. Apa kamu tak ingin menjejakkan kakimu di negara ketiga impianmu itu?’’ pesan itu dikirim Abasyah panjang lebar. Namun, tak sepatah katapun Haliq membalas chat WA dari Abasyah.


Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan Haliq, menunjukkan pukul 07.00 wib. Ruang serba guna RSUD Tanjungpinang tempat Haliq mengajar melukis itu masih sepi. Bahkan pintunya masih terkunci. Diam-diam, Haliq berkhayal, dokter Mila datang lebih awal dari murid kelas melukis lainnya.

‘’Coba, dokter cantik itu muncul lebih dulu di hadapanku. Pasti aku bakal lebih semangat.’’ gumam Haliq dalam hati.

Pucuk dicinta ulam tiba. ‘’Selamat pagi, Haliq,’’ suara lembut seorang perempuan, tiba-tiba menyapa Haliq.


‘’Pagi, dokter Mila,’’ jawab Haliq sembari melempar senyum termanisnya. Jantungnya deg-degan saat dokter cantik itu menjabat tangannya. Haliq jadi serba salah tingkah.


Melihat paras cantik dokter Mila, Haliq semakin yakin, dia tak ingin menjejakkan kakinya di negara ketiga. Sebelum mengenal dokter Mila, Haliq terus berharap UNHCR segera mengirimnya ke negara ketiga. 


Tiba-tiba, dokter Mila melontarkan pertanyaan pada Haliq.

‘’Haliq. Betah ya tinggal di Indonesia.’’ tanya dokter Mila.

‘’Iya. Mau bagaimana lagi. UNHCR belum mengirim kita ke negara ketiga.’’ Kata Haliq dengan nada pasrah.

‘’Tapi, kamu suka kan, tinggal di Indonesia,’’ imbuh dokter Mila.

‘’Iya. Saya suka tinggal di Indonesia.’’ jelasnya.

‘’Asli dari negara mana?’’ tanya dokter Mila lagi.

‘’Saya dari Afganistan.’’ jawab Haliq.

‘’Lancar ya bahasa Indonesianya.’’ kata dokter Mila memuji Haliq. Pujian dokter cantik itu, membuat Haliq melayang.

‘’Iya, saya suka mempelajari bahasa Indonesia.’’ jawab Haliq. Percakapannya dengan dokter Mila pagi itu, benar-benar membangkitkan semangat Haliq.

‘’Andai saja UNHCR tidak kunjung mengirim kalian ke negara ketiga, apa yang akan kamu lakukan di Indonesia?’’


‘’Menikahi dokter Mila.’’ (jawaban khayalan Haliq). Andai saja dia berani mengatakan hal itu meski bercanda, alangkah bahagianya Haliq.


‘’Hmmmmm……saya ingin menjadi guru melukis.’’ Jelas Haliq.

‘’Wah. Keren,’’ puji dokter Mila. Untuk kesekian kalianya Haliq merasa berada di atas awan, karena pujian dokter cantik itu. 

‘’Saya suka mengajar melukis. Siapa saja yang mau belajar melukis, saya pasti ajarkan,’’ kata Haliq, pamer di depan dokter Mila.

‘’Wah. Beneran nih?’’ tanya dokter Mila, penasaran.

‘’Iya. Saya juga mengajar anak-anak SD, di Badra. Mereka belajar gratis tanpa ada biaya. Tapi, alat melukisnya bawa sendiri dari rumah,’’ jelas Haliq panjang lebar.

‘’Kok gratis?’’ tanya dokter Mila heran.

‘’Iya. Kami dilarang memungut biaya, kalau mengajar melukis. Karena, setiap bulan, hidup kami sudah dijamin UNHCR. Kalau ketahuan memungut biaya dari melukis ini, bisa dihentikan uang bulanannya oleh UNHCR’’ Terang Haliq.

‘’Ohhhh begitu ya.’’ celetuk dokter Mila.


Andai dokter Mila tahu, awal mulanya, semua dia lakukan dengan terpaksa. Namun, seiring berjalannya waktu, Haliq mencintai apa yang dia lakukan. Beberapa orang Badra dia lukis, wajahnya. Alhasil, dapat pujian dari banyak orang. Kata rekan-rekan Haliq, hasil lukisannya, luar biasa bagus. Sejak itu, Haliq mulai bersemangat melukis. Meski tanpa dibayar sepeserpun. Bahkan, orang imigrasi juga mempromosikan kehebatannya. Alhasil, beberapa instansi, memberikan kesempatan kepada Haliq, untuk mengajar melukis di instansi itu. Muridnya, siapa lagi, kalau bukan pegawai instansi itu. Ada rasa bangga yang dirasakan Haliq. Karena dia bisa mengembangkan bakat melukisnya. Di negara asalnya, Haliq adalah pelukis. 


"Aku tak peduli, UNHCR segera merespon permintaan kami atau enggak. Aku merasakan kedamaian saat tinggal di Indonesia." ujar Haliq bercerita di depan dokter Mila. 


‘’Dulu, delapan tahun silam, usiaku masih 18 tahun, saat berpisah dari orang tua dan keluarga. Konflik dan perang, membuatku harus keluar dari Afganistan. Aku berkelana, mencari perlindungan. Dari rudenim satu ke rudenim lainnya. Dari Jakarta, Batam, dan sekarang aku berada di Bintan. Lelah sebenarnya menjalani hidup sebagai seorang imigran. Namun, aku punya semangat baru. Melukis, adalah pekerjaan yang paling aku suka, saat ini. Bahkan, aku ingin anak-anak di Bintan, jago melukis. Pemandangan alam di Bintan, indah. Sejumlah tempat wisata, nyaris menyaingi keindahan Bali.’’ cerita Haliq lagi.


‘’Wah, pernah ke Bali? Aku belum pernah.’’ kata dokter Mila.

‘’Pernah, diajak kawan. Tapi, itu sudah lama sekali.’’ sebut Haliq.


Tak terasa, obrolan mereka terhenti. Karena beberapa dokter lainnya, sudah berdatangan. Ada 8 orang dokter yang jadi murid melukis Haliq. Kebetulan, para dokter itu, ingin mengisi waktu luangnya, sembari mengajak anak-anak mereka, supaya menyukai dunia lukisan. 


Hanya satu jam belajar melukis bersama Haliq. Selanjutnya, Haliq pun undur diri dari ruangan itu. Namun, satu hal yang membuat langkahnya di ruang serba guna itu tercekat. Masih ada dokter Mila di sana. Haliq pun berusaha bertahan di ruangan itu.


"Maaf, aku pergi dulu ya. Ada jadwal mengajar melukis anak-anak SD Toapaya. Bye!" kata dokter Mila. 

Tak disangka. Ternyata dokter cantik itu juga guru melukis. Sebelum berpisah, Haliq memberanikan diri meminta nomor ponsel dokter cantik itu. 


Di suatu kesempatan yang tak terduga, mereka bertemu lagi di acara pameran lukisan yang digelar Haliq, di Hotel Badra. 


Dokter Mila tertegun, melihat lukisan dirinya, ada diantara deretan lukisan Haliq. ‘’Lho….ini kapan melukisnya.’’ tanya dokter Mila heran.

Mendapat pertanyaan itu, Haliq bingung dan salah tingkah. Apalagi, dokter Mila, tidak masuk dalam daftar undangan, tapi mengapa ia tiba-tiba muncul di acara pameran ini? Aduh! 

‘’Maaf, saya mengabadikan gambar dokter Mila, diam-diam. Tapi, kalau nggak suka, saya akan singkirkan lukisan ini,’’ kata Haliq, yang masih terlihat salah tingkah di depan dokter Mila.

‘’Hmmm….tidak tidak. Saya suka. Saya mau, lukisan ini.’’ kata dokter Mila yang masih tertegun melihat lukisan dirinya itu.

‘’Kamu jago ya.’’ puji dokter Mila. Entah sudah berapa kali, dokter cantik itu memuji kelebihannya. Namun, yang pasti, Haliq semakin semangat dengan dunia lukisannya itu. Dunianya yang baru, mampu melupakan impiannya pergi ke negara ketiga.(***)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)