Masukan nama pengguna
“Sudah kuduga.” Rindang membatin.
Ya, Rindang sudah memprediksi, pagi ini pasti akan terjadi kehebohan luar biasa. Polisi, wartawan, pedagang, guru, anak sekolah, ibu-ibu yang pulang dari pasar, bapak-bapak yang mau berangkat ke kantor, semua berkerumun di tempat Rindang berdiri.
Rindang tetap diam. Dengan tenang, dia menatap satu per satu orang yang datang silih berganti. Para penegak hukum itu sibuk mencari jasad seseorang. Anjing pelacak sudah diturunkan. Namun, hasilnya masih tetap nihil.
Di ujung pengkolan, seorang reporter televisi swasta terkenal sedang melakukan wawancara. Menanyakan kronologis pembunuhan semalam kepada perempuan bertubuh ramping yang disebut oleh angin sebagai dalang pembunuhan Fajar.
Beberapa meter dari tempat Rindang berdiri, orang-orang sibuk merekam dengan gawai masing-masing. Andai tidak ada police line yang membatasi, mungkin Rindang sudah pindah dari tempatnya saat ini.
Rindang yakin, di antara puluhan orang membuat jalanan macet, tidak ada seorang pun dari mereka yang datang ke sini tadi malam. Pembunuhan itu terjadi saat langit menangis dan semua selesai di waktu janari, ketika semua orang lelap dalam mimpi.
***
Rindang menatap Asoka. Baginya, Asoka tetaplah seorang gadis mungil yang selalu ceria. Setiap datang, dia akan membawa cerita bahagia. Tentang Pussy yang melahirkan lima anak, nilai ujian yang selalu mendapat pujian, hingga jantungnya yang berdebar karena sedang jatuh cinta.
Lelaki itu bernama Fajar. Membawa Asoka—si gadis kecil kesayangan Rindang—ke dalam musim cinta penuh warna. Sejak Fajar hadir, Rindang tak lagi menjadi satu-satunya bagi Asoka. Banyak hal yang abai Asoka ceritakan pada Rindang. Termasuk berita pertunangan Asoka yang luput dari pendengaran Rindang. Tentu saja Rindang kecewa. Namun, rasa itu sirna saat Rindang melihat kerlip bintang di mata Asoka.
Asalkan Asoka bahagia, sudah cukup bagi Rindang. Tapi, semuanya menjadi tidak baik-baik saja saat ada air mata tersisa yang Rindang lihat. Seminggu lalu, Asoka datang menjelang senja berakhir. Mata sembapnya seolah menjelaskan pada Rindang bahwa gadis manis dengan lesung pipit itu habis menangis.
“Dia mengkhianati aku,” ucap Asoka di sela sedu yang tertahan.
Pasti tentang Fajar. Pikir Rindang
“Aku harus bagaimana?” Asoka bertanya entah kepada siapa.
“Aku tak pernah menyangka. Si brengsek itu ternyata menghamili sahabatku sendiri. Mereka bukan manusia. Kalau manusia, pastinya punya hati dan nggak mungkin menikamku seperti ini.” Asoka terus saja terisak.
Rindang mengusap tubuh Asoka dengan hembusan selembut sutra. Mendekapnya dalam sebuah rasa nyaman yang Rindang yakini tidak akan didapatkan Asoka dari yang lain. Hati Rindang ikut bergetar. Amarah yang begitu membuncah mampu mematahkan beberapa sendi di tubuhnya. Rindang tetap bergeming saat beberapa pejalan kaki merasa terganggu.
Setelahnya, hampir tiap hari Asoka datang. Berkeluh kesah tentang hubungannya dengan Fajar. Rindang menggeram penuh emosi ketika dia tahu kalau selama ini Fajar tak pernah memberikan bahagia pada Asoka.
Gadisnya itu hanya diperalat oleh Fajar. Bukan Asoka yang Fajar mau, tapi sahabat dekat Rindang sendiri. Rindang enggan meredam kemarahan Asoka karena Fajar layak menerima kebencian yang sedang bergejolak dalam dada Asoka.
Hingga, tadi malam Asoka datang dengan tangan berlumuran darah. Dia bersimpuh di hadapan Rindang. Menangis sejadi-jadinya. Setelah kesedihan itu reda, Asoka memandang Rindang dengan tatapan nanar. Seolah memohon pengampunan.
“Aku tidak membunuhnya,” ujar Asoka lirih.
Rindang terhenyak. Darah di kedua telapak tangan Asoka pasti akan menggiring opini bahwa Asoka telah melakukan kejahatan. Secepat kilat Rindang meliukkan tubuhnya memanggil angin, lalu bertanya kepada karibnya itu tentang apa yang telah terjadi.
Tak menunggu waktu lama, angin berkabar kalau Fajar ditusuk oleh Rengganis, kekasih gelapnya. Lokasi penusukan itu ada di ujung jalan kecil sebelah Utara. Dekat sekali dengan tempat mereka saat ini.
Menurut angin, Asoka kebetulan sedang berjalan menuju ke tempat Rindang ketika mendengar pertikaian antara Rengganis dan Fajar. Asoka bahkan menghampiri dua orang yang telah mengkhianatinya tanpa rasa curiga.
Kehadiran Asoka membuat amarah Rengganis tersulut dan makin menggelegak. Fajar tidak sempat menghindar ketika Rengganis menusukkan pisau ke perutnya secara membabi buta. Dalam empat detik, tubuh Fajar ambruk.
Asoka spontan mendekati Fajar. Memeluk dan menepuk wajah lelaki itu agar tetap sadar. Betapa pun dia membenci Fajar, lelaki itu pernah begitu dekat dengannya. Asoka tak tega melihat darah yang keluar dari perut sebelah kanan Fajar.
“Kamu, kamu yang telah membunuh dia. Polisi akan menemukan bahwa kamu yang membunuhnya,” ceracau Rengganis dengan mata yang masih beringas.
Asoka seolah terhipnotis. Dia hanya termangu ketika tiba-tiba saja pisau itu sudah ada di tangan kanannya. Saat kesadaran menyengat, Asoka segera melempar pisau dan berlari ke dalam pelukan Rindang.
“Dia tak akan bisa bertahan. Kuburkan dia di sini. Biar aku yang mengurusnya. Bawa juga pisau yang menyebabkan dia terbunuh.” Asoka dapat merasakan bisikan Rindang yang begitu halus di telinganya.
Asoka gegas kembali ke tempat Fajar. Sudah lewat tengah malam. Fajar meninggal kehabisan darah. Benar ucapan Rindang kalau Fajar tidak akan bertahan. Sia-sia saja jika Asoka membawanya ke rumah sakit. Selain nyawa Fajar yang tidak akan terselamatkan, Asoka juga pasti akan menghadapi banyak pertanyaan terutama dari pihak berwajib.
Asoka menuruti ucapan Rindang. Sekuat tenaga dia menyeret tubuh Fajar ke tempat Rindang. Setelah itu Asoka berlari ke rumahnya untuk mengambil pacul dan linggis. Dengan sisa energi dan keberanian, Asoka menggali tanah dan menguburkan tubuh Fajar yang nyaris kaku.
Menjelang janari, semua usai. Asoka berlalu pergi setelah berhasil mengubur Fajar. Menyembunyikannya dari tatapan semua orang. Selain Rindang, hanya angin yang tahu di mana Fajar berada.
Semua akan baik-baik saja. Setidaknya, itulah yang dijanjikan Rindang dan diyakini oleh Asoka. Asoka terus merapalkan mantra tersebut untuk membuat hatinya tenang.
Maka, ketika pagi ini semua orang mencari jasad Fajar—atas laporan Rengganis—mereka tidak menemukannya. Hingga matahari tergelincir di ufuk Barat, jejak Fajar seolah lenyap tertelan bumi. Maka, polisi menganggap kalau pembunuhan itu tidak terjadi.
Rindang tersenyum. Fajar aman di bawah tubuhnya. Sejak sebelum subuh, Rindang telah merontokkan daun-daun di tubuhnya untuk menutupi jejak tanah galian yang ditinggalkan Asoka.
Tak lupa, Rindang memohon kepada hujan untuk menghapus darah yang melekat di tanah. Selain itu, Rindang juga merayu angin agar membantu membawa pergi aroma tubuh Fajar.
Benar, semua akan baik-baik saja. Satu-satunya saksi atas perbuatan Asoka semalam hanya Rindang. Sebatang pohon beringin yang sudah berdiri kokoh di sudut taman kota lebih dari enam puluh lalu. Pohon yang ditanam oleh kakeknya Asoka. Pohon tempat Asoka menghabiskan setengah perjalanan hidupnya.
***