Masukan nama pengguna
“Kamu bisa istirahat duluan. Ada sesuatu yang harus saya selesaikan di luar. Jangan tunggu saya. Nanti saya bawa kunci kamar aja.”
Malam pertama macam apa ini? Kinan membatin. Matanya menatap pintu kamar yang ditutup oleh Rio. Baru beberapa jam lalu mereka sah sebagai suami istri, kini Rio memilih pergi menyelesaikan urusannya yang entah sepenting apa hingga lelaki itu tak ingat bahwa ini malam pertama mereka.
“Hati-hati.”
Hanya itu yang sanggup Kinan katakan. Memangnya dia bisa berkata apa lagi? Jangan pulang terlalu larut? Jangan pergi, ini malam pertama kita? Bisakah kamu menunda urusanmu sampai besok? Temani saya malam ini?
Semuanya jelas tak mungkin. Dia dan Rio tidak cukup dekat, bahkan untuk sekedar basa-basi atau berbincang sebagai pasangan pengantin yang baru saja resmi menandatangani buku nikah. Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan tanpa rencana? Ingatan Kinan terlempar menyusuri kejadian tadi pagi.
“Saya terima nikah dan kawinnya Kinanti Larasati binti Almarhum Iwan Setiawan dengan mas kawin emas sepuluh gram dan uang sebesar dua puluh lima juta rupiah dibayar tunai.”
“Bagaimana saksi? Sah?”
“Sah”
“Sah”
“Alhamdulillah.”
Lima puluh orang yang hadir menyaksikan akad nikah itu riuh mengucap syukur. Tak sedikit yang tersedu saat mengingat kedua orang tua mempelai perempuan tidak bisa menyaksikan pernikahan putri semata wayang mereka. Kecelakaan tragis dua tahun lalu merenggut nyawa pasangan Iwan Setiawan dan Aning Suratmi. Janji sehidup semati yang mereka ikrarkan saat menikah dulu tunai sudah. Keduanya benar-benar sehidup semati meninggalkan Kinanti untuk melanjutkan hidupnya sendiri.
“Ayo Neng Kinan, dicium dulu tangan suaminya.”
Suara penghulu yang baru saja menikahkan mereka menyadarkan Kinan yang asyik dalam lamunannya. Jiwa Kinan sedang mengembara mencari keberadaan ayah bundanya. Impiannya untuk dinikahkan oleh sang ayah kandas sudah.
Kinan menggeser sedikit duduknya lalu menghadap ke samping. Tepat di mana Rio yang kini sudah sah menjadi suaminya sedang duduk menatap ke arah Kinan. Rio mengulurkan tangan kanannya dan Kinan menyambut tangan itu lalu menciumnya takjim.
Setelah itu, Rio dan Kinan digiring menuju pelaminan yang telah disediakan tak jauh dari tempat mereka melangsungkan akad nikah. Sejak awal, Kinan memang meminta agar akad nikah dan resepsi dilakukan di tempat yang sama. Untunglah tidak ada yang menolak keputusannya.
Pasangan pengantin baru itu tampak serasi mengenakan busana serba putih. Kebaya putih tulang dengan beberapa ornamen warna senada yang dikenakan Kinan sudah menjelaskan dengan gamblang betapa elegannya rancangan Azmira Razwaty. Jelas berbanding lurus dengan harga yang Rio bayar.
Begitu pula beskap yang menutupi tubuh liat Rio. Sekilas pandang saja orang sudah tahu pakaian Rio kali ini merupakan rancangan khusus yang dibuat hanya untuknya.
“Selamat ya, Kin. Nggak nyangka malah kamu yang nikah duluan.”
“Kin, kamu hutang banyak penjelasan loh.”
“Kamu luar biasa Kin. Bisa menaklukkan seorang Rio Basupati.”
“Ah, Kin, gue bingung mau komen apa. Lo kudu jelasin banyak nih sama gue.”
“Congrats, Bro. Gila lu ya, nggak ada kabar apapun tiba-tiba nikah.”
“Harusnya pernikahan elo masuk ke salah satu daftar tanda-tanda kiamat, Bro.”
“Lo bikin perjanjian apa sampai itu cewek bisa masuk perangkap elo?”
Satu per satu teman-teman Kinan dan Rio menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat. Mungkin lebih tepatnya mengungkapkan kebingungan dan rasa penasaran mereka karena Kinan dan Rio tidak pernah terlihat dekat apalagi memiliki hubungan spesial.
Nama Rio Basupati sebagai seorang sutradara kondang yang film terakhirnya tembus di angka lima juta penonton, tentu tak bisa dipisahkan dari media. Namun, pernikahannya dengan Kinan sama sekali tak terendus oleh para pemburu gosip. Tiga bulan lalu, kanal-kanal berita masih menuliskan kedekatannya dengan salah satu artis papan atas. Meski Rio dan si artis tidak pernah memberikan klarifikasi apa pun.
Maka, ketika dua minggu lalu Rio dan Kinan mengumumkan tanggal pernikahan mereka, hal itu sukses membuat Raka—asisten pribadi Rio—terpaksa mengganti nomor ponselnya agar bisa fokus membantu menyiapkan pernikahan Rio dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang masih tertunda.
“Thanks ya, tanpa bantuan dari elo, semuanya pasti berantakan.” Raka mengucapkan terima kasihnya kepada Misye, sahabat Kinan.
“Lo pastikan aja, kalau bos elo nggak akan pernah nyakitin sahabat gue.”
***
Kinan duduk di tepi ranjang ukuruan king size. Aroma mawar yang begitu menyengat tak mampu membuat Rio mau tinggal di kamar pengantin mereka meski sejenak. Kinan cukup berterima kasih kepada Misye. Sahabatnya itu mungkin orang yang paling sibuk dalam menyiapkan pernikahannya. Nama Misye sebagai pemilik wedding organizer ternama menjadi taruhannya saat Kinan menyerahkan seluruh urusan pernikahan kepada si pemilik kulit eksotis itu.
Ratusan kelopak mawar merah yang masih segar terhampar begitu saja di atas kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur Kinan dan Rio malam ini. Kinan merebahkan tubuhnya. Biarlah dia nikmati sendiri ranjang pengantinnya. Mata Kinan memandang langit-langit kamar sambil mengingat betapa bodohnya dia yang telah memutuskan untuk menikah dengan lelaki yang nyaris tidak dia kenal.
Pertemuan pertama Kinan dan Rio terjadi dua bulan lalu. Rio datang ke kafe milik Kinan, memesan americano, lalu duduk tenang menghabiskan hampir tiga jam waktunya sambil menikmati berbatang-batang rokok. Tidak ada yang istimewa saat itu. Percakapan mereka sebatas ucapan terima kasih dari Rio ketika beranjak pulang.
Esoknya Rio datang lagi. Masih memilih duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Pun masih memesan minuman yang sama. Americano. Namun, kali ini lelaki itu menambah pesanannya dengan seporsi tiramisu.
Tidak ada obrolan apa pun. Rio sibuk berkutat dengan laptopnya. Sedangkan Kinan fokus di dapur dengan dessert yang sedang dia siapkan.
Rio menutup laptopnya ketika langit gelap paripurna. Ekor matanya melirik seorang gadis keluar dari bagian belakang kafe sambil membawa piring kecil berisi sepotong dessert yang tampak begitu menggoda. Gadis itu masih mengenakan celemek dengan rambut yang dicepol asal. Seksi. Kata itu melintas cepat di kepala Rio. Setelahnya, Rio pun pergi menuju hotel tempat dia tinggal untuk beberapa hari ke depan.
Hari ketiga Rio masih setia memilih tempat yang sama. Entah kebetulan atau memang keberuntungan, kursi yang dia pilih sejak tiga hari lalu tak pernah ada yang menempati selain dirinya. Padahal pengunjung kafe ini tidak bisa dikatakan sepi.
Kali ini Rio memesan hazelnut latte dan seporsi potato wedges sebagai pengganti makan siang yang sudah terlambat dua jam.
Kedatangan Rio yang ketiga kalinya ini tak luput dari perhatian Kinan. Rio terlihat berbeda dari pengunjung lainnya. Dia datang sendiri dan selalu duduk di tempat yang sama. Lelaki itu tidak merasa terusik dengan sedikit keriuhan yang ditimbulkan pengunjung lain.
Mungkin dia sedang butuh tempat dan suasana baru untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pikir Kinan. Setelah itu, Kinan berinisiatif menyuguhkan white romantic. Dessert yang sengaja dibuat serba putih dengan komponen gelato melati, ganache kelapa beku, cokelat putih, gum jelly strawberry, gel yoghurt, dan gel consomme strawberry.
Rio memandang hidangan di depannya tanpa berkedip. Potongan dessert itu sangat luar biasa. Sungguh memanjakan mata. Hampir seperti dalam laboratorium sains. Membuat siapa pun ingin menyelam ke dalam mangkuk saji. Semua rasa itu, coklat putih, stroberi, dan kelapa melengkapi satu sama lain dengan sangat baik. Teksturnya sangat kontras. Isian gel cair dalam serpihan cokelat renyah bagaikan ceri di atas salju.
“Rasanya luar biasa. Jauh melampaui ekspektasi saya. Sepertinya kamus kosa kata saya tidak cukup untuk menggambarkan rasa yang baru saja menari di lidah saya.” Rio tak mampu menyembunyikan rasa kagumya.
“Terima kasih. Saya senang jika pelanggan di sini menyukai hidangan kami.”
“Rio.”
Tangan yang penuh guratan urat itu terulur ke depan Kinan.
“Kinan.”
Dan Kinan menyambut uluran tangan Rio tanpa ragu. Setelahnya, dia duduk di seberang Rio, terhalang meja bar yang menjadi pemisah di antara keduanya.
“Kamu pemilik kafe ini?” tanya Rio
“Tebakan yang sangat tepat. Dan kamu sendiri?”
“Kalau saya bilang nama lengkap saya Rio Basupati, apakah kamu bisa menebaknya?”
“Maaf?”
Gelengan kepala Kinan sedikit mengejutkan Rio.
“Saya sutradara film sekaligus penulis skenario dari Jakarta.”
“Sepertinya saya sempat mendengar nama itu. Maaf karena saya benar-benar tidak tahu. Mungkin saya terlalu lama berada di dapur, jadi kurang mengenal dunia luar. Lalu, jauh-jauh datang ke sini untuk apa?”
“Riset. Film yang sedang saya kerjakan kali ini menceritakan pengusaha kopi di Lampung.”
“Based on novel?”
“Yes.”
“Boleh saya tebak lokasinya?”
“Dengan senang hati.”
“Sumber Jaya dan Tanggamus. Right?”
“Kamu membaca novelnya?”
“Yes, I’m.”
Lalu mereka mulai membicarakan novel yang dimaksud.
Di hari kelima, Kinan menemani Rio menjelajah kebun kopi di Sumber Jaya. Belajar tentang berbagai jenis kopi di Sekolah Kopi. Menikmati kembang kopi yang mulai memutih. Hingga ...
“Kita harus menikah.”
Kinan mengerjapkan mata berkali-kali mendengar ucapan Rio. Menikah? Dia dan Rio? Demi apapun, ini adalah hal terkonyol yang dia dapatkan dari seorang Rio.
“Kenapa kita harus menikah?”
“Karena saya yakin, kita memang harus menikah.”
“Tapi kita tidak saling cinta.”
“Justru itu alasan utamanya.”
Kepala Kinan makin berdenyut. Dia percaya, ada pernikahan yang tanpa dilandasi cinta. Tapi itu hanya terjadi dalam perjodohan. Karena kepentingan yang saling menguntungkan. Sedangkan dia dan Rio? Keuntungan apa yang bisa mereka peroleh?
“Untuk beberapa alasan, saya diminta untuk segera menikah. Tapi saya tidak bisa menikah dengan perempuan yang jatuh cinta kepada saya.”
“Kamu yakin kalau saya tidak akan jatuh cinta kepadamu?”
“Yakin.”
“Lalu, apa keuntungan yang saya dapat kalau mau menikah denganmu?”
“Kamu bisa mendapatkan modal untuk kafemu tanpa harus meminjam ke bank seperti yang kamu ceritakan kemarin.”
Tawaran yang cukup menggiurkan bagi Kinan. Sudah lama dia ingin merenovasi kafe kecil miliknya, namun selalu terbentur masalah biaya. Untuk mengajukan pinjaman ke bank, rasanya Kinan masih berat.
“Setelah menikah, bagaimana kita akan tinggal?” Kinan membayangkan betapa lelahnya andai dia harus bolak-balik Bandar Lampung – Jakarta.
“Bisa di atur. Setahun ke depan, saya akan tinggal di sini untuk menyelesaikan filmku,” jawab Rio santai.
“Apa saya bisa menolak?”
“Cukup katakan ya.”
Empat minggu kemudian, Rio Basupati mengumumkan berita pernikahannya dengan Kinanti Larasti. Tak sampai 24 jam, wartawan sudah memburu Kinan. Bahkan kafe miliknya tak pernah sepi dari kerumunan para pewarta. Kinan harus pintar-pintar menyembunyikan keberadaan dirinya.
***
“Morning ...”
Kinan yang memang sudah mulai bangun dari tidurnya seketika melompat dan duduk dengan wajah kaget karena mendengar ada suara laki-laki dalam kamar tersebut.
“Morning ... saya suami kamu. Mungkin kamu lupa.” Rio yang duduk di sisi ranjang kembali menyapa Kinan. Kali ini Rio memandang lekat wajah Kinan. Sudah hampir 24 jam perempuan itu sah menjadi istrinya.
“Morning.” Kinan mulai mengumpulkan keping demi keping kesadaran.
Perlahan dia mulai ingat. Saat ini dia ada di sebuah kamar hotel yang telah disulap menjadi kamar pengantinnya. Ingatannya kembali mundur ke hari kemarin. Dia baru saja melepas status lajangnya. Semalam, lelaki ini malah meninggalkannya di malam pertama mereka sebagai suami istri.
Kinan tak tahu, Rio sengaja menghindar dari Kinan dan memilih bertemu dengan Raymond di kamar lain. Hotel yang sama.
“Kamu tahu, apa yang kamu lakukan kepada Kinan itu sebuah kesalahan fatal. Kamu nggak memikirkan resiko untuk Kinan.” Raymond menggeram marah. Dokter tampan itu memijat pelipisnya dengan gelisah.
“Ini satu-satunya cara yang menurutku baik untuk semua orang. Ibuku berhenti menanyakan kapan aku menikah dan Kinan akan mewujudkan impiannya membesarkan kafe,” Rio membela diri.
“Untuk berapa lama?”
“Mungkin setahun,” gumam Rio.
“Kamu harus bicara. Meski kalian sepakat tidak ada seks dalam pernikahan ini, tapi istrimu itu berhak tahu kondisimu.” Suara Raymond mulai terdengar lelah. Ada nada khawatir yang terselip dalam intonasinya.
“Aku janji, akan menjaga dia sebaik mungkin.”
Rio menyingkir dari tatapan Raymond. Memilih tidur untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Hingga pagi menyapa, dan Rio harus kembali ke kamar pengantinnya.
“Kapan kamu datang? Udah lama?” Kesadaran Kinan mulai utuh.
“Nggak. Saya baru datang. Terus lihat kamu masih tidur.”
“Sorry. Habis Subuh saya tidur lagi.”
“Jadi, hari ini apa agenda kamu?” tanya Rio.
“Mungkin saya langsung ke kafe.” Kinan memijit pelipisnya pelan. Sejujurnya, dia tidak punya agenda apapun. Dia sudah mengajukan cuti selama tiga hari dan meliburkan kafe. Meski tidak dilandasi cinta, Kinan tidak berpikir main-main dengan pernikahan ini.
“Saya free. Kamar ini pun masih atas nama kita sampai besok.”
“Lalu?” Kinan menatap Rio penuh selidik.
“Bisa kita bicara?”
“Tentang apa?”
“Kita,” jawab Rio singkat.
“Apa lagi yang harus dibicarakan? Saya pikir semuanya sudah jelas. Kita keluar dari kamar ini sebagai suami istri hanya di depan publik saja. Selebihnya kita bisa menjalani hidup masing-masing seperti sebelumnya. Tidak ada seks, apalagi cinta,” terang Kinan.
Bibir Rio tiba-tiba saja kelu. Keberaniannya menguap entah ke mana. Tatapan Kinan yang selembut sutra membuat Rio kembali bertanya kepada dirinya sendiri, haruskah dia berterus terang kepada Kinan kalau sudah lima tahun ini dirinya positif mengidap HIV? Selama itu pula Rio berada dalam pengawasan Dokter Raymond sebagai dokter pribadinya.
***