Masukan nama pengguna
Disclaimer : Pada jaman dahulu kala, cerpen ini pernah dimuat di sebuah website bernama Annida-online. Website itu sekarang telah down, dan saya post di sini hanya untuk menolak hilang. Semoga bermanfaat.
“PLAYBALL!”
Begitulah Ahmad memekik dan aku tahu itu adalah signal bagiku untuk melempar bola. Tapi, kami tidak sedang bermain baseball! Kami sedang bertaruh antara hidup dan mati! Jelas kami tidak berada di lapangan!
Ironisnya, pekikan Ahmad itu mengingatkan aku pada suatu pagi di mana Zack, sepupuku, memekikkan kata yang sama saat melompat keluar di tikungan dan mengayunkan tongkat baseballnya kepada Ahmad. Tongkat itu akan mendarat di dadanya kalau saja bocah Arab itu tidak sempat menghadang dengan kedua lengannya. Tapi memang tak ayal dia terdorong juga, dan terjungkal. Setelah dia terjungkal seperti itu, ritual biasa pun segera berlangsung; kami menendanginya ramai-ramai.
“Pulang ke kampungmu, Teroris! Kau tidak layak di sini!” pekik Zack saat kami berhenti menendanginya. Zack meludah, dan aku yakin dia sebenarnya hendak meludahi muka Ahmad, tapi meleset.
Melihat itu aku sempat mendengus. Zack memang punya tangan yang kuat dan akan selalu mencetak home-run, jika dia bisa berhasil memukul bola—aku tekankan JIKA dia berhasil memukul bola. Dia memang kuat, tapi tidak punya daya akurasi. Dia tidak bisa memukul bola dengan tepat. Itulah mengapa Kakek lebih menyukaiku yang berhasil menjadi Pitcher (pelempar) favorit di tim inti Klub Baseball sekolahku.
Meski meringis, Ahmad menyeringai dan berkata, “Kalian juga nggak layak di sini, tanah ini milik orang Cherokee.”
Zack hendak mengayunkan tongkatnya lagi, tapi aku segera menahannya dan menunjuk ke tikungan lain yang agak jauh. Kami melihat moncong Cadillac putih berstrip biru muncul di tikungan itu. Mobilnya Sheriff!
Sontak aku, Zack dan dua teman kami kabur sebelum mobil sheriff itu terlihat seluruhnya. Kami berhasil kabur dan yakin kalau Ahmad tidak akan berani melaporkan kami—setidaknya menurut Zack. Menurutku sendiri …, well, dari cara dia menahan dan melindungi diri dari serangan kami, dia terkesan siap menghadapi kami. Praktis dia bukan seorang pengadu. Dia tidak akan melaporkan kami karena dia memilih berhadapan langsung dengan agresi kami.
Ahmad sebenarnya sesekolah denganku. Well, di kota kecil macam Apalachee Pass ini, seluruh anak sebayaku memang satu sekolah. Dia sekelas denganku di kelas Sains. Dia sebenarnya anak yang baik dan ramah. Hanya saja, hidungnya yang besar dan bengkok seperti paruh elang, janggut lebat dan tutup kepala aneh yang selalu dikenakannya, benar-benar mencirikan dia seorang Moslem—seorang teroris!
Memang tidak sedikit di kota ini yang punya pandangan seperti ini terhadapnya (juga terhadap keluarganya). Tapi, sepertinya dia tidak terpengaruh. Maksudku, dia masih bisa bersikap ramah meski dibully seperti itu. Bahkan, dia tersenyum saat tanpa sengaja berpapasan dengan kami.
Pernah suatu siang di sekolah, Zack merebut topi aneh Ahmad dari belakang, lalu Zack melemparnya kepadaku. Aku yakin Zack berharap Ahmad berusaha merebutnya kembali, tapi tidak. Dia hanya berdiri dan tersenyum, menunggu respon kami selanjutnya. Kulihat muka Zack memerah karena marah. Aku coba meredam marahnya dengan melempar topi itu kepala Ahmad sekuat yang aku bisa. Aku tahu topi itu tidak akan melukainya, tapi setidaknya bisa mempermalukannya.
Hanya saja, sejengkal lagi lemparanku mendarat di samping mukanya, dia dengan sigap menangkap lemparanku, padahal dia tidak sedang melihatku. Alih-alih dipermalukan, dia malah mempermalukan aku dan tentu saja menambah murka Zack. Pulang sekolah kami mesti memukulinya lebih lama dari biasanya.
Zack adalah sepupuku. Lebih tua satu tahun dariku dan kami tinggal bersama dengan Kakek dan Nenek. Orang tua Zack raib entah ke mana. Menurut Zack sendiri, mereka meninggal saat WTC runtuh setelah 11 September silam, tapi sepertinya itu tidak benar. Menurut Kakek, orang tua Zack tidak ada hubungannya dengan dengan Manhattan, lebih-lebih dengan Menara Kembar itu. Ayahnya seorang berandal geng motor asal Los Angeles, sementara ibunya (putri Kakek) gadis bengal yang … well, sebut saja mengecewakan Kakek dan Nenek.
Meski aku tahu versi Kekek lebih mendekati kebenaran, tapi aku lebih terpengaruh oleh delusi Zack. Perlu kamu tahu, ayahku (putra Kakek) meninggal ketika dinas di Kuwait. Dengan fakta itu kamu bisa mengerti, kan, kalau delusi Zack lebih menarik perhatianku? By the way, ibuku masih hidup; dia sedang ada kontrak kerja di Jerman.
Anyway, aku tidak menyangka pandanganku terhadap Ahmad bisa bergeser.
Aku ingat saat itu aku sedang latihan baseball di lapangan sekolah. Aku sedang melatih lemparan curve-ku ketika aku melihat Ahmad, cukupjauh di luar lapangan, di dekat sebatang pohon Ek. Dia sedang berdiri terdiam cukup lama, lalu kulihat dia membungkuk, berdiri lagi, lalu menjatuhkan diri mencium tanah. Seketika aku tahu dia sedang melakukan ritual sembahyang agamanya. Lalu, sebuah ide muncul di benakku. Terus terang, sebenarnya aku tidak usah mengeksekusi ide itu, tapi saat itu ide itu terasa menggelitik … terasa menantang. Aku lempar bola melambung, jauh ke arah Ahmad. Dan tepat kena di kepalanya!
Aku mengangkat kedua tanganku, bersorak dalam hati, YES!!! Tapi kemenangkanku itu berumur pendek. Tiba-tiba seseorang memukul kepalaku dengan sebuah topi baseball! Aku mendongak dan melihat pelatihku, Mr. Norris telah melepas topinya dan menatapku tajam.
“Ambil bolanya, dan minta maaf sama dia!” desis Mr. Norris.
“Tapi, Coach—”
Mr. Norris melotot dan menunjuk supaya aku segera melaksanakan perintahnya.
“Setelah itu beri aku sepuluh putaran!” tandasnya lagi.
Kututup mulutku dan mulai melangkah. Aku pergi sambil merajuk dalam hati. Tentu saja aku tidak akan minta maaf! Aku tidak sudi minta maaf!
Aku dekati Ahmad sambil mengepalkan tangan. Dia masih dengan ritualnya saat kau telah dekat. Aku pungut bolaku dan setelah itu aku lihat dia telah selesai dengan ritualnya. Dia berpaling ke arahku dan tersenyum.
Aku mendengus. “Coach bilang aku mesti minta maaf. Tapi kau tahu aku tidak akan melakukannya, kan?”
Dia berdiri. “Tidak perlu. Aku sudah memaafkan kamu,” katanya santai.
Aku meludah. “Kau pikir sikap manismu bisa mengelabuiku, Teroris?”
Dia mengangkat bahu. “Aku tidak perlu mengelabui siapapun. Begitu juga dengan kamu, kan? Kebencian kamu terhadap muslim bisa dikatakan lebih … genuine. Well, ayah kamu meninggal di Irak, kan? Eh, atau Kuwait? Anyway, berbeda dengan sepupumu yang … lari dari kenyataan. Kebenciannya membuat dia merasa lebih punya arti. Kebenciannya lebih merupakan cara dia menyalurkan emosinya terhadap … well, terhadap orangtuanya … terhadap hidup …. Kasihan sebenarnya dia.”
Seiring ucapannya, mataku terbelalak. “Da-darimana kamu tahu?”
Ahmad tersenyum, “Sun Tzu pernah menulis, ‘Kenali dirimu sendiri dan kenali musuhmu, maka engkau tidak akan pernah takut akan hasil dari ratusan pertempuran.’ Well, sekarang aku sudah mengenal siapa kamu, kan? Sekarang, apa yang kamu kenal dari musuhmu ini? Seorang teroris? Hanya itu?”
Aku terdiam, dan mendapat aku terdiam, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah buku kecil.
“Tangkap!” katansya sambil melempar buku itu kepadaku.
Aku menangkapnya.
“Itu adalah aturan mainku. Code of conduct-ku sehari-hari. Mungkin kamu bisa kenali aku lewat buku itu. Dan mungkin kelak, kamu bisa ‘mematahkan’ aku.”
Aku mengerenyit dan menatap buku itu sebelum berpaling kepada Ahmad. “Apa-apaan ini? Mengapa kamu lakukan ini?”
Ahmad hanya mengangkat bahu. “Jika kalian berhenti memukuliku, aku akan sangat menghargainya. Tapi, kalau masih mau melanjutkan, aku tidak keberatan. Aku juga ingin tahu seberapa lama aku bisa bertahan. Tapi aku yakin, aku akan tumbuh semakin kuat.”
Aku terpekur menatapnya dan dia hanya tersenyum sambil berkata, “Aku pergi, may peace be with you.”
Dia pun menjauh.
Aku kembali ke lapangan dan aku penuhi detensi pelatih. Lari sepuluh putaran. Tapi terus terang, detensi itu tidak terasa olehku. Benakku tersita penuh oleh adegan bersama Ahmad tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Usai latihan, aku lihat Kakek menjemputku dengan truk pick-upnya. Tidak sengaja, hanya searah dari pulang belanja perlengkapan berkebun Nenek di Home Depo.
“Kena detensi?” tanya Kakek saat menyembutku di truknya.
Aku hanya mengangkat bahu.
“Well, lihat sisi baiknya. Kamu akan tumbuh lebih kuat,” kata Kakek sambil memutar kunci dan truk pun menyala.
Sampai di rumah aku langsung ke kamar. Aku ambil buku pemberian Ahmad dan membacanya sambil berbaring di tempat tidur. Rasa ingin tahuku mencuat naik! Memangnya code of conduct macam apa yang dia punya?
Di sampul buku itu tertulis, “Holy Quran”. Mendapati tulisan itu benakku segera mengacu pada stereotipe kalau buku ini adalah buku jahat, penuh dengan kekerasan. Tapi stereotype itu malah membuatku penasaran, seberapa jahat buku ini sebenarnya?
Aku buka buku itu dan tampak tampilan sehalaman yang terbagi dua sisi; satu sisi bertuliskan Bahasa Inggris, sisi lain coretan asing yang bisa aku tebak merupakan Bahasa Arab.
“In the name of God, The Merciful …,” aku mulai membaca.
Tujuh baris pertama yang aku baca membuatku berpikir, tidak ada yang salah dengan ini. Tapi, kemudian sebuah ide menumbuk benakku yang membuatku menutup buku itu. Terpikir olehku kalau yang aku baca itu semacam muslihat. Aku terdiam sejenak, menatap buku itu. Aku rasakan penasaranku makin menjadi dan sekonying-konyong membuatku berdoa, “Oh, Tuhan, lindungi aku dari iblis, dari setan ….”
Lalu, aku buka kembali buku itu dan membacanya. Tapi aku tidak sempat karena mendadak aku terperanjat dan buku itu sempat terjatuh ke sisi tempat tidur. Aku terperanjat karena ada seseorang memasuki kamarku lewat jendela.
Sebenarnya aku tidak perlu terkejut karena seseorang itu hanyalah Zack. Dia sudah biasa menggunakan jendelaku sebagai jalan untuk mencapai atap. Di atap, aku dan Zack mendapatkan semacam sanctuary—tempat pribadi dari jangkauan otoritas Kakek. Di atap biasanya Zack merokok, membaca Playboy atau segala hal yang tidak ingin diketahui Kakek.
Aku terperanjat tentu saja karena aku tidak ingin Zack menemukan aku membaca Quran. Tapi sepertinya terlambat. Setelah aku memungut buku itu, Zack telah menjejakkan kakinya di kamarku.
“Apa yang sedang kau baca?” tanyanya melihatku memegang buku.
Memang aku ingin menyembunyikannya, tapi tiba-tiba aku teringat gaya Ahmad merespon dan segera aku menirunya. Aku tunjukkan sampul buku itu dan menjawab, “Quran.”
“Koran?” Buku setan itu? Untuk apa?”Aku dengar suaranya meninggi.
“You know, seperti kata Sun Tzu, ‘Kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka kau tidak akan takut ratusan pertempuran,’” jawabku santai.
Zack mangut-mangut. “Good point,” katanya seraya hendak keluar kamarku.
“Hey!” panggilku seraya memberi isyarat kalau di telinga Zack terselip sebatang rokok.
Dia menyingkirkannya dan berkata, “Kau punya permen?” Ia coba napasnya sendiri.
Aku mengangkat bahu. “Gosok gigi aja!”
Dia pun pergi dan aku kembali ke Quran.
Terus terang aku bukan pembaca cepat. Tidak hanya itu, aku juga tidak mudah untuk mengerti. Karenanya, aku tidak serta merta mengubah pandanganku soal Ahmad, meski mungkin ada efeknya aku membaca buku itu. Hanya saja, aku dipaksa mengerti Ahmad dengan cara yang tidak disangka-sangka. Cara yang dramtis.
Selang tiga hari, kelas sains-ku mengadakan fieldtrip ke Atlanta, ke Fernbank Science Center. Dan tentu saja Ahmad ikut serta. Terus terang aku tidak terlalu suka fieldtrip ini, tapi satu hal yang membuatku bertahan ikut; kesempatan melihat stadium baseball Atlanta Braves ketika kami melintasi Route 85 menuju pusat Atlanta.
Oh, God! Aku berharap kelak bisa berdiri di tengah stadium itu dan mencetak lemparan-lemparan terbaikku! Memang khayal itu hanya sebentar, hanya saat lewat stadium itu, tapi sangat layak menurutku. Dan aku masih bisa bertahan dengan fieldtrip ini dengan prediksi saat pulang aku akan melihat stadium itu lagi. Tapi prediksiku meleset.
Perjalanan pulang, bis kami sempat berhenti di lampu merah, ketika tiba-tiba aku dengar keributan. Pintu depan bisa kami dibuka paksa oleh dua orang laki-laki bersenjata api! Jerit dan teriak bersahutan yang dipaksa diam oleh kedua laki-laki itu! Fieldtrip yang membosankan ini mendadak berubah menjadi drama penyanderaan yang menegangkan. Dua laki-laki itu memakai semacam topeng. Dari apa yang aku lihat dan aku dengar, aku berasumsi kedua laki-laki itu telah merampok sebuah bank, tapi gagal melarikan diri dan akhirnya menyandera kami.
Kami dipaksa merunduk di kursi kami. Kudengar di luar sana polisi sudah mengepung bis ini. Dan lewat pengeras suara, mereka mulai bernegosiasi dengan kedua perampok gagal ini. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan proses negosiasi itu karena benakku di rundung penyesalan kenapa aku mesti ikut fieldtrip ini. Tapi kemudian, penyesalan itu dipaksa berhenti oleh perasaan terkejut. Sangat terkejut!
Ketika kita dipaksa duduk sambil merunduk di kursi bis, yang kita bisa lihat hanya ujung sepatu kita, ya, kan? Aku juga begitu, sampai tiba-tiba muncul kepala Ahmad yang merayap di lantai bisa dari kursi di belakangku. dia berbaring dengan punggung menyentuh lantai bis dan dengan telunjuknya ia beri aku isyarat untuk diam. Lalu, dia ulurkan tangan kepadaku, memberiku sebuah gumpalan kertas seukuran kepalan tanganku. Tentu saja aku terkejut, tapi juga takut. Aku tidak berani beraksi apa-apa, selain memelototi Ahmad.
Dia pun terdiam, tidak berkata apa-apa, tapi matanya menatapku seolah memohon supaya aku mengambil gumpalan kertas itu. Aku mengambilnya dengan alasan agar dia cepat pergi. Setelah gumpalan kertas itu di tanganku, dia merayap kembali ke kursi belakang bis.
Aku buka gumpalan keras itu dan aku temukan sebutir bola baseball. Di bungkus kertasnya aku melihat tulisan Ahmad.
Kamu tahu apa yang mesti kamu lakukan jika saatnya tiba. Aku tahu kamu takut, aku juga! Tapi jika kita bisa lewati ini, impianmu masuk Atlanta Braves tidak akan jauh lagi! Percayalah!
Aku membacanya dan terpana. Aku tidak bisa menyangka darimana dia tahu impianku. Tapi lebih dari itu, aku semakin takut dengan rencana Ahmad.
Apa yang dia rencanakan? Apa yang dia mau dariku?
Tapi pikiran itu tentu saja tidak berguna sebenarnya, karena hati kecilku sadar kalau sebenarnya aku tahu apa yang Ahmad ingin aku lakukan. Aku punya gambaran apa yang Ahmad rencanakan. Aku hanya ragu dan … takut. Lalu, dua menit kemudian momen itu datang.
Dan, kamu tahu? Jika kamu berlatih baseball (atau olahraga apapun) sesering aku, akan ada saat-saat tertentu ketika kamu tidak lagi berpikir; yang mengendalikan kamu adalah insting. Aku genggam erat bola baseball itu.
Lalu, aku lihat Ahmad berjalan melewati kursi bisku, mendekati para perampok itu. Tentu saja perbuatan Ahmad menarik perhatian dua permapok itu.
“Hey-Hey! Apa yang kau lakukan?” bentak salah satu perampok sambil mengacungkan senjatanya ke Ahmad.
Ahmad berhenti dan bergumam, “Playball …”
“Apa?” tanya perampok itu heran.
“PLAYBALL!” pekik Ahmad seraya merunduk.
Pada momen ini aku telah keluar dari kursiku dan berdiri di belakang Ahmad. Bola sudah di tanganku, dan ketika Ahmad memekik, tanganku sudah mengambil ancang-ancang, dan ketika Ahmad merunduk bola telah lepas dari tanganku, melesat cepat dan menghantam muka salah satu perampok.
Eh, bagaimana dengan perampok yang lainnya? Pikiran itu sempat membuatku ciut. Tapi, kamu tahu? ketika Ahmad merunduk tadi, sebenarnya dia sedang membangun ancang-ancang. Dan ketika bolaku melesat, dia juga ikut melesat dan menerjang lengan dan rahang perampok lainnya.
Dalam hitunga detik, kami terbebas dalam drama penyanderaan ini!
***
Dalam kondisi yang lain, mungkin aku tidak akan pernah mau duduk di samping Ahmad. Tapi kini aku duduk di sampingnya. Bukan karena terpaksa atau tidak pilihan lain, hanya perasaan kebas—masih sulit percaya dengan apa yang baru saja kami alami.
Aku dan Ahmad duduk di semacam ruang tunggu kantor polisi. Kami baru saja memberikan keterangan kami tentang apa yang kami lakukan saat drama penyanderaan itu. Kamu tahu? Penyandera yang kena lemparanku mengalami gegar otak, sementara penyandera yang lain patah tulang rahangnya.
“Kau takut?” tanyaku pelan. Aku tidak bisa menahan gemetar dari nada suaraku.
“Sangat,” jawab Ahmad. “Bagaimanapun aku seorang Muslim. Sudah jadi stereotype kalau kami ini teroris. Aku mungkin akan tinggal di sini lebih lama.”
“Bukan! Maksudku ketika di bis tadi. Bagaimana kamu bisa memikirkan ide itu?! Merangkak di kolong bis? Lebih-lebih bagaimana kamu tahu impianku masuk Atlanta Braves?”
Ahmad tersenyum. “Elementary, Watson!” jawab Ahmad meniru Sherlock Holmes, lalu dia tertawa. “Well, sebenarnya aku tidak tahu. Lagipula itu sudah berlalu. Sebaiknya kita lihat ke depan. Coba tebak, sekarang di luar sana para wartawan sedang berkumpul. Mereka ingin tahu, siapa yang membuat seorang bajingan gegar otak oleh lemparan cepatnya! The next thing you know, kamu akan terpampang di koran-koran sebagai ‘Out-gunner dari Apalachee Pass’. Aku akan heran kalau Atlanta Braves tinggal diam mendengar berita ini.”
Aku terperangah. “Ke-kenapa kamu melakukannya? Ma-maksudku, apa … kamu tidak membenci aku? Aku yang selama ini membully kamu!”
Kulihat tatapan Ahmad menerawang, tapi dia masih tersenyum. “Kamu tahu asalnya kebencian?” tanyanya tiba-tiba. “Kebencian berasal dari rasa takut; takut yang berasal dari ketidaktahuan—ketidakmengertian. Aku tidak takut terhadapmu, karenanya aku tidak bisa membencimu.”
Lalu tiba-tiba Ahmad mendenguskan tawa dan berkata, “Lagipula, kalau kamu fans-nya Atlanta Braves, kamu pasti tahu perkataan ini, ‘Aku yang memegang pemukulnya, biar dia yang memegang bola gemetar ketakutan.’”
Aku mengerenyit heran, terus terang aku tidak tahu Ahmad mengutip siapa, tapi kemudian jawabannya kau dapat dari arah yang tidak aku sangka-sangka.
“Hammering Hank!”
Kudengar suara Kakek dari belakang kami. Kulihat beliau ditemani seorang petugas polisi.
“Itu kata-katanya Hammering Hank, bukan?” tanya Kakek kepada Ahmad.
“Yes, Sir. Aaron ‘Hammering’ Hank. 755 homerun, melewati rekor Babe Ruth,” jawab Ahmad.
“Kamu suka baseball?” tanya Kakek. Kulihat senyum lebar yang tulus di bibir Kakek.
“Cukup suka untuk tahu kalau cucu Anda bakal jadi pitcher terhebat sepanjang masa, Sir. Mungkin bakal melebihi Walter Johnson!”
“Bukannya Pitcher terhebat itu Roger Clemens?” sanggah Kakek.
“Well, itu baseball modern, Sir. Saya bicara sepanjang usia baseball. Walter Johnson itu pemain Washington Senators di 1910-an. Usia Major League Baseball sudah satu setengah abad, dan sudah 200 pemain lebih yang masuh Hall of Fame. Meski memang bisa diperdebatkan, fans baseball tahu siapa saja yang terbaik. Disitulah asiknya!”
Kulihat Kakek tertawa cukup lepas. Tawa yang jarang aku dengar. Lalu beliau bertanya kepada petugas polisi yang menemaninya apakah kami sudah boleh pulang. Petugas polisi itu memperbolehkan, tapi kami mesti menjawab pertanyaan wartawan di jumpa pers di depan kantor polisi terlebih dahulu.
Aku beranjak ketika Kakek memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Ajak temanmu!” seru Kakek.
“Maaf, Sir,” ucap Ahmad, “perlu Anda tahu, saya Muslim, Sir.”
“Moslem?” kata Kakek, “Kamu pikir aku peduli? Walaupun Osama Bin Laden, kalau dia bisa bicara baseball seperti kamu—the hell, aku akan mengundangnya makan malam! Ayo!”
Selanjutnya yang aku tahu, bocah Arab itu sudah menjadi teman Kakek. Melihat mereka aku jadi penasaran, bagaimana reaksi Zack kalau melihat ini.
***
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Awalnya aku hendak langsung berbaring, tapi urung saat melihat jendela terbuka.
Apa Zack di atas? pikirku. Aku dekati jendela, lalu sayup-sayup aku dengar isak tangis. A-apa Zack menangis?
Aku panjat jendela menuju atap. Aku melihat Zack, dan aku juga melihat punggungnya berguncang menahan tangis. Dia merunduk dalam.
“Zack? Kau baik-baik saja? Ada apa?”
“No-nothing!” tukas Zack cepat sambil segera membenahi diri.
“Kau menangis?” Aku dekati dia.
“Tidak!” sanggahnya lagi.
Kulihat tangannya memegang sesuatu. Sebuah buku—Quran pemberian Ahmad tempo hari.
“Kau membacanya?” tanyaku, terdengar cukup terkejut.
“Tidak …,” kini suaranya terdengar lirih. “Buku ini …, buku ini yang membaca aku ….”
Keningku mengerenyit heran. Kulihat dia merunduk, menatap buku itu.
Tiba-tiba kulihat sorot matanya berubah dan berpaling kepadaku. “Kau tahu? Menurut buku ini, ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, para malaikat bertanya, ‘Kenapa? Kenapa Engkau hendak menciptakan manusia?’ A-aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Para malaikat mempertanyakan keputusan Tuhan, ‘what’s wrong with You, Lord? Engkau hendak ciptakan sesuatu yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami mengagungkanMu?’ Kau lihat bahasa yang digunakan di sini? ‘Merusak dan menumpahkan darah’ berseberangan dengan ‘mengagungkan Tuhan’. Tapi, buku ini diklaim oleh mereka yang membom, membunuh atas nama Tuhan! Paradoks, bukan?”
Terus terang aku terperangah! Aku tidak menyangka di balik tubuh besar Zack ada otak yang perseptif! Aku sendiri tidak memikirkannya sedalam itu.
Lalu aku lihat Zack menarik napas dan melanjutkan. “Lalu Tuhan menjawab, ‘Aku tahu apa yang Aku lakukan!’ Aawalnya aku pikit itu jawaban yang dangkal dan kurang ajar, tapi … justru karena Tuhan yang mengatakannya, yang seharusnya Maha Tahu, maka jawaban itu menantang kita sendiri …, apa yang kita tahu sebenarnya? Terus terang, Bill, apa yang kita tahu? The hell! We don’t know Sh*t! Apa yang kita tahu berasal dari orang lain …., orang tua, guru, media, pendeta!”
Zack terdiam sesaat dan merunduk. Napasnya kini terdengar bergetar. Suaranya pun mendadak lirih dan sedih. “A-aku … aku tahu ayah-ibuku membuang aku, tapi kenapa? Apa ada alasan yang aku tidak tahu? Yang bisa aku terima? Mengapa aku repot-repot dilahirkan? Apa aku tidak tahu apa yang Tuhan tahu? Oh, God! Aku ingin tahu! Aku ingin tahu ….”
Kalimat Zack berakhir dengan satu isakan tangis.
Aku termenung sesaat, sebelum mengutarakan sebuah saran. “Kenapa kau tidak bertanya saja sama Ahmad? Maksudku, dia Muslim, pastinya dia tahu banyak soal buku itu.”
“Yeah, right! “ dengus Zack, “Apa kau yakin aku akan mendapatkan jawaban yang sebenarnya? Selama ini kita membully dia! He hate us for sure!”
Aku tersenyum, “You sure?”
Zack tampak heran melihat senyumku.