Flash Fiction
Disukai
3
Dilihat
2,019
A Brief History of a Cadaver
Aksi

Satu, dua, tiga, lalat hinggap di wajahnya. Merayap mendekati mata yang terbuka dan dia tidak berkedip. Dia tidak bisa lagi berkedip. Cukup sulit dipercaya kalau satu jam sebelumnya, mata itu masih memancarkan kehidupan, memindai permukaan jalan bersama tongkat besi berujung magnet. Dia sedang berburu paku. Tidak hanya paku, juga sampah plastik yang nantinya bisa dia jual. Namun dia sekarang tidak bisa menjualnya.

Sebagai bahan tinjauan, dia bisa saja masih hidup bila tidak panik saat seseorang menyergapnya dari belakang dan menjerat lehernya dengan kawat rem motor. Dia bisa mengayunkan tongkat besi ke belakang--meski tidak mengenai sasaran, setidaknya bisa memberi efek terkejut pada si pelaku hingga jeratan kawat itu melonggar dan memberinya kesempatan melarikan diri atau melawan. Alih-alih demikian, dia menjatuhkan tongkat besinya dan menggapai-gapai kawat yang kian erat menjerat leher. 

Setelah tak bernyawa, dia tergeletak dan terguling ke dalam selokan kering. Si pelaku menutupi mayatnya di selokan dengan karung yang setengah penuh sampah plastik. Tidak ada yang menyaksikan, tidak ada yang tahu. Padahal, saat itu siang hari dan di tepi jalan yang cukup besar. Tapi memang, jalan itu selalu sepi di siang hari. Hanya ramai pada pagi dan sore, sesuai dengan jadwal pergantian pekerja pabrik yang memang mendominasi kawasan itu. Agak sangsi dia bisa secepatnya ditemukan. 

Tapi mengapa dia sampai dibunuh?

Dia belum lama jadi pemulung. Awalnya dia seorang buruh pabrik di dekat sini, yang kemudian dipecat karena terlambat masuk. Hanya hari itu dia terlambat, tapi sepertinya cukup menjadi alasan pihak manajemen untuk melepasnya. Demi efisiensi, katanya. Dia hanya pasrah. Tidak melawan. Padahal alasan dia terlambat pun benar-benar di luar kendalinya. 

Di hari yang nahas itu, ban sepeda motornya gembos, tak jauh dari lokasi mayat dia berada sekarang.

Dia dorong motornya agak cepat, mengejar waktu supaya tidak terlambat masuk. Dia tahu di depan sana ada bengkel tambal ban. Namun sayangnya, tempat tambal ban itu sedang menangani klien yang juga bocor bannya. Dia tidak bisa menunggu. Dia lanjutkan mendorong motornya dengan benak yang teringat ada bengkel tambal ban lain di seberang jalan, agak jauh di depan. Sayangnya, ada dua klien di sana yang juga mengalami kondisi yang sama.

Dua, tiga, empat bengkel dilaluinya, hingga menjadi sebab pihak personalia mencetak surat PHK.  

Ternyata dia tidak sendiri, ada beberapa temannya bernasib sama. Mereka juga pasrah, mereka juga tidak berniat mengajukan pengaduan. Namun, hanya dia yang memutuskan menjadi pemulung, juga memburu paku-paku di jalanan. 

Apa karena dendam dia memburu paku-paku itu dengan tongkat magnetnya? Atau ada niat mulia agar tidak ada yang bernasib sama dengan dirinya? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pernah bertanya. Tidak ada yang mau tahu. Tidak ada yang akan pernah tahu. 

Dua, tiga, empat, lima, enam, lalat-lalat kian bertambah mengerumuni wajahnya. Ada yang masuk ke mulutnya. Ada yang masuk ke liang hidungnya. Matanya terbuka, kosong menatap langit, tapi langit juga menatap balik tidak peduli. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)