Masukan nama pengguna
Aku ketuk pintu kantornya, dan aku buka tanpa menunggu jawaban karena aku tahu dia sedang mengharapkan kedatanganku. Aku membawa secangkir kopi kesukaannya di tangan kanan, sementara ketiak kiriku mengapit sebuah folder. Aku langsung menghampiri mejanya dan meletakan cangkir kopi itu di samping kanan mejanya. Dia tidak beralih dari laptop dan berkas-berkasnya. Ia tidak hanya sekedar fokus, tapi juga gelisah. Ya, ini bukan presentasi sembarangan; ini bukan negosiasi abal-abal; dia sedang berusaha mengakusisi perusahaan ayahnya sendiri.
“Ini prospectus yang Anda minta, Sir. Juga catatan perubahan dari prospectus sebelumnya, kalau-kalau Anda membutuhkannya,” kataku sambil menyodorkan folder itu.
“Terima kasih!” jawabnya sambil menerima folder itu dengan tangan kiri tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar.
“Gio sudah kirim update di Bursa Efek, saya lampirkan tabelnya, juga proyeksi sampai nanti sore,” ucapku tanpa mengindahkan kurangnya perhatian terhadapku, tapi aku tahu dia memperhatikan. “Yang menurut saya tidak akan banyak perubahan. Para pemegang saham dominan tahu persis dinamika yang terjadi di perusahaan ayah Anda.”
“Apa aku mesti turun ke lantai Bursa?” tanyanya terdengar ragu dan kentara gelisah. Dia tidak seperti biasanya sejak kira-kira sebulan terakhir.
“Sir, Sir, lihat saya,” ucapku, agak datar namun tegas.
Bosku itu mengangkat wajahnya dan menatapku. Jujur, aku selalu merasakan semacam korslet yang tiba-tiba di otakku saat tatapanku beradu dengan mata coklatnya. Tapi kali ini aku harus menahan diriku supaya tidak meleleh, supaya pesanku benar-benar tersampaikan.
“Anda akan baik-baik saja,” ucapku sambil memasang senyum yang aku harap menenangkan dirinya. “Sekarang tarik napas dalam-dalam, lalu minum kopi Anda.”
Kulihat dia mengikuti saranku.
Setelah melihatnya minum kopi, aku undur diri, “Saya ada di ruangan saya bila Anda memerlukan saya.”
Aku melangkah ke pintu namun urung membukanya saat aku dengar, “Aku sepertinya perlu udara segar. Mungkin kita bisa ke lantai Bursa, bagaimana menurutmu?”
Aku berpaling dan melihat dia telah berdiri dan beranjak meninggalkan meja. Seketika mataku terbelalak, namun dengan cepat aku tutup mataku, juga tanpa sadar, tanganku menutup wajahku.
“Ada apa? Kenapa?” tanyanya heran dan terdengar cemas.
“Oh, tidak apa-apa, sepertinya ada bulu mata yang masuk mataku. Sekarang tidak apa-apa,” jawabku sambil melepas tangan dari wajahku dan berpaling ke pintu. Kini aku yang gelisah—benar-benar gelisah!
“Jadi bagaimana? Mau temani aku ke lantai Bursa?”
“Sebaiknya jangan, Sir. Kita tidak punya banyak waktu. Kalau udara segar, Anda bisa ke atap gedung. Mari, saya temani, Sir,” kataku, berusaha setengah mati untuk mengubur sikap canggung karena benakku bak alarm kebakaran meraung-raung, Resletingmu terbuka, Sir! Resletingmu terbuka!
Ya, sudut mataku masih menangkap resleting celana di selangkangannya terbuka, memperlihatkan warna kuning corak pisang dari celana boxer yang dia pakai.
Aku berpaling dan membuka pintu.
“Mari ikuti saya, Sir! Anda harus ikuti saya!” kataku tegas.
Oh, dia benar-benar gelisah! Pikirannya benar-benar kalut! Walau terlihat tenang, sebenarnya otaknya sedang korslet! Sebegitu pentingkah deal ini?
Aku berjalan di depannya, memimpin langkah meski sebenarnya aku berniat menghalangi jalur pandangan rekan-rekan sekantor dari selangkangan bosku itu.
Oh, omong-omong, namaku Amy. Sebenarnya Aminah, sih. Amy hanya untuk di kantor, itu pun hanya Mister Ryan yang konsisten memanggilku begitu. Tapi kalau sekedar panggilan ada beberapa versi; hanya Emak yang utuh memanggilku Aminah, tapi beliau telah meninggal, jadi panggilanku kini terpotong-potong. Babeh memanggilku Minah, teman-temanku di kampus—juga beberapa teman dekat di kantor—memanggil dengan Ina atau Inah. Orang-orang dengki memanggilku jerapah, karena tinggiku yang 174 cm.
Dan pria yang resletingnya terbuka itu bernama Ryan. Sudah hampir tujuh tahun aku mengenalnya, sudah hampir tujuh tahun juga sejak aku pertama kali melihatnya; sejak dia pertama kali melangkah melewati partisi warung kopi Babeh dan berkata, “Katanya kopi di sini enak.”
Aku ingat, waktu itu dia memakai dasi biru tua yang mengikat kerah kemeja putih bersih. Dia berjalan melewati partisi warung kopi Babeh yang berupa kain belacu. Aku yakin kain belacu itu menangis-nangis cemburu lihat putihnya kemeja pria itu. Yah, mau bagaimana lagi, kain belacu itu telah terpapar debu jalanan, panas dan dingin cuaca. Aku sendiri, kala itu, ikut iri karena benakku segera berasumsi kalau dia pasti pakai mobil—mustahil putih kemeja itu terpelihara bila naik angkot, bis, atau jalan kaki; mustahil terpapar udara luar terlalu lama. Karenanya, dengan cepat pandanganku beralih melewati bahu pria itu dan melihat kendaraan yang dia naiki. Mataku terbelalak seketika.
Anjay! Tesla gaeeess! pekik batinku, melihat mobil listrik di depan warung kopi knock down milik Babeh.
“Tidak cuma kopi, kue baloknya juga enak.” Aku yang nyaut kala itu.
“Oh, baik. Saya pesan satu kopi juga kue baloknya,” ucapnya sambil duduk di bangku panjang dan meletakkan ponselnya di meja gantung yang nempel di gerobak Babeh.
Aku ingat Babeh beranjak untuk memenuhi pesanan pria itu, tapi aku segara mengangkat tangan, memberi Babeh isyarat, biar aku yang membuatkannya. Bukan apa-apa, melihat tampangnya, aku beranggapan dia bukan pelanggan sembarangan, bukan penikmat kopi saset macam pelanggan Babeh yang lain. Yah, meski waktu itu aku tidak tahu pastinya, aku bisa mengerti orang kaya bisa sangat rewel. Bisa jadi dia datang ke warung kopi pinggiran kampus ini hanya untuk ngeroasting; semacam pelampiasan emosi. Setidaknya itu prasangkaku kala itu.
Babeh mengangguk dan membiarkan aku mengambil alih posisinya, sementara Babeh mengambil alih posku di tungku kue balok.
Aku ingat, aku merunduk di balik gerobak Babeh dan mengambil stok kopi murni di laci paling bawah gerobak. Biasanya kopi itu sebagai bahan campuran kopi saset untuk memberi cita rasa khas warung kopi kami, tapi untuk pelanggan ini sepertinya perlu racikan khusus punyaku yang aku beri nama AB mix—tapi bukan AB mix pupuk cair hidroponik, ya! !ni Kopi! Ko-pi!
Ada dua wadah plastik dengan warna yang berbeda di dalam laci itu, meski isinya sama-sama hitam. Dengan takaran sendok teh, aku tuang setengah sendok sama rata dari masing-masing wadah ke dalam gelas belimbing dan menyeduhnya. Seketika asap mengepul dan membopong aroma khas kopi ke hidungku. Setelah mengaduk, aku beri tatakan dan menyajikannya. Tidak lupa aku bawa toples kecil gula untuk disertakan dengan kopi itu kalau-kalau dia mau menambahkan gula.
“Ini jika Anda ingin menambahkan gula, Tuan …,” sengaja aku putus nada kalimatku untuk memancingnya melanjutkan dengan sebuah nama.
“Ryan. Dan … nama kamu?”
“Saya Aminah. Panggilannya terserah Anda,” jawabku yang …, jujur, tidak sepenuhnya aku sadari karena kesadaranku seketika terperangkap pesonanya saat dia berpaling menatapku.
Ya, dia tampan. Sangat tampan. Tapi sepertinya aku tidak usah mendeskripsikan detilnya karena porsi ketampanan di persepsi tiap orang pasti berbeda-beda, jadi bayangkan saja pria tertampan sejagat menurut kalian, toh ujung-ujungnya dia tetap pria tampanku.
“Hey, kunyuk!”
Sontak aku terkejut, mendengar Babeh memanggil. Segera aku berpaling dan melihat Babeh menyodorkan piring kecil berisi satu kue balok sambil tertawa geli melihatku terperanjat. Seketika mukaku terasa panas dan terlampiaskan segera dengan melempar kain serbet ke arah Babeh.
Babeh menghindar dengan mudah dan tetap menyodorkan piring kue balok itu. Aku ambil dan menyajikannya di samping gelas kopi Tuan Ryan. Kulihat Tuan Ryan tidak tertawa, tersenyum atau bahkan terpancing dengan kelakar Babeh.
“Silahkan, Tuan Ryan. Enjoy,” ucapku berlagak ala barista kafe mewah, meski jomplang dengan setting warung kopi pinggir jalan samping kampus.
“Hey, bukannya lo ada kuliah, Min?” tanya Babeh.
Ya, aku ingat waktu itu ada kelas kalkulus. Aku masih mahasiswa Jurusan Pendidikan, kala itu—jujur aku sebenarnya tidak mau jurusan ini, aku tidak bercita-cita jadi guru, bahkan aku tidak mau berurusan lagi dengan sekolah! (Dih, kupasang emoji nangis kalo bisa) Tapi, yah, kocek Babeh dan tabunganku mempersempit pilihanku—sempit, pit, pit!
Mendengar kata Babeh, aku segera mengambil tas di balik gerobak, kucium tangan Babeh dan segera keluar dari warung kopi—tidak ke jalan, tapi malah ke belakang warung kopi Babeh yang sedikit merapat dengan pagar benteng kampus. Ini sudah biasa. Tinggiku cukup untuk meraih puncak benteng itu dan melompat masuk kompleks kampus—jangan ditiru, ya! Ketika aku menaiki tembok beton itu, aku sempat melirik ke dalam warung kopi, dan tatapan mataku menumbuk tatapan pria bernama Ryan itu. Hanya sekilas, tapi sekilas itu memancarkan sepercik api; semacam korslet yang tiba-tiba, korslet yang memancing batin merapal harap kalau aku ingin berjumpa dia lagi. Dan tentu saja, harapanku terkabul.
Keesokan harinya, pria tampan itu datang lagi, kali ini berstelan jas, dasi, celana, sepatu yang serba hitam. Sayangnya, warung kopi lagi ramai dan perhatianku terbagi-bagi. Tapi, walau terbagi-bagi, aku sempat melihat dia tidak hanya menyimpan ponsel di meja gerobak, tapi juga sebuah buku—novel karya John Steinbeck berjudul, “The Grapes of Wrath”. Dia tidak keberatan duduk di bangku panjang bersama pelanggan yang lain, bahkan dia seperti berada di dunianya sendiri saat mulai membaca setelah memesan menu seperti hari sebelumnya.
Ketika aku sajikan kopinya, aku sempat melirik halaman yang dia baca.
“Oh, kamu baru sampe keluarga Joad berangkat, ya?” komentarku, tentu saja keluar dari niat kalau aku ingin membuat dia terkesan.
“Kamu pernah membacanya?” tanyanya datar seraya mengangkat wajah, menatapku.
“Pernah. Bagus. Apa lagi sama orang kaya kayak kamu. Menambah wawasan,” jawabku.
“Ina, pesen kopi Gutbay-nya dong,” panggil seorang pelanggan merangkap teman kuliahku.
Masya Allah, aku ingat betul waktu itu, aku ingin jotos tuh orang! Tapi, meski aku jotos dia, aku tidak akan sempat karena keduluan Babeh yang setengah membentak, “Gak! Kalian dah waktunya kuliah! Pergi sana! Gutbaaay!”
“Yah, Babeh!” Temanku itu memelas.
Berbeda dengan aku. Aku sigap mengambil tasku dan melompati tembok kampus, sementara teman-temanku mengitarinya untuk mencapai gerbang kampus. Sekali lagi, saat memanjat tembok itu aku melirik pria tampan itu, tapi kali ini, kulihat dia hanya membaca. Agak kecewa juga, tapi kamu tahu? Ketika aku kembali, pria tampan itu masih ada dan tampak berbincang-bincang dengan Babeh.
“Lagi ngobrolin apa?” tanyaku.
“Dia mau nawarin kamu kerja,” jawab Babeh.
“Eh?”
Begitulah sejarah aku masuk lingkaran Mister Ryan. Aku ingat waktu mendengar itu aku melongo; bengong bak kucing kesetrum. Tapi sekarang aku lupa apa aku melongo karena tawaran itu atau melongo karena untuk pertama kalinya aku melihat dia tersenyum, atau karena dua-duanya? Ah, sudahlah!
Anyway, melihat aku bengong, dia segera beranjak dan berkata sambil menyodorkan secarik kartu nama, “Nona Aminah, saya membutuhkan personel cekatan seperti Anda. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang ke kantor saya jam sepuluh pagi, besok.“
Agak canggung, aku terima kartu nama itu dan aku sempatkan melihat kartu namanya. Jantungku mendadak berdebar melihat tulisan CEO di bawah namanya. Anjrit! Apa aku mulai masuk kehidupan ala drakor?
“Kerja seperti apa?” tanyaku.
“Itu akan diputuskan setelah Anda melalui tahap uji coba,” jawabnya.
“Ta-tapi, pakaianku seperti ini, apa bisa diterima?” tanyaku lagi sambil merunduk dan menatap diriku sendiri yang berbalut kemeja abu-abu dengan vest hitam dan kulot katun yang juga hitam. Kerudungku pun hitam.
“Anda tidak punya stelan blazer?”
Harga diriku sedikit terluka dan membuatku menjawab ketus, “Tidak, Tuan, aku tidak punya!”
Tuan Ryan itu berpaling ke Babeh, “Maaf, Pak, dengan ijin Bapak, saya akan mengajak putri Bapak berbelanja. Biaya akan saya tanggung.”
Aku terbelalak.
“Diijinkan, tapi kembali sebelum Isya tanpa kurang satu apapun,” tanggap Babeh tegas, tidak terintimidasi oleh postur atau karisma orang kaya ini.
Aku makin terbelalak sampai aku mesti menutup wajahku dengan tangan karena takut mataku loncat keluar. Tentu aku tidak serta merta mengawang-awang menghadapi dinamika ini—aku masih punya logika untuk bersikap skeptis, dan benakku seketika membangun hipotesa kalau tadi selama aku tidak ada, Babeh dan pria itu telah panjang lebar membicarakan aku, yang membuat Babeh mengijinkan aku pergi dengan pria itu. Assessment Babeh, pria ini bisa dipercaya.
“Kenapa, Nona?” tanya Tuan Ryan.
“Tidak apa-apa. Saya hanya mendadak pusing,” jawabku seraya melepas tangan dari wajah.
“Kalau begitu mungkin dalam perjalanan saya bisa traktir makan malam. Mari, Nona Aminah,” ajak Tuan Ryan sambil merentangkan tangan kanan, mempersilahkan aku mendahuluinya menuju Tesla miliknya.
Jika kalian pikir pengalaman selanjutnya diidentifikasi sebagai kencan, kalian salah besar. Yang dia bicarakan sejak masuk mobil adalah perusahannya, beberapa posisi yang dia anggap bisa aku isi. Semacam paparan job desc kasar yang akan aku hadapi jika tawaran kerjanya aku terima. Jujur, aku tidak terlalu memperhatikan; otakku kebas seperti terselubung kabut yang mengambang, yang entah hendak meninggi menjadi awan atau merendah menjadi embun. Makan malam berlangsung di sebuah restoran mewah yang jelas aku merasa seperti alien di dalamnya. Kemudian, dia mengajakku ke sebuah boutique, membelikan aku stelan blazer serba hitam dengan blouse putih, sepatu hitam tanpa hak, berikut kerudung putih bahan satin dan bros yang sepadan; ketika aku mengenakannya aku benar-benar merasa seperti wanita karir kelas atas. Melihat bayanganku di cermin, jujur, aku suka.
Suka, suka, suka!
Tentu saja, aku tidak naïf—aku tahu akan banyak rintangan menantiku; contoh praktisnya seperti jadwal kuliahku, juga kondisi Babeh yang bakal kerepotan sepanjang hari di warung kopinya tanpa bantuanku. Belum lagi sisi internal pekerjaan ini yang butuh adaptasi yang tidak biasa—bagaimanapun aku masuk ke dalam lingkaran pekerjaan yang asing, dari jalur yang juga tidak biasa, ya, kan?
Tentu saja aku diskusi dengan Babeh soal rintangan-rintangan itu. Soal warung, Babeh hanya mengibaskan tangan dan bilang, “Itu urusan Babeh!” Tapi soal kuliah, Beliau sarankan aku diskusi juga dengan pihak kampus, dan ya, aku bicara dengan salah satu dosen yang aku anggap bijak lewat telepon malam itu juga. Aku bertanya dan dosenku itu malah nyanyi, “Listen to your heart,” dari band Roxette—yang jujur, mesti aku cari tahu di internet untuk tahu. Dan tidak hanya itu, ketika aku hendak tutup telepon, beliau nyanyi lagi yang kali ini berasal dari Metallica, “Go carpe diem, baby!”
Carpe diem, quam minimum credula postero; Petiklah hari ini, dan percayalah sedikit pada hari esok. Itulah hasil pencarianku di internet, dan aku terima nasihat dosenku itu.
Perusahaan itu bernama Athena Prakarsa Utama, sebuah perusahaan konsultan investasi—sebenarnya sebuah perusahaan induk dari perusahaan-perusahaan lain yang berhasil diakusisi Athena. Jadi, sebenarnya Athena ini tidak punya klien, hanya mengurus perusahaan-perusahaan di bawah kendalinya. Konsultan bagi perusahaannya sendiri. Cukup cerdik juga. Tapi tentu saja, di hari pertama aku ke sana, aku tidak tahu apa-apa soal dunia bisnis.
Aku ingat, aku datang dan berdiri di lobi gedung 20 lantai, tepat jam 10 pagi. Aku disambut seorang perempuan paruh baya yang sepintas aku pikir dia Prof. Minerva Mcgonagall yang keluar dari novel Harry Potter—tanpa kostum penyihir, tentu saja!
“Nona Aminah?” sapa perempuan itu sambil menghampiri dan mengulurkan tangan yang segera aku jabat. “Saya Emma Sulistyo, mari ikuti saya.”
Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya yang ternyata menuju lift. Di antara langkah-langkah itu, beliau beri aku name tag, dan penjelasan singkat soal perusahaan Mister Ryan (bukan Tuan Ryan). Di lift, beliau beri arahan apa saja yang akan aku kerjakan, yang tak lebih, hanya menyalin tumpukan dokumen ke dalam satu unit komputer di cubicle kosong di lantai 11. Lantai 11 itu memang penuh dengan cubicle dan cukup ramai oleh suara jemari memukul-mukul tuts komputer. Aku ingat, kala itu aku lewati waktu makan siang karena ingin memberi kesan terbaik dengan menyelesaikan dokumen-dokumen itu sebelum jam 2, tapi kemudian aku malah tidak ada kerjaan. Sempat terpikir untuk berkenalan dengan rekan di cubicle sebelah, tapi Bu Emma mendadak datang dan memintaku mengikutinya.
“Kamu belum makan siang, kan?” tanya Bu Emma saat memasuki lift.
“Sedang puasa, Bu,” jawabku—atau bualku.
“Oh, kalau begitu, ini perlu sedikit adjustment,” tanggap Bu Emma, tersenyum sambil meraih ponsel dan mengoperasikannya. Agak mengabaikanku, tapi aku tidak keberatan.
Lift mencapai basement dan ketika kami keluar, aku temukan kami sedang menghadapi pelataran parkir gedung. Tak lama kemudian satu unit Toyota Alphard mendekat dan berhenti tidak jauh di depan kami. Pintu samping terbuka dan tampaklah Mister Ryan … dengan segala pesonanya!
“Mari, Nona Amy, banyak yang mesti kita diskusikan,” kata Bu Emma cepat-cepat, seolah tidak mengijinkan aku mendapatkan momen terpesonaku melihat cowokku.
Mister Ryan tersenyum ala kadarnya saat aku digiring Bu Emma masuk mobil itu. Kami duduk berhadap-hadapan, dan Bu Emma duduk di samping Mister Ryan.
“Bagaimana hari pertama Anda, Nona Amy? Maaf, boleh saya memanggil Anda Amy?” kata pria itu sambil menyilangkan kakinya dan meletakkan kedua tangannya di lutut. Sangat elegan.
“Silahkan, Mister Ryan,” jawabku setengah sadar karena perhatianku tersita oleh pemandangan jendela mobil yang bergerak halus seolah bukan mobilnya yang mulai bergerak. Ampun, Min! Jangan lo samakan dengan Metromini!
“Dan, baik, hari pertama saya cukup baik. Terima kasih,” imbuhku, menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Kalau begitu, kita langsung saja pada intinya,” kata pria tampan itu agak membungkuk, menumpahkan seluruh perhatiannya kepadaku. “Kami berniat merekrut Anda secara penuh, yang artinya kami juga akan terlibat dalam perkembangan Anda dalam hal pendidikan dan pelatihan.”
Dia memberi jeda pada perkataannya, yang segera aku ambil cepat-cepat untuk menyela dan berkata, “Anda ingin saya berhenti kuliah?”
“Oh, tentu tidak. Hanya tempat dan jurusan yang akan disesuaikan dengan skill yang kami butuhkan,” tanggap Mister Ryan, agak sedikit terkejut melihat aku menyela. “Tentu saja, biaya kami yang tanggung.”
Sempat aku lihat Bu Emma tersenyum lebar.
“Tidak hanya cerdas, dia peka dan juga pemberani. Aku yakin Anda tidak akan rugi merekrut Nona Amy, Sir,” komentar Bu Emma.
Seketika aku tersipu dan sensasi mengawang-awang itu membuatku tidak ingat detil yang terjadi selanjutnya. Banyak yang kami bicarakan sore itu, dan yang aku ingat mereka mengajakku ke sebuah institusi pendidikan swasta khusus ilmu bisnis dan administrasi. Dalam waktu singkat aku terdaftar dalam institusi itu. Tidak hanya itu, institusi itu dengan senang hati menguruskan peralihan statusku dari kampus lamaku dan mengatur jadwal yang disesuaikan dengan jadwal di kantor Mister Ryan.
Jujur, aku masih mengawang-awang, masih merasa seperti bermimpi, sampai kami bertiga kembali ke mobil mewah itu yang mulus membawa kami ke seberang jalan warung kopi Babeh, persis di mulut gang menuju rumahku. Kesadaranku kembali sempurna dengan cepat ketika dua karakter elegan itu melepasku pulang. Seketika otak serasa jernih dan membuatku bertanya, “Maaf, Bu Emma, sewaktu di lift, sebenarnya Anda dan Mister Ryan hendak mengundang saya makan siang, bukan? Karena saya puasa, dan Anda bilang ‘Perlu sedikit adjustment,’ apa saya bisa berasumsi kalau Mister Ryan sebenarnya berniat memakai mobil Tesla itu, bukan mobil ini? Lebih dari itu, saya merasa Anda terkesan puas saat mengatakan itu, mungkinkah alasannya … Anda bertaruh sesuatu dengan Mister Ryan?”
Kulihat Bu Emma menyikut lengan Mister Ryan dan berseru, “Sudah aku bilang dia tajam, kan? Benar, Amy, aku bertaruh kalau dia hari ini tidak akan mudah mengajakmu makan siang.”
Aku tertegun dan melirik Mister Ryan yang tampak agak tersipu. Aku sendiri merasa menyesal. Kenapa mesti ngaku puasa sih! Makan tuh bualan! Makanya jujur, Min, jujur!
“Sampai jumpa besok, Amy,” kata Bu Emma.
Aku mengangguk dan melangkah turun. Aku mulai memutar arah langkah memasuki gang menuju rumah setelah melihat mobil mewah itu pergi.
“Eh, eh, bukannya itu si Minah”
“Ah, masa sih? Gak mungkin! Minah gak secakep itu!”
“Dia baru keluar dari alpard, loh! Gak mungkin si Minah!”
“Lah, itu dia masuk rumahnya!
“Anjay! Bener! Itu si Minah!”
Kudengar sayup-sayup gunjingan tetangga di jejak yang aku tinggalkan. Semilir nyinyir yang sudah biasa aku abaikan. “Pilih yang penting-penting saja yang masuk ke otak lo, Min,” begitu nasihat Babeh waktu aku kecil, karenanya, aku tumbuh dengan benak yang selalu berlatih untuk menyaring mana yang mesti aku perhatikan dan mana yang mesti aku abaikan. Mungkin, mindset ini juga yang membantuku melewati tangga karir di kantor Mister Ryan, karena jelas politik kantor jauh lebih intens daripada dinamika sosial rukun tetangga. Tapi tetap saja, karena aku mengabaikannya, dinamika sosial semacam itu tidak penting aku ceritakan.
Hanya saja, sejauh eksposisi yang aku paparkan ini, apa kamu bisa menduga ada semacam rancangan yang sengaja dibangun oleh Mister Ryan dan Bu Emma untuk aku lalui? Meski jalur itu tidak linear; berawal dari juru tulis, yang kemudian copywriter, lalu turun menjadi office girl (yang tugas diantaranya membuatkan kopi buat Mister Ryan dan Bu Emma), lalu naik lagi ketika aku ditarik Bu Emma menjadi staffnya, sampai menjadi tangan kanan beliau. Lalu, setelah lima tahun aku menjadi staffnya—dan sehari setelah aku wisuda—Bu Emma mengajakku makan siang.
Aku ingat, mataku melewati bagian atas buku menu yang aku pegang, menatap perempuan paruh baya nan berwibawa di seberang meja restoran. Biasanya, kami makan siang di lounge lantai dasar kantor, tapi kala itu beliau mengajak ke tempat yang lebih jauh—jauh dari kemungkinan bertemu dengan orang-orang kantor.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Bu Emma tanpa berpaling dari menunya.
“Sepertinya sama dengan yang Anda pesan, Bu. Tapi setelah itu, sudikah Anda utarakan niat sebenarnya dari makan siang ini?” ucapku sambil menutup buku menuku.
Bu Emma tersenyum lebar. Ia tutup buku menunya dan menyerahkannya kepada pramusaji restoran sambil berkata, “Dua Escargot garlic dengan French toast, ya. Dan dua cangkir kopi.”
Aku juga menyerahkan buku menu itu tanpa berpaling dari Bu Emma.
Bu Emma masih tersenyum lebar, menatapku dalam-dalam. “Aku berniat pensiun dan aku ingin kamu menggantikan aku.”
Aku mengangkat alis dan itu membuat Bu Emma tertawa.
“Ke-kenapa saya, Bu?” tanyaku.
Bu Emma mendesah. “Amy, Amy, apa kamu yakin tidak menduga hal ini?”
Senyum beliau masih lebar, wajahnya agak sedikit dimiringkan, seolah menunggu jawabanku.
“Saya bohong kalau saya tidak menduganya, tapi, alasannya bisa saja tidak sesuai dengan dugaan saya,” jawabku.
“Oh, ya? Apa kamu tidak menduga kalau aku juga berharap kelak kamu bisa lebih dari sekedar asisten Ryan?” Bu Emma menyimpan kedua sikutnya di meja dan jemarinya saling bertaut untuk menopang dagunya. Ia memasang tatapan lembut, tak lagi menampakkan sorot mata seorang professional.
Aku balas menatapnya, tanpa menampakan ekspresi apa-apa, meski ada debar dalam dadaku.
“It is a truth univerasally acknowledged, that a man in possession of a good fortune—,” ucap Bu Emma mengutip pembukaan sebuah novel klasik yang aku kenal.
“Must be in want of a wife. Jane Austen, ‘Pride and Prejudice’,” sela aku cepat-cepat, memotong perkataan beliau.
“Nah! Bertambah lagi alasan kenapa aku ingin kalian bersama,” tanggap Bu Emma. “Aku sudah menganggap Ryan seperti anakku sendiri, Amy. Aku sayang dia. Dan aku tahu dia memiliki hasrat untuk berkeluarga tapi untuk hal ini dia … minim inisiatif, kamu bisa mengerti, kan?”
Aku mengangguk dan tercenung. Ya, aku mengerti.
Bu Emma menarik napas panjang sebelum bertanya, “Kamu suka dengan Ryan, kan?”
Tentu saja aku sempat gelagapan ditanya seperti itu, tapi aku tahan perasaan canggung itu dengan memaksakan benak memformulasi jawaban diplomatis, “Apa yang tidak disukai dari sosok tampan, kaya dan baik hati seperti Mister Ryan, Bu? Tapi, tiga atribut itu, yang pastinya membuat silau gadis manapun—membuatnya jadi sosok yang sempurna—justru menyembunyikan sisi kekanak-kanakan yang kesulitan mengekspresikan hasrat selain bisnis dan dunia professional. Akibatnya, dia minim sense of humor dan tidak mampu bersikap romantis. Semua hasrat itu ia proyeksikan pada membaca buku.”
Kulihat mata Bu Emma berkaca-kaca. Beliau raih tanganku, menggamit jemariku. “Karena itulah mesti kamu, Amy. Kamu mengerti dia! Aku bisa mempercayakan dia padamu. Lagi pula … ummm, kamu ingat pertama kali kalian bertemu? Aku ada di dalam mobil, kamu tahu itu?”
Aku terpekur. Bu Emma ada di dalam mobil Tesla itu?
Bu Emma melepas gamit tangannya dan melanjutkan, “Sudah lama dia stalking kamu. Setiap aku diajak makan siang, selalu saja lewat sana. Hari itu, aku utarakan niatku untuk pensiun, tapi dia menolaknya, aku sempat bersikeras, tapi kemudian aku bilang, aku akan urungkan niat pensiun itu kalau dia berhasil tahu nama kamu hari itu juga.”
Aku semakin terpekur. Aku tatap beliau, tapi ketika mendapati tatapan itu membalas lembut, aku malah merunduk.
“Jelas dia suka sama kamu, Amy,” ucap Bu Emma. “Ketika dia kembali dan menyebutkan nama kamu di mobil, lalu aku utarakan niatku merekrut kamu, aku bisa lihat dia girang bukan kepalang. Kuharap ini jadi bahan referensi buat kamu, tapi jujur, aku berharap dia punya keberanian untuk mengutarakannya padamu. Kamu bisa mengerti, kan?”
Aku mengangguk. “Ya, saya mengerti.”
“Jadi, untuk intensify interaksi dia dengan kamu, sangat esensial kamu terima rencanaku menjadikan kamu penggantiku! Untuk kedepannya, mari kita bersimbiosis dengan takdir.”
Bersimbiosis dengan takdir … , apa ini juga termasuk, Bu Emma? Memasang badan untuk menghalangi resletingnya yang terbuka dari terpapar pandangan anak buahnya? Apa ini Simbiosis dengan takdir?
Aku masih memimpin langkah menuju lift, dan jujur, perasaan jaraknya tidak sejauh ini. Antara lorong ruang kantor Mister Ryan dengan lift terdapat pintu ruang kantorku yang bersebelahan dengan ruang terbuka dengan beberapa partisi yang cukup ramai oleh sepuluh orang staff-ku. Ketika kami melewatinya, aku lihat seorang staff-ku melihat kami dan bergegas menghampiri sambil membawa satu unit laptop dalam keadaan terbuka.
“Miss Amy! Mister Ryan!” Ia tergopoh-gopoh.
“Donnie, ada apa?” tanyaku sambil memutar langkah, memposisikan diri antara dia dan Mister Ryan.
“Star Shipping, Miss, Sir!” seru pemuda gesit itu, menyebut salah satu perusahan milik Mister Ryan, “Proyeksi angka tahunan mereka akan melenceng terlalu jauh, Sir, jika trayek mereka tengah tahun ini masih seperti ini. Saya ada beberapa ide.”
Dia semakin mendekat, hendak menunjukkan layar laptopnya. Seketika aku terancam; pemuda itu akan melihat apa yang sedang aku lindungi kalau aku tidak segera berbuat sesuatu.
“Presentasikan di ruang rapat!” seru aku sambil menarik lengan stafku bernama Donnie itu, juga Mister Ryan.
Aku tarik mereka ke pintu yang berseberangan dengan pintu kantorku. Aku buka pintu itu, aku dorong Mister Ryan lebih dulu.
“A-apa-apan kamu?” ujar Mister Ryan heran, meski tidak menolak aku mendorongnya hingga ujung terjauh meja rapat.
“Mengefektifkan waktu, Sir. Ide-ide Donnie rata-rata liar—brilian, tapi liar. Sementara kita hanya punya empat jam sebelum rombongan ayah Anda datang,” kataku sambil mendorong bahu Mister Ryan hingga terduduk di kursi di ujung meja rapat.
“Oh, kalau begitu saya akan cepat-cepat!” seru Donnie sambil menghubungkan laptopnya ke layar lebar di dinding yang berseberangan dengan Mister Ryan.
“Dan Anda perlu kopi lagi, Sir!” seru aku sambil menghampiri mesin pembuat kopi di samping pintu. Aku seduh secangkir dan langsung menyajikannya di hadapan Mister Ryan.
“Ta-tapi aku tidak suka kopi instan,” ujarnya, terdengar memelas, agak terintimidasi oleh sikapku.
“Minum, Sir! Anda saat ini butuh kafein lebih banyak. Akan saya buatkan kopi yang biasa kalau Anda sudah meminum itu,” tanggapku tegas.
Dia turuti perintahku. Ia minum kopi itu.
“Baik, sekarang akan saya buatkan kopi biasa,” seruku cepat sambil melangkah ke pintu.
“Hey, aku sudah minum tiga gelas pagi ini!” seru Mister Ryan yang aku abaikan.
Keluar dari ruang rapat, aku tuju ruang kantorku. Di sana aku menyimpan stok racikan kopiku sendiri. Aku bawa stok kopi itu ke pantry, membuatkan secangkir kopi dengan benak mengacu pada referensi kalau kopi memiliki efek deuretik—efek yang membuat peminumnya ingin segera buang air kecil. Jika Mister Ryan berkeinginan ke toilet maka dia akan sadar kalau resleting celananya telah terbuka. Setidaknya itulah rencananya.
Hanya saja, setelah aku buatkan kopi dan kembali ke ruang rapat, aku tidak menemukan Mister Ryan, juga Donnie. Mereka raib! Yang ada hanya laptop dan layar lebar yang sedang menyala. Sialan! Ke mana mereka?
Ketika aku keluar lagi dari ruang rapat, aku berpapasan dengan seorang stafku bernama Cynthia. Sepertinya dia juga hendak menemuiku.
“Cyntiha, kamu lihat Mister Ryan?” tanyaku.
“Ya, Miss, di koridor sana, baru keluar dari toilet bersama Donnie,” jawabnya sambil menunjuk persimpangan di ujung lorong.
“Oh, syukurlah,” bisikku pelan.
“Mister Ryan juga berpesan kalau bertemu Anda, mereka sedang ke lantai empat belas, ke Divisi accounting. Dan … umm, waktu Mister Ryan keluar dari toilet, saya …,” stafku itu tampak canggung dan mendekat. Ia berbisik, “saya lihat resleting celana Mister Ryan terbuka.”
Seketika aku tercengang. Bu-bukankah dia baru dari toilet? Bagaiamana bisa?
Kemudian aku serahkan cangkir kopi itu ke Cynthia. “Buat kamu!”
“Eh?” Ia terima kopi itu dan aku yakin dia tampak heran; aku tidak sempat memastikan karena aku bergegas menyusul Mister Ryan.
Aku tuju lift dengan benak memaki-maki. Bodoh kamu, Min! Bodoh! Kenapa kamu tidak bilang saja waktu pertama kali lihat resletingnya terbuka?!
Pelajaran hari ini!
Ketika engkau melihat suatu masalah, bisa jadi saat itulah saat yang tepat untuk menyelesaikannya! Jangan tunda-tunda!
Di depan lift, ponselku berbunyi. Aku lihat layarnya menampilkan nama Bu Kartini, asisten dari Mister Rudie, ayahnya Ryan.
“Ha-halo, Bu Kartini?” ucapku agak canggung.
“Halo, Miss Amy, kami dalam perjalanan, sekitar lima menit lagi. Maaf, kalau kami sedikit lebih awal dari jadwal,” ujar sosok di seberang jaringan.
“Oh, baik, Bu Kartini. Akan saya tunggu di lobi,” tanggapku meski benak memaki, Sedikit apaan! Lo pada mestinya dateng empat jam lagi!
“Terima kasih, Miss Amy. Sampai jumpa.” Dan telepon pun ditutup.
Lalu, secepatnya aku putar nomor Mister Ryan. Kenapa gak kepikiran ini dari tadi?!
Tapi, yang aku dengar hanya nada sambung yang tak terjawab. Alih-alih, aku segera kirim pesan.
[Mr. Ryan! Resleting celana Anda terbuka! Dan ayah Anda akan datang lima menit lagi!]
Lalu sebersit ide hinggap dan membuatku memutar nomor seseorang di Divisi Akuntansi.
“Halo, Miss Amy?”
“Mba Nadya, di sana ada Mister Ryan?” tanyaku cepat.
“Oh, tadi ada, sekarang sedang menuju lobi. Katanya Tuan Rudie akan datang sebentar lagi.”
“Ba-baik! Terima kasih!” Aku tutup dan segera berlari ke tangga darurat. Antara sadar dan tidak, sambil berlari, keluar makian kasar dari mulutku.
“KUNYUK BUSUK!”
Aku tabrak pintu tangga darurat dan menuruni tangga secepat yang aku bisa. Aku lompati beberapa anak tangga, bahkan di lantai 8 aku lompati satu ruasnya hingga mesti berguling dan menabrak dinding saat mendarat. Aku yakin, ketika mencapai lobi, bentukku sudah tidak karuan, tapi aku tidak peduli. Kakiku sudah lemas dan mungkin hanya mengandalkan pasokan adrenalin saat aku keluar pintu tangga darurat di lobi, dan pada saat bersamaan aku lihat Mister Ryan keluar dari lift, aku menerjangnya. Aku tarik lengannya untuk menjauh dari lift, ke sisi lain ruang lobi, dekat pintu gudang peralatan cleaning service.
“A-Amy?! Ada apa?” pekik Mister Ryan kaget.
Aku putar badan pria tampan itu hingga punggungnya membentur dinding.
“Res … leting … Anda … terbuka …, Sir,” ucapku terengah-engah sambil meraih selangkangannya dan menutup resleting sialan itu!
Aku angkat wajahku dan menemukan wajah tampan itu memerah; tersipu malu—sangat malu. Seketika aku tersadar dan melangkah mundur. Aku juga sadar kalau kami tidak sedang berdua saja, ada Donnie di dekat kami, tapi kulihat dia tidak sedang memperhatikan kami; dia menengadah, melihat ke sudut atas ruangan yang terdapat kamera CCTV. Tak bisa diragukan lagi, kamera itu menangkap momen aku memperbaiki resleting celana Mister Ryan.
Seketika aku merunduk dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Masya Allah! Sialnya aku hari ini!
“Hai, orang-orang muda!”
Tiba-tiba aku dengar suara yang aku kenal. Aku membuka wajah dan melirik, aku lihat Bu Emma dan juga Babeh di belakang Bu Emma. Mereka berdiri di sisi lobi, lebih dekat ke lift.
“Ba-Babeh? Bu Emma? Ngapain di sini?” ujarku, terkesan kurang ajar. Lelah membuat sikapku tak terkontrol, maaf.
Bu Emma mengangkat bahu. “Ada burung yang memberi kabar, hari ini akan menarik,” kata beliau, yang kemudian melirik ke sisi kiri dan melanjutkan perkataannya, “Umm, Ryan, papa kamu sudah datang, tuh.”
Mister Ryan beranjak dan melangkah. Aku mengikutinya, juga Bu Emma, Babeh dan Donnie. Kami tapaki lantai lobi menuju gerbang utama gedung. Kulihat sosok renta beruban lebat melangkah memasuki gedung, ditemani perempuan serius bernama Kartini.
“Miss Amy, Anda baik-baik saja? Anda terlihat berantakan?” tanya Bu Kartini.
“Gara-gara kunyuk ini!” jawabku sambil menunjuk Mister Ryan, yang akibatnya aku kena tampol tangan Babeh di belakang kepala.
“Jaga sopan santun, Min!” desis Babeh. “Maafkan putri saya, Tuan-Tuan, Nyonya-nyonya!”
Kuliha Bu Emma, Tuan Rudie dan Donnie cengengesan menahan tawa.
“Tidak apa-apa, Pak. Sepertinya saya layak disebut begitu oleh Amy,” tanggap Mister Ryan. “Hanya saja, sebaiknya kita langsung saja. Amy, bisa antar mereka ke ruang rapat. Saya akan mempersiapkan dulu bahan presentasinya. Don, kamu ikut aku.”
Setelah mengatakan semua itu, Mister Ryan melangkah lebih dulu, diikuti Donnie. Sempat aku lihat arah langkah mereka menuju pos security.
“Mari, ikuti saya, Tuan, Bu, Beh,” ucapku seraya membungkuk hormat ala kadarnya dan memutar langkah menuju lift.
Kami naiki lift hingga lantai 18, dan ketika keluar, Bu Emma berbisik kepadaku, “Biar aku yang antar mereka. Kamu benahi dirimu sana.”
Aku mengangguk dan undur diri, membiarkan Bu Emma mengambil alih rombongan. Aku tuju toilet untuk memperbaiki kerudungku yang menyon dan kusut. Selama itu pula benakku bertanya-tanya, Ada apa ini sebenarnya? Bukannya dia mau negosiasi merebut perusahaan ayahnya?
Ketika aku kembali ke ruang rapat, Mister Ryan sudah hadir di sana, dan sepertinya mereka menunggu kedatanganku. Kulihat Bu Emma merentangkan tangannya, memintaku untuk duduk di sampingnya. Aku pun duduk bersamanya.
“Baik. Saya akan langsung saja,” ujar Mister Ryan. “Apa yang akan saya tunjukkan mungin agak mengganggu, bisa disebut mengada-ada, bahkan mungkin tidak relevan, hanya saja nyata adanya.”
Layar lebar menyala dan menampilkan beberapa gambar yang membuatku terbelalak. Aku lihat sosok Mister Ryan yang resleting celananya terbuka, tampak jelas corak pisang di celana boxernya.
“Kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka engkau tidak akan takut hasil dari ratusan pertempuran, begitu kata Sun Tzu, dan saya mengerti, inilah representasi dari musuh saya,” jelas Mister Ryan sambil menunjuk gambar dirinya di layar lebar. “Diri saya sendiri yang sedang gelisah, kalut, dan … bisa dikatakan otak saya yang sedang korslet. Musuh ini muncul satu bulan yang lalu ketika ayah saya memberi saya ultimatum, dan saya kutip, ‘Antara aku yang mengakusisi perusahaan kamu atau kamu mengakusisi perusahaanku! Hargaku hanya satu, beri aku menantu!’”
Tanpa sadar aku melirik sosok renta Pak Rudie, dan aku yakin tidak hanya aku. Yang kami lirik tampak bergeming tanpa ekspresi.
Aku kembali memperhatikan Mister Ryan yang melanjutkan, “Dan saya setuju dengan klausul tersebut, karena saya pun memiliki urgensi yang sama. Tujuh tahun yang lalu, Bu Emma menantangku untuk cari tahu nama seorang gadis, dan saya berhasil mendapatkannya. Kemudian beliau menyarankan saya merekrutnya dan saya pun setuju.”
Mister Ryan mengalihkan tatapannya kepadaku, dan aku rasakan seluruh mata beralih kepadaku. Debar yang aku rasakan tiba-tiba hanya bisa aku lampiaskan dengan memilin-milin ujung kerudungku.
Mister Ryan melanjutkan sambil mendekatiku, “Lalu posisi Bu Emma digantikannya, dan jujur aku senang karena akan lebih intens berinteraksi dengannya. Tapi, setalah hampir dua tahun ini, saya jadi bertanya-tanya, kenapa saya tidak bisa membangun inisiatif untuk hubungan yang … yang lebih dekat? Lalu Donnie memberi ide untuk memperlakukan ini sebagai proposal bisnis.”
Seketika mataku beralih cepat menatap Donnie yang duduk di depan laptop. Menatapnya tajam. Yang aku lihat tampak ketakutan dan mengatupkan kedua tangannya, memohon ampun.
“Lalu ultimatum Papa,” sambung Mister Ryan yang kini telah berdiri dihadapanku, “Tapi semua itu, terlibas setelah beberapa menit yang lalu aku saksikan kepedulian kamu yang tidak bisa aku abaikan, Nona Amy.”
Mister Ryan berlutut di hadapanku, sementara sudut mataku sempat melihat layar lebar memperlihatkan cuplikan video dari sudut pandang cctv yang menangkap aksiku memperbaiki reseleting celana Mister Ryan.
“Nona Amy, sudikah kamu menjadi istriku?” ucap Mister Ryan.
Jujur, aku tidak bisa mengatakan apa yang aku rasakan. Bahagia? Terharu? Marah? Malu? Geli? Aku tidak tahu. Mungkin kata “korslet” lebih tepat karena, jujur, aku ingin pingsan karenanya. Pandanganku mulai kunang-kunang dan aku hampir limbung, tapi segera urung pingsan karena aku lihat Babeh terkapar di lantai dan kejang-kejang. Segera aku bangkit dan menghampirinya!
“Beh! Babeh! Kenapa? Harusnya Minah yang pingsan, Beh!” seruku sambil mengguncang-guncang bahu kanan Babeh.
Sejenak Babeh berhenti kejang-kejang dan menatapku. “Duh, Min, Babeh udah tua! Ngalah dulu napa!” Lalu Babeh kembali kejang-kejang dan mulutnya mulai berbusa.
Aku dengar Bu Emma terkekeh sambil berseru, “Don! Cepat panggil ambulan!”
Tapi Alhamdulillah, Babeh baik-baik saja. Hanya shock. Otaknya mendadak korslet. Yah, aku bisa mengerti, jadi aku biarkan Babeh istirahat di kamar rumah sakit.
Aku keluar dari kamar rumah sakit Babeh dan menemukan Mister Ryan duduk di bangku panjang di depan pintu. Dia segera berdiri saat melihatku.
“Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Babeh baik-baik saja. Hanya shock. Besok bisa pulang,” jawabku.
Dia terdiam. Aku pun terdiam. Canggung.
“Umm, jadi bagaimana dengan proposalku?” tanyanya ragu.
“Dengar, Mister Ryan. Saya yang akan menyusun proposalnya juga prospectus hubungan kita. Anda analisa dan setujui klausul yang saya ajukan, maka kita mendapat kesepakatan!” ucapku tegas yang kemudian mengulurkan tangan kananku.
Dia tampak kaget. Hanya sebentar, sebelum ia tersenyum dan menjabat tanganku.
Saat berjabat tangan itu. Terbangun niat dalam batinku; sebuah misi. Misi untuk mendidik pria tampan ini menjadi pria yang romantis! Lihat saja nanti!
Sepuluh tahun kemudian ….
“Yusha! Papa udah pulang tuh!” seruku, tanpa mengalihkan perhatian dari pisau dan irisan daging beku dihadapanku.
Tak lama kemudian aku rasakan pinggangku disergap dari belakang dan pipi kiriku dikecup mesra.
“Bikin apa?” tanyanya sambil mempererat pelukannya.
“Teriyaki,” jawabku.
“Istimewa nih. Dalam rangka apa?”
“Yusha dapet seratus. Matematika.”
“Wow!”
Kurasakan pelukannya terlepas karena terdengar derap langkah kaki cepat. Aku lirik dan melihat putraku berlari mendekati ayahnya sambil mengacungkan sebuah tablet, memperlihatkan skor matematika yang dia dapat. Ryan meraihnya, melihat layarnya dan memujinya habis-habisan. Lalu, Yusha berpaling kepadaku.
“Ma, sekarang boleh main game, kan?” tanya bocah itu.
“Satu jam! Besok masih ada Bahasa Inggris dan PJOK, kan?”
“Siap, Bos!”
Aku tersenyum dan melepasnya lari ke ruang tamu.
“Aku mandi dulu,” kata Ryan sambil menyimpan ponselnya di meja makan. Aku lihat juga dia membuka resleting celana dengan tangan kiri, sementara tangan kanan menarik dasinya. Dengan cepat dia hanya mengenakan celana boxer corak pisang dan tshirt putih. Kemeja dan celana panjangnya kemudian mendarat di atas mesin cuci.
“Mau aku buatkan kopi?” tanyaku.
“Tentu.”
Dia pergi ke kamar mandi yang ada di kamar tidur kami, sementara aku melirik ponselnya di meja makan.
Benakku menghitung waktu sekitar satu menit sebelum melepas pisau dari tanganku dan cuci tangan. Aku lap tanganku hingga kering sebelum meraih ponsel Ryan. Aku lewati password yang sudah aku hapal jauh-jauh hari, lalu aku buka aplikasi perpesanan. Oh, bukannya aku hendak mencederai kepercayaanku akan suamiku, tapi … percayalah intuisi perempuan itu sulit untuk dipungkiri. Dan aku tidak bisa diam saja saat merasakan hati yang sedikit melenceng.
Kutemukan grup perbincangan berjudul “Arisan Membaca”, aku membukanya dan melihat percakapan yang tersimpulkan pada satu chat dari seorang perempuan.
[Iiiih, Mister Ryan gombaaal!!!]
Sepercik api loncat dalam benakku. Nyaris korslet, bahkan ponsel itu nyaris lepas dan jatuh.
“Eit,eit!”
Setelah yakin ponsel itu tidak akan jatuh, aku tutup aplikasi itu. Aku simpan lagi ponselnya di tempat semula dan segera kembali memasak.
Dah, dah, pura-pura gak tau! Toh cuma gombalin di chat. Ego lo juga gak segede setengah miliar sebulan, kan? Dah,udah! Lagipula, ingat pasal seratus tiga puluh dua juncto pasal sebelas di proposal kita dulu? Bilamana ditemukan bukti Pihak Kedua berselingkuh, maka berkewajiban menambah tunjangan kepada Pihak Pertama sebesar setengahnya. Ingat, kan? Bisa mampus dia kalau ketahuan! Belum lagi, kita punya Yusha buat collateral.
Lalu aku menyadari sesuatu yang membuatku sedikit tersenyum. Lagipula, lo kan yang latih dia buat romantis? Lo mestinya bangga! Iya, sih, dia proyeksikan skill itu sama perempuan lain, tapi tetap saja menunjukkan metode latihan lo berhasil, ya, kan?
“Iya, juga, ya?” gumamku sambil beralih dari irisan daging ke bawang bombay.