Cerpen
Disukai
1
Dilihat
13,361
Perjanjian Bersama Sehari Malam
Romantis

Dinda


Ya, aku inginkan.

Ya, aku mau.

Ya, aku menciumnya.

Ya, malam itu.

Ya, hari itu.

Sehari dan malam itu. Aku, Dinda. Aku bertanya padanya untuk bersama. Meminta padanya untuk bersama. Mencium, memeluk, menyayangi, jatuh cinta, memandang, menyentuh, merasa, mengobrol, melamun. Sehari malam itu. 

Aku Dinda dan aku ingin. Karena aku rindu. Karena aku penasaran. Sebuah percobaan sakit, yang seharusnya tak dilakukan. Menyesal juga tidak, bahagia apalagi. Tersisa sedih, sakit, dan kenangan pasti. Sesak.

Seperti sebuah peraturan. Sebuah perjanjian. Kontrak. Aku yang menyusun, dia ada untuk menyetujui. Aku butuh tanda tangannya. Mungkin sudah gila. Tapi sadar atas resiko yang akan datang setelah tertandatangani. Aku menulisnya dengan sesak, dengan debaran tak henti, dengan bayangan air mata. Tapi tetap menulisnya. 

Gila. Bodoh. Tidak juga, karena sadar akan penyesalan. Teman pernah bilang penyesalan selalu datang belakangan, tapi kesadaran datang duluan. Sekarang berbarengan. Aku pasti sudah sakit.

Dia memang temanku. Dia memang setuju. Dia memang menandatangani kontrak itu. Sebelumnya. 

Aku Dinda dan aku pasti sudah sakit. Sekarang terlambat. Sisa sesal. Sisa sakit. Kenangan indah yang sedih. Aku memang sakit.

Ya, dini sebelum pagi dia menandatanganinya, setelah aku juga, sebuah kontrak seperti ini:

SEBUAH PERJANJIAN BERSAMA SEHARI MALAM

Tepat pukul 12 dini, dia dan aku yang bertanda tangan di bawah ini berjanji akan mencintai, menyayangi, memiliki, menemani, merasakan, memeluk, menyentuh, merengkuh, mencium, memandang, mengobrol, melamun, memegang, dan hal lain yang mungkin untuk dilakukan sepasang kekasih. 

Dia, Anggara Praditya yang bertanda tangan di bawah ini berjanji sebagaimana disebutkan di atas, dalam waktu 12 dini sekarang sampai 12 dini besok. Akan tidak mungkin dan tidak boleh melakukan, mengalami lagi hal-hal di atas jika sudah lewat batas waktu yang ditentukan. Akan sadar dan menerima konsekuensi yang mungkin terjadi setelah dalam kurun waktu sehari malam dimana dia dan aku bersama, dengan bijak dan bertanggungjawab.

Aku, Dinda Dimana yang bertanda tangan di bawah ini berjanji sebagaimana disebutkan di atas, dalam waktu 12 dini sekarang sampai 12 dini besok. Akan tidak mungkin dan tidak boleh melakukan, mengalami lagi hal-hal di atas jika sudah lewat batas waktu yang ditentukan. Akan sadar dan menerima konsekuensi yang mungkin terjadi setelah dalam kurun waktu sehari malam dimana dia dan aku bersama, dengan bijak dan bertanggungjawab.

Tertanda,

Anggara Praditya   Dinda Dimana                                                                                                  

Begitulah perjanjian itu aku yang buat, dia dan aku bertanda tangan, menerima dan setuju.

Angga

Dia bingung, dia bengong, melamun, tak habis pikir. Dia Angga dan dia sedih. Melihat wajah kekasihnya adalah hal yang paling menyejukkan dia. Sehari dan malam dia kekasihku. Melihat wajah kekasihnya adalah hal yang paling menyakitkan dia. Dia Angga dan dia menjemputku.

Dia Angga dan dia menjemputku, tepat jam 12 dini. Dimana aku setengah menunggu setengah terjaga. Dia merengkuhku, tanpa basa-basi, karena kami memang sepasang kekasih yang saling jatuh cinta, seharusnya, sehari dan malam itu. Aku kekasihnya. Dia kekasihku. Dia Angga dan dia menciumku.

Dia menciumku di kening, sebelum membiarkan lenganku melingkari pinggangnya di jok belakang vespa hijau yang dia beri nama ‘Rock and Roll’. Dia Angga dan dia membawaku.

Dia membawaku berkeliling kota, jauh sebelum fajar. Sepi dan dingin aku memeluk pinggangnya lebih erat. Sesekali dia melepas kendali gigi dan menyentuh, menghangatkan jemariku. Dia Angga dan dia jatuh cinta.

Jatuh cinta pada kekasihnya, Dinda. 

Dia membawaku ke puncak bukit. Dia memberiku pemandangan kerlip permainan cahaya di lembah berkabut tipis. Bulan separuh bintang sejuta semburat awan. Dia memelukku bahkan lebih erat di sana, seperti aku kekasihnya. Memang seharusnya, karena dia kekasihku. Dia Angga memeluk kekasihnya di dingin kabut puncak bukit bintang sejuta kerlip cahaya. 

Dinda

Aku Dinda dan aku jatuh cinta. Aku memeluk dia. Aku mencium dia. Berkali-kali. Berkali-kali. Aku sayang dia. Aku sayang dia. Aku jatuh cinta. Sehari dan malam itu, sejak dini tiba. Iba. 

Ibakah dia? Pada diriku? Cintakah dia? Seharusnya dia cinta, dia sayang, karena aku kekasihnya. 

Sehari malam itu.

Aku menggigit telinganya, mencium lehernya, mengulum bibirnya, menjilat lehernya, memainkan lidahnya, merengkuhnya. Karena memang dia kekasihku. Dia milikku. Aku miliknya. Aku dan dia merengkuh, melenguh, berpeluh. Aku jatuh cinta pada kekasihku. Aku bersandar di pundaknya. Aku merangkul bahunya. Aku berkata-kata tentang fakta. Fakta cahaya kota berkerlip karena lapisan udara yang berubah-ubah. 

Aku tak perlu tanya. Aku tahu dia juga jatuh cinta, karena dia memang kekasihku.

Aku Dinda dan aku cinta. Aku mengusap air matanya saat dia cerita tentang masa lalunya yang segelap malam. Aku mengusap rambutnya saat ia menerawang bercerita kesepian. Aku menemaninya saat bulan bintang sejuta malam kerlip cahaya. Aku tertawa saat dia melucu. Aku sayang dia. Dia kekasihku. Dia kekasihku.

Aku menggenggam tangannya saat dia menggenggam tanganku. Aku rindu. Aku rindu. Aku rinduuuuuuuuuuuuuuuuuuu. 

Angga

Dia Angga dan dia jatuh cinta. Dia katakan berulangkali. Berkali-kali. Dia cinta, dia sayang, dia ingin aku katakan. Dia mencium bibirku lembut, lalu membuka mulutnya, membuka mulutku, lidahnya di langit-langit mulutku. Bibirnya manis. Dia bilang bibirku pahit. Bibirnya manis karena rokok kreteknya. Bibirku pahit karena rokok putihku. Dia Angga dan dia mencium.

Dia Angga dan dia mencium payudaraku. Menyentuhnya, menjilatinya. Dia memelukku, dia sayang padaku. Dia jatuh cinta.

Sehari malam itu.

Dia memandangiku. Tanpa kata-kata, hanya senyuman yang sesekali tersungging. Sesekali tapi lama. Terkadang sampai dia dan aku tertawa. Masih di bulan bintang sejuta.

Dia menatap padaku. Lama. Tersenyum. Dia bilang lagi kalau dia jatuh cinta padaku. Padahal dia memang kekasihku dan aku tahu. 

Dia mencintaiku, dia menyakitiku, menorehkan luka. Karena aku minta. 

Dinda

Jika aku tak bisa memiliki dia sekarang, kenapa harus aku memiliki dia nanti... Apa sebaliknya, jika aku tak bisa memilikinya nanti, kenapa harus aku memilikinya sekarang?

Masalahnya, aku bisa memiliki dia sekarang, tapi aku tak bisa memiliki dia nanti.

Ada yang salah. Salah sendiri. 

Aku begitu luka. Begitu pedih, tapi aku cinta. Aku salah. Salah sendiri. 

Empat dini, aku dan dia kembali. Hujan rintik, tersisa senyum pada embun. Aku memeluknya sekeras hujan. Hujan turun sedingin beku. Aku dan dia berhenti.

Angga

Dia menepikan vespanya di tengah hujan. Empat dini, dia menghangatkan aku dengan pelukannya yang sekeras hujan. Di tepi jalan terlindung ijuk, teralas bambu. Dia menciumi leher dan telingaku. Dia mendekatkan wajahnya agar aku menciumi hidung dan dagunya yang basah seperti anak kecil. Dia membisikkan, meniupi telingaku dengan kata-kata, kata-kata cinta. Memang sudah seharusnya, karena dia kekasihku.

Dia tak tidur memelukku. Sampai subuh, menyalakan hangat. Sampai hujan berhenti. Sampai fajar menampakkan jingga. Jingga hangat menyentuh wajah dia dan aku. Dia terus menggenggam tanganku yang basah dingin seperti es. 

Dinda

Aku juga tak tidur, karena sayang, sayang untuk dilewatkan. Sayang untuk tidak dinikmati. Pelukan kekasihku yang sekeras hujan. Genggaman tangannya yang semantap malam. Ciumannya yang selembut bantal. Aku sungguh jatuh cinta.

Senja, aku dan dia kembali. Tak ingat kapan aku dan dia tertidur. Hanya tiba-tiba senja datang membawa jingganya yang keunguan. 

Tapi aku lapar, dia juga. Aku dan dia berhenti di jam delapan, makan bubur ayam dan bubur kacang hijau. Tertawa bercanda tentang tukang bubur ayam yang bolot dan mobil butut yang mencipratkan hujan sisa semalam ke muka aku dan dia.

Jadi, aku memaksa ke hotel, karena tak mungkin pulang. Karena tak mungkin pulang menjelaskan ke ibu yang senang menggamparku dengan kesedihannya, dan ke kakak yang senang menertawakanku dengan ceramahnya. 

Aku ingin mandi, kekasihku. Aku ingin mandi. Sembilan, aku dan dia di hotel. Sembilan, tiga jam lagi. Tiga jam lagi. Tiga jam lagi.

Tiga jam lagi.

Angga

‘Tiga jam lagi, kau sudah bukan milikku’, dia seperti menamparku dengan kata-katanya. Dia mandi setelah aku. Dia mandi setelah aku mencuci rambut. Dia mandi saat aku telanjang dengan jubah mandi. Dia mandi saat aku berbaring di kasur double-bed  hotel murah. 

Dia keluar dengan jubah mandi yang sama. Dia wangi sabun yang sama. Dia wangi shampo yang sama. Hari ini dia ulang tahun. Dia senang punya aku di hari ulang tahunnya. Dia ngaku sendiri.

Dia naik ke tempat tidur yang sama. Telanjang dengan jubah mandi. Dua puluh empat hari ini, dia bilang. 

Dinda & Angga

Sepuluh, mereka berpelukan telanjang dalam jubah mandi dan selimut putih. Mereka telah jatuh cinta sehari dan malam itu. Hanya sehari dan malam itu. Dua jam lagi mereka akan berpisah. Dua jam lagi.

Dua jam lagi.

Mereka kembali berciuman. Memendamkan wajah di wajah masing-masing. Memendamkan wajah, kadang di dada, kadang di leher, kadang di perut. Mereka saling menggengam tangan. Karena mereka adalah sepasang kekasih. Mereka telah jatuh cinta.

Mereka tak mungkin saling lupa.

Sebelas, mereka terdiam saling memeluk. Mereka tak berkata-kata. Mereka memejamkan mata, kali ini air mata ikut keluar. Satu jam lagi. Satu jam lagi. Mereka berpelukan sekeras hujan tadi malam. Mereka bergenggaman semantap malam. Mereka berciuman selembut bantal. 

Dinda

Sebelas tiga puluh, aku membuka jubah mandiku. Sepenuhnya telanjang di depan kekasihku. Aku menghampirinya.

Angga

Sebelas tiga puluh lima, dia membuka jubah mandinya. Sepenuhnya telanjang di depanku. Dia menghampiriku. Dia menyentuh seluruh tubuhku dengan air mata. Dengan air mata dan sidik jari yang halus. Menciumi perutku. Dia membisikkan kata-kata. Ke dadaku, ke kupingku, ke mataku, ke bibirku. Dia telah jatuh cinta. Dia bermain cinta denganku.

Dia memakaikan pakaian ke tubuhku. Dengan halus, dengan air mata. Dia membalikkan badanku setelahnya, kembali mencium keningku, bibirku, lalu mataku.

Dinda

Sebelas lima puluh, aku juga menyentuh tubuhnya, dengan air mata, dengan halus. Aku menyentuh tato-tato di pundaknya, di punggungnya, di pantat dan bawah pusarnya. Aku punya bintang-bintang, salib, dan naga di tanganku.

Aku menciumi tubuhnya, wajahnya, bintang, salib, dan naganya. Aku sungguh mencintai kekasihku. Dengan halus, dengan air mata. Aku sungguh mencintainya sehari dan malam itu. Aku bermain cinta dengannya.

Aku memakaikan pakaian ke tubuhnya. Dengan halus, dengan air mata. Aku membalikkan badannya setelahnya, kembali mencium bibirnya, lalu hidung dan matanya. 

Angga 

Sebelas lima enam, dia membuka pintu hotel. Memanggilkan aku taksi. Menatap mataku penuh arti. Dia bilang dia berulang tahun hari itu. Dia bilang ini hadiah terburuk dan terindah. Dia Angga dan dia bilang dia cinta aku. Empat menit lagi dia akan benci aku.

Sebelas lima delapan, dia memelukku sekeras hujan tadi malam. Dia mencium bibirku dua menit. Dia mencium bibirku di depan taksi yang menunggu. Dia mencium bibirku terasa asin air mata. Dia Angga dan dia bilang dia benci aku, dan tidak lagi mencintaiku. Karena memang dia bukan kekasihku lagi. Dia melepas tanganku, pas dua belas.

Dinda

Dua belas, aku masuk taksi. Menghapus air mata. Tak lagi jatuh cinta. Melihat ke belakang, melihat orang yang bukan lagi kekasihku membalikkan badan tegapnya. Aku melihat ia menunduk berjalan ke vespanya. Aku melihatnya tertelan gelap dini dan kerlip lampu sana-sini.

‘Rock and Roll’, aku berkata dalam hati. ‘Rock and Roll…’ 

Aku Dinda dan aku tersenyum.

SEBUAH PERJANJIAN BERSAMA SEHARI MALAM

Tepat pukul 12 dini, dia dan aku yang bertanda tangan di bawah ini berjanji akan mencintai, menyayangi, memiliki, menemani, merasakan, memeluk, menyentuh, merengkuh, mencium, memandang, mengobrol, melamun, memegang, dan hal lain yang mungkin untuk dilakukan sepasang kekasih. 

Dia, Arief Hudiansyah yang bertanda tangan di bawah ini berjanji sebagaimana disebutkan di atas, dalam waktu 12 dini sekarang sampai 12 dini besok. Akan tidak mungkin dan tidak boleh melakukan, mengalami lagi hal-hal di atas jika sudah lewat batas waktu yang ditentukan. Akan sadar dan menerima konsekuensi yang mungkin terjadi setelah dalam kurun waktu sehari malam dimana dia dan aku bersama, dengan bijak dan bertanggungjawab.

Aku, Dinda Dimana yang bertanda tangan di bawah ini berjanji sebagaimana disebutkan di atas, dalam waktu 12 dini sekarang sampai 12 dini besok. Akan tidak mungkin dan tidak boleh melakukan, mengalami lagi hal-hal di atas jika sudah lewat batas waktu yang ditentukan. Akan sadar dan menerima konsekuensi yang mungkin terjadi setelah dalam kurun waktu sehari malam dimana dia dan aku bersama, dengan bijak dan bertanggungjawab.


Tertanda,

Arief Hudiansyah Dinda Dimana                                                                                                 

Bandung, 17 Maret 2005

Tujuh belas lima belas sore


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)