Masukan nama pengguna
Dia bertatap dengan senja. Di mana langit digampar. Atau dibuat malu? Atau hanya make-up yang berlebihan?
Dia bertutup mata. Pejam. Tak ada yang dilihatnya kecuali hitam yang merah tersisa gamparan di langit. Dia sudah mati, pikirnya. Kanker di otaknya menyebar ke jantung, darah, seluruh. Hampir seluruh tubuh.
Dia membuka mata. Tak sepenuhnya jernih. Gelap yang lama diganti perlahan dengan kaburnya semut-semut kecil, lalu jernih, sebelumnya pusing. Kembali bertatap dengan senja di luar jendela rumah sakit. Kamar 504, dimana dia tidak sendirian, bersama 3 pasien lain yang salah satunya telah mati walau banyak selang di wajahnya, memaksanya hidup. Tinggal tunggu waktu sampai selang-selang itu menancapi wajahnya juga, walau dia tak mungkin merasakannya lagi.
Dia bertatap dengan senja. Lama. Tidak sendiri, tapi sungguh dia merasa sendirian. Sunyi saja yang dirasa. Hanya sesekali suster Dea datang membawakannya makan, obat-obatan, morphine dan mengobrol sebentar sambil meremas-remas jemarinya. Dia memang senang bila suster Dea datang, kesepiannya reda sebentar. Namun, ada saat-saat dia ingin sendiri bertatap dengan senja. Senja yang setia menampilkan keindahan baginya. Kadang, bila beruntung, sehabis hujan, senja menghadiahkan pelangi untuknya dan dia akan menarik bibirnya untuk tersenyum.
‘Hai senja, hari ini aku senang... kau begitu indah... Karena tadi hujan, kau menampakkan pelangi untukku. Semenit, satu menit yang indah...’
‘Senja, aku ingin hidup... Walau dulu aku ingin mati... Senja, aku ingin hidup.’
‘Mala, makan ya... Ini bubur ayam. Suster suapi mau ya?’
Dia menatap ke luar. Dimana hitam memakan senja. Malam kelam, tak terlihat bintang. Dia menoleh, ke suster Dea.
‘Suster taruh saja disitu, nanti La makan sendiri...’
Dia memang selalu menolak disuapi oleh suster gemuk 51 tahun itu kepadanya. Namun, makannya terkadang habis tak bersisa, entah ke mana perginya, melihat tubuhnya yang sangat kurus termakan kanker. Dia memang berumur 24 tahun. Masih muda. Muda, tapi tua. Tua dan lumpuh.
‘Suster, apa ada yang menghubungiku hari ini?’
‘Mamamu, ia ndak bisa datang, harus menunggui cucunya. Soalnya kakakmu harus kerja sampai larut. Istrinya pun begitu...’
‘Yaa...aku ngerti.’
‘Suster, aku gak mau pakai wig. Aku senang begini, lebih ringan.’ Dia mengusap kepalanya yang botak.
‘Yasudah... ndak opo... asal kamu senang…’ Suster Dea kembali meremas jemarinya.
‘Tadi sahabatmu menelpon ke Hp-mu... aku bilang kamu masih di Jerman, sibuk kerja...’
‘Terimakasih, suster..’
‘…Ndo, sampai kapan kamu bersembunyi begini? Kan kasihan temen-temenmu toh, ndo... nanyain kamu terus. Apalagi... dia...’
‘Suster, aku gak mau ngerepotin... bener suster... Tar malam aku e-mail mereka dari sini, suster tolong ketik di laptopku ya...’
‘Suster, aku gak mau mereka tahu... Nanti mereka sedih juga... Aku jadi makin sedih... Apa kabar teman-temanku?’
‘Sahabatmu yang pria di Amerika, yang wanita sekarang di Thailand, mereka sibuk, banyak kerjaan. Dia...’
‘Dia?’
‘Dia seperti curiga, La… Dia ingin menyusul ke Jerman katanya. Dia juga berulangkali nelpon ke Hp-mu toh ndo... Padahal aku ini sudah bilang berkali-kali, kamu ini di Jerman dan Hp-mu ini ndak terbawa olehmu dan kamu sudah ganti nomer di Jermannya... Aku ini capek berbohong, ndo, ngaku-ngaku mamamu... Walau kamu sudah aku anggap anakku sendiri. Jadinya aku beri dia nomer palsu...'
'...Rupanya dia menghubungi nomer itu, yaah... tentu ndak ada yang jawab. Dia juga sering minta menengokku, ke sini, ke Jakarta. Aku ini sampai bingung toh, ndo, mau jawab apa. Akhirnya, aku jawab aja seadanya, aku bilang aku ini sibuk, lagi ndak ada di Jakarta dan banyak lagi ndo... Dia sudah mulai curiga, ndo...’
Dia seperti memikirkan sesuatu, matanya menerawang.
‘La... sudahlah... ndak opo... asal kamu senang. Jangan dipikirkan ya, sayang... ada aku di sini.’ Suster Dea membelai kepalanya yang gundul dan meremas jemarinya yang kurus pucat, basah dan dingin.
‘Suster, Putra... Putra... Dia masih cinta padaku?’
‘Selalu Mala sayang... katanya selalu...'
‘Temui dia suster...’
‘Akankah dia ke Jakarta?’
‘Dia ada pameran minggu ini... Pameran tunggal karyanya... hmm... di Galeri X kalo ndak salah...’
‘Suster percaya dia?’
‘Hmm... aku belum pernah bertemu dan kenalan, aku belum tahu dia...’
‘Suster... tolong temui dia... di pameran itu...’
‘Lalu bilang apa toh, ndo? Aku ini takut, berbohong terus...’
‘Bilang padanya kalau dia masih cinta padaku, dia pasti menemukanku. Dan tolong berikan bingkisan itu padanya. Sekali ini saja, suster, di pameran itu... tolong aku...’
Dia hampir menangis, sehingga suster Dea mengangguk saja, tak tega melihat Mala, yang lebih tua daripada putrinya 5 tahun, tapi sudah dianggap anaknya sendiri.
‘Iya, ndo... akan aku usahakan. Akan aku lakukan. Jangan lupa diminum obatnya. Aku akan kembali sejam lagi. Kita e-mail teman-temanmu yaa?’
Suster Dea mengecup keningnya. Lalu menutup jendela dan tirainya sehingga dia tak lagi bisa menatap senja yang memang telah pergi berganti kelam malam. Dia mencoba meraih mangkuk bubur di sampingnya, yang sejengkal namun terasa satu kilo jauhnya. Dia bersusah payah, tapi mangkuk itu tetap jatuh bersama seluruh isinya, saat dia hanya tak kuat memegangnya.
Dia menatap saja mangkuk yang tumpah, tercecer bubur yang lembek. Bubur ayam yang paling dia sukai dulu… waktu dia masih kuat dan mampu melakukan apa pun.
Dia sudah melemah, makin lemah. 'Sudah dekat,' pikirnya. Sudah dekat. Dia pusing, pusing hebat.
Dia pejamkan mata, hanya gelap yang setia. Bahkan senja hanya sekali-kali datang di waktu tertentu. Sedang gelap selalu datang jika dia ingin. Kecuali gelap yang abadi, bisa saja terang, bisa saja senja.
Dia tak sadarkan diri, hingga esoknya selang-selang infus dan oksigen sudah menancapi wajah dan lengannya. Memaksanya hidup, minum, makan, bernafas.
Dia merasa sudah sehat. Aneh sekali.
Saat itu senja yang dia sukai mengetuk jendelanya dengan gamparan di langit yang membuatnya memar, merona merah. Dengan pelangi satu menit yang indah. Dia merasa sehat sekali. Dia cabuti infus dan selang-selang yang menancapi wajah dan lengannya. Dia bangun dari tempatnya tidur. Dia sehat kembali! Sehat kembali! Dia sangat bahagia!
Dia berlari keluar kamar, sedikit terseok, karena terakhir dia berlari sudah 7 bulan lalu saat mengejar kereta di underground London.
‘Suster Dea!’
Ingin ia berteriak memanggil suster kesayangannya itu dan memeluknya. Memberitahu kalau dirinya sudah sehat. Tapi ternyata hari itu Minggu. Suster Dea sedang libur.
‘Aku mau ganti baju, aku ingin ketemu Putra. Hmm... semoga gaun hitamku masih ada di lemari.’
Dia bersiul memanggil taksi. Betapa senangnya dia sudah sehat kembali. Dia akan mengejutkan kakaknya dan Sita istrinya, juga ibunya yang dia sayangi, juga si kecil Argha.
Hmm... Dia senyum-senyum sendiri ketika senja di luar sana mengintip di balik gedung-gedung dan polusi kota Jakarta, tempat dia lahir dan besar, membawanya di dalam taksi biru menuju rumah.
'Pulang...', pikirnya sambil tersenyum, 'pulang…'
Bayangan siapa itu? Hitam di tengah senja.
Dia tak menemukan siapa pun di rumah, sedikit kecewa memang, tapi tak apa. Karena dia akan menemui mereka nanti, sehabis pameran, sehabis Putra.
Bayangan itu dirasanya di rumahnya sendiri. ‘Siapa ya?’ pikirnya.
Gaunnya masih sedikit longgar di tubuhnya. Tapi tak apa, masih bagus. Dia bingung menutupi kepalanya yang gundul. Untung saja ibunya masih punya wig lurus sebahu, dia pasang, lalu make-up tipis. Dia masih manis pikirnya, walau sedikit pucat, 'Tak apa... tak apa...'
Mobil kecilnya masih di garasi, dia menyetir sendiri ke Galeri X. Bertemu Putra, tak lupa dia bawa bungkusan merah dengan pita kuning cerah yang dia siapkan 3 tahun lalu, saat Putra berjanji akan menemuinya di Bandung, saat dia masih kuliah. Tapi akhirnya ia tak juga datang, hingga sekarang. 'Hingga sekarang...'
Tak dia keluhkan, malam yang kelam, lalu-lintas yang padat. Jakarta yang dia cinta dan bayangan hitam yang terkadang berkelebat di spionnya.
Jantungnya berdebar memasuki aula hotel, Pameran Tunggal Fotografi oleh Putra Andhika, ‘Hidup Tanpanya, Dengannya’. Dia terpana kagum, bahagia dan tercenung menikmati foto-foto yang terpajang di ruang pamer. Berbagai ukuran, dari kolase 3R yang dicetak puluhan dan digabung dalam 1 frame, sampai ukuran poster. Dan yang terbesar, hampir seukuran dinding kamar kosnya dulu. Semuanya hitam putih, menampilkan orang-orang, portrait, yang sedih, kadang close-up air mata yang turun di pipi, sedih... tapi indah.
Foto terbesar adalah lukisan yang difoto lagi, seorang gadis yang tersenyum menatap senja. Indah. Dia mengenali gadis itu, mirip dirinya dulu, tapi dia tak mau menduga-duga.
Sejak dari rumah sakit dia merasa diikuti. Terkadang bayangan hitam itu hanya sekelebat-kelebat saja dirasanya.
‘Kau suka?’ tiba-tiba suara seorang pria menegurnya. Dia pikir bayangan itu sudah berdiri di sampingnya. Tapi itu Putra, tak menua sedikit pun, namun lelah saja yang terpancar di matanya.
Putra yang memangkas rambutnya hampir segundul dia, dengan sedikit rambut di dagunya. Dan keringat di hidungnya. Betapa dia ingin memeluk Putra saat itu juga. Tapi dia tak mau, tak bisa. Putra seperti tak mengenalinya dengan rambut lurus sebahu dan gaun hitam longgar yang menambah kurus tubuhnya.
‘Aku melukis ini 3 tahun yang lalu. Aku membuat seluruh pameran ini untuk gadis di foto ini. Aku selalu jatuh cinta padanya...
...dan berharap dia ada di sini, datang ke pameranku. Aku tak bisa melupakannya...’
Dia hanya tertunduk, tak berani menatap Putra, pria yang dicintainya dan takut untuk dia cintai.
‘Namanya Mala, Mala Andriani. Dia besar di sini, di Jakarta.’
‘Di mana dia sekarang?’ dia pura-pura bertanya.
‘Katanya di Jerman, tapi aku gak percaya... Aku janjian sama ibunya di sini, katanya beliau akan membawa bungkusan merah, berpita kuning, seperti itu...’
Putra menunjuk bungkusan merah yang dia bawa. Lalu sekarang dia beranikan mengangkat kepalanya menatap Putra. Matanya yang indah dan selalu disuka Putra selain senja jingga. Dia masih mencintai Putra. Dia masih senyum-senyum sendiri saat membawa bungkusan itu, saat mengingat isinya yang tak seberapa, namun pasti lucu, bila Putra yang pakai. Bungkusan berusia 3 tahun, pita kuning dari kertas yang sudah lusuh. Dia ternyata masih mencintai Putra.
Bayangan hitam itu menghalanginya dari Putra, menutup pandangannya. Dia kembali lemah, kembali tua dan lumpuh, walau masih muda.
Bayangan hitam itu kini tegak di sampingnya, bahkan berbicara,
‘Mala, ayo kita pergi... kamu sudah ketemu Putra, kan?
Maut yang berbicara, dia sadar, namun tak berani menatapnya. Maut berdiri di sampingnya, tak mencoba meraih jemarinya, walau akan dilakukannya.
Dia menatap dirinya sendiri dan empat orang lain lagi di sana. Suster Dea, ibunya, Sita, dan kakaknya.
‘Dia belum juga sadar dari komanya, padahal sudah lewat seminggu...’ suster Dea melapor, padahal 3 orang yang lainnya sudah tahu.
‘Mala memberi kalian ini...’ laptopnya diberikan kepada ibunya oleh suster Dea.
‘Di sini dia menulis sesuatu untuk semuanya...’
Ibu, Sita, dan kakaknya tampak pasrah dan hampir merelakan. Mereka seperti tahu, sebentar lagi dia akan pergi untuk selamanya.
Tapi dia berdiri melihat itu semua, ditemani Maut di sampingnya. Dia merasa siap, tapi ada satu yang ditunggunya.
Diam-diam dia mencium keempat orang itu dengan lembut. Walau mungkin mereka tak merasakannya. Seperti dia tak merasakan genggaman tangan ibunya yang lekat di jemarinya.
Ada satu orang lagi yang ditunggunya. Orang yang katanya mencintainya, selalu mencintainya... Yaah... iya, Putra.
Maut setuju menunggunya. Sekitar satu jam waktu yang diberinya.
15 menit... masih hanya keempat orang itu, berpeluk, berairmata sekali-kali, mengelus, menggenggam jemarinya sekali-kali.
30 menit... masih keempat orang itu, mengobrol padanya sekali-kali, walau dia tak mendengar lagi.
45 menit... masih keempat orang yang paling disayanginya itu.
1 jam... hanya keempat orang itu, keluarga yang dicintainya.
Dia mengangguk pada Maut, dia menatap wajahnya yang sungguh tak tertatap.
Maut menggandeng tangannya.
‘Apakah di sana ada senja dengan pelangi?’ Dia bertanya sambil bergandengan tangan dengan Maut.
‘Ada. Semuanya ada... kamu akan terkejut...’
‘Ah... aku tak sabar...’ Dia menatap ke depan, hanya ke depan di mana ada sebuah titik bercahaya terang.
‘Maut?’
‘Ya...?’
‘Aku kira akan gelap. Tak kusangka akan seterang ini...’ Dia tersenyum, indah sekali.
Bandung, 14 April 2005, 13.50
Di Pokel, di luar sehabis hujan,
3 jam menuju senja