Cerpen
Disukai
0
Dilihat
8,558
Membunuh Benci
Horor

Guru itu terus saja mengoceh tentang entah apa, saya tidak tahu, tapi yang jelas telinga saya sakit dibuatnya, entah kenapa saya dendam dengan guru itu. Saya sudah tidak kuat lagi. Diam–diam saya menyusun rencana di otak saya.

Guru itu berjalan sendirian. Sekolah sudah lama bubar. Memang sudah sangat larut, tapi bukankah pembunuh biasanya menunggu sampai larut?

Guru itu masih berjalan membawa tas kerja menuju mobil bututnya. Dia mencari-cari kunci mobil. Dibalik kacamata tebalnya ia masih tetap mengernyit mencari kunci mobilnya di tumpukan kunci-kunci lain yang memang telah ia beri label. Semakin benci saya melihat dia. Melihat bagaimana ia tergopoh-gopoh ketika ia berjalan, perut buncitnya, kaca mata tebalnya, kepalanya yang botak. Suaranya yang masih terngiang-ngiang di telinga saya. Suaranya yang membungkam saya, saat dia menahan tubuh saya dengan tubuhnya, menungging telungkup di meja guru, ketika itu. SAYA SUDAH TIDAK KUAT LAGI.

Saya setengah berlari ke arahnya, tak peduli suara langkah dapat mengejutkannya.  Memang ia menoleh dan terkejut melihat saya, murid wanita, sendirian, masih di sekolah. Padahal sekolah sudah lama bubar. Dia tersenyum. SAYA MAKIN BENCI DIA. Senyum yang sama ketika dia merenggut saya, tak berapa lama lalu. Senyum yang sama dari mulut yang mengancam saya, jika saya beritahu. Belum sempat dia berkata-kata dengan mulut jelek itu, saya telah merobek mulutnya dengan sebilah pisau yang telah saya persiapkan. Matanya melotot, dia memang masih hidup, dia terjatuh telentang, badannya yang gendut itu, SAYA MAKIN BENCI. Saya robek saja perut buncitnya itu dengan pisau yang sama. Saya penasaran, apa saja sih isi perut gendutnya itu. Darah di mana-mana. Terus mencoba mengiris daging lembek tebal itu.

Akhirnya terbuka lebar, semua yang ada di dalamnya terlihat (dia pasti sudah mati sekarang). Ternyata isi perutnya seperti...

Seperti spaghetti yang saya makan saat ini, sendirian, di kantin sekolah, waktu istirahat. Ribut sekali orang-orang ini, mereka semua anak kecil yang tidak berguna, anak-anak belasan tahun yang banyak omong. Ingin rasanya saya bunuh mereka satu per satu.

Tapi tidak dengan dia, (hmmm...) anak laki-laki yang satu ini telah membuat getar aneh di dada saya. Anak laki-laki belasan tahun yang cuek, tidak jelek, tidak tampan. Saya suka bagaimana dia tertawa, ketika melucu. Bagaimana dia menggaruk-garuk kepalanya yang cepak, ketika bingung. Bagaimana lesung di pipi kirinya muncul, ketika senyum kecil. Hm, senyumnya. Saya suka senyum lebarnya ketika kebetulan bertatap dengan saya di koridor. Saya suka menghirup aroma segar citrus tubuhnya, jari-jari panjangnya memainkan bolpen. Entah kenapa seragam putih abu-abu terlihat sangat bagus membalut kulit tubuh menjulangnya yang coklat itu.(Hmmm... Erik...) Diam-diam tersusun rencana di otak saya.

(Si gendut itu pasti sudah membusuk di WC)

Erik melangkah keluar kelas, saya memang selalu memperhatikannya. Dia melangkah dengan santai keluar kelas di tengah pelajaran, mungkin ingin ke WC. WC! Saya pun buru-buru izin ke WC.

Saya masuk WC pria. (Hmmh... bau busuk si gendut sudah mulai menyengat, si anjing!) Di sana Erik berdiri, mencuci tangannya. Saya bergerak perlahan mendekatinya. Dia menaikkan kepalanya dan terkejut melihat pantulan wajah saya di cermin. Erik berbalik lalu terheran-heran melihat saya di hadapannya. Dia tersenyum, salah tingkah, bertanya-tanya. Saya menyuruhnya diam, saya mendekatinya, lebih dekat, dekat lagi, saya bisa merasakan debaran jantungnya. Saya mencium bibirnya, memainkan lidahnya (hmm..), terus, terus, terus... Saya bimbing dia, sambil terus memainkan lidahnya, masuk ke dalam salah satu pintu toilet.

(Sialan... bau busuk itu tak mau hilang)

Terus menikmati debaran jantung Erik, nikmati tiap sentuhannya. Saling menyentuh, merengkuh, menciumi, menjilati, hingga saya rasakan dia di dalam saya.

(Tapi si gendut itu, walau pasti sudah mati, tetap mengejek dengan bau dagingnya yang membusuk)

Terus menikmati sampai ke puncaknya. Erik tidak mungkin menolak saya.

(Dia sadar tidak bau busuk itu? Dari toilet sebelah, memang si gendut itu saya buang di situ tadi malam)

Tiap laki-laki tak mungkin menolak onggokan daging yang mereka sebut wanita, begitu juga Erik. Teruskan, terus, terus, renggut apa pun yang mungkin masih tersisa di dalam diri saya.

(Hhhh... bau itu menyengat sekali)

Bocah kecil tujuh belas tahun, kamu begitu naif. Kamu tidak mungkin menolak kulit saya yang halus dan tubuh saya yang indah. Indah...

(Bau si gendut itu tak mau kompromi)

Indah dan berirama, naik turun, naik turun, naik turun seperti...

Seperti lagu yang saya dengarkan di walkman saya saat ini, jam istirahat tapi tidak di kantin. Menyendiri sambil mendengar musik indah. Sampai saya lihat gadis-gadis kecil ingusan pesolek itu, dengan rok abu-abunya yang sangat pendek, kemeja putihnya yang sangat ketat. Mata saya pedih. Kali ini saya tidak lagi menyusun rencana. Saya benar-benar MUAK! Buru-buru saya berjalan ke arah mereka, saya persiapkan pisau itu (yang sudah membelah si gendut jadi dua bagian). Saya hapus sisa darah yang masih menempel. Saya tak hiraukan musik yang hilang, walkman yang jatuh berdentam. Hingga saya mampu meraih rambut salah satu gadis itu, rambut coklat panjang yang dikeriting. Tanpa ragu saya potong rambutnya tepat di bawah telinga dengan pisau bau itu. Rambut yang sama, yang mereka kibaskan di depan muka saya, saat mereka menelanjangi dan menyiram saya dengan air comberan, ketika itu. Mereka berteriak-teriak terkejut. Teriakan yang sama saat mereka menghina, mencambuki saya dengan cerca, ketika itu. Peduli amat dengan musik yang hilang! Musik ini lebih baik! Teriakan histeris gadis-gadis itu ketika saya tarik lagi salah satu dari mereka. Dan dengan pisau yang sama saya cabik-cabik baju mereka, hingga mereka setengah telanjang dengan kulit-kulit yang tidak (begitu) indah lagi. Darah-darah...

Akhirnya tangan-tangan itu memegangi saya, menenangkan.

Tapi tentu saja itu semua hanya ada di otak saya, khayalan. Gadis yang selalu juara kelas seperti saya takkan mungkin berbuat seperti itu. Gadis pendiam seperti saya paling hanya bisa menangis dicerca. Gadis pemalu seperti saya lebih mantap nungging di meja guru dan membiarkan ketika direnggut. Gadis jelek seperti saya lebih pantas telanjang mandi air comberan. Itu kata mereka, ketika itu. Itu nyata... Seperti...

Seperti... panas ini benar-benar nyata. Dapat saya rasakan darah segar yang panas mengalir. Dapat saya lihat merahnya mewarnai lantai kamar kos saya. Saya telah menghabisi nyawa saya sendiri. Pergelangan tangan saya telah teriris, dapat saya rasakan denyutnya yang melemah (deg). Saya kembali memandang piala-piala (deg), piagam-piagam, semua yang telah saya capai. Potret seorang gadis berkacamata tebal rambutnya ikal, perutnya buncit (deg). Saya BENCI ini semua...

Semuanya! Semuanya kecuali wajah Erik. Yang saya lihat saat ini. Apa dia ada di sini? Wajahnya terlihat komat-kamit panik. Apa ini khayalan? Saya melirik pintu kamar kos saya yang terbuka lebar. Di sampingnya, sebuah meja kecil dengan foto-foto saya bersama Erik terpigura rapi. Kami saling merangkul senyum bahagia, ketika itu. Penglihatan saya sudah mulai meredup. Erik memeluk saya, mengusapi wajah saya, menekan luka di pergelangan, membalutnya kencang. Darah menggenang. Erik menciumi saya, mengeluarkan HP, terlihat panik menelpon. Saya memandangi tangan saya yang berdarah hebat, mengangkatnya untuk menyentuh wajah Erik. Menyentuh air mata hangat di pipinya. Air mata yang mengalir ke mulutnya. Mulut yang berkata kalau dia suka saya, karena saya cantik tapi saya tak tahu. Mulut yang berkata akan mendukung saya, mengokohkan saya, dimana sekitar tak begitu. Mulut yang menciumi saya, memberi napas kehidupan ketika kematian dekat, dalam peluknya erat. Ketika itu, semuanya...

Semuanya mulai berputar-putar dan mengkelam, tenggelam, buram, suram, padam.                                   


Bandung,           

Jum’at, 25 Oktober 2002


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)