Masukan nama pengguna
Kalau bisa memilih. Seorang anak pasti ingin melihat kedua orangtua mereka akur. Jarang, bahkan hampir tidak ada yang menginginkan perceraian. Runa, seorang gadis tujuh belas tahun mengalaminya. Bukan hanya sebuah perceraian kedua orangtuanya. Dalam kurun waktu setahun, ayahnya memilih untuk menikah lagi.
"Apa Ayah yakin ingin menikah lagi?"
"Tentu saja. Ayah cukup lama mengenalnya saat bersekolah dulu .... "
"Tapi .... "
"Kamu tidak perlu khawatir. Ia juga mempunyai seorang putri, hanya saja terpaut lebih muda tujuh tahun darimu."
"Ah ya, baiklah kalau begitu."
Gadis manis itu termenung, teringat percakapan terakhir sebelum ayahnya menikah.
Saat ini ia tengah berada di dalam mobil, setelah resepsi pernikahan ayahnya digelar. Bersebelahan dengan Dinda, bocah cilik yang berumur sepuluh tahun. Saudara tiri yang ternyata sangat cuek.
Ia tidak memperdulikan kehadiran Runa, pandangannya terlempar ke jalanan. Padahal Runa ingin mengenal adik tirinya. Sudah lama ia memimpikan memiliki seorang adik. Apalagi seorang adik perempuan.
Langit biru telah berganti menjadi langit hitam kelam dipenuhi taburan bintang di sekitarnya. Tidak lupa, hadirnya bulan menambah keindahan tersendiri karena menggantikan posisi matahari.
Meskipun pancaran sinarnya sedikit redup. Serangga-serangga malam saling bersahut-sahutan memberi warna pada malam yang sunyi.
Sebuah mobil mewah keluaran baru memasuki rumah bertingkat di daerah Renon. Rumah itu cukup besar untuk keluarga baru mereka.
Dua orang gadis keluar dari mobil itu. Mereka membawa masing-masing barang bawaan.
Tidak berbeda dengan sepasang suami istri yang mengambil sebuah koper berukuran besar. Meskipun sudah sebulan tinggal di Bali, ini pertama kalinya mereka memasuki rumah baru yang dibeli oleh ayah –sebelumnya mereka tinggal di hotel melati untuk sementara.
Sebuah ruang tamu luas menjadi pemandangan pertama yang ia tangkap saat memasuki rumah. Runa sedikit bingung melihat ekspresi Dinda, mungkin kehidupan sebelumnya cukup buruk.
Padahal dibandingkan dengan rumah mereka terdahulu, rumah ini sedikit lebih kecil. Dinda ialah gadis cilik berumur enam tahun yang sekarang menjadi adik tirinya.
“Bagaimana Dinda? Kau menyukai rumah ini?”
“Iya Ayah... Dinda sangat menyukainya.”
Pandangan gadis cilik itu masih menyusuri tiap inci dari ruang tamu dengan pandangan penuh takjub. Ia tidak pernah bermimpi akan memiliki sebuah rumah besar untuk ditinggali bersama ibu. dan keluarga barunya.
Meskipun dalam hati ia masih tidak bisa. berbohong kalau ia masih memikirkan ayah kandungnya.
“Ayah senang mendengarnya. Untuk kamar tidur, Ayah dan Ibu memilihkan kamar untuk kalian di lantai dua.. Segeralah setelah berbenah, mandi. Kita akan makan malam bersama.”
Kedua gadis tadi menaiki satu persatu anak tangga. Tidak ada yang berbincang sampai masing-masing dari mereka memasuki kamar tidur.
Melihat hal ini membuat pasangan baru itu menggeleng lemah mungkin dalam waktu dekat kedua putrinya akan membiasakan diri untuk hidup bersama.
Dewi melangkahkan kakinya menuju dapur. Di mana hanya berjarak sekitar lima meter dari ruang tamu. Letaknya persis di sebelah ruang keluarga dan ruang makan.
Sebuah senyum terkembang begitu saja membayangkan apa yang akan ia lakukan di sana.
.+.+.+.+.
Dapur di rumah ini terlihat begitu nyaman dengan cat berwarna coklat muda. Terdapat sebuah kitchen set lengkap tertata rapi di dinding atas, begitu juga lemari es dua pintu berada di depan meja makan. Persis di sebelah timur terdapat kompor gas dan pencucian piring di sebelahnya.
Dewi tengah sibuk mempersiapkan masakan untuk makan malam keluarga barunya. Ia menggunakan celemek putih untuk mencegah pakaiannya kotor, rambut hitam panjangnya ia kuncir tinggi.
Tangan itu dengan lincah memotong-motong sayur dan mengolah bahan mentah yang lain. Merasa sudah menyelesaikan tahap awal, ia pun mencuci sayuran dan daging segar.
Ia begitu telaten menggunakan peralatan dapur tidak heran jika sang suami menatapnya dengan tersenyum lembut.
“Menikmati pekerjaan barumu, hm?”
Sosok itu tersenyum simpul berhenti memotong daging lalu berbalik menghadap suaminya.
“Tentu saja, Mas. Apalagi dengan hadirnya seorang putri lagi."
Sosok tampan yang telah berumur itu mengecup puncak kepala istrinya. “Terima kasih telah hadir dalam hidupku.”
“Justru aku yang harus berucap seperti itu, Dra. Terima kasih karena telah menerimaku apa adanya.”
Ia menyunggingkan senyuman terbaiknya, benar-benar bersyukur dipersunting oleh Hendra –teman sekelas semasa Sekolah Menengah dahulu.
“Aku akan menyelesaikan ini kau panggil saja anak-anak untuk turun. Sebentar lagi masakan akan matang.”
“Baik istriku, masak yang enak ya.”
Dewi tertawa kecil mendengar penuturan Hendra, ia selalu menyukai pribadinya yang humoris.
Setelah itu ia kembali berbalik untuk melanjutkan acara memasaknya.
Sementara menunggu masakan matang Hendra beserta kedua putrinya merapikan meja makan. Menaruh peralatan makan di meja dan menyediakan serbet di tiap-tiap piring.
Runa merangkai vas bunga –bunga tersebut diambil di taman belakang- dan meletakkannya di tengah-tengah meja. Bunga itu menambah kesan cantik dari meja makan yang telah rapi.
Runa dan Dinda membantu menyajikan beberapa jenis kuliner di meja. Setelah selesai mereka pun memanjatkan doa lalu menyantap makan malam dalam tenang.
Tidak ada yang bersuara hanya suara garpu dan sendok mendominasi meja makan. Karena memang sebuah tradisi dalam keluarga saat makan tidak ada satupun yang berbincang sampai makanan telah selesai disantap.
Dinda tidak menghabiskan makanannya, ia hanya mengaduk-ngaduknya setelah beberapa kali menyendokkan makanan.
Kedua alis hitamnya menaut, seperti ada hal yang tengah mengganggu pikirannya. Bibir mungil itu pun mengerucut kesal.
Runa yang melihat hal itu sedikit bingung. Padahal tadi Dinda terlihat senang. Tapi mengapa tiba-tiba menjadi muram?
“Kenapa tidak dihabiskan, Nak?”
Dewi membaca sikap anaknya tidak seperti biasa. Seperti ada yang tengah mengganjal hati dan ingin segera diungkapkan olehnya.
“Dinda tidak lapar, Bu.”
Dinda mengelak meskipun ia sadar kalau itu adalah hal percuma, karena Ibu pasti dapat melihat sorot kebohongan dari parasnya yang manis.
“Kau harus makan kalau tidak ingin sakit. Daritadi Ayah lihat kau hanya makan beberapa sendok, dan juga sepotong roti coklat yang dibelikan Ibumu.”
“Tidak Ayah... Dinda sama sekali tidak lapar.”
“Apa kau ada masalah, Din?”
Pandangan Dinda beralih kepada Runa, ia menatap sebal pada kakak tiri yang selalu ingin tahu tentangnya.
Dipandang seperti itu membuat Runa menunduk. Mungkin di sini ia salah.
Ya, ia salah karena berharap bisa akrab dengan adik tiri yang bahkan tidak memperdulikannya selama satu bulan di Bali. Jauh sebelum pernikahan digelar.
“Bukan urusanmu!”
Runa terdiam, terlalu kaget mendengar penuturan dari Dinda. Padahal ia sudah berniat baik untuk mendekati adik tirinya, mencoba untuk akrab. Walaupun selalu ditolak olehnya.
“Dinda! Minta maaf pada kakakmu!”
Dewi sangat marah mendengar perkataan kurang sopan dari anak semata wayangnya yang baru saja menginjak umur tujuh tahun.
Bukannya menurut, gadis cilik itu melompat dari kursi menatap kesal pada seluruh keluarganya.
“Dia bukan kakakku!” Ia berseru, sebelum akhirnya berlari menuju kamar.
Dewi terlihat sedih dengan tingkah gadis cilik itu mungkin ia harus berbicara empat mata padanya. Pandangannya beralih pada Runa.
“Maafkan Dinda, ya?”
Runa mengangguk pelan, menyunggingkan seulas senyum tipis. Walau sebenarnya ia cukup kesal dengan tindakan kurang sopan dari adik tirinya.
Bayangkan saja, ia selalu berusaha sabar menghadapi sosok tidak akrab dan kasar seperti Dinda. Mati-matian ia menahan rasa iri karena kedua orang tuanya terus-terusan membelanya, padahal Dinda adalah pihak yang selalu salah.
Mengalah karena perbedaan umur? Lupakan saja! Hal itu terlalu kekanak-kanakan dan sangat tidak adil.
“Jangan pikirkan perkataan Dinda.. Mungkin ia belum bisa menerima pernikahan ini. Kalau tidak keberatan coba bujuklah adikmu, kau bisa ‘kan?”
“Iya Ayah, seusai makan malam aku akan menemuinya.”
Tidak ada penolakan dari Runa. Ia sepenuhnya sadar kalau apapun yang ia ucapkan pun percuma. Dinda menjadi pihak yang selalu benar di mata kedua orang tuanya.
Hendra tersenyum mendengar penuturan dari Runa lalu kembali melanjutkan makan yang tertunda karena ulah si kecil yang sepertinya ingin membuat sedikit keonaran.
Ya, ia berusaha agar tidak diterima oleh keluarga barunya. Namun, pemikiran itu sepenuhnya salah. Karena semua orang yang berada di meja makan mengerti, terkecuali Runa.
Mengerti bagaimana perasaan seorang gadis cilik dalam menghadapi perceraian kedua orangtua yang dikasihinya serta pernikahan lain yang baru saja digelar oleh ibu dan ayah tirinya.
Tidak mudah memang, menerima orang asing dalam hidup baru apalagi setahu Hendra sosok gadis cilik itu sangat dekat dengan ayah kandungnya.
Satu jam telah berlalu, makan malam yang semula ia pikir akan penuh kehangatan menjadi cukup berantakan. Hal ini dikarenakan Dinda membuat dinding pembatas bagi Runa untuk dekat dengannya dan membuat sedikit rasa iri.
Dewi merapikan perabotan sehabis makan malam yang dibantu oleh Runa.
Dewi merapikan sisa makanan sedangkan Luna mencuci piring. Hendra tersenyum, melihat istri dan anaknya cukup akrab. Tidak jarang ia dengar mereka berbincang-bincang meski didominasi oleh Dewi yang mencoba mendekati putrinya.
“Kau suka kue?”
“Tentu, terutama kue coklat, Bu. Runa bisa menghabiskan satu toples penuh kue kering coklat dalam satu hari,” jelas Runa panjang lebar disertai sebuah cengiran kecil. “Tapi setelah itu Runa akan batuk dalam waktu sepekan.”
“Hahaha, kau ini. Ternyata tidak jauh berbeda dengan Ibu.”
Sekarang mereka saling berhadapan karena Runa telah selesai mencuci piring kotor. Ia mengeringkan tangan dengan serbet yang diberikan ibu lalu mengikutinya menuju ruang keluarga.
.+.+.+.+.
Sebuah ruang keluarga berada di tengah-tengah kamar utama -bersebelahan dengan ruang tamu. Coraknya coklat muda dan dihiasi dengan beberapa lukisan abstrak. Terdapat sebuah televise besar diantara sofa dan meja.
Runa menyenderkan tubuhnya pada Dewi. Jemari tangan Dewi digunakan untuk menyisir rambut anak tirinya dengan lembut. Rupanya memiliki anak remaja sangat menyenangkan.
Ia jadi membayangkan beberapa tahun lagi saat Dinda beranjak dewasa pasti akan menjadi remaja yang sangat cantik. Wajahnya oval walau sedikit gembul dengan mata sipit dan kulit seputih susu.
Tidak jauh berbeda dengan Runa, hal yang membedakan hanya corak kulit dari mereka berdua. Kalau tidak ada yang tahu mereka saudara tiri, pasti berpikir kalau mereka saudara kandung.
Sayangnya sifat mereka sangat jauh berbeda. Dinda adalah anak yang manja dan ingin. menang sendiri, berbanding terbalik dengan Runa yang penurut, sopan dalam berbicara serta pengertian.
Walaupun sifat Runa yang penurut dikarenakan tidak ingin mengecewakan ayahnya.
“Nak, maafkan tingkah Dinda yang kurang sopan ya?”
“Runa kan sudah menjelaskannya tadi. Runa tidak terlalu memikirkan hal itu, lagipula Dinda melakukannya pasti karena ada sebab.”
“Ibu tahu.. Tapi, tetap saja merasa bersalah padamu. Seharusnya Ibu lebih tegas pada adikmu, jadi ia tidak akan berani untuk berperilaku kurang menyenangkan seperti tadi.”
“Semuanya perlu proses, Bu.. Sama dengan perilaku Dinda. Meski sekarang ia acuh dan lebih sering memberontak. Suatu hari ia akan sadar bahwa yang dilakukan olehnya itu salah.”
Dewi tersenyum mendengar penuturan anaknya. Benar yang dikatakan suaminya, bahwa Runa adalah sosok dewasa dan penuh pengertian. Mantan istrinya mengajarkan hal itu sedari kecil dan telah tertanam baik dalam diri Runa.
“Terima kasih, Nak.”
“Iya, Bu... Ibu tidak perlu sungkan. Jika ada hal yang mengganjal di hati atau ada hal yang mengganggu pikiran Ibu.. Bisa mengatakannya padaku. Sebisa mungkin Runa akan menjadi pendengar yang baik.”
Ia menjauhkan tubuh putri sulungnya lalu memeluknya erat sekali.
Ini pertama kali seseorang menawarkan diri untuk mendengar keluh kesahnya padahal sebelumnya ia selalu menyimpan segala keluh kesahnya sendirian.
“Terima kasih, Nak. Ibu sungguh bersyukur dipertemukan oleh Ayahmu.”
Runa balas memeluk Dewi dengan erat. Meskipun ia bukan ibu kandungnya tetap saja perasaan bahagia itu ia rasakan saat memeluk ibu tirinya. Padahal dulu ia menolak rencana pernikahan ayahnya bahkan ia mengunci diri di kamar seharian.
Ia berpikir bahwa sosok ibu tiri sama persis seperti dongeng kesukaannya, Cinderella. Di mana ia memiliki seorang ibu tiri jahat dan hanya mengincar harta dari ayahnya. Begitu juga mempunyai dua orang saudara yang sama jahatnya.
Membayangkan hal itu saja membuat Runa bergidik ngeri, untungnya kejadian semacam itu hanya ada di dongeng bukan dunia nyata.
“Sama-sama, Bu.”
Ia menjauhkan tubuhnya lalu menatap sepasang iris mata kecoklatan ibunya. “Sepertinya Ibu harus berbincang sejenak dengan Dinda, ia pasti menunggu di kamar.”
“Mungkin memang sebaiknya ibu menghampirinya. Kau tidak keberatan tidur lebih awal kan?”
“Tidak apa Bu, lagipula besok hari pertamaku sekolah. Selamat malam,” ujar Runa mengecup kedua pipi ibunya berlalu menuju kamar tidur.
Dewi tersenyum lembut, tiada hentinya ia bersyukur karena diberikan keluarga yang hangat seperti ini. Meski Dinda masih tidak menerima keputusan mereka. Bagi pemikiran gadis ciliknya, pernikahan yang terjadi antara ia dan suaminya hanya keputusan sepihak tanpa memikirkan perasaan anaknya.
Hal itu pernah diutarakan Dinda ketika makan malam sebelum menikah saat ia baru saja dilamar oleh Hendra.
Ia tidak menjawab pernyataan atau nada protes yang dilancarkan oleh anaknya. Justru sebaliknya, ia malah mengabaikan dan meninggalkannya untuk merenungkan perkataan yang sudah sangat keterlaluan.
Kini, ia berdiri di ambang pintu kamar Dinda. Awalnya enggan untuk masuk namun refleks tangannya mengetuk pintu itu.
Belum sempat ia berbalik, Dinda telah membuka pintu kamar. Wajahnya berlinang airmata. Hidung dan matanya pun memerah. Pasti sudah daritadi ia menangis.
Meskipun kesal Dewi tidak dapat membiarkan buah cintanya dalam kondisi seperti sekarang.
Ia merengkuh tubuh mungil itu dan memeluknya erat sekali. Dinda tidak melawan ia mengalungkan tangannya pada leher ibu. Isakan tangisnya terhenti begitu saja saat Dewi membaringkan di kasur dan menyelimutinya.
“Jadi, apa yang kau tangiskan?”
“Di-dinda ke-kesal.”
Nafasnya masih tersengal, sedikit susah memberikan penjelasan sesudah menangis dalam waktu beberapa jam.
Dewi mengambil sapu tangan di saku celana lalu mengeringkan wajah gadis cilik yang sangat ia cintai. Ia menatap sosok itu dalam diam, meski tanpa mengatakan apapun dapat tergambar jelas kalau ia ingin Dinda berhenti menangis.
“Kesal kenapa, Nak?”
“Kesal pada Runa.”
Sepertinya Dinda sudah bisa mengendalikan emosinya. Ia menghindari tatapan ibunya yang terlihat kesal.
“Kenapa kau memanggilnya seperti itu? Runa adalah kakakmu.”
“Bukan, ia bukan anak Ibu!”
“Dinda .... ” ia merangkul pundak gadis cilik itu lalu menatap lekat matanya. “Karena Ibu telah menikah dengan ayahnya jadi ia adalah kakakmu. Ibu sangat berharap kalian bisa akrab.”
“Berarti Dinda harus membagi perhatian Ibu padanya kan?”
Mendengar penuturan si kecil sontak membuat Dewi tersenyum, rupanya ini permasalahannya.
“Iya, tentu saja. Karena kalian berdua anak Ibu,” jelasnya cukup singkat yang mendapat anggukan kecil dari sosok di sebelahnya.
“Nanti Ibu pasti melupakan Dinda dan hanya perhatian pada Runa. Dinda tidak menyukai hal itu.”
Lengannya menarik Dinda mendekat. Memeluknya erat sekali lalu mengecup puncak kepalanya dengan lembut dan mengusapnya.
“Ibu tidak akan pilih kasih.. Kalian akan ibu berikan perhatian dan kasih sayang sama rata. Jadi, tolonglah turuti permintaan Ibu.”
“Hmm....” ia melepaskan rangkulannya, lalu menarik selimut sebatas dada.
“Maaf Bu, Dinda mengantuk. Besok saja berbincangnya lagi."
Tok.Tok
Suara pintu kayu terketuk lagi. Sosok Runa memasuki kamar adik tirinya. Lama sekali Dinda terpaku, sebelum ibunya pergi meninggalkan mereka berdua di dalam kamar.
"Kau marah?"
Dinda tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, tidak ingin bertatapan langsung dengan kakak tirinya.
"Aku tahu kenapa kau bertingkah seperti ini."
Tangannya menarik tangan mungil adik tirinya, "Aku tidak akan merebut ibu darimu."
Ia menoleh, menunggu kata-kata selanjutnya yang diucapkan Runa.
"Bahkan, aku akan berbagi Ayah denganmu. Umurku sudah cukup besar untuk masih bermanja-manja dengan Ibu."
"Benarkah?"
Runa tidak memberikan jawaban apapun. Ia hanya mengangguk pelan yang disambut dengan sebuah senyuman lebar dari Dinda.
"Terima kasih, Kak."
Dinda menghambur ke Runa. Ia memeluknya sangat erat dan hangat.
Selama tujuh belas tahun ia hidup baru kali ini ia merasakan sebuah pelukan dari seorang adik.
Ia awalnya memang dingin terhadapnya. Namun, kali ini berbeda. Jauh berbeda dengan sosok mungilnya. Pelukannya sangat hangat. Ya, pelukan hangat Dinda.