Cerpen
Disukai
4
Dilihat
1,100
Cinta dan Benci
Romantis

Suara jam dinding mendominasi. Beberapa cicak turut meramaikan dengan mengibaskan ekornya. Penerangan dalam kamar ini bisa dikatakan minim. Hanya ada dua manusia dalam kamar yang cukup kecil dan senyap milik Ipang.

"Jadi, bagaimana keputusanmu, Pang?"

"Aku tidak akan memutuskanmu, Re. Tidak juga dengan meninggalkannya.." terangnya sangat jelas dan penuh penekanan pada tiap kalimat.

Rere mengerjap beberapa kali dalam waktu singkat. Mendengar penuturan kekasihnya membuat ia terpukul.

'Bagaimana bisa Ipang berpikir sekeruh itu?' Ia membatin dalam hati.

"Hmm.. Sudah kuduga.." ia berujar.

Menahan mati-matian genangan air yang mengendap di kelopak matanya.

"Kau.. Mengerti posisiku, kan?"

Ia menanyakan hal yang sama berulang kali. Padahal ia tahu pasti jawabannya. Tidak mungkin, bahkan tidak sedikit pun Rere akan rela berbagi kasih dengan gadis lain.

"Entahlah.. Aku kembali bekerja dulu."

Satu kalimat itu tidak menjelaskan apakah ia setuju atau tidak. Toh, hasilnya tetap sama.. Ipang tidak akan meninggalkan gadis itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dengan cekatan Rere merapihkan piring dan gelas sehabis makan siang. Ia menaruh ponsel dalam saku dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.

Ia bangkit berdiri membawa piring dan gelas yang kotor, sekalian hendak membayar makan siangnya.

"Biarkan saja, Re.. Nanti aku sekalian bayar utangku di Bude," ucapnya masih tetap menghisap rokok.

"Tidak.. Kau tidak perlu membayar makan siangku."

Rere masih kekeh. Entah kenapa ia tidak ingin dibayari oleh Ipang. Mungkin karena masalah yang tengah dihadapi mereka.

Ia meletakkan rokok di asbak. Mengambil piring dan gelas yang dibawanya.

"Sudah, biarkan aku saja ya.."

Bukan berkata-kata ia hanya mengangguk lemah mengiyakan kemauan kekasihnya.

"Nah, selamat bekerja.." ucap Ipang sambil mengusap puncak kepalanya.

Tidak ada jawaban darinya selain suara pintu yang tertutup. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya terasa sakit dan bahagia dalam waktu bersamaan.

Sepanjang perjalanan tidak sedikitpun bulir-bulir airmata berhenti menganak sungai di parasnya.

"A-aku bi-bisa me-melepaskannya," gumamnya meyakinkan kalau ia dapat melalui semua ini.

Hasilnya sama, bukan sebuah senyuman melainkan tangisnya semakin keras. Ia berhenti di pertigaan gang. Mencoba menenangkan dirinya.

Wajahnya telah basah dengan airmata. Hidung mungilnya memerah, kelopak mata berwarna coklat muda itu pun membengkak. Semakin bertambah sipit daripada sebelumnya.

"A-aku sayang kamu.. Sangat."

Rere bergumam lagi. Apapun yang dilakukannya percuma. Hati ini terlanjur hancur. Langkahnya semakin dipercepat, menyadari kalau jarum jam telah menunjukkan pukul satu siang. Sudah saatnya kembali, fokus dengan pekerjaan.

.

.

Sore menjelang lebih awal. Garis oranye membelah langit biru dengan angkuhnya. Puluhan awan masih setia menemani sang langit dengan seberkas cahaya matahari yang masih tersisa.

Di lantai empat kantor. Gadis itu memandang lurus ke arah jalan raya. Ia mengamati bangunan-bangunan yang lebih rendah tingginya dari kantor. Ada toko bunga di seberang, beberapa warung makan, bahkan sebuah lapangan yang cukup luas.

Mata coklat itu melelehkan airmata lagi. Entah sudah berapa kali. Tetap tidak mengurangi rasa sakitnya. Tas selempang ia biarkan menggantung di salah satu bahu. Ia terlalu sibuk mengamati pemandangan sore dari lantai empat tempat kerjanya. Rasanya ia tidak ingin pulang. Kemana saja, asal tujuannya bukanlah rumah. Tapi, tetap saja ia harus kembali pulang. Kalau tidak ibu pasti khawatir.

Rere menoleh saat seseorang ikut naik ke lantai empat. Ia adalah Reza, teman baik Ipang. Matanya sipit dengan bibir yang tebal dan bertubuh gemuk. Ia memiliki kulit kuning langsat senada dengan Rere.

Pandangannya kembali memandangi langit sore di hadapannya. Sesekali menoleh ke bawah. Melihat beberapa rekan kerja berbincang di tempat parkir.

Sedangkan Reza tidak hentinya mengamati Rere. Ia terlihat menelpon seseorang, cukup lama ia berbincang dengan orang di seberang sampai akhirnya ia kembali turun.

Semilir angin sore menyamarkan bulir-bulir airmata yang menuruni wajahnya.

'Rere Putri, sudah lama aku suka sama kamu. Jadi pacarku, ya?'

Kata-kata itu kembali terngiang di telinganya. Memang belum lama kisah itu terjalin di antara mereka. Hanya saja kedekatan keduanya cukup lama. Nafasnya tercekat di tenggorokan, rongga dadanya pun terasa sesak.

"Kenapa aku masih mencintainya?" Tanya Rere entah kepada siapa.

Drrt.Drrtt

Getaran ponsel dalam sakunya membuat ia tersadar. Menghapus airmata dengan punggung tangannya kemudian mengangkat telepon.

"Halo.."

"Kenapa menangis?"

Matanya membulat sempurna. Ia kembali terdiam. Mulai berpikir mengapa Ipang tahu ia sedang menangis. Padahal ia susah payah menyamarkan suaranya yang bengek.

"Tidak, aku tidak menangis.."

"Jangan berbohong.. Sudahlah, nanti kita bicarakan masalah itu nanti."

"Aku akan pulang sekarang.."

Gadis itu sudah cukup capek. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ia hanya ingin pulang dan mengistirahatkan diri.

"Biarkan aku yang menjemput. Kau tunggu di gang sebelah kantor.."

"Hmm.."

Sekitar sepuluh menit berlalu, Rere telahberdiri di samping gang sebelah kantor. Baru saja menunggu, dari arah timur datang sebuah motor matic miliknya.

Selama perjalanan ia merangkul pinggang Ipang erat. Ia tidak ingin melepaskan rangkulannya.

Walaupun berat dan tidak menginginkannya ia harus melakukan itu. Membiasakan diri tanpa Ipang. Tanpa canda dan perkataannya yang lugu.

"Aku minta maaf, Re.. Sungguh, aku cuma sayang kamu."

Kini mereka berdua dalam kamar kontrakan milik Ipang. Rere dan Ipang tengah duduk berhadapan. Ternyata kondisi mereka berdua sama.

Ya, sama-sama berantakan. Rambut ikal Ipang terlihat gondrong dan tidak terurus. Rere baru menyadari bahwa kekasihnya cukup lama tidak menguris kumisnya.

"Kau tidak perlu meminta maaf.. Aku yang salah, mengganggu kalian berdua."

Suaranya bergetar. Menahan laju airmata yang kiranya akan jatuh menuruni parasnya.

Tangan besar itu menyentuh wajah Rere yang basah, "Kamu tidak salah, aku yang tidak bisa memutuskan dia."

"Ke-kenapa ti-tidak bi-bisa?" ucap Rere tersendat. Ternyata ia memang tidak bisa untuk tidak menangis.

"Dia punya penyakit asma. Aku takut asmanya akan kambuh."

Tangisnya reda. Bola mata coklat muda itu masih memandang Ipang dalam diam. Ia menarik salah satu sudut bibirnya.

"Jadi, kamu akan menjalani hubungan yang didasari rasa kasihan?"

Ia mengangguk pelan, "Tapi, aku juga tetap menjalin hubungan denganmu" lanjutnya tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Maaf, tapi aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini. Kau kira cinta itu permainan?!"

Rere menepis tangan Ipang yang ingin mengusap wajahnya.

"Aku tidak menganggap seperti itu. Tolong, jalani saja dulu. Bersabarlah sampai ia melepaskan pegangannya padaku."

"Maaf, aku tidak bisa."

Ia mengambil kunci motor dan tas yang semula di sembunyikan Ipang. Dadanya terasa sakit, sesak, dan penuh amarah. Ia tidak berpamitan pada Ipang. Kembali, pintu kayu itu dibantingnya keras-keras.

Sore itulah terakhir kalinya ia bertemu kekasihnya. Ia memilih untuk berhenti bekerja. Akan menyakitkan melihatnya tanpa bisa memiliki seutuhnya. Meskipun bagi pemuda itu cinta mereka belum berakhir. Bagi Rere, cinta itu sudah lama berakhir karena adanya Zifa di tengah-tengah mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)