Cerpen
Disukai
3
Dilihat
1,585
Dua Garis Menjadi Satu
Romantis

Liburan telah tiba. Sebuah tanggal yang dinantikan bagi seluruh penduduk di Indonesia. Setiap tanggal tiga puluh satu Desember hampir sebagian perusahaan menutup kantornya. Mempersiapkan menyambut hari baru, tahun yang baru, dan juga semangat baru.

Verica, seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar seputaran Denpasar Timur, sedari bangun tidur ia masih berbaring di bedcover yang masih ia kangeni. Buktinya, ia memilih untuk tetap berbaring walaupun lebih dari satu jam lalu ia tersadar dari mimpi indah.

Sepasang bola mata cokelatnya melihat ke arah jam dinding. Sedikit malas melihat jarum jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Masih terlalu pagi untuk bangun di hari libur ini."

Setelah satu tarikan napas panjang ia menyingkirkan selimut dan bergegas menuju kamar mandi.

Kira-kira tigapuluh menit kemudian ia keluar dengan rambut lurus panjang yang basah dan sebuah dress pantai selutut yang dikenakannya. Ia membuka lemari yang terletak di sebelah kasur dan mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambut.

Gadis Tionghoa itu masih sibuk mengeringkan rambutnya saat salah seorang kerabat mengetuk pintunya berulang kali dengan tempo cepat.

Tok.Tok.Tok.

Tok.Tok.Tok.

"Iya, tunggu sebentar!"

Ia berseru sangat keras. Kesal dengan tamu tak diundang yang mengganggu waktu santai berharga miliknya.

Cklek.

Daritadi ia memiliki firasat yang tidak mengenakkan. Ternyata apa yang dirasakannya sedari tadi benar. Seorang teman kenalannya di pulau Dewata tempatnya mengadu nasib, mengunjunginya. Pagi-pagi dengan mata bengkak dan hidung kemerahan.

Kalau kondisinya seperti sekarang cuma ada satu dalam pikirannya. Pasti teman barunya putus lagi dengan kekasih yang terus menerus menarik ulurnya.

"Aku putus dengan Raffy.." ujarnya dengan nada bergetar.

"Sudahlah, masuk dulu."

"Tapi.. Aku putus, Ve."

"Masuk aja dulu, ceritanya di dalam saja," jelas Verica menarik lengan Gita untuk masuk ke dalam.

Gita bersandar pada tembok sebelah pintu. Kakinya ia tekuk, mata sehitam gioknya memandang Verica yang menyimak ceritanya. Beberapa kali ia hanya manggut-manggut mendengar cerita dari Gita, tidak jarang ia memberi nasehat.

"Apakah hari ini ia sempat menghubungimu?"

Buru-buru Gita menggeleng, "Sejak kemarin ia tidak menghubungiku."

"Hmm.. Mungkin ia sedang sibuk," ujarku menyimpulkan. Karena dari penuturan Gita, kekasihnya bekerja di bandara. Dan setahu Ve, pekerja bandara adalah orang sibuk.

"Sibuk apa?! Sibuk dengan kekasih gelapnya? " intonasi Gita meninggi.

Ve benar-benar bingung dengan temannya satu ini. Jika saja ia berpikir dengan logika bukan hati.

"Tentu saja bukan, menurutku pacarmu bukan tipe penyeleweng."

Baru saja Gita hendak menjawab terdengar suara motor bebek di depan kos miliknya. Ia mengacuhkan Gita dan menyingkirkan gorden yang menutup kaca kamar.

"Siapa?" Tanya Gita ketika melihat Ve terdiam untuk beberapa saat dan akhirnya tersenyum.

"Siapa lagi kalau bukan kekasihmu," jawabnya, kembali tersenyum simpul.

Ia tersenyum lebar mendengar penuturan Ve, lalu bergegas membuka pintu dan menemui kekasihnya.

Cklek.

Pintu kos itu terkunci lagi saat mendengar suara motor bebek yang menjauh. Pasti temannya sudah berbaikan dengan kekasihnya. Gita selalu lupa berpamitan jika terlalu senang. Lagipula Ve tidak ambil pusing akan hal itu.

Langkahnya kembali menuju tempat tidur. Bukan untuk kembali berlayar dalam dunia mimpi. Melainkan menyalakan televise miliknya untuk menonton kartun. Seperti tahun lalu banyak kartun yang mengibur. Setidaknya ada kesibukan, sebelum nanti sore berjalan-jalan di pantai Kuta.

***

Sore telah menjelang dengan banyaknya warna putih, biru, oranye menggores langit. Mereka saling berpadu dengan sempurna. Banyak orang yang mengambil momen sunset di Pantai Kuta.

Pasir putih yang berkilau terterpa cahaya, ombak-ombak besar yang bergulung, langit oranye saat sunset merupakan ciri khas Pantai Kuta. Pantai yang terletak di Bali ini sangat dikagumi para wisatawan. Baik wisatawan asing maupun dalam negeri.

Kaki jenjang Ve menyusuri jalan setapak di sebelah Pantai. Mata sipitnya mengamati pemandangan sekitar. Ada sebagian tourist yang duduk di sebelah tembok putih menjulang -tembok yang memisahkan Pantai dan jalan raya.

Kebanyakan penduduk lokal terlihat makan di sini. Ada pedagang bakso, mie ayam, hingga roti berjejer sepanjang jalan setapak. Ia memasuki salah satu toko di pinggir jalan untuk membeli air mineral.

Sesudahnya ia menyeberangi jalan dan masuk ke area Pantai Kuta. Ia mendudukkan diri di atas pasir. Ia tidak memperdulikan bahwa celana panjang yang dikenakan akan kotor.

"Ternyata banyak orang yang merayakan tahun baru di sini."

Ia bergumam sendiri. Lalu melihat ke sekitar.

Di Pantai terdapat sebuah pohon natal yang terbuat dari puluhan kaleng minuman beralkohol.

"Menarik juga," komentarnya singkat.

Di sebelah timur sekelompok anak muda terlihat bermain bola pantai dan pengunjung lain di sekitarnya hanya memperhatikan.

Dalam hitungan menit, matahari telah terbenam sempurna. Hanya sedikit cahaya yang menerangi keberadaan para pengunjung, tidak terkecuali.

Ve, menarik ujung lengan sweater-nya mencoba menuliskan sesuatu menggunakan jari telunjuk di tangan kanannya. Ia diam sejenak, memikirkan apa yang akan digambarkannya pada pasir putih itu.

Tanpa ia sadari, jarinya menarik satu garis panjang hingga bertemu sebuah jari seukuran pria dewasa. Jari mereka bertubrukan secara tidak sengaja.

Sebuah garis horizontal tercipta dari dua garis yang secara tidak sengaja bertemu. Beberapa kali Ve mengerjap memandang sosok pria di sampingnya.

Sepasang mata mereka bertubrukan membuat gemuruh di rongga dada. Pria itu tersenyum, menampilkan sebuah lesung pipit pada salah satu pipinya. Selain mata indah sehitam malam miliknya, ia memiliki sebuah lengkungan bibir manis yang dapat meronakan wajah Ve.

"Maaf," ucap mereka berbarengan. Secara bersamaan pula menarik salah satu jarinya.

"Aku Hendri, pendatang dari Yogyakarta.. Kau siapa?" ia berujar terlebih dahulu, menyodorkan tangannya untuk sebuah perkenalan singkat.

Ve tersenyum menyambut tangannya. "Aku Verica.. Tidak, aku bekerja di sini. Sudah cukup lama aku merantau."

"Kau berasal dari Bandung, ya? Kulitmu putih bersih seperti kebanyakan orang Bandung."

"Ya, kau benar. Aku berasal dari Bandung.. Kau, berlibur sendiri?" Tanya Ve sembari diam-diam memperhatikan penampilan dan dialek miliknya.

Ia memakai baju pantai dengan sebuah celana pendek selutut. Kulitnya coklat dengan bola mata hitam pekat. Suaranya halus dan pelan seperti kebanyakan orang Yogyakarta.

"Ya, aku berlibur sendiri. Ingin merasakan bagaimana suasana tahun baru di Pulau Bali," jawabnya.

Lama mereka terpeluk sepi. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meski begitu, rona tipis tercetak jelas pada wajah mereka.

Semakin malam suasana pantai cukup ramai. Banyak orang berkumpul dan menanam kembang api berukuran besar di dalam pasir pantai.

"Ayo kita nyalakan!"

Seseorang berseru menyulut api dari korek yang dibawanya.

Sontak Ve menunduk menutup kedua telinganya. Ia tidak dapat membayangkan betapa keras suara dari kembang api yang dinyalakan.

Tanpa terduga, kedua tangan Hendri menyentuh kedua tangannya yang menutup telinga. Membantunya agar tidak mendengar letupan dari kembang api. Ia menatap dalam diam kembang api yang telah meledak dilangit, meski ia tidak mendengar apapun.

"Terima kasih," ucap Ve dengan wajah yang benar-benar merah saat kembang api telah padam.

"Sama-sama."

Ve menyentuh garis horizontal yang telah mereka buat. Ia menarik salah satu ujung garisnya. Hal serupa dilakukan Hendri, ia menyentuh ujung garis lainnya. Secara tidak sengaja dua garis itu menyatu menggambarkan keinginannya. Menggambarkan sebuah hati dari kedua jari telunjuk mereka.

Bukan sebuah kebetulan saat dua garis itu menjadi satu. Atau saat kedua hati mereka telah bertemu menjalin garis yang kasat mata. Tuhan telah mengatur semuanya.. Mengatur tempat mereka bertemu. Bahkan mengatur dua kehidupan yang akan dijadikan satu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)