Masukan nama pengguna
Penyesalan terbesarku adalah tertinggal waktu. Tapaku belum usai ketika dayang-dayang lain patuh pada perintah Bi Sumi untuk menumbuk padi dini hari.
Suara tangis yang lamat terdengar dalam tapaku, kukira ujian. Kuabaikan demi tuntasnya tapa memetik wangsit, titah agung sang Tuan Putri yang diamanatkan padaku, sesaat setelah ayahandanya tiada.
Datangnya lamaran dari Bandung Bondowoso telah menjadi perkara pelik. Aku menyaksikan kemalangan yang mengusik nirwana dalam dada Roro Jongrang, putri yang kuabdikan diri padanya sejak ia bocah yang tak tahu merah atau biru.
Aku mencari tempat sepi di kedalaman hutan Salimar. Wangsit yang diterima Putri harus diperkuat demi sebuah kebebasan. Melawan Bandung Bondowoso pastilah berat, ayahandanya bahkan meregang nyawa di tangan lelaki itu. Apalah daya Roro Jongrang kesayanganku bila tidak menyandang daya Sang Kuasa semesta.
Tujuh hari tujuh malam tapaku usai. Sejumput daya telah tertanam di jiwaku. Sesampainya di istana, akan kuhadang Bandung Bondowoso dan kubawa lari Roro Jongrang ke wilayah kerajaan tetangga untuk berlindung.
Rupanya aku tertinggal waktu. Yang tersisa hanyalah tubuh batu yang suaranya kudengar saat tapa kemarin. Menangis darah takkan bermakna kini.
Seorang gadis muda mengisahkan yang terjadi. Ia putri seorang dayang yang tergesa menumbuk padi dini hari. Hendak menyusul sang ibu dari pondokan para dayang, ia melangkah mengikuti ramai suara lesung beradu kokok ayam.
Ketika Roro Jongrang dimantrai Bandung Bondowoso, si gadis muda hanya bisa sembunyi. Kemudian, ia berlari ke arah berkebalikan dengan perginya Bandung Bondowoso yang usai melepas angkara. Patah hati yang membutakan. Saat itulah si gadis muda bertemu denganku, sepulang tapa.
Sudah takdir gadis itu menjadi saksi, menjadi bagian dari takdirku untuk mengerti rasanya sesal. Aku berlari mencari raga putri di antara candi-candi yang telah berdiri. Aku memohon ampun padanya karena tak bisa mendahului waktu.
"Sampai napasku habis, aku akan menjagamu, Putri!" Janji kupatri di hadapan raga yang mati. Masih kucari jiwanya. Karena itu, kulanjutkan tapaku di samping raga mati di antara sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi lainnya. Candi yang menjadi penjara raga Roro Jongrang.
Tampaknya Sang Hyang Widi memanjangkan tapa hingga jiwaku kembara. Di sekitar candi kulihat roro-roro ayu lalu lalang bersama lelaki-lelaki yang bukan prajurit, bukan pula abdi, apalagi rakyat jelata. Mereka berpakaian aneh dan memegang erat benda-benda aneh yang bisa menyala.
Ini masa yang berbeda, bau udara yang berbeda, tapi masih di tempat yang sama. Candi tempatku bertapa, menemani raga sang Roro.
Hampir kuingkari penglihatanku saat kulihat sosok yang mirip Roro Jongrang. Ia bergandengan tangan dengan seorang jejaka. Ah, tidak! Lelaki itu serupa Bandung Bondowoso tapi lebih muda. Keduanya mendekat lalu entah apa yang sedang mereka lalukan, aku belum pernah melihatnya. Keduanya menatap ke arah benda aneh--yang dipegang si lelaki-- sambil senyum di depan patung Roro-ku.
Apa yang terjadi? Tanda tanya dalam batinku menggerakkan jiwa. Kuikuti gadis muda yang mirip Roro Jongrang.
Di bawah pohon beringin besar, keduanya duduk. Sambil berkata-kata dengan bahasa yang sebagiannya tak kupahami, mereka saling melempar tatapan. Sesekali, lengan si lelaki melingkar di pinggang perempuan. Ada apa ini? Mereka berbuat mesum di depan orang banyak. Tak ada adat dan tak ada malu.
Bencana yang menimpa Roro Jongrang terjadi karena betis langsatnya tersingkap tanpa sengaja. Sekejap saja mata Bandung Bondowoso menangkap pemandangan itu tapi birahinya memuncak. Petaka ia ciptakan, nelangsa ia suguhkan. Ah, aku ingin menangis!
Perempuan sewajah Roro Jongrang pasti akan nelangsa, aku harus mencegahnya. Di masa lalu, aku tertinggal waktu, sesalku tak jua pupus meski waktu jauh di depan. Yang kubisa hanyalah mencegahnya berulang. Berbekal sesal, kutunaikan amanat.
Sebelum meninggalkan candi demi mengikuti keduanya, aku pamit pada raga mati sang Putri. Kukatakan padanya aku mungkin menemukan jiwanya dalam raga baru, raga yang serupa tapi tengah lupa. Akan kusisipkan ingatan sejarah padanya nanti, setelah kuyakini jiwa Roro Jongrang ada di raga itu.
Kuikuti gadis dan jejaka yang menaiki benda beroda. Lajunya cepat sekali, berkali-kali lebih cepat dari kuda. Aku terbang di atasnya, tak lepas mataku mengamati.
Aku bisa melihat laut ketika benda beroda itu berhenti. Tiba-tiba aku terisap angin yang bercampur air, berputar bagai beliung. Ketika beliung itu sirna, aku tengah bersimpuh di hadapan singgasana. Seorang ratu tengah duduk dengan wibawa.
"Kanjeng Ratu, terima kasih telah mengundang hamba yang hanya seorang dayang." Kutangkupkan telapak tangan dan mengangkatnya ke atas dahi.
"Bakti membuatmu terhormat biarpun derajatmu hanya dayang, Menur." Kanjeng Ratu Laut Kidul menjeda bicara lalu melanjutkan, "Aku tahu perjuanganmu. Sayang, rahasia Sang Hyang Widi tak bisa diketahui, jadi aku tak bisa membantumu mencari jiwa Roro Jongrang. Tapi, aku bisa membantumu saat kau butuh."
"Hamba patuh, Kanjeng Ratu."
Bukan sekedar bantuan yang ditawarkan, Ratu menawariku tempat di sisinya, menjadi dayang tinggi di Kerajaan Laut Kidul. Dengan berat kusampaikan bahwa aku masih memikul amanat dan janji tapa. Ratu mengerti, mungkin ia hanya menguji.
Tak berapa lama aku diantar kereta kencana ke permukaan laut. Kucari gadis dan jejaka yang sejak tadi kubuntuti. Mereka tengah bersandar di teduhnya nyiur melambai. Tubuh keduanya basah, pasir melekat hingga ke rambut. Tampaknya mereka telah berpuas diri mandi bersama di laut. Ini bencana!
Belum habis kekalutanku, mereka kembali bertingkah. Wajah keduanya berhadapan lalu berdekatan dibatasi sebongkah kelapa yang diminum bersama. Ketika sorot mata si lelaki berubah, aku teringat sorot yang sama ketika Bandung Bondowoso menatap sang Putri. Aku harus menyelamatkan jiwa sang Putri, sekarang juga.
Dengan murka, kuayun angin agar bergerak kencang. Pasir yang dibawanya membuat gadis dan jejaka kalang kabut, seketika menutup muka. Butiran pasir mengganggu mata mereka.
Setelah bisa melihat lagi nanti, mereka pasti melanjutkan yang tadi tertunda. Sebelum sejarah terulang, aku harus menghentikannya.
Gadis dan jejaka mendekat ke air laut untuk membasuh muka, membebaskannya dari pasir. Kesempatan terbuka, air laut meninggi, ombak mendorong si gadis ke pantai dan berbalik kencang membawa si lelaki ke laut.
Si gadis yang baru saja membuka mata, menyaksikan lambaian tangan si lelaki yang semakin jauh lalu menghilang.
"Tolong! Tolooong! Rama!" Si gadis berteriak tapi tak berani mendekati laut.
Hanya aku yang bisa melihat pengawal Ratu Kidul tengah menyeret tubuh si lelaki ke dalam laut.
"Terima kasih, Ratu. Hukumlah ia dengan pantas!" Aku berucap lega.
Aku tak tahan melihat si gadis menangis. Seharusnya ia lega, bencana telah kuhilangkan. Dari tangisnya, aku tahu jiwa dalam raganya bukan Roro Jongrang.
"Berbahagialah, Roro Ayu, ia bukan lelaki baik. Lelaki yang baik akan menjagamu bukan menyentuhmu."
Aku terbang cepat, kembali ke Prambanan, meninggalkan si gadis yang terduduk menatap laut dengan air mata yang tak kesudahan.
Sepanjang waktu bergerak maju, aku semakin paham tugasku. Sang Hyang tak akan memberi takdir bila tiada tujuan. Di sini jiwaku tanpa jasad tapi aku dianugerahi daya. Aku bisa berwujud apa saja, meminjam jiwa yang hidup.
Prambanan terus dibanjiri manusia. Zamanku adalah sejarah tetapi tugasku sebagai dayang belum usai.
Lagi-lagi gadis dan jejaka berdua-dua di setiap sudut candi. Kukerahkan mata batin meneliti semuanya. Kupinjam jiwa kucing, jiwa pohon dan rerumputan. Kupinjam juga jiwa tanah dan sang angin.
Satu per satu kudatangi. Hampir semuanya lupa adat, lupa harkat. Gadis-gadis semakin lemah, tak marah dijadikan ladang nafsu.
Seharusnya, gadis-gadis itu belajar menjadi kili, belajar tapa pada ubwan di panubwanan. Pun si lelaki, harus tahu bertapa agar harta, tahta, dan wanita, tetap berada di tempat yang benar, menjadi alat menuju nirwana.
Mungkin, semua sudah hilang bersama ingatan yang dimakan zaman. Tapi, tidak dengan ingatanku. Tugasku, mencegah sejarah terulang. Tak boleh lagi ada Bandung Bondowoso yang umbar perkasa dan kuasa pada kaum Roro Jongrang. Aku, Dayang Menur, akan mewujudkannya.
Sampai kutemukan jiwa Roro Jongrang yang hilang dari raganya, akan kulindungi setiap gadis yang menginjak Prambanan dari jejaka yang datang bersamanya dengan membawa nafsu Bandung Bondowoso. Ia akan kuberi pelajaran tapa atau kuhukum dengan pantas. Lihat saja!
*Catatan:
Kili: pertapa perempuan