Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,319
Anindyaguna
Misteri

Lituhayu duduk di sofa ruang tamu sambil memijat pelipis kanan dan kiri. Matanya terpejam sementara otaknya berpikir keras. Tiga perempuan hilang di pantai, sialnya mereka adalah tamu yang menginap di vila milik Lituhayu.

"Ratu Kidul tampaknya sedang punya hajat. Seperti biasa, beliau mengambil manusia untuk membantunya," ujar Asih, asisten rumah tangga sekaligus sahabat Lituhayu sejak kecil.

Lituhayu tak menanggapi Asih, ia masih mengingat lucid dream semalam.

Lituhayu berjalan pelan di pantai, air laut menjilati kaki telanjangnya. Di antara batu karang, dilihatnya perempuan berbaju hijau memasuki celah sebesar pintu. Lituhayu mengejarnya tanpa ragu. Anehnya, ia tahu bahwa dirinya tengah bermimpi.

Beberapa langkah kemudian semuanya menjadi gelap sempurna tanpa setitik cahaya. Lituhayu ingin kembali ke pantai tetapi ia tak bisa melihat apa pun. Napasnya mulai sesak, jantungnya memacu keringat bercucuran. Ia membuka mulutnya agar bisa menarik oksigen yang terasa semakin berkurang. Dipukuli dadanya agar sesak itu hilang.

Lituhayu terduduk lemas dan bersandar pada batu karang. Dipejamkan matanya sejenak, mencoba tenang. Namun, saat membuka mata, "Aaaaa ....!" Lituhayu melihat wajah perempuan dengan mata melotot mengalirkan darah.

Lituhayu terbangun di lantai kamar, persis di depan lemari pakaian besar. Bajunya basah oleh keringat tetapi ia mulai tenang karena berada di tempat terang.

Lituhayu sangat takut gelap. Lampu kamarnya selalu menyala sepanjang hari, beberapa lampu darurat juga dipasang di empat sudut dinding kamarnya. Kamar terbesar di Vila Watulawang yang berjarak seratus meter dari gerbang Pantai Watulawang.

Sejak lulus kuliah di Bandung, tiga tahun lalu, Lituhayu memutuskan untuk mengelola vila peninggalan kakek buyutnya--juru kunci Watulawang-- dan berpisah dari orang tuanya. Gaya hidup di Bandung tak sejiwa dengannya. Ia terlalu mencolok dengan kulit sawo matang di antara mojang priangan berkulit gading menawan, berbalut kain bermerek, dan beraroma parfum. Selain itu, Lituhayu mencintai laut.

"Selamat siang, Ibu Lituhayu!" suara bariton membuyarkan ingatannya.

Detektif Ganendra, teman SMP Lituhayu, datang untuk menginterogasi.

"Memang bukan hal aneh orang hilang di pantai laut selatan. Masalahnya, sudah puluhan orang hilang dalam tiga bulan ini, semuanya perempuan," keluh Ganendra.

"Apesnya, korban kali ini semuanya tamuku. Oh iya, aku sering mengalami lucid dream bahkan sleep paralize yang sukses membuatku ketakutan setiap menjelang tidur!" Lituhayu menduga mimpinya adalah sebuah petunjuk.

"Apa kamu perlu kyai atau paranormal?" tanya Ganendra serius.

"Tidak ... belum."

Setelah mendengar jawaban Lituhayu, Ganendra berpamitan untuk memulai investigasi dengan menyisir area pantai.

Malamnya, Lituhayu ingat dia selalu terbangun di depan lemari pakaian besar. Ia curiga ada sesuatu di lemari itu.

Antara takut dan penasaran, Lituhayu melempar semua baju dari dalam lemari ke atas tempat tidur. Ditemukannya gambar dua batu karang membentuk gerbang.

"Watulawang, lawang watu! Ada pintu di sini," gumamnya.

Mengamati lebih saksama, Lituhayu menemukan celah yang tersamarkan sekat lemari, nyaris tak terlihat. Ia mengambil dua lampu darurat di sudut-sudut kamarnya. Satu diselipkan di antara ikat pinggang, satu lagi ia pegang dengan tangan kiri. Tak lupa diselipkannya ponsel di saku roknya. Tangan kanannya perlahan mendorong dinding lemari pakaian yang diyakininya sebagai sebuah pintu.

Krieet.

Pintu berderak dan sedikit macet, Lituhayu mendorongnya lebih kuat. Bau tak enak menyerang hidungnya. Ia menjulurkan tangan kiri menerangi ruang temuannya, tampak sebuah lorong dengan jalan menurun yang tak terlihat ujungnya.

Lituhayu gemetar dan langsung mengurungkan niatnya untuk masuk sendiri. Ingatan terjebak dalam gelap membuat nyalinya ciut. Ia keluar kamar dan meminta Asih menemaninya.

"Mbak Hayu, wedi (takut) aku!" tolak Asih.

"Ayo tho, aku yo wedi tapi penasaran." Lituhayu memaksa.

Keduanya berjalan waspada memasuki lorong panjang menurun dan berbau apek yang membuat Lituhayu sesak. Sepuluh menit berjalan semakin dalam, lorong semakin sempit dan bercabang. Suara rintihan perempuan terdengar samar, Lituhayu merinding teringat wajah perempuan menangis darah.

"Aaah!" Lituhayu berteriak, beberapa kelelawar terbang cepat ke arahnya. Ia merunduk menghindari tabrakan.

Belum hilang keterkejutannya, Lituhayu merasakan sesuatu di lehernya seperti jemari yang bergerak, bulu kuduknya meremang.

"Sih, Asiih ...." Lituhayu menunjuk lehernya, meminta Asih melihat ada apa di sana.

"Aaah!" Asih malah berteriak lalu refleks menyingkirkan laba-laba besar di leher Lituhayu. Asih lupa tangannya memegang lampu darurat, "Aduh, maaf, Mbak!" Asih panik.

Lituhayu berjongkok memegangi lehernya sambil menahan nyeri. Saat kembali berdiri, Lituhayu melihat sekelebat bayangan dari lorong di sebelah kanannya. Belum sempat melangkah, tiba-tiba suara derap kaki berlari mendekat. Seseorang muncul dan menghantam kepala Lituhayu yang ambruk seketika.

Gelap membutakan Lituhayu. Kepalanya berdenyut nyeri dan perih. Saat bergerak, ia sadar tangan dan kakinya terikat. Lituhayu meringkuk di atas lantai batu yang dingin.

Lituhayu ketakutan, ia tahu bahaya sedang mengintai dan kegelapan menyiksanya.

"Hah ... hah ... hah." Lituhayu mendorong napasnya. Sesak dan nyeri di dadanya membuat Lituhayu mengalirkan air mata. "To ... long!" Suaranya lirih dan napasnya semakin berat.

Cahaya merah obor yang baru menyala memberi sedikit harapan pada Lituhayu. Dua obor lainnya menyusul dinyalakan seseorang. Lituhayu masih sibuk mengatur napas saat didengarnya suara minta tolong yang sangat lirih. Gadis itu mendongak ke arah suara dan berteriak. "Aaah ... Aaah!"

Wajah perempuan tengah menangis menempel di dinding goa. Hanya wajah, tubuhnya seperti tertanam di dinding.

"Hiks ... tolong saya." Lituhayu mengenali wajah itu, tamunya yang hilang.

Lituhayu melihat puluhan wajah pucat mayat perempuan berbaris di sekeliling dinding goa. Mulut Lituhayu menganga tanpa suara, tenggorokannya tercekat ketakutan yang sangat.

"Selamat datang di kamar Nyai Roro Kidul, Mbak Hayu," sapa sebuah suara yang tak asing. Lelaki itu sibuk menuang semen pada gundukan pasir lalu mengaduknya.

"Benu? Kamu ... mana Asih?" tanyanya mengingat ia tadi bersama Asih.

Benu adalah suami Asih. Ia hanya mampir seminggu sekali ke vila karena bekerja di kota Jogja, tiga jam dari vila.

"Mbak nyari saya?" tanya Asih tenang.

Susah payah Lituhayu membalik tubuhnya. Dilihatnya Asih sedang memoles sebuah wajah di dinding dengan sesuatu, Lituhayu menebak itu cairan formalin.

"Anindyaguna, wajah cantik itu harus berguna begini. Nyai Roro Kidul pasti suka kalau pelayannya cantik-cantik. Sebentar lagi giliran Mbak Hayu. Tadinya, saya sama Mas Benu enggak memilih Mbak Hayu. Mbak 'kan enggak secantik mereka tapi salah Mbak memaksa masuk ke kamar ini."

"Kalian ... kenapa?" Suara Lituhayu lemah dan serak oleh tangis.

Benu mendekati Lituhayu dengan parang di tangan. "Sebaiknya Mbak menurut biar saya ndak perlu mengayunkan golok tajam ini ke leher Mbak. Asih, ayo mulai!"

Benu menyeret Lituhayu dan membuatnya berdiri menempel pada dinding sementara Asih mengikatnya.

"Lepasin! Apa salahku sama kalian?" Lituhayu panik didekatkan pada kematian.

"Enggak ada, Mbak. Kami hanya mengabdi pada Nyai Ratu Kidul agar beliau mendapatkan sesajen yang lebih pantas. Tenang saja, Mbak akan dijemput Nyai setelah tujuh hari di sini." Asih menyeringai.

Tambang plastik mengikat kencang tubuh Lituhayu, kulit lengannya perih setiap bergerak. "Ibu, Bapak, tolong Hayu! Hiks ... Endraaa!" Hayu terus berteriak.

Benu menata bata di depan kaki Lituhayu dan menuang adukan semen bercampur pasir, membangun dinding.

Asih menata kembang tujuh rupa beserta kendi kecil dari tanah liat di nampan bambu. Ia mendekati Lituhayu, berkomat kamit sambil melemparkan bunga-bunga lalu menyiramkan air kendi ke ubun-ubun Lituhayu.

"Asih, hentikan! Lepaskan aku! Maaf bila aku ada salah, Asiih, tolong! Huu ... huu ...." Lituhayu mengiba, ia tak mau mati.

Asih melanjutkan ritual yang sama pada puluhan wajah yang entah berapa lama telah tertanam di dinding goa.

Lituhayu menggigil dengan tubuh diapit dua dinding, jantungnya berdetak kencang karena ketakutan memuncak. Seketika ia merasa mual melihat wajah-wajah pucat mayat di sekeliling dinding goa.

Tumpukan bata telah sampai leher Lituhayu. Benu memasang bata di kanan dan kiri kepala gadis malang itu, "Sebentar lagi selesai!" ucapnya.

"Hoek!" Muntahan dari mulut Lituhayu menyembur, membasahi tubuh Benu.

Plak!

Tamparan kencang membuat pipi Lituhayu kebas. Darah mengucur dari sudut bibirnya.

"Sial! Asih, bersihkan ini! Nyai tidak suka ada sesuatu yang kotor!" Benu meradang.

Tiba-tiba derap langkah-langkah kaki terdengar mendekat.

"Ada yang datang! Asih, ayo pergi!" Merasa terancam, Benu dan Asih bergegas menggeser sebuah batu besar mengundang air masuk dari celah goa. Keduanya berlari ke salah satu lorong sementara Ganendra dan tiga orang polisi tiba dari lorong yang berbeda.

Lituhayu sedikit lega. Ia sempat mengirimkan petunjuk, sebelum memanggil Asih, dan meminta lelaki itu menyusul.

"Endra! Tolong!" teriak Lituhayu masih dengan tangisnya.

Ganendra bergegas membongkar tumpukan bata yang hampir mengubur Lituhayu dengan cepat. Beruntung adukan semennya masih basah sehingga mudah dihancurkan.

Air telah membanjiri hingga perut. Tiga polisi semakin terburu-buru memecah dinding lainnya dengan linggis dan palu yang ditinggalkan Benu, membebaskan satu perempuan yang masih hidup.

Air laut merendam dada mereka. Tamu vila yang lemah dievakuasi polisi. Genendra menggendong Lituhayu di punggungnya.

"Jalan tadi terlalu jauh. Kita ambil jalan lain."

"Asih dan Benu tadi ke ...." Lituhayu berhenti berkata.

Ia melihat perempuan cantik berbaju hijau terbang melintas sambil tersenyum seakan mengucap terima kasih dan menghilang di lorong yang lain.

"Ke sana saja, sepertinya lebih cepat!" Lituhayu menunjuk tempat Ratu Kidul menghilang.

"Yakin?"

Lituhayu mengangguk. Ganendra mempercepat langkahnya yang berat dengan tubuh terendam air. Semakin jauh, air semakin rendah karena kontur jalan yang naik. Cahaya bulan terlihat di ujung lorong. Mereka muncul di tepian Pantai Watu Lawang, di bawah karang berbentuk payung.

Seminggu kemudian, Ganendra menjenguk Lituhayu di rumah sakit jiwa. Nyctophobia Lituhayu diperparah trauma. Ia berteriak dan meringkuk ketakutan setiap melihat wajah-wajah perempuan. Lituhayu ditempatkan di ruang khusus yang hanya bisa dijenguk oleh ayahnya dan Ganendra.

"Jasad Asih dan Benu ditemukan terhimpit di palung sempit dengan wajah hancur," ucap Ganendra pada ayah Lituhayu. Keduanya hanya bisa menunggu pulihnya gadis itu dengan harap dan cemas.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)