8 Modernisme diinterpretasikan sebagai tahapan sejarah yang ditandai dengan dominasi kepercayaan pada sains, perencanaan, sekularisme, dan ide kemajuan. Simetris, tertib, keseimbangan, dan otoritas merupakan karakter yang menonjol dalam periodisasi ini. Mesin, industri, besi, baja, serta listrik diyakini sebagai alatalat vital untuk mencapai tujuan. Lih. Akhbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam (terj) (Bandung: Mizan, 1996), 22. Untuk paparan detail, lih. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat (Bandung: Mizan, 1999).

9 Rasionalitas modernisme yang terbit pada era Renaisans abad ke-16 M memiliki dua karakter mendasar, yaitu sebagai rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai. Karakter pertama berwatak formal karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan (means) dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif karena lebih mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Lih. Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baulliard, http/www.vibrasi. net/artikel/postmodernisme/htm#2

10 Isu "what is Aufklarung" (pencerahan) menjadi pusat simbolik perdebatan intrepretasi cita-cita humanisme Barat. Jawaban Immanuel Kant yang menekankan aktor rasionalitas universal subjek (Barat) mewakili garis awal modernisme. Tanggapan balik Michel Foucault atas universalitas rasio modernisme mengawali garis postmodernisme. Subjektivitas nalar (rasio) modernisme menjadi faktor pemicu penting proses reifikasi world view modernisme. 11 Chris Barker, Culture Studies: Theory and Practice, Sage Publication London, 1999, 145146.

12 Cultural Studies adalah gerakan kritis yang lahir dari kalangan pemikir British Center for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Gerakan ini merupakan upaya mendobrak kemandulan kritisisme gerakan New Left di Inggris. Tercatat Raymond Williams, Richard Hoggart, dan Stuart Hall sebagai peletak dasar tradisi cultural studies.

13 Walter Homolka, The End of Tolerance dalam Susan Stern dan Elisabeth Seligmann (eds), The End of Tolerance, Nicholas Berkeley Publishing, 2001, 15.

14 Secara simbolik, terminologi supremasi kulit putih (white supremacy) dipakai untuk mengidentifikasi kuasa hegemonik yang selalu berupaya mendiskreditkan eksistensi entitas-entitas lain. Lih. Peter McLaren, Revolutionary Multiculturalism, Boulder CO: Westview Press, 1997, 8.

15 Leela Gandhi, 2001, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Barker, 1998.

16 Basis teoretik ini mendaulat cultural studies sebagai sebuah studi kritik culture (global) yang mengapresiasi aneka perangkat metodologi dan teori. Untuk menggambarkan anatomi cultural studies, kita harus menyebut Marxisme, culturalism, strukturalisme, neo-Marxis, pyschoanalisis, post-strukturalisme/postmodernisme, serta politik identitas (politic difference), yaitu feminisme, teori ras/etnis, dan teori postkolonial. Secara terang, pemetaan ini menjelaskan wilayah isu-isu yang menjadi identitas politik cultural studies; ras, etnik, kelas, gender, nasionalitas, subjektivitas, power, dominasi dan subordinat, center dan periferi, serta hibriditas dan kreolitas.

17 Jenniver Daryl Slack, The Theory and Method of Articulation in Cultural Studies dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds), 2001, 112.

18 Dalam postkolonialisme, subaltern dipahami sebagai objek yang tertekan yang berada pada tingkat inferior. Lihat LeelaGandhi, Teori Postkolonial (terj),Yogyakarta: Qalam, 2001, 1.

19 Dalam postkolonialisme, subaltern dipahami sebagai objek yang tertekan yang berada pada tingkat inferior. Lihat Leela Gandhi, Teori Poskolonial (terj),Yogyakarta: Qalam, 2001, 1.

20 Komaruddin Hidayat, Melampaui Nama-nama: Islam dan Postmodernisme, Jurnal Kalam, Edisi 1-1994.

21 Charles Kurzman, Islam Liberal: Wacana Kontemporer (terj), Jakarta: Paramadina, 2000, xxiii-xxiv.