Masukan nama pengguna
Saya senang bila malam. Memang, karena saya seorang wadam. Jam 7 malam, berdandan. Keluar... Berkejar... Sebelumnya, pada pagi saya menjaga warung Akoh di pojok jalan.
Saya seorang wadam sejati. Cinta malam, cinta om-om, cinta tante, cinta duit (siapa yang tidak?). Wadam sejati, mau dioral, apalagi dianal.
Mulanya saya senang pakai rok mini mami, lalu BH, akhirnya celana dalam berenda mami. Umur saya 15 waktu itu. Pertama saya pakai barang-barang mami adalah untuk masturbasi. Mami marah, apalagi papi. Jadi, sekalian saja papi meng-anal saya di suatu pagi, jam 2 pagi, saya ingat sekali, karena saya menikmatinya. Perkosaan yang tidak saya anggap perkosaan. Jujur saya orgasme. Papi sering ajak saya begituan karena terkadang ia habis duit untuk pelacur. Saya menikmatinya, sampai mami memergoki papi sedang anal dengan saya di suatu pagi, jam 1 pagi, saya ingat sekali, karena saya menikmatinya.
Jadi, akhirnya, di sinilah saya, di umur yang ke 27, 3 tahun jadi kuli, 2 tahun jaga toko, 5 tahun jaga toko dan melacur. Mami mengusir saya di umur 17. Papi terkadang kasih duit buat bayar sewa rumah susun saya. Papi terkadang saya beri anal gratis. Akhir-akhir ini papi jarang datang, kabarnya papi sudah punya simpanan gadis muda 15 tahun. Saya sangat kecewa. Papi tak bernafsu lagi pada saya. Tak apa, karena saya bisa melacur, semalam bisa dapat 1 juta, bisa lebih, jarang kurang. Diam-diam saya tabung duit haram. Kadang saya jual HP dari Om Anu, HP dari Tante Itu, HP lagi dari Om Ini, berlian dari Tante Sana.
Saya tidak pernah bilang saya laki-laki. Saya tidak pernah bilang saya perempuan. Saya seorang wadam. Seorang wadam penyuka malam. Seorang wadam pemakan duit haram.
Jadi, akhirnya di sinilah saya, di depan meja rias. Pertama menyapu muka dengan alas bedak. Menimpa alas bedak dengan bedak. Perona wajah pink. Gincu caramel, eye shadow, pelentik bulu mata, mascara. Pensil alis sedikit saja. Wig hitam lurus sebahu. Tapi lihat di cermin, wadam muram, wajahnya suram. Malam di luar kelam. Tapi lihat di cermin, wadam coba tersenyum. ‘Malam, wadam datang, kelam, wadam datang...’
Wadam macam saya memang laku. Kulit cerah putih mulus, muka manis mulus, tubuh seksi kurus. Wadam macam saya tak lama nunggu langsung diangkut. Atau siap terima panggilan.
‘Tit-tit... tit-tit!’ ternyata Om Anu SMS, dia ingin jemput saya jam 9 malam, sekarang baru jam 7. Om Anu sangat kaya. Ia membelikan saya apa saja, HP, jam tangan, gaun, kemeja, sepatu, yang semuanya tak bisa dibilang murah, ditambah motor bebek yang biasa saya pakai untuk mengantar gas ke rumah-rumah pada siang hari. Om Anu belum menikah. Tak tertarik pada wanita ia bilang, ia hanya tertarik pada laki-laki dan wadam macam saya. Om Anu liar dalam seks, sangat bernafsu, membuat saya terkadang jijik sehabis melakukannya, jijik melihat perut gendutnya basah dengan keringat, anu kecilnya yang loyo, lemes. Tapi Om Anu memang royal, ia yang pejabat langsung memberi uang begitu tahu saya kurang.
Sekarang masih jam 7 malam, Om Anu jam 9. Hmmm... 2 jam lagi, sebaiknya saya bertemu Dilla. Dilla kasir di restoran cepat saji, tempat saya sering makan, kadang sendiri, kadang sama pelanggan. Kami sering berbagi cerita selama lebih dari 6 bulan. Dilla masih SMU kelas 3, putri orang kaya, namun saya tak bertanya mengapa ia mau kerja semacam itu. Saya tahu ia kaya karena ia bawa mobil ke tempat kerjanya, Lancer Evo VII warna hitam metalik. Dilla juga tak bertanya kenapa saya mau kerja semacam ini. Dilla adalah gadis yang manis, mandiri, dan ambisius. Jam 7 Dilla istirahat, shiftnya 5-9, dan kadang lembur 5-12. saya langsung ke pelataran parkir resto cepat saji, Dilla duduk di mobilnya merokok Marlboro, saya tersenyum menghampirinya, ia tersenyum atas kehadiran saya. Saya masuk mobilnya, ‘Halo...’
‘Hei, Ndra, jam segini belum digandeng? Tumben...’, mata bening Dilla menatap saya.
‘Ada janji sama Om Anu jam 9...’
‘Ooooh...’, bibir tanpa gincu Dilla membulat, asap rokok keluar bersamaan.
‘Dilla, tabungan saya, yang telah saya ceritakan padamu dulu, sudah lumayan banyak, menurut kamu sebaiknya saya gunakan buat apa?’
‘Mmmm... tentu saja buat masa depan.’ Dilla menatap saya.
‘Masa depan saya sendiri?’
‘Ya, tentu saja. Emang kamu mau kawin? Mau punya anak?’ Dilla nyindir.
‘Kamu nyindir saya?’
‘Ehmm... enggaklah... Buat modal usaha aja. Beli rumah. Gak usah jadi wadam lagi...’ Dilla membuang rokoknya.
‘………..’
‘Eh.. jangan cemberut, bukan maksudku nyindir kerjaan kamu...’
‘………..’
‘Ndra, kok diem? Terserah kamu sih... Aku cuma kasih pendapat.’
‘Gak.. gak apa-apa sih... Saya juga kadang ngerasa capek, pengen lari.’
‘Aku juga.’ Mata Dilla menerawang.
‘Kamu? Orangtua bertengkar lagi?’
‘Gak... malah mereka gak pernah keliatan. Sendiri-sendiri aja gak pernah muncul, apalagi muncul berduaan.’
‘Pacar kamu? Bobi?’
‘Sudah putus.’
‘Ha? Kapan?’
‘3 jam yang lalu di sekolah.’
‘Punya pria lain?’
‘Tentu saja!’
‘Boleh tau?’
‘Jangan dulu, karena dia juga belum tau.’ Dilla kembali dengan cuek menyalakan sebatang rokok.
‘Saya ingin keliling dunia. Lupakan masa lalu. Lari dari semuanya.’
‘Hmmmmpfh… Aku juga ingin seperti itu, kalau bisa jangan lari, tapi terbang, punya sayap, dan terbang meninggalkan semuanya.’ Mata Dilla berbinar.
‘Mungkin saya bisa ajak kamu, Dil.’
Dilla menatap saya, seakan saya telah berkata sesuatu yang membuat ia tersinggung.
‘Gak apa-apa sih... kalo kamu gak mau. Saya ngerti orang seperti kamu mesti malu terlihat bersama wadam.’
‘Ndra, jangan ngomong yang bego kayak gitu ah! Emang selama ini aku tidak pernah jalan bareng sama kamu?’
‘Itu kan siang, waktu saya gak dandan.’
‘Ndra, makan, yuk!’ Dilla tiba-tiba berkata, ‘Aku traktir.’
Walau saya terkadang tertunduk sehabis memandang mata orang-orang yang melirik saya dan Dilla, lebih tepatnya (kelainan) saya, tapi Dilla membuat saya nyaman. Dilla terus membuat saya merasa seperti seorang wanita normal… atau pria normal? Adakah wadam, normal? Apalah itu! Dilla membuat saya nyaman dengan keadaan saya. Kami makan malam sambil berbincang-bincang tak hiraukan mata-mata mendelik, heran, tak nyaman, tak aman, jijik.
Om Anu, anunya lemes... Haah… Sampai saya ditaboknya malam itu. Padahal bukan salah saya. Padahal gaun saya sangat seksi. Walau masih tak punya payudara. G-string saya juga seksi. Om Anu aja yang anunya lemes. Akhirnya dia minta saya menaboknya. Saya tabok saja si gendut itu sekeras-kerasnya karena dia ingin. Haha.. Saya apalagi.
Om Anu tiba-tiba terangsang. Setelah mukanya saya tabok hingga berdarah. Anunya langsung tegang. Malah dia yang minta saya anal. Sambil menaboki pantatnya yang tidak jauh beda dari mukanya. Bulat borok. Berjerawat. Saya susah orgasme. Saya bayangkan saja papi. Waktu itu, jam 2 malam, papi memperkosa saya, yang saya menikmatinya, bikin orgasme.
Haha, saya orgasme.
Om Anu senang.
Saya tidak. Saya membayangkan punya payudara. Bulat, kencang, padat, tak terlalu besar. Cukup saja. Cukup. Pas diremas. Enak dijilat. Mahal tidak ya?
Siapa aku. Tidak juga vagina. Tidak juga penis karena aku tak punya. Tidak juga vagina. Karena aku tak merasakan apa pun di bawah sana. Ya aku vagina. Tapi aku kadang penis yg tak aku punya. Aku tak paham. Aku vagina yg bertanya. Kadang juga aku penis yg bertanya. Aku suka penis yg berpayudara. Aku suka vagina yg berjakun. Aku masih bertanya.
‘Lebih baik mana? Suntik silikon atau makan hormon?’ Saya dengan Dilla di pelataran parkir, jam 7 malam. Saya lagi off dulu, Dilla istirahat, sama-sama merokok.
‘Makan hormon lebih baik... silikon bisa pecah di dalam. Kamu bisa mati, Ndra.’
‘Mahal tidak?’
‘Gak terlalu, aku punya temen yang pernah dikasih hormon-hormon begitu... Teteknya emang jadi membesar...’
‘Temenmu, satu sekolah?’
‘Bukan, dia Om-Om...’
‘Ooh...’
‘Haha... dia langsung dicerai sama istrinya begitu ketahuan punya tetek yang lebih besar dari istrinya dan disusu anaknya sendiri...’
‘Hahahahhaha……….’
‘Hahahahahhahahhahahahhahaha…………….’
Aku ingin bercinta dengannya. Vagina. Penis. Sialan aku ingin bercinta. Aku ingin bercinta dengannya.
Saya mengurungkan niat mempunyai payudara. Lagian saya ingin berhenti kerja seperti ini. Uang saya lebih baik ditabung. Bikin usaha. Yaah... Usaha. Usaha apa ya? Salon? Iya Salon. Usaha apa sih bagi wadam seperti saya kalau tidak buka salon? Tapi salon mana yang bisa bertahan, kalau stylistnya tidak terkenal? Paling tidak punya ijazah dari sekolah terkenal. Saya tidak punya waktu. Saya tidak punya waktu. Ahh... apa yang bisa saya lakukan selain menghisap penis Om Anu dan payudara Tante Itu?
‘Bagaimana? Kamu suka?’ Dilla memamerkan potongan rambut terbarunya. Cepak. Mukanya makin terlihat manis. Potongan rambut itu cocok sekali.
‘Waahh... Bagus sekali, cocok banget deh... Kamu terlihat seksi. Cantik.’ Aku jadi iri.
‘Terima kasih. Kamu gak jadi makan hormon?’ Dilla seperti kegirangan. Alihkan pembicaraan.
‘Gak. Lagian, aku mau berhenti kerja seperti ini juga. Aku mau buka usaha. Apa ya... yang cocok untukku?’
‘Hmmmm… aku mau banget bantu kamu. Gimana kalau semacam….’
Sialan, aku ingin bercinta dengannya. Ingin merasakan bibirnya. Penisnya. Payudaranya. Vaginanya. Jakunnya.
‘Butik? Enggak-enggak, lebih semacam toko kostum! Di sini jarang banget loh yang seperti itu. Bisa pesan juga, tinggal nyewa pegawai. Aku tinggal minta uang papaku untuk bantu kamu. Kita bisa partner-an juga. Gimana?’
‘Bisa sewa... bisa beli... ada wig... syal... kumis.. tuxedo... topi... kostum gorila... Iya..iya saya kebayang!’ Apalagi sekarang ini banyak sekali orang yang menipu diri. Pasti lumayan hasilnya. Saya tersenyum membayangkan. Saya bisa pensiun. Uang yang selama ini saya tabung, pinjaman papa Dilla, pinjaman Bank. Yah... iya benar! Kalau usaha sukses, baru punya payudara. Bulat, padat, kencang, senang.
Sialan, aku sungguh tak normal membayangkan bercinta dengannya. Aku yang tidak juga vagina apalagi penis, telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada sesuatu yang tak kurang. Iya... penis yang berpayudara, vagina yang berjakun. Aku seperti tak ada apa-apanya dibanding dia. Kalau aku bisa memilih. Aku memilih penis. Bukan penisnya. Tapi punya penis sendiri. Aku bisa bermain-main dengan penisku. Memasukkannya ke vaginaku sekali-kali. Tak merugikan orang. Ke vaginanya juga... sekali-kali... aku yakin dia juga gak rugi. Dia gak mungkin hamil karena dia berjakun. Sialan, aku ingin bercinta dengannya.
Saya tidak ingat bagaimana mulanya. Tapi, tiba-tiba Dilla telah berada di atas saya. Kami di jok belakang mobil sedannya. Dilla perlahan membuka gaun saya. Saya malu karena payudara saya hampir tidak ada. Dilla menciumi bibir saya lembut. Iya, gadis itu menciumi bibir saya, memainkan lidah saya. Menciumi, menjilati leher, telinga, dan bahu saya. Oh Tuhan... perasaan saya campur aduk... hati saya bergetar, jantung saya mau copot, penis saya ereksi... maksimal! Sentuhannya saja membuat desir di dada saya dan rambut sekujur saya meremang. Apa ini cinta? Apa saya mencintainya? Padahal selama ini hanya papi yang saya cintai. Hanya papi... Dilla di atas saya, meremas, menjilati payudara saya... Saya gak kuat... saya gak tahan... begitu cinta...
Malam ini malam paling indah bagi wadam seperti saya. Malam-malam wadam suram dulu yang seperti tak ada apa-apanya dibanding malam ini.
Sialan, setelah bercinta dengan penis yang benar-benar penis, tak berpayudara. Setelah bercinta dengan vagina yang benar-benar vagina, tak berjakun. Aku baru sadar kalau inilah yang aku cari, aku ingin, aku butuh. Manusia lengkap, penis yang berpayudara, vagina yang berjakun. Aku benar-benar terangsang, benar-benar bisa orgasme. Aku benar-benar jatuh cinta. Kebayang kalau nanti payudaramu sudah membesar, penisku... aku pasti lebih bernafsu padamu. Lebih cinta. Cinta dan nafsu yang tak terpisahkan. Aku membayangkan punya penis. Penis 15 senti yang padat. Bagaimana caranya? Kuyakin tak terlalu mahal.
Dilla membuka bajunya. Dia juga hampir tak berpayudara. Dilla membuka celananya. Dia keluarkan penisnya. Oh Tuhan! Saya jatuh cinta padanya.. SAYA JATUH CINTA PADANYA.
Rabu, 25 Mei 2005
Bandung, 10.58 pagi