Masukan nama pengguna
Jagad raya temaram, memudarkan cahaya menutup celah warna berganti hitam. Pintu kayu berderit tertutup satu persatu. Bunyi saut-menyaut bergema melawan sepi, memanggil-manggil tanda datangnya rotasi bumi. Bulatan kecil dilangit mulai menampakkan diri. Pemangsa malam mulai berkeliaran, menemukan waktu yang tepat untuk mengais rezeki. Sungguh!!! Karya Tuhan melukis wajah bumi. Manusia memutar yang berulang sama dalam detak jam. Rupa rupa mahluk beranjak menapaki seluruh kehidupan.
Melukis itu harusnya di pagi hari. Saat alam terasa sempurna, menaburkan sejuta warna. Tapi Apa daya!! Aku tak mampu membuat cermin itu berubah tempat, bukan untuk mercuri waktu yang terasa sempit. Tetapi, kemampuanku mencapai moksa saat mendengar suara-suara asing. Bahkan untuk mengenalnya, aku sangat terpesona dengan suara asing, seperti jangkrik malam dan gemerincik air. Atau gesekan biola malam dari dedaunan yang melambai-lambai.
Aku sadar bahwa “keterasingan” membuat daya semakin memikat. Tajam seperti pisau yang menguliti domba. Tapi daya itu sudah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Sudah ada dalam metamorfosa. Sudah ada dalam ritual kehidupan. Sudah ada dalam bayangan hitam. Bahkan sudah ada sebelum manusia melihat semesta.
“Coba lihat goresanku ini”, baru membentuk kepala lengkap dengan belalai dan mata merah menyala. Belalai itu mampu menumbangkan dan mencabut pohon besar yang menghalangi setiap pandangan. Kekuatan besar harus diberi jalan. Kekuatan besar harus melindungi demos. Kratos itu adalah maha. Tidak mungkin berdiri sendiri.
“Lihatlah...perhatikan…”
Sekelompok manusia yang memiliki kratos. Menempati jeruji besi. Mereka berdasi. Mereka berarti, bila saja tidak menghianati. Mereka terpilih menjadi ‘tikus’. Mereka Jijik dan Bau. Mereka melumurinya dengan darah kemunafikan. Mereka zombie yang menakutkan. “Cuihhh...sangat memalukan”
-----
Di episode sebelumnya, ingatanku selalu mendampingi goresan tinta warna malam ini. tentang “Alif” yang tegak, kokoh, meskipun memikul jeritan panjang. “Alif” bisa menjadi senjata pamungkas dalam kalimat. Tapi “Alif” selalu yang pertama. Anak kecil diajari tentang huruf berbahasa Arab. “Alif”lah yang memulai. Perilaku “Alif” sangat memberi arti. Tegak! Tegak! Dan Tegakanlah!
Alif selalu bercerita kepadaku tentang Lonceng kematian yang bertalu-talu. Alarm batas tempo itu menakutkan bagi sebagian orang. Tapi tidak untukku!! Tegasnya. Suara mantra berbarengan terasa indah. Mengiringi jenazah dengan barisan rapi. Tidak ada yang berteriak!. Tidak yang mengumpat!. Benar-benar satu gerakan menuju peristirahatan terakhir. Kesepakatan itu menjadi indah. Kesadaran itu sangat mesra. Tidak ada ritual yang paling indah melebihi ritual mengantarkan jenazah. Raut khidmat dan kesedihan itu bukan untuk disesali. Melainkan untuk di mengerti. Aku sempat membentuk guratan jelas di dahi.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Alif?. Umurnya masih terlalu belia untuk mempersoalkan kalimat kematian."
“Aku tidak menyesal berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap. Jika itu untuk menenangkan bumi pertiwi” ceritanya begitu ngelantur, tapi teratur.
“Alif, belum saatnya kamu mengunduh waktu kematian untuk diterjemahkan” nasihatku sambil mengusap kepalanya.
Alip bersungut dan memalingkan muka, langkahnya melambat memasuki kamar berukuran tiga kali empat. Menutup pintu kamar serta menutup mata perlahan. Bermesraan dengan awan yang menyelinap melalui celah jendela. Beranjak terbang menemui lokus-lokus di dunia seberang.
Rupanya, kalimat itu menjadi bagian akhir dari episode kedekatan kami. Sebagai anak yang baik dan sebagai ayah yang selalu sabar menanti perubahan yang terjadi. Saat bergegas pergi bergerombol menuju sekolah, sementara aku mengayuh sepeda tua dengan lukisan-lukisan lusuh yang ditempatkan dalam boncengan menuju deretan lapak tak jauh dari sekolah. Alif Melewati segerombolan serdadu membawa parang, rantai besi, tombak bahkan celurit. Mereka berhamburan menerjang dan mengayunkan senjata.
Seragam itu menjadi saksi bahwa mereka bukan untuk menapaki kehidupan. Bukan untuk mencari petunjuk jalan. Mereka adalah segerombolan manusia yang sangat bringas. Mata merah mencari mangsa. Mereka menebas apapun yang berbeda. Melempar batu-batu yang terserak. Melayang diudara membawa nestapa. Dalam hitungan detik, wajah ceria Alif berubah memprihatinkan. Darah itu mengalir deras melewati pelipis mata. Alif terlempar dari sepeda. Aku membanting sepeda tua itu, bergegas membawanya pergi.
Langkahku cepat Menuju ruang serba putih di sebuah rumah sakit. Awalnya mulutku komat-kamit membaca mantra. Barangkali ada malaikat yang sempat melihat dan menyampaikan do’aku kepada Tuhan dalam singgasana-Nya. Mantra itu berubah menjadi protes, karena tak kunjung menemukan jalan terbaik. Segera aku mengacak-ngacak mukaku sambil berupaya menenangkan Alif yang sedang meregang Nyawa, mencoba membisikan kalimat suci. Lama berselang, Semuanya seolah berhenti dirongga mulut menambah sesak sekujur tubuh. Ketika nafas itu terhenti, ingin segera ku akhiri segalanya. Membayangkan putaran cerita menuju episode lalu. Saat bercerita tentang kematian. Selalu ada tetesan transparan memantulkan cahaya melewati pipi keriput dan sempurna melayang tanpa suara, lukisan itu berubah meminggirkan warna pada titik yang putih.
“Lalu, dimanakah Paksi dan liman saat peristiwa itu terjadi?” Suara tanpa rupa itu bergema seolah nyata.
“Tidakkah engkau lihat disini aku sendiri, menyusun kehidupanku ditemani kesunyian. Sudah aku katakan. Aku lebih suka mendengar suara-suara asing. Bukan suara Liman, Paksi atau Alif. Mereka bukan orang asing. Mereka sudah menyatu dalam tubuhku. Merekapun ada disetiap goresan ujung kuas lukis.” Kanvas itu saksi betapa aku merindukan mereka.
“Pak tua..kamu belum bercerita soal Paksi atau Liman?” Kali ini, gemuruh suara hati terdengar lirih.
“Aku sangat kagum pada sejarah ribuan tahun yang lalu. Aku selalu berharap mampu menemukan kekuasaan. Jika raja mengajarkan mantra. Aku mengikuti mantra itu menuju surga. Aku memberi wejangan pada buah hatiku; Alif, Liman, Paksi. Seperti nama yang aku berikan pada mereka termasuk liman dan Paksi. Liman dan Paksi suatu saat pasti akan kembali. Menemuiku. Pasti menemuiku. Entah kapan."
Mereka pergi saat hujatan di perut memaksa dipenuhi. Mereka pergi ketika gubuk reot ini sudah tidak mampu menahan beban air hujan. Harapan yang berkepanjangan hanya ilusi, bualan, omong kosong. Mereka bertiga meninggalkanku; Mantan istriku, Paksi dan Liman. Alif menolak mengikuti mereka. "Entahlah!” Suaraku serak dan volumenya semakin menurun dan melemah.
Suara tanpa rupa semacam ilusikah?. Khayalan tingkat tinggi? Atau alam bawah sadarku ikut campur dalam menelusuri asal-usul lukisan. Tapi itu berulang. Aku tidak pernah takut. Bahkan jika benar berwujud. Aku hanya ingin mereka kembali. Meskipun aku merasa bahagia dengan diam. Nyaman dengan sunyi. Hasrat membuncah saat mendengar suara asing. Tapi benarkah seperti itu. Bahkan aku tidak mampu menahan desakan hati. Sebuah pertemuan yang indah.
“Tapi Bukan begini caranya.” Aku berteriak sejadinya.
“Praaakk...” Lemparan sebatang bambu mengenai pintu kamar.
Goresan ini sungguh menyulut hatiku. Membakar syarafku. Aku tak mampu melawan sendu. Apalagi kedua manusia yang telah mengisi sejarah hidupku. Bocah kecil Paksi mampu mendaki gunung di ketinggian 3.078 M dari permukaan laut. Sungguh luar biasa!!! Dia pendaki sejati. Dia mencintai ketinggian. Dia akan menemukan kedamaian diketinggian bukit, saat semua benda mengecil dia akan mengulurkan tangan seolah sedang menggenggam dunia. Dia akan berteriak riang. Suaranya memantul diantara bukit-bukit yang menjulang tinggi. Dia tidak akan patah arang meskipun terpeleset, terjatuh, terkilir atau apapun yang menghalangi keinginannya. Hasrat yang mulia. Menggenggam dunia!!!. Seperti penguasa jagat. Dia mengerti penguasa Jagat Raya itu Tuhan. Diapun tidak akan melampauinya. Dia hanya abdi yang bermalam dalam rabith-ribath. Seraya mengulurkan kedua tangan. Membuka telapaknya, menengadahkan mukanya sambil berkomat-kamit. Itulah ritual yang dilakukan Paksi di ketinggian tak terhingga.
Lain lagi dengan Liman. Dia anak yang kuat berbadan bongsor. Dalam berbagai adu kekuatan dia pasti jadi juara. Tenaganya mampu mengalahkan kekuatan 5 orang dewasa dalam tarik tambang. Kakinya seolah menancap di tanah, tak bergerak dengan dorongan lawan. Pukulannya pasti menumbangkan apapun. Bukan tiang listrik. Postur yang energik. Wajah yang berwibawa. Bahasanya lugas. Suaranya keras. Tapi dia anak yang penurut. Menghormati keputusan orang lain. Terutama kedua orang tuanya. Melalui wejangan dan nasihat. Dia bukan seorang penjilat. Mirip seorang pesilat dalam film Kungfu Panda. Meliuk-liuk bergerak kesana kemari. Tangannya yang lentur bertenaga. Loncatannya sempurna. Pernah meraih medali tingkat kabupaten. Tapi sekarang menghilang!!
“Hampir sempurna, Tuhan, Izinkan aku untuk mengapresiasi karyamu, pada ketiga anakku.”
Aku yakin Alif, Paksi dan Liman memiliki darah yang hebat. Darah itu membentuk lukisan yang aku harapkan. Aku menyelesaikannya dengan baik. Kereta Kencana Paksi, Naga dan Liman. sementara Alif adalah kebijaksanaan dengan simbol tonggat Trisula yang memiliki tiga mata tajam yaitu sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin; jejeg (tegak), jujur dan adil. Menjaga keseimbangan alam dan manusia. Menata serakan puing kemunafikan. Mengurai kabut yang menyelimuti ketidakadilan. Membebaskan cahaya memasuki ruang penindasan.
Paksi adalah penguasa jagad udara diartikan dengan garuda yang terbang kasana-kemari menyampaikan kabar-kabar penting dari langit. Dari provokasi musuh. Bahkan dari mantra malaikat pembawa rahmat. Dari butiran salju yang putih mengkilat. Menyambung nafas penghuni bumi.
"Lalu, Siapakah Naga yang ada dalam lukisan?" Suara tanpa rupa meneruskan penasarannya.
Dalam renungan panjang, aku menemukan pola yang menakjubkan. Tiga anakku lahir dalam sejarah. Akupun ingin menorehkan sejarah. Meskipun belum menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Tapi aku sudah melakukan yang terbaik bagi hidupku. Meskipun aku gagal melindungi Alip dari kematian. Aku mengalir menyusuri tempat yang lebih rendah. Memenuhi rongga-ringga yang masih tersisa. Jika mereka menemani. Aku buatkan minuman segar dari sejumlah cawan mutiara.
"Ah... itulah aku. Sumber kehidupan bagi mereka. Dan kamu tahu? Seharusnya kamu tahu?"
Semakin jelas apa yang aku lukis. Mungkin orang sudah mengerti ketika gambar menemukan aksen lukisan kereta yang ditunggangi binatang aneh. Memiliki belalai tapi bersisik seperti naga serta memiliki sayap seperti burung. Ujung belalai memegang tongkat trisula seperti simbol –simbol trisula dalam film Bolywood.
Jarum Jam menunjuk angka tiga pagi. Aku bergegas merapihkan kuas, cat lukis yang berserakan. Terasa ringan tubuhku, melenggang tanpa beban. Curahan itu menenangkan jiwa seperti air yang membasahi wajah, sebagian rambut, tangan serta kaki. Kuarahkan muka ke pusat alam raya dalam kiblat. Kurentangkan tangan dengan telapak menghadap ke depan. Dalam ruku menyebut keagungan. Dalam sujud mengungkapkan kebesaran. Dalam do’a ku sampaikan segalanya. Semoga pagi ini menyambut rizki yang banyak.
Sudah menjadi kebiasaan, aku menunggu waktu pagi dengan mempersiapkan lukisan-lukisan yang akan dijajakan. Jika matahari sudah bergulir setinggi tombak aku akan melepaskan letih. Menenangkan urat nadi. Tidur terlelap hingga tengah hari atau lebih.
Persiapan sudah lengkap, saatnya berangkat. Derit pintu aku buka perlahan. Terlihat sepatu hitam mengkilat memantulkan cahaya. Aku menelusurinya dari kaki, lutut, bentuk tubuh dan wajah. Sepertinya aku pernah bertemu dia. Tapi dimana. Tiba-tiba tubuh itu mendekat dan terjatuh tepat dalam pelukan. Dia merekatkan tubuh semakin kuat. Seolah tak ingin terlepas. Belum sempat menarik nafas. Satu tubuh lagi menghampiri dan memelukku. Sama erat dengan yang pertama.
“aku Paksi.” suara itu lirih terdengar
“aku Liman.” suara kedua seolah tak mau kalah.
Tubuhku gemetar, tenggorokanku kering. Suasana dalam tubuhku bergejolak, meledak-ledak.
“kaalian anakkuu” aku terbata-bata.
Mega mendung mengawali suka-citaku. Dekapan indah yang terlalu lama mengurai waktu sunyi. Mantra-mantraku selama ini mampu menembus Arsy’. Barisan malaikat tersenyum lega. Aku menyambut bahagia. Aku katakan pada dunia, waktunya telah tiba.
“Sungguh Luar biasa.”
“Pak, ini lukisan terakhir yang paling indah. Jangan kau goreskan lagi. Cukup aku dan liman yang menebus segala harapan yang pernah tertutup awan.” Suara Paksi mengurai keheningan. Dihadapnya berdiri lukisan gagah dan menantang karya pribumi. Kereta Kencana Paksi Naga Liman. Karya indah itu, sudah tergores dalam ribuan karya dan batik Cirebon yang memikat dan memiliki daya tarik. Aksen dan perpaduan kultur Jawa Cina tak mungkin bisa dilukiskan oleh orang biasa.
Aku bukan seorang pencipta sejati. Karna aku penikmat sejarah. Torehan itu sudah pasti dilahirkan pada dunia lain. Dalam keraton keabadian. Seorang Laki-laki yang gagah perkasa berbalut sorban di kepala adalah inspirasiku.
Lukisan terakhirku!