Masukan nama pengguna
PETANG menikam pendar, gelap mulai menyelinap, mobil hitam berhenti di gerbang desa Tanah Bilek. Panca membuka jendela mobil dengan tangan bergetar. Kemeja putihnya tersamar tanah liar. Sepatunya berdebu. Ia mengira tertipu, tempat ia pulang bukan lagi terlihat seperti kampungnya, melainkan lokasi kejahatan yang membuatnya malang, ia rancang dari ruang rapat menjulang, di ujung kota mangkang, semua demi mengeruk hasil tambang.
Hasilnya, Panca digiring ke balik jeruji besi. Lima tahun ia mendekam, tanpa ada yang menggugat atau meragukan putusan. Keberadaannya seolah lenyap ditelan waktu, hingga suatu hari, ibunya datang. Dari balik terali, Panca tersungkur, matanya basah, memohon maaf yang tertunda: agar ibunya sudi memaafkan anaknya yang jalang. Ibunya sangat meradang, tapi tak mampu menolak ingatan anak semata wayang. Sempat mengusap rambutnya penuh harap agar Panca segera menyadari kesalahan yang membuatnya tumbang.
***
Di gerbang, spanduk kain terbentang, lusuh dan usang: “Panca, si Komisaris Tambang: Kami menantang Perang!!.”. Tanah Bilek bukan sekadar tanah kelahirannya. Di sini, ibunya menjual sawah, demi membayar biaya kuliah Panca di kota. Dan dengan gelar itulah, ia kemudian bergabung dengan perusahaan tambang, yang kelak membeli kembali tanah itu dengan harga murah kelas bawah, “dari tangan ibunya sendiri lho!!”, saat itu sempat bersitegang. Tapi ibunya berlinang seraya berkata, “Kalau kamu sukses, jangan cuma kirim uang. Kirim juga empatimu yang sudah hilang.”
Tapi Panca lupa. Atau sengaja menghilang.
***
Kini ia pulang. Bukan dengan jabatan, tapi dengan berita yang membuat geger tanah bilek: seorang anak usia tujuh tahun meninggal karena gagal ginjal, akibat air tercemar logam berat dari sisa tambang yang tak pernah direklamasi. Salah satu aktivis menyebarkan data lengkap di media sosial. Nama panca terpampang sebagai biang di Komisaris Utama perusahaan waktu itu, komentar berdatangan menyerang, media-media sibuk mengundang ahli bidang tambang. “Di balik gemerincing logam, ada nyawa yang pelan-pelan kehilangan hak atas air dan tanah”
Rosta, kepala desa baru, menemuinya dengan tatapan meradang.
“Kau datang untuk apa?” katanya dingin. “Minta maaf atau mau menambang?”
Panca menunduk. “Saya… datang untuk mendengar.
“Merebut hak tanah dan digantikan keuntungan untuk kamu nikmati sendiri, sementara mereka menanggung akibat buruknya, begitu maksudnya?” nafas Rosta terengah menahan marah.
“Bahkan, kamu lihat, atap rumah ibumu yang bocor, jendelanya terbuka lebar, dan di dinding kamar tergantung gambar seorang ibu kurus dan anak lelaki mengenakan toga, itu kamu, kamu lupa itu?. Air mata tak pernah cukup untuk menghapus debu tambang yang telah jadi petaka desa ini”
***
Keesokan harinya, Panca datang ke balai desa. Warga berkumpul. Mereka tak marah dengan teriakan. Mereka marah dalam diam. Dan diam itulah yang mengguncang hatinya paling dalam.
Seorang ibu muda berdiri.
“Anak saya mati, Pak. Namanya Bilek, seperti nama desa ini. Tubuhnya rusak oleh air yang Bapak biarkan tercemar. Saya tak butuh permintaan maaf. Saya cuma mau tahu: waktu Bapak tanda tangan proyek itu, Bapak ingat tanah ini pernah jadi tempat Bapak main layangan gak?”
Panca tak bisa menjawab. Suaranya habis ditelan kerongkongan yang terasa mengering.
Hari-hari selanjutnya, Panca tinggal di desa. Tanpa pengawal, tanpa ajudan, tanpa gengsi. Ia menggali sumur baru bersama warga. Ia ikut menanam pohon di bekas lubang tambang, dan setiap sore, ia duduk di tepi danau beracun, membaca surat dari anak-anak korban.
Salah satu surat membuatnya menangis:
“Bapak Komisaris, kata ibu saya dulu Bapak anak desa ini. Kenapa pulang hanya saat kami sudah sekarat?”
***
Beberapa warga mulai luluh. Tapi tak semuanya. Ia masih dilempari telur busuk satu kali, dan pernah dipukul dengan tongkat kayu oleh kakek tua yang kehilangan tiga cucunya karena ISPA. Namun Panca tak pergi.
“Saya yang tanda tangan proyek ini,” katanya suatu hari.
“Saya tak bisa kembalikan waktu. Tapi saya bisa mengembalikan tubuh saya di sini, hingga bumi ini menerima saya kembali.”.
Rosta pun mengangguk mendengar penjelasan Panca.
***
Dua bulan setelah ia datang, Panca menjual seluruh sahamnya, sisa sisa kecongkakan saat menjadi komisaris Tambang. Ia pakai uang itu untuk mendirikan “Pondok Bilek”, sekolah alam kecil untuk anak-anak korban tambang. Ia tak ingin dikenang. Ia hanya ingin dipakai sebagai bahan peringatan.
Panca menghirup udara yang sama dengan mereka waktu itu, udara yang tak lagi hidup, hanya debu dan luka. Kini, ia pun terkena ISPA, seperti para korban yang dilupakan tambang.
Tanah itu dulu tak pernah diam. Setiap hari, suara ekskavator menderu dari fajar sampai remang senja. Bongkah tanah merah menganga, dibelah, digali, dipindah, lalu ditinggal. Wajah bumi seperti luka menganga yang dibiarkan membusuk. Tak ada suara burung. Tak ada semut yang melintas. Tanahnya keras seperti besi tua, padat dan dingin seperti duka.
Kini, tiga tahun setelah tambang pergi, Panca berdiri sendirian di tengah petak gersang itu. Wajahnya keriput, tangannya menggenggam sekop tua, dan matanya menatap tanah yang dulunya penuh amarah. “Tanah ini sudah terlalu lama menangis,” gumamnya pelan.
Ia mulai dengan meratakan bekas lubang, satu demi satu, dengan tenaga yang tersisa dari tubuh kurusnya. Ia ajak anak-anak muda desa yang tersisa yang dulu sempat tergoda uang cepat dari tambang untuk ikut membentuk kontur baru. Bukit-bukit yang janggal dirapikan, lereng yang rawan longsor dipasangi pagar hidup dari bambu.
Hari berikutnya, ia datangkan topsoil dari ladang seberang, lapisan tanah hitam yang kaya, yang disingkirkan tambang bertahun lalu. Ia siram dengan pupuk kandang yang ia kumpulkan dari rumah ke rumah, memberi makan pada tanah yang telah lama kelaparan. Namun ia tahu, racun logam berat masih mengintai di balik pori-pori bumi. Maka ia tanam vetiver dan sengon di setiap baris ladang.
"Biar akar mereka menyedot racun yang kita tak bisa lihat," gumamnya sambil menanam dengan menunduk, seolah minta maaf pada bumi.
***
Enam bulan berlalu. Pohon-pohon muda mulai menjalar ke arah cahaya. Anak-anak desa mulai berani bermain layang-layang di ujung petak ladang, menginjak tanah yang dulu tak boleh disentuh. Panca tersenyum. Tangannya kotor, tapi dadanya lapang. Ia tahu, ini belum kemenangan, tapi tanah mulai berbisik kembali, bukan dengan amarah, tapi dengan harapan. Suara burung kecil pun akhirnya terdengar lagi, bersarang di ranting sengon yang belum genap setahun. Di atas tanah yang pernah mati, kehidupan pelan-pelan tumbuh lagi. Bukan karena alat berat, bukan karena kekuasaan, tapi karena keyakinan bahwa alam tak pernah sepenuhnya menyerah.
Tetapi panca semakin sekarat, ISPAnya lebih dahsyat dari tekadnya. Panca meminta satu hal: jasadnya dikubur di lubang tambang lama, setelah ditutup dan ditanami pepohonan. Warga desa seketika berkerumun merasa iba, hati mereka hancur seiring tangisan ibunya, menjerit memekakan langit.
Petang terakhir hidupnya, ia menulis surat:
"Aku pulang bukan karena berani, tapi karena akhirnya aku takut. Takut mati dalam nama besar tapi dikutuk oleh tempat aku dilahirkan. Petang ini aku tahu: yang paling berat bukanlah beban tambang, tapi beban diam ketika tahu sesuatu salah tapi tetap membiarkannya. Jangan biarkan aku diingat. Tapi biarkan tanah ini memaafkan."_
***